Anda di halaman 1dari 7

UNIVERSITAS INDONESIA

Bingkai Kekerasan Seksual oleh Media, Mengapa Media “Menyuburkan”


Victim Blaming pada Berita Mengenai Kekerasan Seksual?

ESAI REPOSITORI
MATA KULIAH PSIKOLOGI SOSIAL
KELAS PARALEL 2

Disusun oleh:

Farah Naila Azmiya Bariadi


1906394290

FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JUNI 2021
Idealnya media massa merupakan sarana penyampaian pesan yang objektif dan
dapat dipertanggungjawabkan. Media massa mengemas informasi yang terjadi dengan
semenarik mungkin agar masyarakat tertarik untuk membaca atau mencari tahu lebih
lanjut, seperti pada pemberitaan kasus kekerasan seksual yang baru-baru ini sedang
hangat dibicarakan. Analisis framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat
bagaimana media mengkonstruksikan realitas yang juga dipakai untuk melihat bagaimana
peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media. Framing merupakan metode penyajian
realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan
di belokkan secara halus dengan memberikan penonjolan terhadap aspek tertentu, dengan
menggunakan istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan alat
ilustrasi. Dengan kata lain bagaimana realitas dibingkai, dikonstruksi dan dimaknai oleh
media (Nurlutfiyah, 2014). Namun, masih banyak media yang saat memberitakan kasus
kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus kekerasan seksual, tidak berpihak pada
korban. Pemberitaan seringkali mengeksploitasi korban, membuka akses informasi
korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat
berpikir bahwa korban ‘pantas’ menjadi korban kekerasan. Kebiasaan masyarakat yang
cenderung selalu menyalahkan korban dan menutup mata pada pihak yang sesungguhnya
bersalah adalah bentuk nyata dari langgengnya kekerasan seksual terhadap perempuan di
Indonesia (Rahayu & Agustin, 2018). Kekerasan seksual diberitakan dalam media massa
dengan sudut pandang yang menyalahkan korban. Pemberitaan kekerasan terhadap
perempuan yang menyalahkan korban (blaming the victim) mengarah pada sadisme
seksual. Penyebaran informasi kekerasan seksual menjadi vulgar dengan dramatisasi
situasi yang justru menyudutkan korban. Berita dengan judul kontroversial juga banyak
ditulis oleh media sekarang mencerminkan berita yang tidak sensitif terhadap perasaan
korban dan nilai keadilan. Korban pun seringkali dijadikan sebagai korban kembali dalam
pemberitaan (revictimization) (Rahayu & Agustin, 2018).
Stereotip adalah persepsi atau kepercayaan yang dianut mengenai kelompok atau
individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Keyakinan ini
menimbulkan penilaian yang cenderung negatif bahkan merendahkan orang lain
(Saguni, 2014). Gender stereotype berbeda dengan stereotipe yang lain karena sifatnya
lebih preskriptif, yaitu mempercayai bahwa perempuan/laki-laki “seharusnya” memiliki
karakteristik tertentu (Kassin, 2017). Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku
dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan yang diperparah ketika
satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban (Rossy & Wahid, 2016).
Pemberitaan tentang isu yang dipandang melalui stereotip gender cenderung merugikan
perempuan karena terus menerus memproyeksikan peran perempuan berdasarkan
stereotip (Sobur, 2012). Dalam teori mengenai hostile sexism, yaitu perasaan negatif
terhadap kemampuan, nilai, dan tantangan perempuan terhadap kekuatan laki-laki.
Perempuan juga seringkali diobjektifikasi dan dibungkam. Beberapa sosok perempuan
juga dituduh ikut menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan. Dalam studi Helem
tentang laporan kejahatan seksual ditemukan bahwa perempuan memang sering
disalahkan atas tindakan “provokatif” mereka, namun tidak semua korban kejahatan
seksual direpresentasikan dengan cara yang persis sama (Carolyn & Karen, 2006).
Stigmatisasi yang secara persisten menerima stereotip, dianggap menyimpang dan
didevaluasi di masyarakat. Dalam memberitakan kasus yang berhubungan dengan
perempuan, media seringkali menggunakan judul pemberitaan yang sensasional,
berkonotasi negatif, dan menimbulkan kontroversi yang bertujuan meningkatkan
penjualan. Hal ini justru semakin menegaskan posisi perempuan sebagai sosok lemah
dan minoritas di masyarakat (Putri, 2012).

Dilansir pada laman Kompas.com (2021), Kementerian Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sejak 1 Januari hingga 16 Maret
2021, terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak. Jika diperhatikan, cara pemberitaan yang dilakukan dalam
membingkai berita kekerasan seksual condong ke arah menyalahkan korban (victim
blaming) dimana biasanya berita tersebut disuguhkan dengan menyamarkan nama
pelaku. Namun, latar belakang korban diceritakan secara gamblang. Perempuan identik
dengan tindak kekerasan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Hal ini karena perempuan
seringkali dicirikan sebagai sosok yang lemah, tidak berdaya, dan bergantung pada
pihak laki-laki. Gambaran umum media massa ini masih tidak berpihak pada
perempuan. Mayoritas perempuan korban kekerasan digambarkan dengan tidak
seimbang oleh media. Melalui pemilihan kata dan deskripsi atas dirinya, perempuan
cenderung disalahkan atas kejadian yang menimpa mereka. Mereka dianggap sebagai
penyebab dan ikut berperan atas kejadian tersebut dan tidak diberikan kesempatan
berpendapat ataupun memberikan keterangan untuk membela dirinya (Putri, 2012).
Keyakinan budaya kita tentang hal ini membantu melestarikan sikap victim blaming
yang memaklumi pelaku serta memperkuat perbedaan kekuatan dan kekuasaan antar
jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Richmond, 1992).

Fenomena maraknya victim blaming yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia


terkait kasus kekerasan seksual tidak dapat dilepaskan dari faktor budaya patriarki yang
kuat di Indonesia. Patriarki dapat diartikan sebagai sistem pengelompokkan masyarakat
sosial yang mementingkan garis keturunan laki-laki (Sastriyani, 2009). Paham patriarki
berkembang menjadi sebuah cara untuk mendiskriminasi perempuan dengan
menganggap perempuan sebagai pihak yang lebih inferior. Sudut pandang yang
menjunjung tinggi kuasa laki-laki itu sudah terlanjur dianut oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia. Akibatnya, banyak laki-laki yang bertingkah semena-mena dan
perempuan yang tidak sadar akan pemenuhan hak-haknya. Ini diperparah dengan peran
serta media massa dalam menyampaikan pemberitaan terkait isu kekerasan seksual
terhadap perempuan. Alih-alih memakai kacamata Kode Etik Jurnalistik yang
mewajibkan suatu produk jurnalistik agar selalu berimbang dan sesuai fakta
sebenarnya, berita justru mengandung bias gender dan sudut pandang victim blaming
yang semakin memperburuk cara pandang masyarakat. Lebih lanjut, peran media yang
seringkali menggiring opini publik dengan menggunakan pemilihan kata yang seksis
dalam penyampaian berita kekerasan seksual yang menjadikan perempuan sebagai
objek utamanya (Esfand, 2012) bahkan, cenderung menceritakan perempuan dengan
bahasa yang melewati batasan kode etik (Indrasty & Rojudin, 2018). Sehingga, hal
tersebut membentuk sebuah stereotipe yang berkembang mengenai perempuan, dimana
pemberitaan secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir masyarakat mengenai
label yang dilekatkan pada perempuan korban kekerasan. Cara media menuliskan,
menggambarkan, dan mendiskripsikan korban dapat memberikan perubahan bagi pola
pikir pembaca. Intinya, apa yang tertuliskan di dalam media berbanding lurus dengan
pola pikir masyarakat (Putri, 2012).

Media massa memiliki peran yang besar dalam menyebarkan dan menyuburkan
perspektif victim blaming pada kasus kekerasan seksual. Hal tersebut dapat menggiring
opini publik terkait perspektif yang salah mengenai korban. Kentalnya budaya patriarki di
Indonesia memperparah fenomena victim blaming ini. Cara media membingkai informasi
mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak adil dan cenderung
perempuan diobjektifikasi sebagai makhluk yang lemah membentuk gender stereotype
dan stigmatisasi terhadap korban kekerasan seksual. Seharusnya, media dapat
menjunjung tinggi kode etik dalam penyampaian informasi dengan berlaku adil dan
melindungi perempuan sebagai korban kekerasan seksual.
Daftar Pustaka

Byerly, Carolyn M and Karen Ross. (2006). Women and Media, A Critical Introduction.
Australia: Blackwell Publishing.

Esfand, M. (2012). Woman Self and Defense Merdeka dari Rasa Takut. Jakarta: Visi Media

Indrasty, R., Wibawa, D., & Rojudin, R. (2018). Gender dalam kasus kekerasan terhadap
perempuan di media online. Annaba: Jurnal Ilmu Jurnalistik, 1(1), 90-112.

Kassin, S., Fein, S., & Markus, H. R. (2017). Social Psychology (10th Ed.). Cengage Learning.

Kompas. com (2021). Sejak Awal Januari, Kementerian PPPA Catat 426 Kasus Kekerasan
Seksual. Kompas.com.
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/19/17082571/sejak-awal-januari-kementerian-
pppa-catat-426-kasus-kekerasan-seksual.

Najib, F. D. (2020). Blaming The Victim: Objektifikasi Korban Kekerasan Seksual Dalam
Pemberitaan di Media Online Balairungpress. com. Interaksi Online, 8(2), 53-63.

Nurlutfiyah, S. U (2014). Analisis framing media dalam mewacanakan isu kekerasan seksual di


dunia pendidikan pada harian republika edisi 17-24 April 2013 (Bachelor's thesis,
Jakarta: Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah).

Putri, D. M. A. (2012). Blaming The Victim: Representasi Perempuan Korban Pemerkosaan di


Media Massa (Analisis Semiotika dalam Pemberitaan di Koran Suara Merdeka Desember
2011–Februari 2012). Interaksi, 1(1), 1-15.

Rahayu, M., & Agustin, H. (2018). Representasi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Di
Situs Berita Tirto. Id. Jurnal Kajian Jurnalisme, 2(1), 115-134.
Richmond-Abbott, Marie. (1992). Masculine and Feminine: Gender Roles Over The Life Cycle
(2nd ed.). United States of America: Mc-Graw-Hill.

Rossy, A. E., & Wahid, U. (2016). Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media
Online Detik. Com. Jurnal Komunikasi, 7(2), 152-164.

Saguni, F. (2014). Pemberian stereotype gender. Jurnal Musawa IAIN Palu, 6(2), 195-224.

Sastriyani, Siti Hariti. (2009). Gender and Politics. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sobur (2012). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing . Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai