Anda di halaman 1dari 16

KONSEP MEDIS

A. Pengertian Stres

Stres adalah beban rohani yang melebihi kemampuan rohani itu sendiri,

sehingga perbuatan kurang terkontrol secara sehat (Prabowo, 2014). Stres adalah

reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan

emosi, dan lain-lain (Sunaryo, 2009).

Menurut World Health Organisation, stres adalah reaksi atau respons tubuh

terhadap stressor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan) (Sary, Yessy,

2015).

Stres merupakan reaksi tubuh dan psikis terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan

kepada seseorang. Dalam situasi stres terdapat sejumlah perasaan seperti frustasi,

ketegangan, marah, rasa permusuhan, atau agresi. Dengan kata lain, keadaan

tersebut berada dalam tekanan (pressure) (Saam & Wahyuni, 2013).

B. Penyebab stres

Penyebab stres menurut Sunaryo (2008) yaitu :

a. Frustasi (frustration) terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan seseorang

gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Frustrasi dapat terjadi

sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya sumber

daya, atau diskriminasi.

b. Konflik (conflicts) timbulkan tidak bisa memilih antara dua atau lebih macam

keinginan, kebutuhan atau tujuan.

c. Tekanan (pressure) timbul sebagai akibat tekanan kehidupan sehari-hari.

Tekanan dapat berasal dari dalam diri individu, misalnya cita-cita atau norma

yang terlalu tinggi. Tekanan yang berasal dari luar diri individu, misalnya orang
tua menuntut anaknya agar selalu dapat nilai yang bagus atau istri yang

menuntut uang belanja yang berlebihan kepada suami.

d. Krisis yaitu keadaan yang mendadak, yang menimbulkan stres pada individu,

misalnya kematian orang yang disayangi, kecelakaan, dan penyakit yang harus

di operasi.

C. Sumber stres

Sumber stres dapat berubah seiring dengan berkembangnya individu, tetapi kondisi

stres dapat terjadi setiap saat selama hidup berlangsung. Menurut Prabowo (2014)

sumber datangnya stres ada tiga yaitu:

a. Diri individu

Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Pendorong dan penarik dari konflik

menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan

avoidance. Kecenderungan ini menghasilkan tipe dasar konflik (Prabowo

(2014)), yaitu:

1) Approach-approach Conflict (konflik angguk-angguk)

Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik.

Contohnya, individu yang mencoba untuk menurunkan berat badan untuk

meningkatkan kesehatan maupun untuk penampilan, namun konflik sering

terjadi ketika tersedianya makanan yang lezat.

2) Avoidance-avoidance Conflict

Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang

tidak menyenangkan. Contohnya, pasien dengan penyakit serius mungkin

akan dihadapkan dengan pilihan antara dua perlakuan yang akan

mengontrol atau menyembuhkan penyakit, namun memiliki efek samping

yang sangat tidak diinginkan.


Prabowo (2014) menjelaskan bahwa orang-orang dalam menghindari

konflik ini biasanya mencoba untuk menunda atau menghindar dari

keputusan tersebut. Oleh karena itu, biasanya avoidance-avoidance conflict

ini sangat sulit untuk diselesaikan.

3) Approach-avoidance Conflict (konflik geleng-geleng)

Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam

satu tujuan atau situasi. Contohnya, seseorang yang merokok dan ingin

berhenti, namun mereka mungkin terbelah antara ingin meningkatkan

kesehatan dan ingin menghindari kenaikan berat badan serta keinginan

mereka untuk percaya terjadi jika mereka ingin berhenti.

b. Keluarga

Menjelaskan bahwa perilaku, kebutuhan, dan kepribadian dari setiap anggota

keluarga berdampak pada interaksi dengan orang-orang dari anggota lain

dalam keluarga yang kadang-kadang menghasilkan stres. Menurut Prabowo

(2014) faktor dari keluarga yang cenderung memungkinkan munculnya stres

adalah hadirnya anggota baru, perceraian dan adanya keluarga yang sakit,

cacat, dan kematian.

c. Komunitas dan masyarakat

Kontak dengan orang di luar keluarga menyediakan banyak sumber stres.

Misalnya, pengalaman anak di sekolah dan persaingan. Adanya pengalaman-

pengalaman seputar dengan pekerjaan dan juga dengan lingkungandapat

menyebabkan seseorang menjadi stres.

