Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stres dalam Menghadapi UN

1. Pengertian stres dalam menghadapi UN

Setiap manusia pasti pernah mengalami stres, contohnya seorang

siswa mungkin mengalami stres saat hubungan dengan teman sekolahnya

tidak berjalan baik, saat mereka harus menyampaikan hasil belajar pada orang

tua, atau saat ujian akhir akan tiba (Atkinson, dkk, 2000: 336). Stres dapat

terjadi jika individu tidak dapat mengatasi problem yang disebabkan karena

tekanan yang mereka alami. Mereka tidak dapat mengambil tindakan “fight of

flight” (dihadapi atau ditinggalkan) untuk mengurangi tekanan tersebut

(Douglas, dalam Smet, 1994: 106).

Atkinson (dalam Smet, 1994: 106-107) mengatakan bahwa stres

adalah suatu kondisi yang terjadi apabila individu

a. Dihadapkan dengan kejadian yang mereka rasakan sebagai ancaman

terhadap kesejahteraan fisik maupun psikologis

b. Ada ketidakpastian akan kemampuannya untuk menghadapi kejadian

tersebut.

Stres meliputi adanya kejadian, fakta di lingkungan yang dirasakan

oleh individu sebagai ancaman (stresor) dan reaksi individu terhadap stres

tersebut.

8
9

Menurut Helmi (dalam Safaria dan Saputra, 2012: 27) stres memiliki

tiga komponen, yaitu stresor, proses (interaksi), dan respon stres. Stersor

adalah situasi atau stimulus yang megancam kesejahteraan hidup. Respon

stres adalah reaksi yang muncul, sedangkan proses stres merupakan

mekanisme interaktif yang dimulai dari awal datangnya stresor sampai

munculnya respon stres. Melalui pendekatan respon, stres diubungkan dengan

adanya peristiwa yang menekan sehingga seseorang dalam keadaan tidak

beradaya akan menimbulkan dampak negatif, misalnya pusing, tekanan darah

tinggi, mudah marah, sedih, sulit berkonsentrasi, nafsu makan bertambah,

sulit tidur, meupun merokok terus. Stres dalam hal ini digambarkan sebagai

kekuatan yang menimbulkan tekanan-tekanan dalam diri, stres dalam

pendekatan ini muncul jika tekanan yang dihadapi melebihi batas optimum.

Pendekatan ketiga adalah pendekatan interasioksis yang menitikberatkan

definisi stres dengan adanya transaksi antara tekanan dari luar dengan

karakteristik individu, yang menenyukana apakah tekanan tersebut

menimbulkan stres atau tidak.

Nevid, dkk (2003: 135) menyatakan bahwa dalam Psikologi, stres

digunakan untuk menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami

individu atau organisme agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri. Pendapat

lain dari Colnninger (dalam Safaria dan Saputra, 2012: 28) mengemukakan

bahwa stres adalah keadaan yang membuat tegang yang terjadi ketika

seseorang mendapatkan masalah atau tantangan dan belum mempunyai jalan


10

keluarnya atau banyak pikiran yang menggangu seseorang terhadap sesuatu

yang akan dilakukan.

Santrock (2003: 557) menyatakan bahwa stres adalah respon individu

terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor) yang mengancam

dan menggangu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping). Niven

(2000: 121) mendefinisikan stres sebagai label untuk gejala psikologis yang

mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan banyak keadaan

lainnya. Chaplin (2011: 488) mengartikan stres sebagai suatu keadaan

tertekan, baik secara fisik maupun psikologis. Stres juga dapat diartikan

sebagai memberikan tekanan atau ketegangan dalam cara berbicara atau cara

menulis.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh di atas diketahui bahwa

stres adalah suatu kondisi dimana individu mengalami tekanan atau tuntutan

dan merasa tidak bisa mengatasinya.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 2015, tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik,

Penyelenggaraan Ujian Nasional, dan Penyelenggaraan Ujian

Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan pada SMP/MTs atau yang sederajat

dan SMA/MA/SMK atau yang sederajat Bab I Pasal 1 (5) menyatakan bahwa

Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan

penilaian pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran

tertentu.
11

Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil simpulan bahwa stres

dalam menghadapi UN adalah suatu kondisi dimana siswa mengalami tekanan

atau tuntutan akibat standar pengukuran dan penilaian pencapaian kompetensi

lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu.

