Anda di halaman 1dari 5

DAMPAK TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERILAKU KEKERASAN ANAK

Muh.Fachri Karim Haba


E022201006

Era informasi seperti sekarang ini, manusia sangat bergantung pada media massa untuk memenuhi
kebutuhan informasi. Televisi merupakan media yang memiliki pengaruh yang cukup penting dalam
kehidupan masyarakat. Televisi menjadi bagian dalam membentuk sikap dan perilaku dari para penonton
nya.  Siaran yang dipancarluaskan menggunakan fasilitas publik ini, dapat diterima dalam waktu yang
bersamaan, serentak dan bebas. Televisi, sebagai media, terus berusaha menyampaikan berbagai hal kepada
audiens nya, melalui berbagai program acara yang ditawarkan yang dapat dinikmati oleh masyarakat umum
sebagai konsumen tetapi pemberitaannya sangat beragam termasuk didalam nya tayangan yang bertema
kekerasan.  

Lembaga penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai-nilai moral, tata susila, budaya,
kepribadian dan kesatuan bangsa, bila dihubungkan dengan kejadian yang marak saat ini, seperti tawuran
antar pelajar yang mengakibatkan korban jiwa, pelecehan seksual dan tindak kekerasan yang melanggar
hukum, dilakukan oleh pelajar dan anak-anak karena mereka adalah salah satu sasaran pasar yang produktif
untuk menyajikan program siaran melalui tontonan yang saat ini lebih besar kurang memperhatikan
bagaimana cara membentuk sikap yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang berlaku di Indonesia.

Tayangan televisi di Indonesia sepertinya tidak ada satu haripun tanpa tayangan kekerasan.
Misalnya : aksi demo dengan bentrok massa, tawuran pelajar, kerusuhanantar etnis, aksi massa
penghakiman pencuri, penertiban PKL yang bentrok dengan aparat keamanan dan sebagainya adalah menu
yang selalu hadir lewat berbagai acara di televisi. Dengan gencarnya tayangan kekerasan, hal tersebut timbul
rasa kekhawatiran akan terbentuknya sikap, karakter dan tingkah laku masyarakat yang meniru apa yang
disaksikannya.

Televisi sebagai media yang memiliki kelebihan “motion picture” nya menjadi media yang paling
dituding berpengaruh terhadap meningkatnya kekerasan yang terjadi. Gambar bergerak menghasilkan
imajinasi yang luar biasa dalam benak pemirsanya, apalagi bagi anak-anak. Dengan pikiran anak-anaknya,
mereka lebih mudah mengadopsi suatu perilaku dalam kehidupan nyata akibat adanya “modelling” yang
ditampilkan di televisi.
Penelitian ini membahas bagaimana kuatnya pengaruh media massa terhadap perilaku kekerasan.
Penulis melakukan studi kasus terhadap beberapa peristiwa yang diberitakan di media massa dan peristiwa
riil atau sesuatu yang sedang terjadi.
Teori indikator budaya (cultural indicators) dan Teori Kultivasi (the cultivation process) yang
digunakan untuk meneliti efek media massa, penelitian ini melingkup beberapa aspek,
yang pertama, kekerasan di dalam media menjadi sulit dilenyapkan, karena kekerasan itu sendiri
mempesona. Kedua, bentuk tayangan kekerasan dapat menciptakan ketidakpekaan terhadap korban
kekerasan di dalam diri pemirsa. Ketiga, karena kekerasan itu mudah, maka ia menjadi begitu mudah dan
gampang memasuki cara berpikir orang, memanipulasinya, tanpa orang tersebut menyadari bahwa ia telah
dimanipulasi. 
Hasil Penelitian ini adalah karena maraknya tayangan kekerasan di televisi, sudah selayaknya
membuat banyak pihak prihatin. Televisi sebagai sumber utama yang mampu menanamkan kesadaran
umum tentang massa khalayak yang paling besar dan heterogen. Keyakinan ini salah satu yang mendasari
munculnya Teori Kultivasi yang dikemukakan George Gerbner. Televisi dengan berbagai kekuatannya
membawa implikasi yang sangat signifikan terhadap kehidupan kita, juga disertai dengan efek-efek yang
tidak kita bayangkan sebelumnya. Terlepas dari segala kontroversinya, Teori Kultivasi menyadarkan kita
untuk mewaspadai televisi. Bila Gerbner dkk, mewaspadai televisi dalam konteks isi atau pesan-pesannya
yang dikemas sedemikian rupa, maka Tony Buzan, seorang pengarang bestseller, penceramah dan juga
trainer (mendunia), ia memberi anjuran bagi kita untuk menjaga jarak dengan televisi.

