Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TEORI KOMUNIKASI

“Kasus Smackdown Anak Akibat Pengaruh Televisi”

Dosen Pengampu:
Lily El Ferawati, BA., PhD.

Disusun Oleh:
Savira Indah Rahmadanti
18419141023 / B

ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Deskripsi Kasus..........................................................................................1

1.2 Analisis Teori...............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Teori............................................................................................4

2.2 Studi Kasus................................................................................................6

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................8
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Deskripsi Kasus

Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki akal. Akal

beserta moral inilah yang digunakan untuk menentukan sesuatu hal yang baik

dan buruk berdasarkan standar umum. Manusia menggunakan akalnya guna

menjaga keharmonisan dengan manusia yang lainnya. Dengan hal ini, maka

hal-hal terkait dengan kekerasan kepada orang lain tidak diperbolehkan.

Kekerasan merupakan suatu tindak anarkis yang dilakukan seseorang

dengan sadar ataupun tidak sadar. Banyak faktor yang mendorong manusia

untuk melakukan suatu tindak kekerasan, diantaranya yaitu faktor lingkungan

dan faktor psikologis. Pelaku kekerasan tidak memandang usia dan gender.

Laki-laki atau perempuan, tua atau muda, semuanya mungkin menjadi pelaku

kekerasan.

Kekerasan yang paling disorot publik adalah kekerasan yang dilakukan

oleh anak. Pasalnya, kekerasan yang dilakukan oleh anak dibawah 18 tahun

merupakan hal yang jarang terjadi, dibandingkan dengan kasus-kasus

kekerasan lainnya. Maka dari itu, hal ini menjadi sesuatu yang sangat menarik

untuk dikaji.

Seperti halnya sebuah kasus kekerasan anak yang terjadi pada bulan

September 2015. Bulan ini merupakan bulan yang memilukan akibat

meninggalnya seorang bocah berinisial A yang baru berusia delapan tahun yang

tercatat sebagai salah satu siswa kelas tiga SD Negeri 07 Pagi, Kelurahan

Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan (viva.co.id/berita).


Kasus ini bukan merupakan kasus pertama yang terjadi. Kasus ini

mengulang kejadian sembilan tahun silam yang juga dialami oleh RZ yang

meninggal dunia akibat di-smackdown oleh kakak kelasnya. RZ tewas dibanting

dengan posisi kepala dibawah dan dihujamkan keras ke lantai.

A meninggal dunia usai dipukuli oleh beberapa teman kelasnya di dalam

salah satu ruang kelas di sekolahnnya di SD tersebut pada tanggal 18

September 2015. Korban pun ditemukan dengan meregang nyawa dengan luka

lebam di sekujur badannya akibat atraksi smackdown yang dilakukan oleh

teman-temannya ini.

Kekerasan yang berakhir dengan maut yang dialami oleh A ini dirasa

masih memiliki hubungan dengan sebuah tayangan televisi yang terkenal pada

saat itu. Acara-acara yang memiliki konten kekerasan seperti “SmackDown” dan

sejenisnya. Selain acara tarung bebas ini, ada juga program kekerasan yang tak

lagi dikemas seperti tarung bebas.

Tayangan kekerasan kini juga dikemas dalam berbagai jenis sinetron

yang umumnya menceritakan tentang kisah-kisah sejarah. Kekerasan juga

terkadang tidak secara eksplisit, namun juga secara implisit.

Hal ini yang dianggap menjadi salah satu alasan mengapa anak-anak

sekarang cenderung meniru adegan ini dan secara sadar maupun tidak sadar

mempraktikkannya di lingkungan rumah maupun lingkungan sekolahnya.

Seperti halnya dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak

Indonesia (KPAI), Maria Advianti, beliau membenarkan adanya asumsi bahwa

tayangan televisi memberikan dampak yang besar bagi perilaku anak-anak.


1.2 Analisis Teori

Pada kasus ini, saya akan menggunakan salah satu teori tentang media

dan masyarakat yaitu teori kultivasi. Teori ini saya rasa sesuai dengan kasus

yang ada terkait dengan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan media,

khususnya televisi. Dampak-dampak ini terkait dengan sikap, perilaku, dan nilai-

nilai yang ada dalam individu.

Teori Kultivasi menganggap adanya penonton garis keras. Penonton-

penonton inilah yang menganggap bahwa nilai-nilai yang berasal dari tayangan

televisi merupakan sesuatu yang nyata dan dirasa dapat dipraktikkan di

kehidupan nyata.

Kasus tersebut dirasa sebagai akibat gagalnya penanaman nilai-nilai dari

televisi. Anak-anak yang menjadi pelaku dirasa belum bisa memilih mana yang

baik dan mana yang buruk dari tayangan yang dilihatnya. Anak-anak hanya

meniru segala sesuatu yang dilihatnya dari layar kaca.

Dengan alasan inilah maka teori kultivasi dirasa sebagai teori yang tepat

untuk menggambarkan bagaimana sebenarnya yang terjadi terkait pengaruh

media, khususnya televisi terhadap masyarakat luas.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori Kasus

Teori kultivasi merupakan teori yang diperkenalkan oleh George Gerbner

pada 1969. Teori ini menjelaskan bahwa paparan televisi secara terus-menerus

dapat menyebabkan penonton terpengaruh dan mempercayai suatu konsep

realitas tertentu. Teori kultivasi menganggap televisi menyebarkan anggapan

tentang fakta umum dan personal kepada penontonnya.