2. Gejala-gejala stres

Seseorang yang mengalami stres menunjukkan reaksi-reaksi tertentu.

Atkinson, dkk (2000: 349-359) menyatakan reaksi-reaksi sebagai bentuk dari

gejala stres, antara lain:

a. Reaksi psikologis terhadap stres

1). Kecemasan

Respon yang paling umum terhadap suatu stresor adalah kecemasan.

Kita mengartikan kecemasan sebagai emosi tidak menyenangkan yang

ditandai oleh istilah seperti kuatir, prihatin, tegang, dan takut yang

dialami oleh semua manusia dengan derajat yang berbeda-beda.

2). Kemarahan dan agresi

Respon umum lain terhadap situasi stres adalah kemarahan yang

mungkin dapat menyebabkan agresi.

3). Apati dan depresi

Jika kondisi stres terus berjalan dan individu tidak berhasil

mengatasinya, apati (ketidakberdayaan) dapat memberat menjadi

depresi. Peristiwa yang tidak mengenakkan dan tidak dapat

dikendalikan dapat menyebabkan apati dan depresi sebagai perwujudan

dari stres.
12

4). Gangguan kognitif

Individu yang mengalami stres seringkali menunjukkan gangguan

kognitif yang cukup berat jika dihadapkan dengan stresor yang serius.

Individu sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran mereka

secara logis. Sebagai akibatnya, kemampuan individu melakukan

pekerjaan, terutama pekerjaan yang kompleks cenderung memburuk.

b. Reaksi fisiologis terhadap stres

Stres yang melanda individu dapat menyebabkan terjadinya penyakit yang

dapat melemahkan kondisi fisik individu.

Munandar (2006: 379) menyatakan bahwa tanda-tanda atau gejala-

gejala stres, antara lain:

a. Tanda-tanda suasana hati (mood)

1) Individu menjadi over excited

2) Cemas

3) Merasa tidak pasti

4) Sulit tidur pada malam hari (somnabulisme)

5) Menjadi mudah bingung dan lupa

6) Menjadi sangat tidak enak (uncomfortable) dan gelisah (ill at

ease)

b. Tanda-tanda otot kerangka (musculoskeletal)

1) Jari-jari tangan gemetar

2) Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat

3) Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)


13

4) Kepala mulai sakit

5) Merasa otot menjadi tegang atau kaku

6) Menggagap jika berbicara

7) Leher menjadi kaku

c. Tanda-tanda organ-organ dalam badan (visceral)

1) Perut terganggu

2) Merasa jantung berdebar

3) Banyak berkeringat

4) Tangan berkeringat

5) Merasa kepala ringan atau akan pingsan

6) Mengalami kedinginan (cold chills)

7) Wajah menjadi panas

8) Mulut menjadi kering

9) Mendengar bunyi berdering dalam kuping

10) Mengalami rasa akan tenggelam dalam perut (sinking feeling)

Anoraga (2006: 110) mendefinisikan ada tiga gejala stres, yaitu:

a. Gejala fisik, diantaranya seperti sakit kepala, sakit maag,

dada sakit, rasa tersumbat di kerongkongan, nafsu makan menurun, mual,

dan bahkan muntah.

b. Gejala emosional, seperti pelupa, sulit konsentrasi, sukar

mengambil keputusan, cemas, was-was, khawatir, mudah marah, mudah

menangis, dan putus asa.


14

c. Gejala sosial, seperti semakin banyak merokok, minum

atau makan, menarik diri dari pergaulan sosial, dan mudah bertengkar.

Penulis akan menggunakan pendapat yang diutarakan oleh Anoraga

(2006: 110) bahwa gejala-gejala stres terdiri atas gejala fisik, emosional, dan

sosial. Selanjutnya gejala-gejala tersebut akan digunakan dalam penyusunan

alat ukur untuk mengungkap stres dalam menghadapi stres UN pada siswa

SMK Palebon Semarang.

3. Faktor-faktor yang memengaruhi stres

Niven (2000: 135) menyatakan bahwa kebanyakan ahli psikologi

setuju bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting dalam manajemen

stres. Lebih lanjut dijelaskan oleh Wiramihardja (2005: 48-49) menyatakan

bahwa terdapat tiga faktor predisposisi (pengarah) terjadinya stres, yaitu:

a. Hakekat atau sumber ketegangan (stres)

Stres biasanya meningkat pada saat kebutuhan untuk memenuhinya

menjadi lebih dekat.

b. Persepsi dan toleransi terhadap stres

Sumber stres yang dipersepsi sebagai sesuatu yang membahayakan atau

sangat penting, atau kejadian itu tidak dapat ditoleransikan, maka

ketegangan yang diakibatkannya akan sangat besar.

c. Sumber daya eksternal dan dukungan sosial

Sumber daya eksternal dan dukungan sosial memiliki peran penting

terjadinya stres. Dukungan sosial dianggap penting dalam situasi


15

kesukaran atau masalah-masalah lain yang sejalan dengan perkembangan

kehidupan.

Nevid, dkk (2003: 144-160) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

memengaruhi stres, antara lain:

a. Cara coping stres

Berpura-pura seakan masalah tidak ada atau tidak terjadi merupakan suatu

bentuk penyangkalan. Penyangkalan merupakan suatu contoh coping yang

berfokus pada emosi (emotion focused coping). Pada coping yang berfokus

pada emosi, individu berusaha segera mengurangi dampak stressor dengan

menyangkal adanya stressor atau menarik diri dari situasi. Namun, coping

yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan stressor atau tidak juga

membantu individu dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk

mengatur stressor.

b. Harapan akan self-efficacy

Apabila kepercayaan diri atau self-efficacy untuk mengatasi masalah ini

meningkat, maka tingkat hormon stres menurun.

c. Ketahanan psikologis

Ketahanan psikologis atau sekumpulan trait individu yang dapat

membantu dalam mengelola stres yang dialami.

d. Optimisme

Optimisme berhubungan dengan mood yang lebih baik dan respon sistem

kekebalan tubuh yang lebih baik.

e. Dukungan sosial
16

Peran dukungan sosial sebagai penahan munculnya stres telah dibuktikan

kebenarannya. Dengan adanya orang-orang di sekitar akan membantu

orang tersebut menemukan alternatif cara coping dalam menghadapi

stressor atau sekedar memberi dukungan emosional yang dibutuhkan

selama masa-masa sulit.

f. Identitas etnik

Kebanggaan terhadap identitias ras atau identitas etnik dapat membantu

individu menghadapi stres yang disebabkan rasisme dan toleransi.

g. Pola tingkah laku tipe A

Pola tingkah laku tipe A merupakan suatu gaya tingkah laku seseorang

yang menunjukkan ciri-ciri seperti berkemauan keras, ambisius, tidak

sabaran, dan kompetitif tinggi, berhubungan dengan risiko yang lebih

tinggi untuk mengalami CHD (Coronary Heart Disease).

h. Lingkungan sosial

Stres lingkungan sosial juga meningkatkan risiko terjadinya CHD

(Coronary Heart Disease) dan menyebabkan terjadinya stres.

Menurut Smet (1994: 130-131 ) faktor-faktor yang memengaruhi stres

ada lima, yaitu:

a. Variabel dalam kondisi individu: umur, tahapan kehidupan,

jenis kelamin, temperamen, faktor-faktor genetik, intelegensi, pendidikan,

suku kebudayaan, status ekonomi, kondisi fisik, sistem berpikir.


17

b. Karakteristik kepribadian: introvert, ekstrovert, stabilitas

ekonomi secara umum, kepribadian, locus of control, kekebalan, dan

ketahanan.

c. Faktor sosial kognitif: dukungan sosial yang diterima

integrasi dalam jaringan sosial

d. Coping strategy, sebagai rangkaian respon yang

melibatkan unsur-unsur pemikiran untuk mengatasi permasalahan sehari-

hari dan stressor yang menyangkut tuntutan dan ancaman yang berasal

dari lingkungan.

e. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang

diterima, integrasi dalam jaringan sosial.

Santrock (2003: 560-564) menyatakan bahwa terdapat beberapa

faktor yang menyebabkan terjadinya stres, yaitu:

a. Faktor-faktor lingkungan

Banyak faktor, baik besar maupun kecil yang dapat menghasilkan stres

dalam kehidupan remaja. Kejadian sehari-hari seperti tugas-tugas sekolah

dan pekerjaan yang berlebihan, merasa frustrasi karena kondisi keluarga

yang tidak menyenangkan atau hidup dalam kemiskinan juga dapat

menghasilkan stres.

b. Faktor-faktor kepribadian – Pola tingkah laku tipe A

Pola tingkah laku tipe A dengan karakteristik rasa kompetitif yang

berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah, dan sikap

bermusuhan memiliki reaksi fisiologis yang kuat terhadap stres.


18

c. Faktor-faktor kognitif

Pengalaman stres remaja adalah keseimbangan antara penilaian primer dan

sekunder. Ketika bahaya dan ancaman tinggi, sementara tantangan dan

sumber daya yang dimiliki rendah, stres cenderung akan menjadi berat.

Bila bahaya dan ancaman rendah, dan tantangan serta sumber daya yang

dimiliki tinggi, maka stres akan cenderung menjadi ringan atau sedang.

d. Faktor-faktor sosial-budaya

Beberapa di antara faktor-faktor sosial-budaya yang menyebabkan stres

adalah stres akulturatif dan status sosial ekonomi.

1) Stres akulturatif

Akulturasi (acculturation) mengacu pada perubahan kebudayaan yang

merupakan akibat dari kontak langsung yang sifatnya terus menerus

antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda. Stres akulturatif

(acculturative) adalah konsekuensi negatif dari akulturasi. Anggota

kelompok etnis minoritas sepanjang sejarah telah mengalami sikap

bermusuhan, prasangka, dan ketiadaan dukungan yang efektif selama

krisis, menyebabkan pengucilan, isolasi sosial, dan meningkatnya stres.

2) Status sosial ekonomi

Kemiskinan menyebabkan stres yang amat berat bagi remaja dan

keluarganya. Kondisi kehidupan yang kronis, seperti pemukiman yang

tidak memadai, lingkungan yang berbahaya, tanggung jawab yang

berat, dan ketidakpastian keadaan ekonomi merupakan pemicu stres

yang kuat dalam kehidupan warga yang miskin.


19

Desmita (2014: 293) menyatakan bahwa terdapat beberapa stressor,

antara lain:

a. Physical Demands (Tuntutan Fisik)

Physical demands maksudnya adalah stres siswa yang bersumber dari

lingkungan fisik sekolah, meliputi keadaan iklim ruangan kelas,

pencahayaan dan penerangan, perlengkapan sarana dan prasarana

penunjang kegiatan belajar mengajar, kebersihan dan kesehatan

lingkungan sekolah, keamanan dan penjagaan dilingkungan sekolah, dan

sebagainya.

b. Task Demands (Tuntutan Tugas)

Tuntutan tugas di artikan sebagai tugas-tugas pelajaran yang harus

dihadapi dan dikerjakan oleh peserta didik yang dapat menimbulkan

perasaan tertekan atau stres. Di antaranya tugas-tugas yang dikerjakan

dirumah dan disekolah, mengikuti pelajaran, menghadapi ulangan atau

ujian.

c. Role Demands (Tuntutan Peran)

Tuntutan peran yang berhubungan dengan peran siswa disekolah, peran

yang mempertemukan seseorang dengan lingkungan sosialnya. Tuntutan

peran berkaitan dengan harapan tingkah laku dari pihak sekolah serta

orangtua kepada siswa seperti harapan memiliki nilai yang

bagus,mempertahankan nama baik dan keungggulan sekolah, memiliki

motivasi belajar yang tinggi.

d. Interpersonal Demands (Tuntutan Interpersonal)


20

Di sekolah siswa diharapkan dapat melakukan hubugan yang baik dengan

oranglain. Karena sebagian besar waktunya dihabiskan bersama orang-

orang diluar lingkungan keluarga, seperti dengan teman-teman sebaya dan

guru-guru serta orang-orang yang berada dilingkungan sekolah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang memengaruhi stres adalah faktor internal, meliputi variabel dalam

kondisi individu, karakteristik kepribadian, coping strategy, faktor kognitif,

tuntutan tugas dan faktor eksternal yang meliputi faktor sosial kognitif,

dukungan sosial yang diterima, hubungan dengan lingkungan sosial, faktor

lingkungan, faktor sosial budaya (stres akultruratif dan status sosial ekonomi),

tuntutan fisik (stres yang bersumber dari lingkungan fisik sekolah), identitas

etnik dan dukungan sosial. Faktor eksternal salah satunya adalah dukungan

sosial. Penelitian ini menggunakan variabel dari salah satu faktor yang

memengaruhi stres yaitu dukungan sosial.

B. Dukungan Sosial

1. Definisi Dukungan Sosial

Dukungan sosial menurut Gotlieb (Smet, 1994 : 135) terdiri dari

informasi atau nasihat verbal dan/atau non verbal, bantuan nyata, atau

tindakan yang diberikan oleh keakaraban sosial atau didapat karena kehadiran

mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi penerima.

Menurut Sarafino (Smet, 1994: 136) dukungan sosial mengacu pada

kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian, atau membantu


21

orang menerima dari orang atau kelompok lain. Coyne dan Lazarus (dalam

Niven, 2000: 137) menyatakan bahwa dukungan sosial atau jaringan sosial

adalah jumlah orang yang terlibat dan sifat perasaan-perasaan dan pemikiran

individu tentang bagaimana membantu hubungan diantara mereka.

Kulik & Mahler mengemukakan bahwa dukungan sosial adalah

jaringan teman, anggota keluarga, tetangga, rekan kerja, dan lain-lain yang

dapat menawarkan bantuan kepada orang yang membutuhkan. Bantuan yang

dapat melepas bentuk saran, dukungan keuangan, informasi, dukungan

emosional, cinta dan kasih sayang, atau persahabatan. Penelitian secara

konsisten menunjukkan bahwa memiliki sistem dukungan sosial yang baik

adalah sangat penting dalam kemampuan orang untuk mengatasi sumber stres

(Ciccarelli dan Meyer, 2006: 429).

Menurut Desmita (2005: 219) teman sebaya memiliki sejumlah peran

penting dalam perkembangan dan sosial remaja. Selain itu teman sebaya juga

memberikan dukungan sosial dan emosional yang sangat dibutuhkan para

remaja. Selama masa anak-anak menganggap teman-teman sebayanya

sebagai sumber hiburan, namun seiring pertambahan usia mereka mendapati

teman-teman mereka sebagai sumber rasa nyaman dan aman dalam suatu

kelompok. Menurut Offer dan Church (dalam Papalia, dkk, 2009: 87)

menyatakan bahwa remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman

sebaya dan lebih sedikit dengan keluarga. Akan tetapi, sebagian besar nilai-

nilai dasar remaja tetap lebih dekat dengan nilai-nilai orang tua mereka

dibandingkan dengan yang secara umum disadari. Remaja mulai belajar


22

mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang dan

berusaha memperoleh kebebasan emosional dan menggabungkan diri dengan

teman sebayanya (Desmita, 2005: 145).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

dukungan sosial adalah informasi atau nasihat verbal dan / atau non verbal,

bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh orang lain dan mempunyai

manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.

2. Jenis-jenis dukungan sosial

Jacobson (Nursalam dan Kurniawati, 2002: 30) menyatakan bahwa

jenis dukungan sosial, yaitu :

a. Emotional support, meliputi perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan

diperhatikan.

b. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan, dan nasihat.

c. Materials support, meliputi bantuan/pelayanan berupa sesuatu barang

dalam mengatasi suatu masalah.

Jenis dukungan sosial menurut House (dalam Smet, 1994: 136-137),

antara lain:

a. Dukungan emosional

Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap individu

yang bersangkutan serta memberikan rasa aman, rasa saling memiliki dan

rasa dicintai.

b. Dukungan penghargaan
23

Terjadi lewat ungkapan hormat atau penghargaan yang positif bagi

individu, dorongan untuk maju atau gagasan perasaan individu dan

perbandingan individu tersebut dengan individu yang lain yang kurang

mampu atau lebih buruk keadaannya atau menambah penghargaan diri.

c. Dukungan instrumental

Mencakup bantuan langsung sesuai dengan yang dibutuhkan oleh

seseorang, seperti kalau orang-orang memberi pinjaman uang kepada

orang itu atau menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stres.

d. Dukungan informatif

Mencakup memberi nasehat, petunjuk atau saran-saran, dan umpan balik.

Cohen dan McKay (dalam Niven, 2000: 137) menyatakan bahwa

dukungan sosial dapat diukur dengan melihat tiga elemen, yaitu:

a. Dukungan nyata

Meskipun sebenarnya setiap orang dengan sumber-sumber yang tercukupi

dapat memberi dukungan dalam bentuk uang dan perhatian, dukungan

nyata merupakan paling efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat.

b. Dukungan pengharapan

Dukungan sosial dapat juga meningkatkan strategi koping individu dengan

menyarankan strategi-strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman

sebelumnya dan dengan mengajak orang-orang berfokus pada aspek-aspek

yang lebih positif dari situasi tersebut.