Tidak terlepas juga tayangan berita-berita televisi, terutama berita tentang kekerasan terhadap anak.
Hingga saat ini tayangan berita yang mengedepankan kekerasan selalu menjadi hedline dalam pemberitaan
media massa dalam hal ini televisi. Sebagai gambaran selama dalam kurun tahun 2015 dalam 5 tahun
terakhir ini, terjadi 5 kasus kekerasan terhadap anak yang besar, berikut contohnya :

1. Kasus sodomi yang dilakukan oleh Maskur warga Pancoran Jakarta Selatan pada awal tahun 2015,
kasus ini terjadi pada anak dibawah umur dan menimpa sebanyak 15 korban.
2. Kasus penyekapan 5 anak oleh orang tuanya sendiri yang terjadi pada 15 Mei 2015 yang diakibatkan
Karen orang tuanya yang mengkonsumsi narkoba.
3. Kasus yang terjadi di Denpasar dan sempat menghebohkan hingga manca Negara, yaitu kasus
hilangnya Angeline. Angeline dinyatakan hilang orang tua angkatnya yang bernama Margaret pada
25 Mei 2015, akhirnya ditemukan dipekarangan samping rumah pada 10 juni 2015. Setelah dilakukan
penyelidikan oleh Polisi kemudian ditetapkan dua tersangka yaitu Agustinus Tan yang merupakan
pembantu dan Margaret yang ternyata orang tua angkatnya sendiri.
4. Kasus kekerasan sesama anak yang terjadi di Kebayoran Lama pada 18 Agustus 2015 dan
mengakibatkan Amelia meninggal karena dianiaya oelh temannya sendiri. Setelah dilakuka
penyelidikan ternyata pelaku terpengaruh oelh tontonan televisi.
5. Kasus kekerasan terhadap anak perempuan yang masih berusia 9 tahun yang dimana kasus tersebut
adalah kasus penemuan mayat pada 3 Oktober 2015 di Kalideres Jakarta Barat. Kekerasan tersebut
dilakukan oleh tetangganya sendiri yaitu Agus Darmawan.

Tayangan berita, film porno, game online dan akses anak-anak menggunakan internet tanpa
pengawasan orang tua menjadi salah satu faktor tingginya kasus kekerasan maupun pelecehan seksual.
Tayangan kekerasan yang banyak menjadi komoditas media televisi baik local maupun nasional ini dijadikan
daya tarik untuk meraih pemirsa.

Pihak media massa sering memberikan argumentasi bahwa perspektif kultivasi dan dampak media
violence dari tayangan televisi terlalu dibesar-besarkan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh
televisi, mungkin dipengaruhi oleh media, pengalaman langsung, dan lain sebagainya. Beberapa ahli yang
memberi kritik terhadap Gerbner antara lain :

 Hirst, mengatakan bahwa sebuah hubungannya nyata antara terpaan kekerasan televisi dan takut
akan kejahatan dapat dijelaskan dengan lingkungan dimana penonton tinggal (Living Stone, 1990).
Mereka yang tinggal di lingkungan yang tingkat kriminilitasnya tinggi lebih percaya bahwa
kemungkinan untuk diserang atau diganggu daripada mereka yang tinggal di lingkungan yang
tingkat kriminilitasnya rendah.
 Pingree dan Hawekins (1989), mereka mengatakan bahwa membahas jenis isi lebih berguna dari
pada mengukur jumlah penonton, sebab penonton itu selektif terhadap pesan yang diterimanya
 Federick Williams (1989), mengomentari penelitian yang ada sebagai berikut : orang yang
merupakan pecandu berat televisi seringkali mempunyai sikap stereotype tentang peran jenis
kelamin, dokter, bandit, atau tokoh-tokoh lain yang biasa muncul dalam serial televisi. Dalam
dunia mereka ibu rumah tangga mungkin digambarkan sebagai orang yang paling concern
terhadap urusan bersih-bersih rumah. Suami adalah orang yang selalu menjadi korban dalm kisah
pacu. Perwira polisi menjalani hari-hari yang menyenangkan. Semua bandit berwajah seram.
Beberapa kritikus mengatakan bahwa penonton sebenarnya juga aktif di dalam usaha menekan
kekuatan pengaruh televisi seperti yang tidak diasumsikan teori kultivasi. Teori Kultivasi menganggap bahwa
penonton itu pasif. Teori Kultivasi lebih memfokuskan pada kuantitas menonton televisi atau terpaan dna
tidak menyediakan perbedaan yang mungkin muncul ketika penonton menginterpretasikan siaran-siaran
televisi. Penonton mempunyai motivasi dan interpretasi yang berbeda satu sama lain.