D. Tanda dan Gejala Stres

Menurut Karnadi dalam Surbakti (2008), Tanda dan gejala stres merupakan

manifestasi tubuh terhadap stres dimana tanda-tanda fisik meliputi; gerakan


motorik yang tidak disadari berupa menggigit kuku, mengepalkan tinju,

mengencangkan rahang, mengetuk-ngetuk jari, menarik bahu, mengetuk-ngetukkan

kaki, dan lain sebagainya. Tanda-tanda emosi meliputi; cemas, depresi, kecewa,

marah atau bermusuhan, tidak berdaya, tidak sabar, mudah tersinggung, gelisah,

dan lain sebagainya. Sedangkan tanda-tanda perilaku meliputi; gangguan pola tidur,

mengerjakan beberapa hal sekaligus, ledakan emosional, meningggalkan pekerjaan

yang belum selesai, reaksi berlebih, berbicara terlalu keras atau cepat.

E. Tahapan Tingkat Stres

Menurut Dr. Robert J. An Amberg dalam Sary 2015, tahapan-tahapan stres

sebagai berikut :

a. Stres tahap I

Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya

disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut :

1) Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting).

2) Pengelihatan ”tajam” tidak sebagaimana biasanya.

3) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa

disadari cadangan energi semakin menipis.

b. Stres tahap II

Dalam tahapan ini dampak stres yang semula ”menyenangkan”

sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-

keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang

hari, karena tidak cukup waktu untuk istirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain

dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan

energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh

seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut:


1) Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar.

2) Merasa mudah lelah sesudah makan siang.

3) Lekas merasa capai menjelang sore hari.

4) Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort).

5) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar).

6) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang.

7) Tidak bisa santai.

c. Stres tahap III

Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa

menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan

keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu:

1) Gangguan lambung dan usus semakin nyata.

2) Ketegangan otot-otot semakin terasa.

3) Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat.

4) Gangguan pola tidur (insomnia).

5) Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa mau pingsan).

d. Stres tahap IV

Gejala stres tahap IV, akan muncul yang ditandai dengan hal-hal sebagai

berikut :

1) Merasa sulit untuk bertahan sepanjang hari.

2) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan

menjadi membosankan dan terasa lebih sulit.

3) Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan

untuk merespons secara memadai (adekuat).


4) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari.

5) Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan.

6) Seringkali menolak ajakan karena tidak ada semangat dan tidak ada

kegairahan.

7) Daya konsentrasi dan daya ingat menurun.

e. Stres tahap V

Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V,

yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:

1) Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical dan

psychological exhaustion).

2) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan

sederhana.

3) Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal disorder).

4) Timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah

bingung dan panik.

f. Stres tahap VI

Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan

panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Gambaran stres tahap VI ini adalah

sebagai berikut :

1) Debaran jantung amat keras.

2) Susah bernapas (sesak dan megap-megap).

3) Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran.

4) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan.

5) Pingsan atau kolaps (collapse).


F. Mekanisme Stress

Empat variabel psikologik yang mempengaruhi mekanisme respons stres:


1) Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor yang
mengurangi intensitas respons stres.
2) Prediktabilitas: stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres yang
tidak begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi.
3) Persepsi: pandangan individu tentang dunia dan persepsi stresor saat ini dapat
meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres.
4) Respons koping: ketersediaan dan efektivitas mekanisme mengikat ansietas
dapat menambah atau mengurangi respons stres.

Menurut Nasution I.K (2007) menjelaskan bahwa secara fisiologi, situasi stres
mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem
neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf
simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan
mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah
pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung
dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula
adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem
korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia
yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus.
Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui
aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia menstimulasi pelepasan sekelompok
hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula darah. ACTH juga
memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon.
Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah
aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan dalam
respons fight or flight.

G. Faktor yang Mempengaruhi Stres

Menurut Sunaryo (2004), ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi stres yaitu,

sebagai berikut :
- Faktor biologis-Herediter, konstitusi tubuh, kondisi fisik, neurofisiologik dan

neurohormonal.

- Faktor psikoedukatif atau sosio cultural-Perkembangan kepribadian,

pengalaman dan kondisi lain yang mempengaruhi.

Stressor adalah faktor penyebab trauma dalam perkembangan gangguan stres

pasca traumatik. Tetapi tidak setiap orang mengalami gangguan stres pasca

traumatik setelah sesuatu peristiwa traumatik (Prabowo, 2014).

Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya stres adalah usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, tingkat kesehatan seseorang dan juga faktor kepribadian yang

menentukan mudah tidaknya seseorang terkena stres (Sary, 2015).

H. Macam-macam Stres

Lestari (2015), kondisi stres seseorang dapat dikelompokkan menjadi dua macam :

a. Kondisi eustres (tidak stres) : seseorang dapat mengatasi stres dan tidak ada

gangguan pada fungsi organ tubuh.

b. Kondisi distress (stres) : pada saat seseorang menghadapi stres terjadi gangguan

pada 1 atau lebih dari organ tubuh tersebut tidak dapat menjalakan fungsi

dengan baik.

I. Tingkat Stres

Menurut Suzanne & Brenada dalam Wulandari (2012) tingkat stres dibagi menjadi

3 tingkatan, yaitu :

a. Stres Ringan

Stres ringan adalah stres yang dihadapi secara teratur, biasanya dirasakan setiap

individu, misalnya lupa, banyak tidur, kemacetan, dan kritikan mengatakan pada

fase ini seseorang mengalami peningkatan kesadaran dan lapang persepsinya.


Stres biasanya berakhir dalam beberapa menit atau jam dan tidak menimbulkan

penyakit kecuali jika di hadapi terus menerus.

b. Stres Sedang

Stres sedang adalah stres yang terjadi lebih lama, dari beberapa jam sampai hari.

Fase ini di tandai dengan kewaspadaan, fokus pada indra pengelihatan dan

pendengaran, peningkatan ketegangan dalam batas toleransi, dan mampu

mengatasi situasi yang dapat mempengaruhi dirinya.

c. Stres Berat

Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai tahun.

Semakin sering dan lama situasi stres, semakin tinggi resiko kesehatan yang

ditimbulkan.

Menurut Potter dalam Surbakti (2008), Stres dibagi menjadi tiga tingkatan

pertama; tingkat ringan apabila stressor yang dihadapi setiap orang teratur seperti

terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, situasi seperti ini biasanya berlangsung

beberapa menit atau jam dan belum berpengaruh kepada fisik dan mental hanya

saja mulai sedikit tegang dan was-was. Dikatakan stres sedang apabila berlangsung

lebih lama, dari beberapa jam sampai beberapa hari. Pada tingkat medium ini

individu mulai kesulitan tidur, sering menyendiri dan tegang. Dikatakan stres berat

apabila situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa

tahun. Pada keadaan stres berat ini individu sudah mulai ada gangguan fisik dan

mental.

J. Pengukuran Tingkat Stres

Menurut Fitriyanti (2015), ada beberapa instrument pengukuran stres yang sering

digunakan yaitu :
a. Kessler Psychological Distress Scale

Terdiri dari 10 pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan skor 1 untuk

jawaban dimana responden tidak pernah mengalami stres, 2 untuk jawaban

dimana responden jarang mengalami stres, 3 untuk jawaban dimana responden

kadang-kadang mengalami stres, 4 untuk jawaban dimana responden sering

mengalami stres, dan 5 untuk jawaban dimana responden selalu mengalami stres

dalam 30 hari terakhir. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal.

Tingkat stres dikategorikan sebagai berikut:

1) Skor di bawah 20 : tidak mengalami stress

2) Skor 20-24 : stres ringan

3) Skor 25-29 : stres sedang

4) Skor 30 dan di atas 30 : stres berat

b. Perceived Stress Scale (PSS-10)

Merupakan Self report questionare yang terdiri dari 10 pertanyaan dan dapat

mengevaluasi tingkat stres beberapa bulan yang lalu dalam kehidupan subjek

penelitian. Skor PSS diperoleh dengan revesing responses (sebagai contoh, 0=4,

1=3, 2=2, 3=1, 4=0) trehadap empat soal yang bersifat positif (pertanyaan 4,5,7,

& 8) dan menjumlahkan skor jawaban masing-masing.

c. Hassles Assessment Scale for Student in Collage (HASS/Col)

Terdiri dari 54 pertanytaan yang merupakan suatu skala yang terdiri dari

kejadian umum yang tidak menynangkan bagi para mahasiswa. Dan diukur

berdasarkan frekuensi dalam bntuk skala sebagai berikut :

1) Tidak pernah diberi skor 0

2) Sangat jarang diberi skor 1

3) Beberapa kali diberi skor 2

4) Sering diberi skor 3


5) Sangat sering diberi skor 4

6) Hampir setiap hari diberi skor 5

d. Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42)

Merupakan alat ukur stres yang dikemukakan oleh Lovibond pada tahun 1995.

DASS adalah laporan yang diisi oleh responden yang didesain untuk mengukur

tingkat emosi negative dari depresi, ansietas, dan stres. Item pertanyaan untuk

mengukur stres terdiri dari 14 pertanyaan dengan 4 poin jawaban. Pertanyaan

yang dituliskan mengukur apa yang dirasakan selama seminggu kebelakang.

