Anda di halaman 1dari 14

UNIVERSITAS iINDONESIA

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

MATA iKULIAH: i
SISTEM ADMINISTRASI KEPOLISIAN

Dosen: i
Dr. YOPIK GANI, M.Si

KIKI TANLIM
NPM i: i2206139062

PROGRAM iSTUDI iKAJIAN iILMU iKEPOLISIAN


SEKOLAH iKAJIAN iSTRATEJIK iDAN iGLOBAL
JAKARTA, i2023
PEMOLISIAN KOLABORATIF DALAM PENANGANAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA (KDRT) DI WILAYAH HUKUM
POLRES TANGERANG SELATAN

Oleh :
KIKI TANLIM/NPM i: i2206139062

Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian,


Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

I. LATAR BELAKANG
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan masalah sosial yang
selalu saja marak terjadi di setiap lapisan masyarakat di berbagai negara, baik itu di
negara maju maupun di negara berkembang. KDRT mencakup beberapa bentuk
kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun
penelantaran keluarga (Susmitha B, 2016). Laporan World Health
Organization/WHO (2013) memperkirakan bahwa 35 persen wanita di seluruh dunia
pernah mengalami kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual dari pasangannya
(Susmitha B, 2016). Pada penelitian Heather Douglas (2019) dikemukakan bahwa
pada tahun 2013 sampai 2014 Kepolisian Quenslaand menangani sekitar 180
perkara KDRT setiap harinya. Selanjutnya pada tahun 2016 hingga 2017,
Kepolisian Quenslaand juga mengeluarkan hampir sekitar 30.000 perintah
perlindungan terhadap korban KDRT, dan ternyata terdapat lebih dari 25.000
pelanggaran terhadap perintah perlindungan korban KDRT tersebut yang kemudian
dilaporkan ke Kepolisian Quenslaand, dimana 85 persen dari pelaku KDRT tersebut
dilakukan oleh laki-laki. Selanjutnya dalam penelitian tersebut juga dikemukakan
bahwa pada tahun 2006 sampai 2007 Kepolisian Victoria melakukan penanganan
terhadap lebih dari 30.000 perkara KDRT dan telah mengajukan tuntutan pada
sekitar 25 persen dari perkara KDRT tersebut.
Penelitian Stella P. Papamichail (2019) menjelaskan bahwa dalam survey
terkait KDRT yang dilakukan di seluruh Eropa pada tahun 2014 yaitu sekitar 13 juta
perempuan telah mengalami bentuk kekerasan fisik dan sekitar 3,7 juta perempuan
telah mengalami kekerasan seksual. Selanjutnya Shih-Ya Kuo, et, al (2021) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa All China Women’s Federation (2011)
mengungkapkan pada tahun 2011 sekitar 25 persen dari wanita yang sudah
menikah di Cina pernah mengalami berbagai macam bentuk KDRT, padahal
perlindungan yang diberikan pemerintah Cina terhadap KDRT melalui
pemberlakukan Undang Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
menangani kekerasan dalam keluarga baru disahkan pada Desember 2015 dan
secara resmi mulai berlaku pada Maret 2016.
Beberapa data terkait fenomena KDRT yang terjadi di berbagai negara baik
negara maju maupun negara berkembang juga dikemukakan dalam penelitian
Muaweh Ahmad Alsaleh (2015), yaitu bahwa di Kanada terdapat 17 sampai 29
persen perempuan telah mengalami pelecehan fisik oleh pasangannya, di Jepang
bentuk kekerasan serupa juga dialami oleh sekitar 59 persen perempuan,
sementara di Jerman terdapat 23 persen perempuan pernah mengalami kekerasan
fisik dan 7 persen perempuan mengalami kekerasan seksual dari pasangannya,
dimana 99 persen pelakunya adalah laki-laki. Di beberapa negara Asia seperti
Karachi, terdapat 34 sampai 49 persen perempuan pernah mengalami kekerasan
fisik yang dilakukan oleh suaminya dan 15 persen perempuan mengalami
pelecehan oleh suaminya bahkan saat hamil, sementara di Kamboja sekitar 16
persen perempuan mengalami pelecehan fisik dan 8 persen diantaranya sampai
mengalami luka fisik. Fenomena KDRT juga marak terjadi di beberapa negara
Timur Tengah seperti di Syiria, dimana 26 persen perempuan telah menjadi korban
kekerasan psikologis, 18 persen perempuan mengalami kekerasan fisik dan 4
persen perempuan mengalami kekerasan seksual.
Dalam beberapa waktu terakhir ini, fenomena KDRT telah mengalami
peningkatan di awal tahun 2020 pada sejumlah negara di tengah-tengah masa
pandemi Covid-19. Menurut Centers For Disease Control (CDC) atau Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, sekitar 1 dari 4 wanita dan 1 dari 10 pria
melaporkan telah mengalami beberapa bentuk kekerasan dari pasangannya setiap
tahun, baik berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan
penguntitan (Brad Boserup, et, al, 2020). Berdasarkan laporan Kepolisian Hubei
bahwa pada Februari 2020 perkara KDRT di Provinsi Hubei, Cina telah meningkat
tiga kali lipat dibandingkan Februari 2019 (Brad Boserup, et, al, 2020). Menurut
United Nation Women, bahwa laporan perkara KDRT di Prancis, Siprus dan
Singapura juga telah meningkat sebanyak 30 persen, sedangkan di Argentina
mengalami peningkatan sebanyak 25 persen, sejak pemerintah masing-masing
negara tersebut memberlakukan lockdown akibat pandemi Covid-19 (Brad Boserup,
et, al, 2020).
Fenomena KDRT yang terjadi di berbagai negara tersebut, juga menjadi
fenomena yang marak terjadi di negara Indonesia. Berdasarkan catatan tahunan
2019 Komisi Nasional Perempuan, bahwa kekerasan terhadap perempuan selalu
meningkat setiap tahunnya dan didominasi pada kekerasan pada ranah personal.
Adapun data kekerasan terhadap perempuan dalam 3 tahun terakhir berdasarkan
catatan akhir tahun 2019 Komisi Nasional Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) yaitu pada tahun 2017 sebanyak 348.446 perkara, tahun
2018 sebanyak 406.178 perkara dan di tahun 2019 terdapat 431.471 perkara.
Selanjutnya berdasarkan hasil Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional
(SHPN) yang dilakukan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak tahun 2016 diketahui bahwa perempuan adalah pihak yang
paling sering menjadi korban KDRT. Beberapa jenis kekerasan yang diterima
perempuan yaitu 42,3% perempuan yang sudah menikah mengalami pembatasan
aktivitas, 24,5% mengalami kekerasan ekonomi, 20,5% mengalami kekerasan
psikis, 12,3% mengalami kekerasan fisik dan 10,6% mengalami kekerasan seksual
(www.kemenppa.go.id,2018).
Salah satu penelitian yang menunjukkan bahwa perkara KDRT merupakan
perkara yang cukup sering terjadi di Indonesia yaitu pada penelitian Dedi Afandi,
dkk (2017) dengan judul Prevalence and pattern of domestic violence at the Center
for Forensic Medical Services in Pekanbaru, Indonesia. Dalam penelitian tersebut,
dikemukakan bahwa KDRT masih marak terjadi di Pekanbaru, Riau. Dalam kurun
waktu antara 2010 sampai 2014 telah terjadi 755 perkara KDRT yang diperiksa di
Rumah Sakit Bhayangkara Pekanbaru, dimana sebagian besar korbannya adalah
perempuan (93,8 persen). Kisaran usia korban yaitu antara 19 sampai 77 tahun,
selanjutnya yaitu bahwa 67 persen korban KDRT merupakan ibu rumah tangga dan
0,9 persen merupakan pembantu rumah tangga. Adapun jenis kekerasan yang
dialami korban yaitu 98 persen mengalami kekerasan fisik dan 76,2 persen
diantaranya mengalami luka memar, dan sekitar 88,5 persen korbannya
melaporkan luka memar tersebut terjadi akibat benda tumpul.
Maraknya perkara KDRT di Indonesia yang korbannya didominasi oleh
perempuan tidak terlepas dari latar belakang yang dapat ditinjau dari berbagai
aspek. Hasil penelitian Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak tahun2016 menjelaskan beberapa faktor mengapa perempuan lebih dominan
menjadi korban yaitu (a) faktor ekonomi dimana dengan tingkat kesejahteraan
keluarga yang semakin rendah akan beresiko lebih tinggi terjadinya KDRT, (b)
faktor sosial budaya yang disebabkan perasaan khawatir berlebih pada perempuan
akan kejahatan yang mengancam dan perempuan yang tinggal di perkotaan juga
lebih beresiko mengalami KDRT dibandingkan yang tinggal di pedesaan.
Terjadinya perkara KDRT juga tidak terlepas dari berbagai faktor yang
melatarbelakanginya sehingga menyebabkan KDRT masih saja terus terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Adat istiadat budaya, praktik keagamaan, perbedaan
peran gender dalam masyarakat, kondisi ekonomi dan politik dapat menjadi hal-hal
yang dapat memulai dan melanggengkan KDRT, walaupun pada akhirnya tetap
saja untuk melakukan kekerasan adalah pilihan yang dibuat oleh masing-masing
individu (Susmitha, B, 2016). Selain itu dalam penelitiannya Susmitha, B (2016)
juga mengemukakan bahwa tekanan pekerjaan, perjudian, masalah keuangan,
penggunaan obat-obatan dan alkohol telah diidentifikasikan sebagai faktor
penyebab tambahan terjadinya KDRT. Faktor penyebab terjadinya KDRT juga
dikemukakan oleh Bosede dan Alokan (2013) dalam Afdal Afdal, et, al (2019) yaitu
sifat kepribadian pelaku seperti pelaku mempunyai sifat kepribadian yang mudah
marah dan melakukan kekerasan. Selanjutnya Jayanti (2009) dalam Afdal Afdal, et
al (2019) menjelaskan bahwa terjadinya KDRT dilatarbelakangi beberapa faktor
yaitu perselingkuhan, masalah ekonomi keluarga, campur tangan pihak ketiga,
budaya patriarki dan perbedaan prinsip.
Upaya penanganan KDRT yang dilakukan oleh Polres Tangerang Selatan
yaitu dapat melalui strategi pemolisian masyarakat. Dalam Peraturan Kapolri Nomor
3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat (Polmas) dijelaskan bahwa strategi
Polmas adalah cara atau kiat untuk mengikutsertakan masyarakat, pemerintah, dan
pemangku kepentingan lainnya dalam melakukan upaya penangkalan,
pencegahan, dan penanggulangan ancaman dan gangguan kamtibmas secara
kemitraan yang setara dengan Polri, mulai dari penentuan kebijakan sampai
dengan implementasinya. Mengacu pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang PKDRT, dalam hal penanganan perkara KDRT yang mencakup
perlindungan dan berbagai bentuk pelayanan terhadap korban, maka juga
dilakukan dengan kerja sama antara kepolisian dengan berbagai pihak seperti
pemerintah dan stakeholder terkait lainnya. Oleh karena itu, dalam menanggapi
fenomena KDRT di Kota Tangerang Selatan yang jumlahnya selalu tinggi setiap
tahunnya serta kompleksnya upaya penanganannya, maka tugas dan tanggung
jawab tersebut tidak bisa jika hanya dibebankan kepada Polres Tangerang Selatan
semata. Sebab adanya keterbatasan para pihak yang terlibat, khususnya dalam
bidang sumber daya seperti SDM, anggaran, sarana prasarana maupun metode.
Keterbatasan sumber daya tersebut membuat penanganan perkara KDRT akan
tidak optimal jika hanya dilakukan oleh Polres Tangerang Selatan saja. Diperlukan
pelibatan multi stakeholder atau kolaborasi antar instansi pemerintah, Polres
Tangerang Selatan, sektor swasta maupun masyarakat yang memiliki
kepentingan yang sama dalam hal penanganan perkara KDRT dan yang dapat
saling melengkapi keterbatasan masing- masing pihak dalam bentuk upaya
collaboratif policing (pemolisian kolaboratif).
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk menganalisa lebih
mendalam tentang bagaimana pelibatan multi stakeholder yang dilakukan oleh
Polres Tangerang Selatan dalam penanganan perkara KDRT di wilayah Kota
Tangerang Selatan yang jumlah perkaranya selalu tinggi setiap tahunnya dan
kompleksnya hal-hal yang menyelimuti perkara KDRT termasuk kompleksnya solusi
pemecahannya.

II. ANALISIS
Provinsi Banten menjadi salah satu provinsi di Indonesia dengan jumlah
perkara KDRT yang cukup tinggi. Selanjutnya diantara 4 kabupaten dan 4
kotamadya yang terdapat di Provinsi Banten, maka Kota Tangerang Selatan
tercatat memiliki angka perkara KDRT yang tertinggi. Berdasarkan data Satuan
Reskrim Polres Tangerang Selatan bahwa dalam beberapa tahun terakhir angka
perkara KDRT yang terjadi di wilayah Kota Tangerang Selatan yaitu pada tahun
2019 terdapat 98 perkara, tahun 2020 sebanyak 77 perkara, tahun 2021 sebanyak
73 perkara dan tahun 2022 terdapat 85 perkara (Sumber: data Satuan Reskrim
Polres Tangerang Selatan, 2022). Sedangkan perkara KDRT yang dilaporkan ke
Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)
pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian
Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Tangerang Selatan (DP3AP2KB) jauh
lebih banyak lagi.
Dari hasil pra penelitian yang dilakukan di Polres Tangerang Selatan dan
DP3AP2KB Kota Tangerang Selatan, maka dapat diketahui bahwa maraknya
perkara KDRT yang terjadi di Kota Tangerang Selatan dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor seperti persoalan ekonomi keluarga, perselingkuhan salah satu
pasangan, banyak perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam sehingga
memicu ketidakharmonisan rumah tangga dan banyaknya pernikahan usia dini
dimana pasangan muda tidak siap menjalani kehidupan berumah tangga sehingga
berujung pada terjadinya KDRT. Fenomena pernikahan dini tersebut seperti yang
dikemukakan oleh Panitera Muda Pengadilan Agama Kota Tangerang Selatan,
bahwa data lima tahun terakhir permohonan dispensasi pernikahan dini di Kota
Tangerang Selatan berada diatas 100 kasus, tahun 2019 ada 173 kasus, tahun
2020 ada 203 kasus dan pada tahun 2021 meningkat tajam menjadi 384 kasus.
Sebagian besar yang mengajukan dispensasi pernikahan dini adalah anak usia 13
sampai 15 tahun dan terlanjur hamil di luar nikah (antaranews.com, 2021).
Sedangkan bentuk kekerasan yang paling sering dialami korban adalah kekerasan
fisik dan penelantaran keluarga. Hal tersebut ternyata sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Kasiati (2012:153) bahwa secara garis besar situasi yang
menyebabkan perempuan lebih dominan menjadi korban KDRT baik dalam bentuk
kekerasan fisik, psikis, seksual dan finansial dapat dipahami dari 4 faktor yaitu
ekonomi lemah, gangguan psikis, gangguan fisik dan belum memahami upaya
hukum yang harus dilakukan.
Dalam hal terjadi perkara KDRT di Kota Tangerang Selatan, maka para
korbannya dapat melaporkan perkaranya kepada dua instansi yang membidanginya
yaitu Unit PPA Polres Tangerang Selatan untuk diproses dengan penegakan
hukum maupun dilaporkan ke UPTD PPA pada DP3AP2KB untuk mendapatkan
pemulihan kondisi, mediasi, bantuan hukum serta pendampingan lainnya yang
diperlukan oleh korban. Terdapat juga beberapa perkara KDRT yang dalam
prosesnya kemudian diselesaikan secara kekeluargaan dikarenakan berbagai
alasan seperti masih cinta pasangannya, tidak tega kepada pasangannya ataupun
karena korban belum mandiri secara ekonomi. Berdasarkan data Satuan Reskrim
Polres Tangerang Selatan, perkara KDRT yang diselesaikan secara kekeluargaan
dalam beberapa tahun terakhir yaitu tahun 2019 sebanyak 35 perkara, tahun 2020
terdapat 29 perkara, tahun 2021 terdapat 31 perkara, sedangkan di tahun 2022
terdapat 22 perkara. Namun, upaya memediasi para pihak juga bukan hal yang
mudah, sebab banyak faktor pemicu KDRT yang perlu dicarikan solusinya,
sehingga seringkali upaya tersebut menemui jalan buntu dan korban bersikeras
melanjutkan proses hukumnya.
Keseriusan pemerintah Indonesia dalam penanganan KDRT dan pemberian
perlindungan kepada korbannya, tampak dengan diberlakukannya Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT). Mengacu pasal 16 Undang Undang tersebut, maka kewajiban kepolisian
adalah memberikan perlindungan pada korban dan melakukan proses penegakan
hukum setelah mengetahui adanya laporan KDRT. Namun, berdasarkan info awal
yang didapatkan dari penyidik Unit PPA Polres Tangerang Selatan ternyata dalam
proses penanganan perkara KDRT tidak semua korban KDRT diberikan
perlindungan dan pendampingan psikologi oleh Polres Tangerang Selatan. Hal
tersebut hanya diberikan kepada korban KDRT yang meminta perlindungan saja.
Polres Tangerang Selatan juga tidak memiliki psikolog untuk melakukan
pendampingan kepada korban, ataupun sarana perlindungan bagi korban KDRT
seperti rumah aman. Fasilitas pendampingan psikologi dan perlindungan korban
justru terdapat di UPTD PPA DP3AP2KB Kota Tangerang Selatan. Padahal dalam
praktiknya, penanganan perkara KDRT jarang melibatkan UPTD PPA DP3AP2KB
Kota Tangerang Selatan. Polres Tangerang Selatan lebih banyak melibatkan UPTD
PPA DP3AP2KB Kota Tangerang Selatan dalam penanganan perkara anak. Hal
tersebut menunjukkan bahwa perlindungan korban KDRT di Polres Tangerang
Selatan belum sepenuhnya terlaksana.
Salah satu isu global adalah berkaitan keamanan bagi kaum rentan yakni
perempuan dan anak. Berkaitan dengan isu tersebut PBB telah mengeluarkan
Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1992 tentang Kekerasan terhadap
perempuan adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu, Convention
On The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) juga
telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita. Dengan melihat hal tersebut menunjukan bahwa keamanan bagi
perempuan dan anak telah menjadi suatu isu global yang perlu mendapat
perhatian. Selain itu, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memberikan perlindungan,
penghormatan, dan pemulihan kekerasan dalam rumah tangga dengan muatan
norma hukum yang bersifat preventif (pencegahan), dan juga bersifat refresif
(penanggulangan) yang melarang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan
sanksi pidana serta sanksi denda terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Namun pada kenyataannya secara sosiologis tidak semua masyarakat memahami
dan mengerti akan norma hukum tersebut. Akibatnya kekerasan dalam rumah
tangga masih tetap terjadi dalam tataran sosiologis. Kekerasan dalam rumah
tangga terjadi akibat kurangnya pemahaman mengenai hak dan kewajiban suami
dan istri, sehingga terjadi ketidaksetaraan kedudukan suami dan istri.
Penanganan perkara KDRT oleh kepolisian memunculkan berbagai dinamika
persoalan yang membuat proses penanganan perkara ini bukan menjadi suatu
proses yang sederhana dan tidak bisa dilakukan oleh kepolisian semata. Stella P.
Papamichail (2019) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa studi awal
setelah adanya kriminalisasi KDRT di Eropa dan Amerika Serikat telah menyoroti
upaya intervensi polisi yang gagal untuk pendekatan holistik. Taktik polisi biasanya
menunda keterlibatan atau menghindari tindakan aktif pada laporan KDRT, karena
keengganan untuk mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan "ruang pribadi"
hubungan antara dua orang dewasa, sementara ada beberapa kali polisi langsung
menyarankan agar pelaku dan korban untuk berdamai. Bahwa dalam 36 persen
perkara KDRT yang dilaporkan di Yunani, petugas polisi mendorong korban untuk
berdamai dengan pelaku dan sangat sering (64 persen) polisi tidak merujuk korban
ke lembaga pendukung korban. Dawson dan Holton, dalam Stella P. Papamichail
(2019) menunjukkan bahwa polisi biasanya menengahi hanya ketika terjadi
serangan fisik yang serius dan adanya ancaman pembunuhan terhadap
perempuan. Sebaliknya, dalam banyak perkara KDRT, korban merasa bahwa
kerjasama mereka dengan aparat kepolisian justru dapat menempatkan mereka
pada risiko yang lebih besar untuk meningkatkan kekerasan terhadap mereka
ketika tindakan pelaku terungkap dan proses penangkapan dimulai. Beberapa hal
yang terus menyelimuti pikiran korban KDRT sehingga takut dan enggan untuk
melapor ke polisi yaitu adanya upaya korban untuk tetap melindungi citra keluarga,
perasaan tidak tega jika pasangannya diproses hukum, proses laporan ke polisi
justru dirasakan membuat mereka stres dan lelah, adanya ketakutan akan reaksi
pelaku dan perasaan ketidak berdayaan pada ekonomi dan tempat tinggal.
Ketika kasus KDRT terjadi maka sejumlah instansi dan layanan harus
diaktifkan seperti Polisi dan Kejaksaan, layanan medis dan forensik, layanan
hukum, pusat konseling, bahkan tempat penampungan untuk menampung para
korban. dan anak-anak mereka (Stella P. Papamichail, 2019). Pada penelitian
Michael Li (2017) yang berjudul Collaborative Governance and Partnerships in
Policing, diungkapkan bahwa pada kemitraan multi lembaga dapat meningkatkan
efisiensi penyediaan layanan tetapi membutuhkan tingkat kewaspadaan dan
koordinasi yang signifikan untuk meminimalkan kemungkinan konflik. Bentuk
kolaborasi antara sektor pemerintah, swasta dan masyarakat dalam
penyelenggaraan kepemerintahan dapat disebut sebagai collaborative governance.
Sink dalam Agus Dwiyanto (2015:253) mengatakan bahwa kerjasama
kolaboratif merupakah sebuah proses yang mana organisasi-organisasi yang
mempunyai suatu kepentingan terhadap suatu masalah tertentu berupaya untuk
menemukan solusi yang disepakati bersama dalam rangka mencapai tujuan yang
tidak dapat dicapai jika organisasi-organisasi tersebut bekerja sendiri. Dalam
kerjasama kolaboratif, setiap pihak diikat dengan kepentingan bersama yang
kemudian melakukan kerja sama untuk menemukan solusi terhadap kepentingan
atau masalah tertentu yang dihadapinya. Dorongan untuk bekerja sama
dikarenakan masing-masing pihak merasa memiliki keterbatasan sehingga masalah
yang dihadapinya akan lebih mudah diselesaikan jika diantara mereka saling
bekerja sama untuk menemukan solusi atas masalah tersebut.
Praktik collaborative governance sendiri telah dilaksanakan di beberapa
kepolisian di dunia dalam penanganan perkara yang salah satunya adalah
penanganan perkara KDRT. Pada penelitian Marianne Natko, et al (2021) yang
berjudul “Intervening in domestic violence: interprofessional collaboration among
social and health care professionals and the police” terdapat kemitraan kolaboratif
diantara kepolisian Finlandia, pekerja sosial profesional dan perawat kesehatan
dalam penanganan perkara KDRT. Temuan penelitiannya yaitu terdapat 4 faktor
utama yang mempengaruhi kolaborasi ketiga profesi tersebut dalam penanganan
KDRT yaitu: (1) penting untuk mengembangkan praktik dan prosedur dengan
berbagi pengetahuan di antara berbagai lembaga dan profesional, (2) ada
kebutuhan untuk memperhatikan poin-poin kritis untuk keberhasilan tindakan dan
untuk menemukan solusi atas masalah bersama, (3) stabilitas struktural atau
institusional dari praktik dan kesinambungan dalam alokasi tugas di antara para
profesional sangat penting, (4) perlu untuk memberikan pendidikan dan memelihara
pelatihan berkelanjutan mengenai praktik yang terkait dengan penanganan dan
pencegahan KDRT.
Pendekatan collaborative governance juga diimplementasikan dalam tugas
pokok Polri sebagaimana pasal 3 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Polri yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Kolaborasi
tersebut dilatar belakangi bahwa penjabaran tugas pokok Polri tidak bisa
dilaksanakan seorang diri oleh Polri, dikarenakan terdapat beberapa keterbatasan
yang membuat pelaksanaan tugas kurang efektif dan efisien jika dilaksanakan
sendiri. Disisi lain kepentingan-kepentingan yang terkandung dalam tugas pokok
Polri ternyata juga ada yang menjadi kepentingan pihak lain, baik itu sektor publik,