24

c. Dukungan emosional

Dukungan emosional dapat menggantikan atau menguatkan perasaan-

perasaan dimiliki dan dicintai.

Berdasarkan pendapat kedua ahli di atas maka dapat disimpulkan

bahwa dimensi dukungan sosial meliputi dukungan emosional, dukungan

penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif.

C. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Stres dalam Menghadapi

Stres UN pada Siswa SMK Palebon Semarang

Setiap manusia pasti pernah mengalami stres, contohnya seorang siswa

mungkin mengalami stres saat hubungan dengan teman sekolahnya tidak

berjalan baik, saat mereka harus menyampaikan hasil belajar pada orang tua,

atau saat ujian akhir akan tiba (Atkinson, 2000 : 336). Stres dapat terjadi jika

individu tidak dapat mengatasi problem yang disebabkan karena tekanan yang

mereka alami (Douglas dalam Smet, 1994 : 106). Atkinson (Smet, 1994 : 106-

107) mengatakan bahwa seseorang dikatakan mengalami stres apabila adanya

kejadian, fakta di lingkungan yang dirasakan oleh individu sebagai ancaman

(stresor) dan reaksi individu terhadap stresor tersebut. Wiramihardja (2005:

48-49) menyatakan bahwa stres dipengaruhi oleh faktor dukungan sosial.

Dukungan sosial dapat membuat stresor tampak kurang mengancam

karena orang dengan dukungan sosial tahu bahwaada bantuan yang

tersedia.Adanya orang-orang yang diajak bicara tentang masalah seseorang

mengurangi gejala fisik dari stres, berbicara tentang peristiwa menakutkan


25

atau frustrasi dengan orang lain dapat membantu orang berpikir lebih realistis

tentang ancaman dan berbicara dengan orang-orang yang memiliki

pengalaman yang sama dapat membantu menempatkan perspektif baru

(Ciccarelli dan Meyer, 2006 :430). Seringkali strategi individual tidaklah

cukup, dan perlu bagi individu untuk mendapatkan dukungan sosial dari orang

lain yang berada dalam lingkaran keluarga, teman, tetangga, rekan kerja.

Kelompok dukungan tersebut dapat membantu individu menilai suatu

masalah dan merencanakan hal-hal yang dapat individu lakukan untuk

mengatasi masalahnya.

Sarafino (dalam Smet, 1994: 136) menyatakan bahwa dukungan sosial

mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian,

atau membantu orang menerima dari orang-orang atau kelompok-kelompok

lain. Setiap dukungan yang diterima siswa dapat meringankan tekanan yang

muncul akibat menghadapi UN, sehingga siswa dapat semakin menunjukkan

kesiapan dalam menghadapi UN dan dapat terhindar dari stres yang dapat

merugikan dirinya sendiri.

Hasil penelitian tentang hubungan stres dengan dukungan sosial yang

dilakukan oleh Andharini dan Nurwidawati (2015: 3) menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan stres pada

siswa akselerasi. Penelitian lain yang dilakukan Syarif (2015: 109) juga

menunjukkan bahwa dukungan sosial secara empirik mempunyai hubungan

negatif yang signifikan dengan stres menghadapi ujian nasional. Semakin

tinggi dukungan sosial maka semakin rendah stres menghadapi ujian nasional,
26

sebaliknya semakin rendah dukungan sosial maka akan semakin tinggi stres

yang dialami siswa dalam menghadapi ujian nasional. Tersedianya dukungan

sosial akan memberikan pengalaman pada individu bahwa dirinya dicintai,

dihargai, dan diperhatikan. Dukungan sosial yang diterima oleh siswa yang

sedang menghadapi UN akan menjadikan siswa merasakan adanya perhatian

ataupun bantuan langsung yang berguna bagi kesiapannya dalam menghadapi

UN. Dukungan sosial yang diterima siswa SMK Palebon Semarang akan

semakin menjadikan siswa terhindar dari stres UN.

D. Hipotesis

Ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan stres dalam

menghadapi stres UN pada siswa SMK Palebon Semarang. Semakin tinggi

dukungan sosial, maka semakin rendah stres dalam menghadapi stres UN

pada siswa SMK Palebon Semarang, begitu pula sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai