Anda di halaman 1dari 3

Anggota Kelompok 8

Aurelia Maharani (200711640020)


Hilda Prisca Rofiunnisa (190221612456)
Huliya Sofariyanti (190431626544)
Intan Oktavia Sari (190431626520)
Manajemen Inovasi B-12

We Fight Together: Website Pencegahan Kekerasan Seksual Bagi Mahasiswa Universitas


Negeri Malang

Latar Belakang
Kasus kekerasan seksual masih menjadi perjuangan masyarakat Indonesia seiring dengan
meningkatnya kasus terlapor dari tahun ke tahun. Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa
saja, di mana dan kapan saja, bahkan dalam keadaan tidak terduga sekalipun. Sebanyak 338.496
kasus kekerasan seksual telah dilaporkan pada tahun 2021 menurut siaran pers yang dikeluarkan
oleh Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2022 (CATAHU). Menurut data CATAHU
2021 dari Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan telah
meningkat secara signifikan selama 10 tahun terakhir (2010-2020), dari 105.103 pada tahun 2010
menjadi 299.911 pada tahun 2020, rata-rata peningkatan tahunan sebesar 19,6%. Hanya pada
2015 dan 2019 angka ini sedikit turun, masing-masing 10,7% dan 22,5%. Meskipun begitu,
angka kasus terlapor yang turun tidak menjamin menurunnya kasus kekerasan seksual di
Indonesia mengingat pendapat para ahli bahwa kasus ini menyerupai iceberg atau gunung es
yang sulit untuk dihancurkan dalam waktu singkat. Kasus kekerasan seksual juga dapat terjadi di
lingkup dunia pendidikan dan di antara berbagai jenjang pendidikan. Sementara itu, perguruan
tinggi menempati posisi teratas (35%) dalam hal terjadinya kasus kekerasan seksual dalam
rentang waktu 2015-2021 (Komnas Perempuan, 2022).
Menurut beberapa penelitian mengenai penyebab kekerasan seksual di Indonesia,
terdapat berbagai faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan seksual. Kondisi psikologis
pelaku merupakan salah satu faktor penyebab kekerasan seksual. Pada kasus kekerasan seksual
dengan laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korbannya, seringkali ditemukan bahwa
pelaku mengaku tidak bisa menahan hasrat seksual yang dimiliki. Lebih lanjut, menurut Michael
Kaufman hal tersebut dapat terjadi karena tiga hal, yaitu adanya kekuasaan patriarki (patriarchy
power), hak istimewa (privilege), dan sikap permisif atau memperbolehkan (permission) yang
digunakan laki-laki untuk menunjukkan kekuasaannya terhadap perempuan. Oleh karena itu,
perilaku impulsif (kontrol diri yang rendah) dan objektifikasi seksual terhadap perempuan
seringkali dilakukan oleh laki-laki untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih superior dari
perempuan. Selain kondisi psikologis pelaku, kurangnya pemahaman mengenai consent atau
persetujuan antara kedua belah pihak dalam melakukan aktivitas seksual juga menjadi faktor
penyebab kekerasan seksual. Hal ini masih berkaitan pula dengan kondisi psikologis pelaku
dimana pelaku merasa berhak atau memiliki wewenang untuk melakukan aksi seksual kepada
korban tanpa adanya persetujuan dari korban. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa
adanya perilaku judgemental serta labelling dari masyarakat terhadap perempuan membuat
korban kekerasan seksual merasa takut untuk bercerita kepada orang terdekat dan melapor
kepada pihak yang berwajib untuk mendapatkan perlindungan (Ikhwantoro dan Sambas, 2018;
Noviani, dkk, 2018). Seringkali, perempuan diberi label sebagai pihak yang mengundang
terjadinya perilaku pelecehan dan kekerasan seksual dengan dalih bentuk tubuh dan jenis pakaian
yang digunakan perempuan saat terjadi aksi pelecehan atau kekerasan seksual. Namun, hasil dari
survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (2019) menunjukkan bahwa pakaian
yang dikenakan para korban meliputi rok panjang dan celana panjang (17,47%), disusul baju
lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab
pendek/sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab
panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau celana ketat
(1,89%). Perempuan berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%). Dari
hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa sejatinya bentuk tubuh atau jenis pakaian korban
tidak bisa dibenarkan sebagai faktor penyebab terjadinya perilaku kekerasan seksual oleh laki-
laki. Namun, perilaku judgemental serta labelling terhadap korban yang perlu untuk dihilangkan
agar kasus-kasus kekerasan seksual tidak semakin marak terjadi karena korban merasa tidak
memiliki ruang aman. Meskipun begitu, butuh proses yang tidak sebentar untuk menghilangkan
stigma negatif dari masyarakat kepada korban kekerasan seksual untuk berani menyuarakan
kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada mereka yang utamanya mengalami kekerasan
seksual di lingkup pendidikan (dalam hal ini perguruan tinggi yang memiliki angka persentase
terbesar).
Untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kekerasan seksual di lingkup perguruan
tinggi, penulis ingin mengambil langkah awal pencegahan kekerasan seksual dengan membuat
website bernama We Fight Together. Website ini bertujuan untuk menjadi ruang aman bagi para
korban kasus kekerasan seksual dalam lingkup Universitas Negeri Malang sehingga korban bisa
mendapatkan penanganan dan perlindungan dari satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual (PPKS) Universitas Negeri Malang. We Fight Together akan digunakan sebagai media
untuk mengkampanyekan hak-hak perlindungan korban, memupuk kesadaran serta kepedulian
civitas Universitas Negeri Malang mengenai kekerasan seksual melalui artikel, esai, maupun
informasi mengenai diadakannya seminar-seminar pencegahan kekerasan seksual oleh satgas
PPKS. Selain itu, di dalam website juga akan dicantumkan hotline atau narahubung yang dapat
dihubungi oleh para korban kekerasan seksual agar segera mendapat bantuan secara fisik dan
psikis. Selain bertujuan untuk mencegah kekerasan seksual dengan meningkatkan kesadaran
pengunjung website, informasi-informasi tersebut diharapkan dapat membantu para korban untuk
segera mendapatkan bantuan dan lepas dari belenggu kekerasan seksual di lingkup perguruan
tinggi.
Daftar Referensi
Ikhwantoro, Danur & Sambas, Nandang. (2018). Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan
Pelecehan Seksual terhadap Perempuan Dewasa yang Terjadi di Kota Bandung
Ditinjau Secara Kriminologis. Prosiding Ilmu Hukum, Vol 4 (2).
Komnas Perempuan. (2022). Peluncuran CATAHU Komnas Perempuan 2022. Diakses pada 08
November 2022, dari
https://komnasperempuan.go.id/kabar-perempuan-detail/peluncuran-catahu-komnas-
perempuan-2022
Noviani, U.Z., dkk. (2018). Mengatasi dan Mencegah Tindak Kekerasan Seksual pada
Perempuan dengan Pelatihan Asertif. Jurnal Penelitian & PPM, Vol 5 (1), 48-55.

CATATAN:
1. Deskripsi dan identifikasi akar masaah masih perlu diperjelas lagi, dan akar masalah yg
mana yg menjadi fokus untuk dipecahkan.
2. Mohon diberi deskripsi nalar logis bahwa akar masalah dapat diatasi dengan ide kreatif, dan
dng terpecahkannya akar masalah tsb pd akhirnya dpt mengatasi masalah.

Anda mungkin juga menyukai