Ada empat pandangan tentang efek media media massa, khususnya

televisi yang dijelaskan menggunakan teori kultivasi. Televisi menanamkan,

mempersuasi dan memberikan pandangan yang tidak nyata namun dipercaya

sebagai sesuatu yang riil oleh para penontonnya. Teori ini berfokus pada media

televisi yang ternyata dapat membentuk pandangan dan kepercayaan bagi para

penontonnya. (Gerbner, 1990; Gerbner dkk, 1986; Robinson, 2009; Signorielli,

2009; Signorielli & Morgan, 1990 dalam Wood, 2001: 304).

Teori kultivasi mengidentifikasi ada dua mekanisme untuk menjelaskan

proses kultivasi;

1. Mainstream (Pengutamaan)

Mainstream maksudnya menganggap bahwa televisi sebagai media

massa itu memonopoli sumber info dan ide yang utama. Hal ini berlaku bagi

penonton garis keras, yaitu orang yang menghabiskan waktu yang lama di

depan layar kaca. Orang yang jarang ataupun tidak menonton televisi sama

sekali pun dapat merasakan dampaknya, karena interaksinya dengan

penonton garis keras (Wood, 2001: 304).


2. Resonance (Resonansi)

Resonansi menjelaskan bahwa penonton menganggap televisi

mereprenstasikan realitas hidup mereka. Mungkin ada beberapa kejadian di

televisi yang sama dengan kehidupan nyata kita. Hal ini lah yang

menjadikan anggapan bahwa segala sesuatu yang ada di televisi

merupakan representasi kehidupan nyata secara general.

Kenyataan yang ada di televisi memperkuat kenyataan yang dirasakan

para audiensnya. Teori kultivasi menghasilkan beberapa asumsi. Tiga asumsi

menjelaskan hubungan antara televisi sebagai media dan budaya yang ada

pada masyarakat.

1. Televisi secara esensial dan fundamental memiliki bentuk yang berbeda dari

media massa lainnya.

2. Televisi membentuk cara berpikir masyarakat.

3. Pengaruh dari televisi sifatnya terbatas. (West & Turner, 2010:379)

Keterkaitan televisi dan kekerasan membuat Gerbner mengemukakan

sebuah asumsi. Asumsi ini menjelaskan bagaimana perubahan orang-orang

sebelum dan sesudah terkena paparan televisi tapi Gerbner percaya bahwa

tidak ada yang dinamakan dengan “kedaan sebelum televisi”

1. Korelasi positif antara penonton televisi dan ketakutan menjadi korban

kriminal.

2. Melihat aktivitas kepolisian.

3. Ketidakpercayaan masyarakat secara umum. (Griffin, 2011:373)


2.2 Studi Kasus

Kasus kekerasan pada anak ini dapat dihubungkan dengan teori kultivasi.

Teori ini menjelaskan bagaimana televisi sebagai media sangat berpengaruh

dalam membentuk pola pikir dan nilai-nilai dalam masyarakat. Masyarakat

menganggap apa yang ada di televisi merupakan sebuah realita.

Anak-anak yang merupakan pelaku sekaligus korban dalam kasus ini

menganggap bahwa apa yang mereka tonton dapat dipraktikkan dalam

kehidupan nyata. Apalagi tayangan kekerasan saat ini bukan hanya dalam acara

SmackDown tapi juga dimuat dalam berbagai tayangan televisi. Anak-anak

mendapat paparan yang besar dalam menonton tayangan televisi.

Hal ini dapat juga dikaitkan dengan Indeks Kekerasan yaitu indeks

mengukur adegan kekerasan yang ditayangkan ketika prime time. ketika waktu

ini, anak-anak cenderung menghabiskan waktunya untuk menonton televisi.

Dengan tidak adanya dampingan dari orang tua, maka hal ini menjadi sangat

berbahaya.
BAB III

Kesimpulan

Televisi dan jenis media massa lainnya memiliki pengaruh yang signifikan

dalam membentuk pandangan masyarakat. Saat ini, masyarakat mendapatkan

informasi lebih banyak melalui media dibandingkan dengan langsung. Masyarakat

menganggap apa yang di media merupakan sebuah realitas.

Konten dalam televisi tidak selamanya baik. Ada juga konten yang memuat

unsur-unsur kekerasan. Hal ini menjadi berbahaya ketika penikmat konten tersebut

adalah anak-anak. Anak-anak cenderung langsung mempercayai apa saja yang

dilihatnya.

Kekerasan menjadi hal yang dianggap normal oleh anak-anak karena

keseringannya mengonsumsi adegan-adegan kekerasan. Ketika hal ini terjadi, maka

tugas orang tua lah yang meluruskan dan membimbing anak-anaknya ketika

menonton televisi. Alangkah baiknya juga adegan-adegan kekerasan tidak

ditayangkan pada saat-saat prime time.


DAFTAR PUSTAKA

Wood, J.T. 2011. Communication Mosaics: An Introduction to the Field of


Communication (Edisi ke-6). Boston: Wadsworth Engange Learning.

West, R. L. & Turner, L. H. 2010. Introducing Communication Theory: Analysis and

Application. Boston: McGraw Hill.

Griffin, E. A. 2011. A First Look at Communication. Boston: McGraw Hill.

https://m.viva.co.id/amp/berita/nasional/679519-anak-anak-yang-meregang-nyawa-

akibat-tayangan-televisi diakses pada 6 Desember 2018.

Anda mungkin juga menyukai