sektor swasta maupun masyarakat. Sementara dalam melaksanakan
kepentingannya tersebut, pihak-pihak diluar Polri juga terkendala dengan
keterbatasannya masing-masing. Hal itu sebagaimana yang dikemukakan Kratcoski
(2016:14) yaitu sudah lama diakui oleh administrator kepolisian bahwa pekerjaan
polisi tergantung pada lembaga dan organisasi lain, baik negeri maupun swasta, di
dalam masyarakat. Selain itu, praktik kolaborasi yang dilaksanakan dalam
pelaksanaan tugas polisi juga merupakan salah satu prasyarat dan indikator
keberhasilan community policing atau pemolisian masyarakat yaitu adanya
kerjasama dan dukungan pemerintah dan komponen masyarakat (Farouk
Muhammad, dkk, 2019:135).
Rencana strategis dalam pemolisian kolaboratif guna penanganan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) di wilayah hukum Polres Tangerang Selatan, adalah
sebagai berikut:
1) Optimalisasi kemampuan personel Unit PPA Satreskrim Polres Tangerang
Selatan dalam penanganan korban KDRT maupun pelaku KDRT.
2) Optimalisasi pelaksanaan Pencegahan KDRT di Polsek Jajaran dengan
mengintensifkan peran SPKT dalam penyelesaikan perkara KDRT melalui
restorative justice, sehingga permasalahan KDRT tidak berlanjut ke dalam
hukum pidana.
3) Optimalisasi pelaksanaan pencegahan KDRT dengan Pemkot Tangerang dalam
sosialisasi dan edukasi terkait pencegahan KDRT.
4) Optimalisasi pelaksanaan pencegahan KDRT dengan menjalin kemitraan
bersama Kajari Tangerang dalam sosialisasi hukum tentang Undang-Undang No.
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
5) Optimalisasi pelaksanaan pencegahan KDRT dengan menjalin kemitraan
bersama Tim Penggerak PKK Kota Tangerang yang memiliki peran strategis
dalam berkontribusi menghapus persoalan kekerasan anak dan remaja
diantaranya dengan mendorong Pemeritnah Desa mengalokasikan dana
desanya untuk pencegahan KDRT melalui penambahan media penyuluhan.
6) Optimalisasi pelaksanaan pencegahan KDRT dengan menjalin kemitraan
bersama P2TP2A dalam memberikan pendampingan penyelesaian kasus KDRT,
yang meliputi pelayanan hukum, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat,
kampanye/advokasi dan perubahan kebijakan.
7) Optimalisasi pelaksanaan pencegahan KDRT dengan menjalin kemitraan
bersama BKBPMPP di Kota Tangerang dalam rangka perlindungan hukum,
bantuan kesehatan ingga reintegrasi sosial bagi korban KDRT dengan konsep
Islam, sehingga tercipta keinginan mempertahankan syariat dalam keutuhan
rumah tangga.
8) Optimalisasi pelaksanaan pencegahan KDRT dengan menjalin kemitraan
bersama perguruan tinggi yang ada di Kota Tangerang untuk melaksanakan
sosialisasi dan edukasi pencegahan KDRT.
9) Optimalisasi pelaksanaan pencegahan KDRT dengan Tomas dan Toga agar
bersama-sama mendukung upaya Satreskrim Polres Tangerang Selatan dalam
mencegah KDRT. Kemitraan dengan Tomas dan Toga diharapkan dapat
semakin meningkatkan peran keluarga dalam menanamkan norma budi pekerti
yang baik melalui pembekalan keterampilan dan ketahanan hidup pada anak.
III. Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan pelanggaran hak asasi
manusia dalam lingkup rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga
adalah istri dan anak. Kebanyakan korban rumah tangga tidak berani melakukan
perlawanan atau advokasi secara hukum. Satreskrim Polres Tangerang Selatan
yang memiliki tugas dalam penegakan hukum, sudah seharusnya dapat mengambil
peran aktif dalam pencegahan KDRT melalui pemolisian kolaboratif yang
diwujudkan dalam kemitraan dengan berbagai elemen masyarakat dan stakeholder
terkait, sehingga penyelesaian perkara KDRT melalui hukum pidana dapat
dihindari. Selain itu, terjalinnya sinergitas antara Satreskrim Polres Tangerang
Selatan dengan stakeholder terkait dapat semakin memperkuat tujuan utama dalam
pencegahan KDRT di wilayah hukum Polres Tangerang Selatan.

Daftar Referensi
BUKU
Dahniel, Rycko Amelza, et.al. 2015. Ilmu Kepolisian. Edisi Perdana Dies Natalis ke-
69 STIK-PTIK. Jakarta: PTIK Press.

Junaidi. 2015. Collaborative Governance dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Listrik


di Kota Tanjungpinang. Naskah Publikasi Fisip Umrah

Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep,


Teori, dan Isu. Yogyakarta: Gava Media.

Sedarmayanti. 2003. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung:


Penerbit. Ilham Jaya.

Ulum, M. Chaienul dan Rispa Ngindana. 2017. Environmental Governance Isu,.


Kebijakan, Dan Tata Kelola Lingkungan Hidup. Malang: UB Press.

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo.

JURNAL
Ansell dan Gash. 2007. Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal
of Public Administration Research and Theory. Volume; 543 571.

Ginting, Andro Giovani., Vici Utomo Simatupang, dan Sonya Arini Batubara. 2019.
Restorative Justice Sebagai Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana
Kekerasan dalam Rumah Tangga.Jurnalrectum. VolumeI, Nomor 2, Juli
2019:180-187.
Risa, Faisal. 2022. Pemolisian Kolaboratif pada Penanganan Kasus Bunuh Diri di
Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Impresi Indonesia (JII). Vol.1, No. 9,
September 2022.

PERATURAN PERUNDANGAN
Undang-Undang iRepublik iIndonesia iNomor i8 iTahun i1981 itentang iKUHAP.

Undang-Undang iRepublik iIndonesia iNomor i2 iTahun i2002 itentang iKepolisian


iNegara iRepublik iIndonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Anda mungkin juga menyukai