Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Stres

1.1. Defenisi Stres

Stres merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman atau tuntutan

non-spesifik yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual

manusia. Stres pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia

dalam melakukan tindakan. Perasaan stres terhadap situasi atau kondisi

lingkungan ditempat kerja dapat diekspresikan sebagai: sikap yang pesimis,

tidak puas, produktivitas rendah, dan sering absen (National Safety Council,

2003 ; Potter & Perry, 2005).

Imogene King dalam Asmadi (2008) mengatakan bahwa stres adalah

suatu keadaan yang dinamis yang berlangsung setiap kali manusia berinteraksi

dengan lingkungan yang bertujuan memelihara keseimbangan pertumbuhan,

perkembangan dan perbuatan yang meliputi pertukaran energi dan informasi

antara individu dan lingkungannya guna mengatur stresor.

1.2. Sumber Stres

Sumber stres merupakan asal penyebab suatu stres yang dapat

mempengaruhi sifat stresor seperti individu, keluarga, dan lingkungan.

Sumber stres yang berasal dari dalam diri individu umumnya dikarenakan

konflik yang terjadi antara keinginan dan kenyataan berbeda, dalam hal ini

9
10

adalah berbagai permasalahan yang terjadi yang tidak sesuai dengan dirinya

dan tidak mampu diatasi maka dapat menimbulkan stres. Sumber stres dari

masalah keluarga ditandai dengan adanya perselisihan masalah keluarga,

masalah keuangan serta adanya tujuan yang berbeda diantara keluarga.

Permasalahan ini akan selalu menimbulkan keadaan yang dinamakan stres

begitu juga dengan sumber stres dalam masyarakat dan lingkungan umumnya,

yang dapat dilihat dari hubungan pekerjaan yang secara umum disebut

dengan stres pekerja karena lingkungan fisik, hubungan interpersonal serta

kurang adanya pengakuan di masyarakat sehingga tidak dapat berkembang

(Hidayat, 2007).

1.3. Tahapan Stres

Stres yang dialami seseorang dapat melalui beberapa tahapan. Menurut

van Amberg (1979), tahapan stres dapat dibagi menjadi enam tahap. Tahap

pertama merupakan tahapan yang ringan dari stres yang ditandai dengan

adanya semangat bekerja keras, penglihatannya tajam tidak sebagaimana

biasanya, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya,

kemudia n merasa senang akan pekerjaan akan tetapi kemampuan yang

dimilikinya semakin berkurang. Tahap kedua, pada stres tahap kedua ini

seseorang memiliki ciri-ciri adanya perasaan letih sewaktu bangun pagi yang

semestinya segar, terasa lelah sesudah makan siang, cepat lelah menjelang

sore, sering mengeluh lambung, denyut jantung berdebar-debar lebih keras


11

dari biasanya, otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa

santai.

Tahap ketiga, pada tahap ini seseorang memiliki ciri-ciri adanya

gangguan lambung dan usus seperti buang air besar tidak teratur, ketegangan

otot semakin terasa, perasaan tidak senang, gangguan pola tidur seperti sukar

untuk memulai waktu tidur, terbangun tengah malam, lemah dan terasa seperti

tidak memiliki tena ga. Tahap keempat, pada tahap ini seseorang akan

mengalami gejala seperti segala pekerjaan yang menyenangkan terasa

membosankan, semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan

kemampuan untuk merespon secara adekuat, tidak mampu melaksanakan

kegiatan sehari- hari, adanya gangguan pola tidur, sering menolak ajakan

karena tidak bergairah, daya konsentrasi dan daya ingat menurun, dan adanya

rasa ketakutan dan kecemasan yang tidak diketahui penyebabnya.

Tahap kelima, stres tahap ini ditandai dengan adanya kelelahan fisik

secara mendalam, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ringan dan

sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat dan perasaan

ketakutan dan kecemasan semakin meningkat. Tahap keena m, tahap ini

merupakan tahap puncak dan seseorang mengalami panik dan perasaan takut

mati dengan ditemukannya gejala seperti detak jantung semakin keras susah

bernafas, terasa gemetar dan seluruh tubuh berkeringat, serta kemungkinan

terjadi pingsan (Hidayat, 2007).


12

1.4. Tingkatan Stres

Potter & Perry (2005) membagi tingkatan stres menjadi tiga situasi

yaitu situasi stres ringan, situasi stres sedang dan situasi stres berat. Situasi

stres ringan merupakan stresor yang dihadapi setiap orang secara teratur

seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan, stres ini

berlangsung beberapa menit atau jam.

Sementara situasi stres sedang, berlangsung lebih lama, dari beberapa

jam sampai beberapa hari, misalnya perselisihan yang tidak terselesaikan

dengan rekan kerja, anak yang sakit atau ketidakhadiran yang lama dari

anggota keluarga, sedangkan situasi stres berat, merupakan situasi kronis yang

dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti

perselisihan perkawinan terus- menerus, kesulitan finansial yang

berkepanjangan.

1.5. Tanda-tanda stres

Agoes, dkk (2003) menjelaskan bahwa ada beberapa tanda atau gejala

yang dapat menunjukkan ada tidaknya seseorang sudah atau belum terkena

stres. Tanda-tanda stres pada umumnya dapat dilihat melalui perasaan,

pikiran, perilaku, tubuh. Pada perasaan, tanda atau gejala yang dapat dilihat

meliputi merasa khawatir, cemas, gelisah, merasa ketakutan, mudah marah,

merasa suka murung, dan merasa tidak dapat menanggulanginya.

Tanda-tanda pada pikiran, hal ini meliputi penghargaan atas dirinya

yang rendah, takut gagal, tidak mampu berkonsentrasi, mudah lupa, cemas
13

akan masa depannya, emosi dan tidak stabil. Pada perilaku, hal ini meliputi

sulit bekerja sama, tidak mampu rileks, menangis tanpa alasan yang jelas,

bertindak menurut kata hati, mudah terkejut, penggunaan obat-obatan dan

alkohol meningkat, kehilangan nafsu atau selera makan. Pada tubuh, hal ini

meliputi berkeringat, serangan jantung meningkat, menggigil atau gemetar,

gelisah, mulut dan kerongkongan kering, sering buang air kecil, sakit kepala,

tekanan darah tinggi, rentan terhadap penyakit, dan sulit tidur.

2. Stres Kerja

2.1. Defenisi Stres Kerja

Rini (2004) mengatakan stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan

yang melampaui kemampuan individu.Istinjo (2006) mengatakan bahwa stres

pekerjaan dapat diartikan tekanan yang dirasakan karyawan karena tugas-

tugas pekerjaan tidak dapat mereka penuhi. Artinya, stres muncul saat

karyawan tidak mampu melawan apa yang menjadi tuntutan-tuntutan

pekerjaan. Ketidakjelasan apa yang menjadi tanggung jawab pekerjaan,

kekurangan waktu untuk menyelesaikan tugas, tidak ada dukungan fasilitas

untuk menjalankan pekerjaan, tugas-tugas pekerjaan yang saling bertentangan,

merupakan contoh pemicu stres.

Ilmi (2003) mengatakan bahwa stres kerja merupakan perasaan

tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan, yang


14

disebabkan oleh stresor yang datang dari lingkungan kerja seperti faktor

lingkungan , organisasi dan individu.

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja

Griffin (2004) mengatakan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi

stres kerja antara lain tuntutan fisik, tuntutan peran, dan tuntutan

interpersonal. Tuntutan fisik yang terkait dengan lingkungan kerja misalnya

bekerja diluar ruangan dalam suhu yang sangat dingin atau panas,atau bahkan

didalam ruangan yang tidak mempunyai AC, cahaya ruangan yang buruk,

lingkungan kerja yang bising dan ruangan kerja yang sempit desain rua ngan

yang buruk yang membuat pegawai kurang memiliki privasi atau menghambat

interaksi sosial yang bisa menimbulkan stres. Tuntutan peran, tuntutan peran

bisa terkait dengan ketidakjelasan peran atau konflik peran yang mungkin

dialami individu dalam kelompok misalnya seorang pegawai yang merasa

ditekan atasannya unt uk bekerja lebih panjang. Tuntut an interpersonal,

merupakan stresor yang dikaitkan dengan hubungan dalam organisasi,

walaupun dalam beberapa kasus hubungan interpersonal dapat mengurangi

stres, hal ini juga dapat menjadi sumber stres ketika kelompok menekan

individu atau ketika terjadi konflik. Konflik interpersonal terjadi ketika dua

atau lebih individu merasakan bahwa sikap atau tujuan berbeda, kurangnya

dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antar pribadi yang buruk juga

dapat menimbulkan stres yang cukup besar.


15

Dewe (1989, dikutip dalam Abraham, 1997) menyatakan bahwa

penyebab stres kerja perawat terdiri dari beban kerja yang berlebihan seperti

merawat terlalu banyak pasien, mengalami kesulitan dalam mempertahankan

standar yang tinggi, merasa tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan

teman dalam bekerja dan menghadapi masalah keterbatasan tenaga. Kesulitan

menjalin hubungan dengan staf lain seperti mengalami konflik dengan teman

sejawat, mengetahui orang lain tidak menghargai sumbangsih yang dilakukan

dan gagal membentuk tim kerja dengan staf. Kesulitan terlibat dalam merawat

pasien kritis seperti menjalankan peralatan yang belum dikenal, mengelola

prosedur atau tindakan baru dan bekerja dengan dokter yang menuntut

jawaban dan tindakan cepat.

Kemudian dalam hal berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien,

misalnya bekerja dengan dokter yang tidak memahami kebutuhan sosial dan

emosional pasien, terlibat dalam ketidaksepakatan pada program tindakan,

merasa tidak pasti sejauh mana harus memberi informasi pada pasien atau

keluarga dan merawat pasien sulit atau tidak kerjasama. Serta merawat pasien

yang gagal untuk membaik, misalnya pasien lansia, pasien nyeri kronis atau

mereka yang meninggal selama dirawat.

Menurut National Safety Council (2004), penyebab atau sumber stres

kerja dikelompokkan dalam tiga kategori. Penyebab organisasional, penyebab

individual dan penyebab dari lingkungan. Faktor penyebab organisasional

antara lain disebabkan karena kurangnya otonomi dan kreativitas, harapan,


16

tenggat waktu dan kuota yang tidak logis, relokasi pekerjaan, kurangnya

pelatihan, karier yang melelahkan, hubungan dengan majikan (penyelia yang

buruk), selalu mengikuti perkembangan teknologi (mesin faks,voice mail,dll),

Downsizing (bertambahnya tanggung jawab tanpa penambahan gaji),

pekerjaan dikorbankan (penurunan laba yang didapat). Penyebab Individual,

antara lain pertentangan antara karier dan tanggung jawab keluarga,

ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan dan pengakuan kerja,

kejenuhan, ketidakpuasan kerja, kebosanan, perawatan anak yang tidak

adekuat, konflik dengan rekan kerja. Penyebab dari lingkungan yang bisa

menjadi penyebab stres karena adanya kondisi lingkungan kerja yang buruk

(pencahayaan, kebisingan, ventilasi, suhu, dll), diskriminasi ras, pelecehan

seksual, kekerasan di tempat kerja, serta kemacetan saat berangkat dan pulang

kerja.

2.3. Dampak Stres Kerja

Rini (2004) mengatakan bahwadampak stres kerja bagi individu

adalah munculnya masalah- masalah yang berhubungan dengan kesehatan,

psikologis, dan interaksi interpersonal. Dampak bagi kesehatan, tubuh akan

mudah terserang penyakit. Dampak psikologis, stres yang berkepanjangan

akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus- menerus, dan

dampak secara interaksi interpersonal, akan sering terjadi salah persepsi dalam

membaca dan mengartikan suatu keadaan, pendapat atau penilaian, kritik,

nasihat, bahkan prilaku orang lain.


17

2.4. Cara Mengatasi Stres Kerja

Yates (1979, dikutip dari Rini 2004) mengatakan stres kerja sekecil

apapun juga harus ditangani dengan segera. Ada delapan aturan main yang

harus diikuti dalam mengatasi stres yaitumempertahankan kesehatan sebaik

mungkin, dengan berbagai cara agar individu tidak jatuh sakit, menerima diri

apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihan serta kegagalan maupun

keberhasilan sebagai bagian dari kehidupan yang dialami, tetap memelihara

hubungan persahabatan yang indah dengan seseorang yang dianggap paling

bisa untuk curhat.

Melakukan tindakan positif dan konstruktif dalam mengatasi sumber

stres di dalam pekerjaan, misalnya segera mencari solusi atas permasalahan

yang dihadapi dalam pekerjaan, tetap selalu memelihara hubungan stres

dengan orang-orang diluar lingkungan pekerjaan, misalnya, tenaga atau

kerabat dekat, berusaha mempertahankan aktivitas yang kreatif diluar

pekerjaan, misalnya berolahraga atau berekreasi, selalu melibatkan diri dalam

pekerjaan-pekerjaan yang berguna, misalnya kegiatan stres dan keaga maan,

serta menggunakan metode analisa yang cukup ilmiah dan rasional dalam

melihat atau menganalisa masalah stres kerja.


18

3. Kinerja

3.1. Defenisi Kinerja

Gordon dalam Nawawi (2006), kinerja merupakan suatu fungsi

kemampuan pekerja dalam menerima tujuan pekerjaan, tingkat pencapaian

tujuan dan interaksi antara tujuan dan kemampuan pekerja.

3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain pengetahuan,

pengalaman dan kepribadian. Pengetahuan, khususnya yang berhubungan

dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dalam bekerja, mencakup

jenis dan jenjang pendidikan serta pelatihan yang pernah diikuti dibidangnya.

Pengalaman, berkaitan dengan jumlah waktu atau lamanya dalam bekerja,

tetapi berkenaan juga dengan substansi yang dikerjakan yang jika

dilaksanakan dalam waktu yang cukup lama akan meningkatkan kemampuan

dalam mengerjakan suatu bidang tertentu. Kepribadian, berupa kondisi

didalam diri seseorang dalam menghadapi bidang kerjanya, seperti minat,

bakat, kemampuan bekerjasama/ keterbukaan, ketekunan, kejujuran, motivasi

kerja, dan sikap terhadap pekerjaan (Nawawi, 2006).

3.3. Evaluasi kinerja

Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manajer

perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas. Proses

penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku


19

pegawai dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas dan

volume yang tinggi (Nursalam, 2008).

Menurut Nawawi (2006), mengatakan bahwa evaluasi kinerja

merupakan kegiatan mengukur/menilai pelaksanaan pekerjaan yang hasilnya

dijadikan umpan balik (feed back) untuk membuat keput usan mengenai

keberhasilan atau kegagalan seseoarang pekerja dalam melaksanakan tugas

pokoknya

3.4. Proses Keperawatan

Potter & Perry (2005) mengatakan bahwa proses keperawatan adalah

suatu pendekatan untuk pemecahan masalah yang memampukan perawat

untuk mengatur dan memberikan asuhan keperawatan. Ada lima tahap proses

keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,

implementasi, evaluasi.

Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan,

dimulai perawat dengan menerapkan pengetahuan dan pengalaman untuk

menyimpulkan data tentang klien. Pengkajian digunakan dalam peran

kolaboratif perawat. Perawat membuat pengamatan klinis tentang klien,

melaporkan situasi klien yang berhubungan degan masalah medis. Dalam

peran mandiri memberikan perawatan kesehatan, perawat mengaji kebutuhan

kesehatan klien dan melakukan intervensi.Pengkajian yang akurat penting

untuk memastikan kebutuhan klien telah diidentifikasi dengan tepat.


20

Diagnosa keperawatan, setelah menyelesaikan pengkajian

keperawatan, perawat melanjutkan pada diagnosa keperawatan yang

merupakan penilaian khusus tentang respon individu, keluarga dan komunitas

terhadap masalah kesehatan aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan yaitu

pernyataan yang menguraikan respon actual atau potensial terhadap masalah

kesehatan, perawat mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya.

Perencanaan merupakan kategori dari prilaku keperawatan dimana

tujuan yang berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan

diintervensi keperawatan dipilih untuk tujuan tersebut. Selama perencanaan

dibuat prioritas. Selain berkolaborasi dengan klien dan keluarga klien,

perawatan berkolaborasi dengan anggota tim perawatan kesehatan lainnya,

memodifikasi asuhan dan mencatat informasi yang relevan tentang kebutuhan

perawat kesehatan dan penatalaksanaan klinis.

Implementasi, implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan.

Implementasi mencakup melakukan, membantu atau mengarah kinerja

aktivitas kehidupan sehari- hari, memberikan asuhan keperawatan untuk

mencapai tujuan yang berpusat pada klien, mencatat serta melakukan

pertukaran informasi yang relevan dengan perawatan kesehatan yang

berkelanjutan dari klien. Selama implementasi, perawatan mengkaji kembali

klien, memodifikasi rencana asuhan dan menulis kembali hasil yang

diharapkan sesuai dengan kebutuhan klien.


21

Evaluasi, tahap evaluasi dari proses keperawatan untuk mengukur

respons klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah

pencapaian tujuan. Perawat mengevaluasi apakah prilaku atau respon klien

mencerminkan suatu kemunduran atau kemajuan dalam diagnosa keperawatan

atau pemeliharaan stasus yang sehat. Selama evaluasi perawatan memutuskan

apakah langkah proses keperawatan sebelumnya telah efektif.

3.5. Standar Instrumen Penilaian Kinerja Perawat dalam Melaksanakan

Asuhan keperawatan

Penilaian kualitas pelayanan keperawatan kepada pasien di dalam

melaksanakan asuhan keperawatan digunakan standar praktik keperawatan

yang merupakan pedoman bagi perawatan dala m melaksanakan asuhan

keperawatan. Standar praktik keperawatan yang telah dijabarkan oleh PPNI

(2000 dikutip dari Nursalam, 2008) yang mengacudalam keperawatan yang

meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan

evaluasi. Standar pertama yaitu pengkajian,pada pengkajian perawat

mengumpulkan data tentang status kesehatan pasien secara sistematis,

menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan. Kriteria pengkajian yaitu,

pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesa, observasi, pemeriksaan

fisik. Sumber data adalah pasien, keluarga atau orang terkait, tim kesehatan,

rekam medis dan catatan lain. Standar kedua yaitu diagnosa keperawatan,pada

diagnosa perawat menganalisa data pengkajian untuk merumuskan diagnosa


22

keperawatan. Kriteria proses diagnosa terdiri dari analisa, interpretasi data,

identifikasi masalah pasien dan perumusan diagnosa keperawatan.

Diagnosa keperawatan terdiri dari masala h, penyebab, tanda atau

gejala. Bekerjasama dengan pasien dan petugas kesehatan lainuntuk

memvalidasi diagnosa keperawatan, melakukan pengkajian ulang dan

merevisi diagnosa berdasarkan data baru. Standar ketiga yaitu perencanaan

keperawatan, pada perencanaan perawat membuat rencana tindakan

keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan pasien.

Kriteria pada perencanaan terdiri dari penetapan prioritas masalah, tujuan dan

rencana tindakan keperawatan, bekerjasama dengan pasien dalam menyusun

rencana tindakan keperawatan, perencanaan bersifat individual sesuai dengan

kondisi atau kebutuhan pasien, mendokumentasikan rencana keperawatan.

Standar keempat yaitu Implementasi, perawat mengimplementasikan

tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan.

Kriteria, bekerjasama dengan pasien dalam pelaksanaan tindakan

keperawatan, berkolaborasi dengan tim kesehatan lain, melakukan tindakan

keperawatan untuk mengatasi kesehatan pasien, memberikan pendidikan pada

pasien dan keluarga mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta

membantu pasien memodifikasi lingkungan yang digunakan, mengkaji ulang

dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan yang berdasarkan respon

pasien.
23

Standar kelima yaitu evaluasi keperawatan, perawat mengevaluasi

kemajuan pasien terhadap tindakan keperawtan dalam pencapaian tujuan dan

merevisi data dasar dan perencanaan. Kriteria evaluasi terdiri dari,menyusun

perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif, tepat waktu

dan terus-menerus, menggunakan data dasar dan respon pasien dalam

mengukur perkembangan kearah pencapaian tujuan, memvalidasi dan

menganalisis data baru dengan teman sejawat, bekerjasama dengan pasien

keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan,

mendokumentasikan hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan.

Menurut Departemen Kesehatan (Depkes), 2005 bahwa instrument

evaluasi penerapan standar asuhan keperawatan di Rumah Sakit dilihat dari

beberapa aspek, yaitu pengkajian, diagnosa, intervensi (perencanaan),

implementasi (tindakan), evaluasi. Tahap pertama pengkajian terdiri dari

mencatat data yang dikaji sesuai dengan pedoman pengkajian, data

dikelompokkan (bio-psiko-sosial-spritual), data dikaji sejak pasien masuk

sampai pulang, masalah dirumuskan berdasarkan kesenjangan antara status

kesehatan dengan norma dan pola fungsi kehidupan. Tahap kedua yaitu

diagnosa yang terdiri dari diagnosa keperawatan berdasarkan masalah yang

telah dirumuskan, diagnosa keperawatan mencerminkan PE/PES,

merumuskan diagnosa keperawatan actual/potensial. Tahap ketiga yaitu

intervensi yang dibuat berdasarkan diagnosa keperawatan, disusun

berdasarkan menurut urutan prioritas, rumusan tujuan mengandung komponen


24

pasien/subyek, perubahan, perilaku, kondisi pasien dan atau kriteria waktu,

rencana tindakan mengacu pada tujuan dengan kalimat perintah, terinci dan

jelas, rencana tindakan menggambarkan keterlibatan pasien/keluarga, dan

rencana tindakan menggambarkan kerjasama dengan tim kesehatan lain.

Tahap implementasi, tindakan dilaksanakan mengacu pada rencana

keperawatan, perawat mengobservasi respon pasien terhadap tindakan

keperawatan, revisi tindakan berdasarkan hasil evaluasi, semua tindakan yang

telah dilaksanakan dicatat ringkas dan jelas. Tahap evaluasi, pada tahap ini

mengacu pada tujuan dan hasil evaluasi kemudian dicatat.

4. Hubungan stres kerja dengan kinerja perawat

Hubungan stres kerja dengan kinerja merupakan hubungan U terbalik,

artinya semakin tinggi tingkat stres, tantangan kerja juga bertambah maka

akan mengakibatkan prestasi juga bertambah, apabila tingkat stres sudah

optimal maka akan menyebabkan gangguan kesehatan dan pada akhirnya

akan menurunkan prestasi kerja (Iswanto,1999 dan Higgins, 2000 dikutip

dalam Ilmi, 2003).

Anda mungkin juga menyukai