Perlu juga dilihat lingkungan/daerah penonton yang terkena dampak Kultivasi. Terlepas dari pro-
kontra masalah dampak media massa terhadap penonton, dalam kasus di Indonesia kita harus lebih
bijaksana dalam menyikapi nya. Memang diperlukan penelitian lebih banyak dalam konteks Indonesia,
mengingat penelitian yang selama ini dilakukan lebih banyak di Amerika Serikat dan Eropa. Bukannya kita
terlampau menyederhanakan atau menafikkan faktor-faktor lain yang tidak kalah potensial dalam memicu
perilaku agresif. Misalnya faktor depresi dan pengalaman traumatic. Tapi, kalaupun peniruan modus
operandi kriminalitas dianggap berlebihan, toh kriminalitas di televisi tetap saja perlu diwaspadai ketika
muncul dalam bentuk desensitisasi kekerasan. Desensitisasi kekerasan atau pengumpulan kepekaan
terhadap kekerasan merupakan gejala yang umum terjadi ketika kekerasan tak lagi dianggap sebagai hal
yang luar biasa. Maka, tatkala masyarakat diterpa oleh informasi kekerasan, dan menganggap realitas media
tak beda dengan realitas nyata (perspektif kultivasi), perilaku kekerasan pun disahkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Mengacu kepada pendapat Peter Beroer dan Thomas Luckmann tentang realitas sosial sebagai
sebuah konstruksi sosial, adalah benar bahwa kekerasan adalah sebuah realitas sosial. Jika media berkilah
bahwa mereka hanya menyampaikan realitas yang ada.

Mereka juga lupa bahwa apa yang mereka dengan menanyakan beragam tindak kekerasan dengan
frekuensi yang sering, mereka berinteraksi dengan khalayak, dan ini dapat mengkonstruksi realitas sosial
yang baru, kekerasan-kekerasan yang baru. Namun yang menyedihkan adalah bahwa terdapat
kecenderungan bahwa media menciptakan kekerasan yang baru, dengan kekuatan mereka melalui isi dan
kemasan pesan yang ditayangkan. Apakah hal ini disadari atau tidak, tapi terkadang ini juga menjadi sebuah
dilemma ketika media dihadapkan pada tujuan utamanya sebagai lembaga bisnis.

Beberapa pernyataan masalah yang manyangkut dalam hal kekerasan televisi terhadap anak, adalah :

 Dengan melihat berbagai kelemahan baik kondisi biologis maupun secara psikologis, perilaku
seorang anak sangat rentan dari pengaruh yang ada disekililingnya. Terutama besar
kemungkinan dipengaruhi oleh apa yang sering ia lihat, termasuk tayangan-tayangan dalam
bentuk visual. Selain karena sifat-sifat kejiwaan yang dimiliki anak, diakui pula bahwa media
memiliki daya tarik yang sangat kuat untuk mempengaruhi perilaku seseorang. Teori yang
dikemukakan Gabrile Tarade dengan hukum peniruannya/Teori Imitasi serta teori belajarnya
yang dikembangkan oleh Sutherland sangat relevan untuk diterapkan dalam kasus anak pelaku
kekerasan. Dengan demikian nampak bahwa ada hubungan yang sangat erat antara maraknya
tayangan kekerasan dengan munculnya fenomena tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak.
 Mengingat kondisi seorang anak memiliki banyak kelemahan dan kekurangan, sudah
seharusnya semua pihak mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi masa depan anak (the
best interest of the child).
 Karena begitu besarnya pengaruh tayangan audio visual terhadap perilaku seseorang,
terutama bagi anak-anak, maka pemerintah sudah seharusnya melakukan tindakan pembinaan
bagi para pengelola stasiun televisi. Khusus kepada instansi yang terkait pembinaan dimaksud
terutama dalam hal menseleksi tayangan-tayangan yang dapat membahayakan masa depan
anak.
 Sebaiknya pasal-pasal UU tentang penyiaran yang dirasakan berlebihan dan lebih
mengedepankan kebebasan dikaji kembali. Sehingga ada keseimbangan antara kebebasan dan
perlindungan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai