Anda di halaman 1dari 8

PYNESCO 2020

PENDAHULUAN

Beberapa tahun terakhir, dunia dikenalkan dengan sebuah kampanye /


pergerakan bernama #MeToo. #MeToo Movement pertama kali diperkenalkan
oleh aktivis sosial, Tarana Burke pada tahun 2006. Awalnya, Tarana memulai
gerakan tersebut di media sosial, Myspace. Ini merupakan kampanye
pemberdayaan perempuan lewat empati. Hashtag ini diperuntukkan para
perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual di lingkungannya.
Kampanye ini mengajak para korban kejahatan seksual tersebut untuk speak up
dan berani melawannya. Tarana sendiri terinspirasi membuat gerakan tersebut
setelah ia tidak bisa merespon pengakuan anak berusia 13 tahun yang mengalami
perlecehan seksual. Saat itu, Tarana berharap bisa membalas pengakuan tersebut
dengak kata-kata “me too” (Kireina, 2018) Gerakan Me Too adalah fenomena
yang mulai muncul seiring berkembangnya ruang percakapan di dunia maya
untuk membantu korban mengenali pengalaman kekerasan dan pelecahan seksual
yang dialami. Gerakan ini mendorong perempuan untuk bicara tentang
pengalaman kekerasan atau pelecehan seksual yang dialaminya, menuntut
tanggung jawab dari pelaku, dan menyediakan dukungan bagi para penyintas
(Murphy, 2019) Gerakan Me Too berhasil terbukti menginsipirasi banyak korban
kekerasan seksual untuk angkat bicara tentang pengalaman yang pernah mereka
alami. Gerakan ini menciptakan rasa solidaritas antar korban melalui berbagi
pengalaman satu sama lain dan usaha mereka untuk menuntut pelaku.

Dilansir dari website the Shoonet, #MeToo Movement menjadi sorotan


dunia pada 15 Oktober 2017 lalu. Saat itu, aktris Hollywood, Alyssa Milano
mendorong para perempuan untuk menyebarkan hastag #MeToo di Twitter
sebagai bentuk solidaritas untuk korban kekerasan seksual. Dalam satu malam,
postingan Alyssa tersebut mendapat 55.000 balasan dan menempatkan hastgag
#MeToo di peringkat no. 1 trending Twitter. Saat ini, 85 negara juga aktif
mempopulerkan #MeToo Movement. Bahkan, sudah ada 85 juta postingan dengan
hastag tersebut di Twitter dan Facebook.

Ajeng Octavia Insani Harits


PYNESCO 2020

Pelecehan seksual terjadi bukan karena nafsu semata, melainkan adanya


kesempatan dan utamanya adanya pengaruh dan kekuatan salah satu pihak yang
lebih kuat sehingga bisa memaksa para korbannya untuk menerima perlakuan
semacamnya. Dilansir dari situs kompasiana, gerakan #MeToo ini viral karena
gerakan ini diperuntukan untuk semua orang yang pernah mengalami pengalaman
buruk serupa bukan hanya untuk mereka yang memiliki nama terkenal. Sebab
meski banyak orang yang mengakui bahwa kekerasan seksual sering terjadi,
masih ada stigma seputar perempuan yang tetap disalahkan karena mendatangkan
kesempatan. Langkah tepat untuk kedepannya bukan hanya membahas tentang
siapa yang menyerang atau kondisi diam yang akan menjadi hal buruk. Tapi
mengharapkan korban untuk berpartisipasi dalam gerakan seperti ini sangatlah
berbahaya, bagi setiap penyintas yang menjadi korban diserang atau dilecehkan,
setidaknya ada seorang penyerang dan korban dan merekalah yang harus dimintai
pertanggungjawabannya.

Masifnya perkembangan gerakan Me Too dikancah internasional sebagai


kampanye anti kekerasan seksual juga sampai di negara Indonesia, tetapi
ironisnya, gerakan ini kehilangan suaranya dan tidak berkembang seperti di
negara lain. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk menganalisis gerakan #MeToo
yang ada di Indonesia.

Ajeng Octavia Insani Harits


PYNESCO 2020

PEMBAHASAN

Fenomena Me Too di Indonesia dapat ditelusuri jejaknya pada kampanye


#mulaibicara yang di inisiasi oleh Lentera Sintas Indonesia pada tahun 2016.
Akan tetapi, gerakan ini kurang berhasil menimbulkan efek lanjutan dan
mendorong para korban untuk angkat bicara tentang pengalamannya. Pada bagian
ini, peneliti akan mencoba membahas beberapa alasan mengapa Me Too
Movement tidak berkembang pesat di Indonesia. Dilansir dari situs
theconversation.com, gerakan sejenis Me Too di Indonesia juga diinisiasi dalam
bentuk #sayajuga yang diperkenalkan oleh Tunggal Pawestri untuk mendorong
diskusi publik tentang masalah kekerasan seksual di Indonesia, akan tetapi diskusi
ini dirasa masih terbatas dan hanya mampu menjangkau mereka yang melek
teknologi dan berasal dari kalangan menengah ke atas (Kartika, 2019). Padahal
kasus kekerasan seksual di Indonesia cukup marak terjadi. Survey BPS 2017
menunjukkan bahwa satu dari tiga wanita di Indonesia pernah menjadi korban
kekerasan fisik ataupun seksual (Auliani, 2017). Berdasarkan temuan Komnas
Perempuan (2019), terdapat total 2988 kasus kekerasan seksual dalam ranah
privat, 3915 kasus di ranah publik, 1070 kasus di ranah incest, dan 1670 di ranah
personal oleh pacar. Jumlah kasus ini hanya menunjukkan angka orang-orang
yang melaporkan pengalamannya dan belum berhasil mengungkap jumlah orang
yang tidak melapor. Ada beberapa alasan yang dapat di analisis dari fenomena ini
yang pergerakannya di Indonesia tidak se masif di kancah internasional,
khususnya di Amerika Serikat. Pada bagian ini, peneliti akan mencoba membahas
beberapa alasan mengapa Me Too Movement tidak berkembang pesat di
Indonesia.

Budaya Menyalahkan Korban (Victim Blaming)

Di dalam merespons adanya peristiwa atau bahkan tragedi yang terjadi


pada orang lain, seseorang atau masyarakat kerap melakukan victim blaming atau
sikap menyalahkan korban. Ini adalah sebuah respons terhadap sebuah peristiwa
dimana terdapat korban dan pelaku. Seseorang yang melakukan victim blaming

Ajeng Octavia Insani Harits


PYNESCO 2020

berarti memiliki respons yang condong ke menyalahkan korban atas apa yang
terjadi pada dirinya. Orang tersebut tidak menyalahkan si pelaku, bahkan
membenarkan tindakannya. Sikap ini banyak terjadi terutama pada kasus-kasus
seperti pelecehan seksual.

Hal ini pernah ditemui pada kasus pelecehan seksual yang dialami oleh
salah satu aktris Indonesia. Via Vallen mendapatkan Victim Blaming oleh netizen
dan masyarakat sebagai respon utama yang ia dapatkan. Kebanyakan orang justru
mempermasalahkan perilaku, cara berpakaian yang dituduh memancing tindakan
yang dialaminya sampai dengan menunduh Via Vallen hanya mencari sensasi
semata dan membuat dirinya terlihat rendah (Astuti, 2019). Hal ini jelas
memberikan dampak psikologis yang buruk kepada Via Vallen sebagai korban.
Kasus Victim Blaming yang sama juga terjadi pada Baiq Nuril yang dipenjara
karena menyebarkan rekaman bukti pelecahan seksual yang dia alami secara
daring. Seharusnya dapat respon Me Too sebagai bentuk support dan kampanye,
orang-orang yang bicara tentang kasus pelecehan seksual di Indonesia cenderung
rentan di hakimi dan disalahkan sehingga hal ini berpotensi menimbulkan efek
belajar bagi korban yang mengalami hal yang sama. Korban lain mungkin akan
lebih terdorong untuk diam setelah melihat hukuman tambahan yang didapatkan
orang-orang yang bicara tentang masalah kekerasan seksual. Victim Blaming juga
tampak dari cara media yang selalu memojokkan wanita, menekankan pemberian
judul dengan konotasi negatif, dan konten-konten tidak relevan yang tidak
menggambarkan kondisi korban. Alhasil pada tahun 2017, disaat Me Too
berkembang pesat, ada kemungkinan masyarakat di Indonesia justru semakin
takut tuntuk berbicara tentang pengalaman mereka apalagi sampai menuntut
secara hukum setelah melihat apa yang terjadi pada orang- orang yang berbicara
di awal.

Ajeng Octavia Insani Harits


PYNESCO 2020

Budaya Patriarki di Indonesia

Kesamaan negara-negara yang berhasil dengan gerakan Me Too adalah sistem


hukum yang kuat dan dukungan publik dalam melawan kekerasan seksual
(Kartika, 2019). Berbeda di Indonesia, pemerintah dan tokoh agama masih
mendukung budaya patriarki sehingga isu ketidaksetaraan gender masih kental di
Indonesia. Budaya patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat
menyebabkan kesenjangan perlakuan yang tidak adil pada gender yang berbeda.
Dijelaskan lebih lanjut, pada budaya patriarki laki-laki dianggap sebagai
pemegang kontrol dan peran utama di masyarakat sebaliknya perempuan
cenderung kurang dilibatkan dan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior.
Hal ini menimbulkan bahwa asumsi orang yang paling rentan mengalami
kekerasan seksual ada perempuan dan dilakukan laki-laki akan cenderung
dikesampingkan. Laki-laki sebagai pelaku sekaligus pemegang kontrol di
masyarakat akan memiliki dukungan dan pertahanan yang lebih kuat untuk
melindungi diri atau membungkam perempuan yang posisinya lebih inferior.

Hal ini dapat dilihat secara tidak langsung bahwasanya Gerakan Me Too
bertentangan dengan adanya Budaya Patriarki. Sebagai pelaku, laki-laki memiliki
dukungan yang lebih masif dibandingkan dengan korban perempuan yang
meyakini superioritas laki-laki yang juga cenderung akan menyalahkan korban.
Ketika situasi publik tidak mendukung adanya keadilan bagi korban dan bahkan
menjustifikasi perilaku pelaku, maka Me Too yang merupakan gerakan dukungan
yang seharusnya berasal dari masyarakat jelas tidak akan berkembang.

Ajeng Octavia Insani Harits


PYNESCO 2020

Gerakan Me Too di Indonesia

Dari faktor Victim Blaming dan Budaya Patriarki yang menyebabkan


gerakan Me Too kurang berhasil di Indonesia, peneliti menilai bahwa Me Too di
Indonesia masih dalam tahap awal dan memang belum banyak mendapatkan
ruang untuk berkembang selama tiga tahun belakangan ini. Perlu dipahami
bahwasannya tiga tahun belakangan juga merupakan tahun berkembang pesatnya
media sosial di masyarakat. Masifnya perkembangan penggunaan teknologi media
sosial memberikan ruang baru bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan ide
dan gagasannya. Media sosial telah memberikan kekuatan bagi semua orang untuk
mengekspresikan dan mengungkapkan topik-topik yang mungkin dulu sulit untuk
dibicarakan. Dalam hal ini, pembahasan kekerasan seksual masih dalam tahap
awal yang mana mengalami bentrokan dengan budaya patriarki dan victim
blaming di Indonesia. epat atau lambat berkat sirkulasi informasi yang sangat
cepat dan masif di media sosial, masyakarat akan teredukasi terkait permaslahan
kekerasan seksual. Hal ini dukung lagi, oleh munculnya berbagai kelompok
masyarakat yang turut menyuaraan keprihatian terkait isu kekerasan seksual dan
menuntuk perampungan payung hukum RUU Penghapusan kekerasan seksual di
tahun 2020 ini. Hal ini juga bisa menjadi awal ruang atau pemicu bagi korban-
korban lain yang mengalami kasus serupa untuk angkat bicara di lingkungan
sosial.

Ajeng Octavia Insani Harits


PYNESCO 2020

PENUTUP

Gerakan Me Too adalah bentuk budaya baru tentang keberanian dalam


mengekspresikan permasalahan yang mungkin dulu sulit untuk di ungkapkan
secara lansgung. Gerakan ini terlah berhasil menginspirasi banyak orang di
berbagai negara sampai dengan tindakan konkret penanganan masalah kekerasan
seksual. Di Indonesia sendiri, gerakan ini terhambat dengan adanya budaya
patriarki yang memberikan kekuatan bagi pria dan meletakkan wanita pada posisi
yang lemah untuk berani bersuara tentang kejadi yang menimpa mereka sehingga
perkembangannya tidak secepat negara lain. Hal ini dipersulit lagi dengan budaya
victim blaming dan cara media merepresentasikan korban. Gerakan Me Too
membutuhkan waktu untuk berkembang karena bertabrakan dengan budaya
patriarki dan victim blaming. Dalam hal ini, gerakan Me Too juga bisa menjadi
kampanye yang efektif dan mendorong diskusi masif permasalahan kekerasan
seksual di Indonesia.

Ajeng Octavia Insani Harits


PYNESCO 2020

DAFTAR PUSTAKA

Astuti. (2019). victim blaming kasus pelecehan seksual (studi netnografi


pelecehan seksual terhadap via valen di instagram). 5(1), 145-165.

Kartika. (2019). Mengapa Me Too absen di Indonesia.


https://www.matamatapolitik.com/in-depth-mengapa-metoo-absen-di-
indonesia/.

Kireina. (2018). 4 Hal yang harus kamu ketahui tentang Me Too. Jakarta: The
Shonet.

Murphy. (2019). Introduction to Me too movement. Journal of Feminist Therapy,


31(3). 63-65.

Ajeng Octavia Insani Harits

Anda mungkin juga menyukai