Jumlah skor dari pernyataan item tersebut, memiliki makna :

1) Normal : 0-29

2) Stres ringan : 30-59

3) Stres sedang : 60-89

4) Stres berat : 90-119

5) Stres sangat berat : ≥120


ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Menurut Keliat et.al (2006), salah satu pilar praktek keperawatan kesehatan jiwa
komunitas adalah pelayanan keperawatan dengan menggunakan pendekatan asuhan
keperawatan kesehatan jiwa komunitas. Asuhan keperawatan yang baik sangat
dibutuhkan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, keluarga, kelompok
dan komunitas secara sistematis dan terorganisir.
Perawat CMHN bertanggung jawab memberikan asuhan keperawatan jiwa
komunitas kepada kelompok keluarga yang sehat jiwa, kelompok pasien dan keluarga
yang risiko masalah psikososial dan kelompok pasien dan keluarga dengan gangguan
jiwa. Perawat CMHN di NAD telah dibekali pengetahuan dan keterampilan dalam
melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa di masyarakat. Dalam
rangka mengaplikasikan konsep keperawatan kesehatan jiwa komunitas digunakan
pendekatan proses keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien.
Pendekatan yang digunakan meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan
keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi :
1. Pengkajian
Pengkajian awal dilakukan dengan menggunakan pengkajian 2 menit
berdasarkan keluhan pasien. Setelah ditemukan tanda-tanda yang menonjol
yang mendukung adanya gangguan jiwa maka pengkajian dilanjutkan dengan
menggunakan format pengkajian kesehatan jiwa. Data yang dikumpulkan
mencakup keluhan utama, riwayat kesehatan jiwa, pengkajian psikososial dan
pengkajian status mental. Teknik pengumpulan data dapat dilakukan melalui
wawancara dengan pasien dan keluarga, pengamatan langsung terhadap kondisi
pasien serta melalui pemeriksaan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan dapat dirumuskan berdasarkan hasil pengkajian, baik
masalah yang bersifat aktual (gangguan kesehatan jiwa) maupun yang berisiko
mengalami gangguan jiwa. Jika perawat menemukan anggota masyarakat yang
mengalami gangguan jiwa maka perawat harus berhati-hati dalam
penyampaiannya kepada pasien dan keluarga agar tidak menyebutkan gangguan
jiwa karena hal tersebut merupakan stigma dalam masyarakat. Adapun diagnose
keperawatan yang diidentifikasi penting untuk pasca bencana adalah:
a. Masalah kesehatan jiwa pada anak/remaja :
1) Depresi
2) Perilaku kekerasan
b. Masalah kesehatan jiwa pada usia dewasa :
1) Harga diri rendah
2) Perilaku kekerasan
3) Risiko bunuh diri
4) Isolasi sosial
5) Gangguan persepsi sensori : halusinasi
6) Gangguan proses pikiran waham
7) Defisit perawatan diri
c. Masalah kesehatan jiwa pada lansia :
1) Demensia
2) Depresi

3. Perencanaan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan disesuaikan dengan standar asuhan keperawatan
kesehatan jiwa yang mencakup tindakan psikoterapeutik yaitu penggunaan
berbagai teknik komunikasi terapeutik dalam membina hubungan dengan
pasien, pendidikan kesehatan tentang prinsip-prinsip kesehatan jiwa dan
gangguan jiwa; perawatan mandiri (aktivitas kehidupan sehari-hari) meliputi
kebersihan diri, makan dan minum, buang air besar dan buang air kecil; terapi
modalitas seperti terapi aktivitas kelompok, terapi lingkungan dan terapi
keluarga; tindakan kolaborasi (pemberian obat-obatan dan monitor efek
samping). Dalam menyusun rencana tindakan harus dipertimbangkan bahwa
untuk mengatasi satu diagnose keperawatan diperlukan beberapa kali pertemuan
hingga tercapai kemampuan yang diharapkan baik untuk pasien maupun
keluarga. Rencana tindakan keperawatan ditujukan pada individu, keluarga,
kelompok dan komunitas.
a. Pada tingkat individu difokuskan pada peningkatan keterampilan dalam
ADL dan keterampilan koping adaptif dalam mengatasi masalah.
b. Pada tingkat keluarga difokuskan pada pemberdayaan keluarga dalam
merawat pasien dan mensosialisasikan pasien dengan lingkungan.
c. Pada tingkat kelompok difokuskan pada kegiatan kelompok dalam rangka
sosialisasi agar pasien mampu beradaptasi dengan lingkungan.
d. Pada tingkat komunitas difokuskan pada peningkatan kesadaran masyarakat
tentang kesehatan jiwa dan gangguan jiwa, menggerakkan sumber-sumber
yang ada dimasyarakat yang dapat dimanfaatkan oleh pasien dan keluarga.

4. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan dilakukan berdasarkan rencana yang telah dibuat.
Tindakan keperawatan dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien
saat ini. Perawat bekerjasama dengan pasien, keluarga dan tim kesehatan lain
dalam melakukan tindakan. Tujuannya adalah memberdayakan pasien dan
keluarga agar mampu mandiri memenuhi kebutuhannya serta meningkatkan
keterampilan koping dalam menyelesaikan masalah. Perawat bekerja dengan
pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka dan
memfasilitasi pengobatan melalui kolaborasi dan rujukan.
5. Evaluasi Asuhan Keperawatan
Evaluasi dilakukan untuk menilai perkembangan pasien dan keluarga dalam
memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah. Kemampuan yang
diharapkan adalah:
a. Pada tingkat individu diharapkan pasien mampu :
1) Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sesuai kemampuannya
2) Membina hubungan dengan orang lain dilingkungannya secara bertahap
3) Melakukan cara-cara menyelesaikan masalah yang dialami
b. Pada tingkat keluarga diharapkan keluarga mampu :
1) Membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien hingga pasien mandiri
2) Mengenal tanda dan gejala dini terjadinya gangguan jiwa
3) Melakukan perawatan pada anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa atau kekambuhan
4) Mengidentifikasi perilaku pasien yang membutuhkan konsultasi segera
5) Menggunakan sumber-sumber yang tersedia di masyarakat seperti
tetangga, teman dekat dan pelayanan kesehatan terdekat.
6. Monitoring dan Evaluasi
Menurut Mockler (1984) dalam Keliat et.al (2006) pengendalian manajemen
adalah kegiatan sistematis yang terdiri dari menentukan standar prestasi kerja,
menetapkan tujuan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan dan evaluasi
kinerja. Hasil evaluasi kinerja dibandingkan dengan standar yang telah
ditetapkan, untuk mengetahui pencapaian tujuan dan penyimpangan serta
mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk memastikan bahwa
sumber daya yang digunakan efektif dan efisien dalam mencapai tujuan.

Pengendalian manajemen merupakan proses untuk memastikan bahwa aktivitas


yang telah dilakukan sesuai dengan aktivitas yang direncanakan dan berfungsi
untuk menjamin kualitas penampilan kerja. Kegiatan monitoring dan evaluasi
pada pelayanan keperawatan kesehatan jiwa komunitas ditujukan pada
fasilitator lokal, perawat CMHN, kader kesehatan jiwa dan pasien dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Fitriyanti, Suci. 2015. Hubungan Status Gizi Dengan Tingkat Stres Mahasiswa Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran UNSYIAH.

Judith M, Wilkonson. (2016).Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta : Kedokteran EGC

Keliat. A.K. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Kedokteran EGC

Lestari, Titik. (2015). Kumpulan Teori Untuk Kajian Pustaka Penelitian Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Nasution, I.K., (2007). Stres pada Remaja. Universitas Sumatera Utara. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3637/1/132316815%281%29. Pdf.
Diakses jam 22.40 WITA, 01 Februari 2018

Prabowo, E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta.

Saam, Zulfan., & Wahyuni, Sri. (2013). Psikologi Keperawatan. Ed.1. Jakarta: Rajawali
Pers.

Sary, Yessy Nur Endah. (2015) Buku Ajar Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Paranama
Publishing.

Surbakti, Erwinsyah Putra. 2008. Stres Dank Ping Pada Lansia Pada Masa Pensiun
Dikelurahan Pardomuan Kecamatan Siantar Timur Kotamadya Pematang Siantar.

Sunaryo, dkk. (2016). Asuhan Keperawatan Geontik. Yogyakarta: ANDI.

Sunaryo, M. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.


https://books.google.co.id/books?
id=6GzU18bHfuAC&printsec=frontcover&dq=psikologi+untuk+keperawatan+sun
aryo+2009&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj9xfr2orLPAhWIK48KHcqdC9QQ6AEI
GjAA#v=onepage&q&f=false. e-book diakses jam 22.37 WITA, 01 Februari 2018.

Wulandari, Resti Putri. 2012. Hubungan Tingkat Stres Dengan Gangguan Tidur Pada
Mahasiswa Skripsi Di Salah Satu Fakultas Rumpun Science-Technology UI

Anda mungkin juga menyukai