Anda di halaman 1dari 88

1

UNIVERSITAS INDONESIA

WORK LIFE BALANCE:

STUDI EMPIRIS KETERLIBATAN ANGGOTA, IKLIM


ORGANISASI, KEPUASAN KERJA DAN PENGARUHNYA
WORK LIFE BALANCE ANGGOTA ORGANISASI
DI POLDA METRO JAYA

PROPOSAL TESIS

NAMA : SASYA AISHA BALQIS


NPM : 1906460771

PROGRAM KAJIAN ILMU KEPOLISIAN


UNIVERSITAS INDONESIA
2021
i
2

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama : SASYA AISHA BALQIS


Program Studi : 1906460771
Judul Proposal : WORK LIFE BALANCE: STUDI EMPIRIS
KETERLIBATAN ANGGOTA, IKLIM ORGANISASI, KEPUASAN
KERJA DAN PENGARUHNYA WORK LIFE BALANCE ANGGOTA
ORGANISASI DI POLDA METRO JAYA
Telah dibaca, dikoreksi dan disetujui untuk diajukan pada Ujian Seminar
Proposal Riset pada Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas
Indonesia.
PEMBIMBING TESIS

Pembimbing I, Pembimbing 2,

(………………………………) (……………………………...)

Mengetahui.
Ketua Program Studi,

(………………………………)

ii
3

DAFTAR ISI

JUDUL/SAMPUL DALAM.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Pertanyaan Penelitian............................................................................ 8
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................. 8
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu........................................................................... 9
2.2 Keseimbangan Kehidupan Kerja (Work Life Balances)..................... 11
2.2.1 Teori Keseimbangan Kehidupan Kerja (Work Life Balances). . 11
2.2.2 Kategorisasi Keseimbangan Kehidupan Kerja.......................... 12
2.2.3 Mendefinisikan Keseimbangan Kehidupan Kerja..................... 14
2.2.4 Hasil dari Keseimbangan Kehidupan Kerja.............................. 16
2.2.5 Praktik Keseimbangan Kehidupan Kerja.................................. 17
2.2.6 Anteseden dari Keseimbangan Kehidupan Kerja...................... 17
2.3 Keterlibatan Anggota Organisasi (Employee Engagement)............... 20
2.3.1 Pengertian Keterlibatan Anggota Organisasi (Employee
Engagement)............................................................................. 20
2.3.2 Keterlibatan Karyawan dan Keseimbangan Kehidupan Kerja. . 23
2.4 Iklim Organisasi (Organizational Climate)........................................ 26
2.4.1 Pengertian Iklim Organisasi (Organizational Climate)............. 26
2.4.2 Iklim Organisasi dan Keseimbangan Kehidupan Kerja............ 29
2.5 Kepuasan Kerja................................................................................... 31
2.5.1 Teori Kepuasan Kerja (Wanda Roose,2005). The Relationship
Between Employee Motivation, Job Satisfaction, Corporate
Culture). Thesis University of South Africa............................. 31
2.5.2 Definisi kepuasan kerja............................................................. 32
2.5.3 Penentu kepuasan kerja............................................................. 34
2.5.4 Teori tentang kepuasan kerja..................................................... 39
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Paradikma Penelitian....................................................................... 42
3.2 Populasi dan Sampel........................................................................ 42
3.3 Variabel Penelitian dan Pengukuran................................................ 44
3.3.1 Variabel Keseimbangan Kehidupan Kerja.............................. 44
3.3.2 Variabel Keterlibatan Anggota Organisasi............................. 45
3.3.3 Variabel Iklim Organisasi....................................................... 46
3.3.4 Variabel Kepuasan Kerja........................................................ 46
3.4 Teknik Analisis Data........................................................................ 46
3.4.1 Pertanyaan penelitian kedua................................................. 47
3.4.2 Pertanyaan penelitian ketiga................................................. 47

iii
4

3.4.3 Pertanyaan penelitian ketiga................................................. 47


3.4.3 Pertanyaan penelitian ketiga................................................. 47
3.4.3.1 Uji Instrumen Data................................................... 48
3.4.3.2 Uji Asumsi/Persyaratan Data................................... 49
3.4.3.3 Uji Regresi................................................................ 51
3.4.3.4 Korelasi.................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA

iv
5

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tingkat Keeratan Hubungan............................................................... 53

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh keterlibatan, iklim
organisasi dan kepuasan kerja terhadap keseimbangan kehidupan kerja anggota
organisasi di Polda metro Jaya. Dalam perspektif manajemen sumber daya
manusia, fenomena keseimbangan kehidupan kerja (work life balance) merupakan
faktor penting karena dapat mempengaruhi kinerja dan produktivitas individu dan
organisasi. Work-life balance adalah suatu keseimbangan antara tuntutan
pekerjaan dan kehidupan seorang individu (Lockwood, 2003). Dalam pandangan
work-life balance, bekerja merupakan pilihan dalam mengelola tanggung jawab
kerja serta tanggung jawab terhadap keluarga. Berbeda halnya dalam pandangan
organisasi, work-life balance merupakan tantangan dalam membentuk budaya
organisasi yang mendukung pada stabilitas kinerja pegawai.
Penelitian ini memfokuskan kepada fenomena work life balance anggota
polisi yang bekerja pada fungsi-fungsi operasional di Polda Metro Jaya seperti
Ditreskrim, Direktorat inteligen, direktorat lalulintas, direktorat binmas dan
direktorat shabara. Keseluruhan anggota fungsi tersebut akan terlibat sebagai
subyek dalam penelitian ini mengingat hakekat dan karakteristik pekerjaan
mereka yang banyak bekerja dilapangan sehingga banyak jam kerja mereka yang
sering melebihi jam kerja normal dan mengandung banyak resiko yang
kadangkala kurang dapat diprediksi. Rasionalitas inilah yang menyebabkan
penelitian ini mencoba mengkaji work life balance anggota polisi dalam
kehidupan pekerjaan anggota polisi yang sangat terkait dengan pekerjaan mereka.
Fungsi direktorat reskrim secara tugas pokok dan fungsi lebih banyak
berorientasi kepada pekerjaan yang berhadapan dengan kejahatan baik yang
bersifat represif maupun pencegahan. Sedangkan fungsi laluntas secara tugas
pokok dan fungsi banyak berkaitan dengan ketertiban dan pelanggaran lalu lintas
sebagai jantung pergerakan ketertiban dan ketaan hukum dalam berlalulintas.
Peran dan tugas, direktorat intel juga melaksanakan fungsi inteligen yang

1
2

sering juga bekerja menghabiskan waktu yang melampaui jam kerja normal.
Secara umum anggota polisi pada fungsi-fungsi operasional lebih banyak
berinteraksi dengan tugas operasional lapangan yang bersentuhan dengan berbagai
kejahatan dan ketertiban dalam masyarakat. Hakekat dan karakteristik pekerjaan
anggota polisi yang demikian tentunya sangat berkaitan dengan fenomena work
life balance yang menimbulkan permasalahan keseimbangan kehidupan kerja
anggota polisi antara kehidupan dunia kerja dan kehidupan pribadi keluarga.
McDonald dan Bradley (2005) menyatakan bahwa keseimbangan
kehidupan kerja adalah sejauhmana seseorang merasa puas dengan menjalankan
segala peran dalam kehidupan di luar dan di dalam pekerjaannya. McDonald &
Bradley (2005) kemudian mengidentifikasi sejumlah keuntungan bagi pemberi
kerja dan pekerja ketika memperhatikan keseimbangan kehidupan-bekerja, yaitu
ketersediaan kumpulan bakat yang lebih luas, karyawan kembali lebih awal
setelah cuti melahirkan, tingkat ketidakhadiran yang lebih rendah, pencitraan
perusahaan yang lebih positif, peningkatan kinerja karyawan, retensi karyawan
yang lebihbaik, pengurangan pergantian karyawan, peningkatan kesehatan
karyawan dan tingkat kepuasan kerja yang lebihtinggi (Naithani, (2010).
Menurut Bulger & Fisher (2012), work-life balance didefinisikan sebagai
upayayang dilakukan individu untuk menyeimbangkan dua peran atau lebihyang
dijalani. Sedangkan menurut Greenhaus, et al., (2003) work-life balance adalah
sejauh mana individu terikat secara bersama-sama di dalam pekerjaan dan
keluarga, dan sama-sama puas dengan peran pekerjaan dan peran dalam
keluarganya. Work-life balance sangat penting bagi fungsi kesejahteraan individu,
kinerja organisasi, dan masyarakat (Grady, et al., 2008). Work-life balance lebih
komprehensif dan mencakup keluarga, masyarakat, rekreasi dan waktu pribadi.
Dalam arti luas work-life balance mencakup semua aspek kehidupan pribadi dan
pekerjaan karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa work-life balance perlu
difokuskan pada individu, keluarga, tempat kerja, masyarakat, dan masyarakat
secara keseluruhan.
Clark (2000) menjelaskan bahwa pegawai yang fokus pada pekerjaan dan
keluarga sangat penting, karena keluarga dan pekerjaan adalah elemen terpenting
3

dalam kehidupan setiap individu. Setiap tuntutan pekerjaan dan kehidupan


keluarga yang bersaing, akan menyebabkan konflik dan berdampak negatif pada
kesejahteraan pegawai. Clarke, et al. (2004) dan Clark (2000) setuju bahwa aspek
terukur dari work-life balance adalah kepuasan, kurangnya konflik peran dan rasa
harmoni secara keseluruhan. Greenhaus, et al. (2003) meyakini bahwa
keseimbangan antara domain keluarga dan pekerjaan juga melibatkan
keseimbangan waktu, keseimbangan keterlibatan, dan keseimbangan kepuasan.
Empat aspek yang menjadi ukuran menurut Frone (2003) dari
keseimbangan antara pekerjaan dan peran keluarga adalah: 1) konflik keluarga-
kerja; (2) konflik kerja-keluarga; 3) peningkatan kerja-keluarga, dan 4)
peningkatan kerja-keluarga. Komponen-komponen tersebut memiliki efek dua
arah, pada pekerjaan dan domain keluarga sehingga partisipasi individu dalam
pekerjaan dapat mengganggu peran dalam keluarga, dan sebaliknya. Untuk
memahami substansi Work Life Balance terdapat aspek-aspek yang perlu
diperhatikan sehingga pengelolaan keseimbangan hidup dan bekerja dapat
dilakukan secara sesuai sebagaimana dikemukakan oleh McDonald & Bradley
(2005) sebagai berikut: (1) Keseimbangan Waktu, (2) Keseimbangan
Keterlibatan, dan (3) Keseimbangan Kepuasan (McDonald, dan Bradley, 2005).
Keseimbangan Waktu merupakan penyediaan jumlah waktu yang dihabiskan
individu untuk memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga secara
seimbang (proporsional). Keseimbangan bukan bermakna sama rata tetapi
proporsional atau sesuai dengan kebutuhan. Keseimbangan Keterlibatan
merupakan keseimbangan keterlibatan psikologis individu dalam memenuhi
tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga. Adapun keseimbangan kepuasan
merupakan keseimbangan kepuasan yang dirasakan individu terhadap tuntutan
dan pemenuhan peran, antara pekerjaan dan keluarga. Dalam pendapat Bulger &
Fisher (2012), setidaknya terdapat empat dimensi dalam work-life balance. Empat
dimensi tersebut yaitu: 1)work interference with personal life, 2) personal life
interference work, 3) personal life enhancement of work, dan 4) work
enhancement of personal life.
4

Work interference with personal life merupakan dimensi yang


mengungkapkan pada sejauh mana pekerjaan mampu menjadipengganggu
kehidupan pribadi seseorang. Interferensi ini mampumemberikan efek negatif
dalam kehidupan individu, yang berarti denganadanya interferensi ini menandai
rendahnya work-life balance yangdimiliki seseorang. Contoh, yaitu dengan
bekerja mampu membuatorang sulit mengatur waktu untuk kehidupan pribadinya.
Personal life interference work adalah dimensi yang menjelaskan sejauh
manakehidupan pribadi seseorang mampu menjadipengganggu kehidupan
pekerjaan. contohnya, jika seseorang mengalamipermasalahan di dalam
kehidupannya maka akan memberikan efeknegatif atau mengganggu kinerja saat
bekerja. Personal life enhancement of work adalah yang mengungkapkan pada
sejauh mana kehidupan pribadi seseorang mampumemberikan dampak
peningkatan performa dalam lingkup pekerjaan. Contohnya, apabila individu
bahagia dengankehidupan pribadi makasuasana hati dan pekerjaan dapat
diselesaikan dengan baik. Sedangkan work enhancement of personal life
merupakandimensi ini mengungkapkan sejauh mana pekerjaan mampu
meningkatkan kualitaskehidupan seseorang. Contoh, apabila keterampilan yang
diperolehindividu saat bekerja memungkinkan seseorang memanfaatkannya
padakehidupan sehari-hari.
Selanjutnya menurut pandangan Greenhaus, et al., (2003), work-life
balance dibangun atas tiga komponen, yang meliputi: keseimbangan waktu,
keseimbangan keterlibatan, serta keseimbangan kepuasan. Keseimbangan waktu
merefleksikan jumlah yang sama/adil dari waktu yangdihabiskan untuk bekerja
dan peran keluarga. Adapun keseimbanganketerlibatan atau peran adalah tingkat
keterlibatan psikologis yang sama dalampekerjaan dan keluarga. Sedangkan
keseimbangan kepuasan merupakan kepuasan yang samadalam peran pekerjaan
dan keluarga.
Pendapat lain juga disampaikan Bulger & Fisher (2012) berkenaan dengan
komponen work-life balance. Bulger & Fisher menyebutkan ada lima komponen
work-lifebalance yaitu;waktu, perilaku, kondisi, ketegangan, serta energi.
Komponen waktu meliputi aspek kuantitas dan kualitas waktuyang digunakan
5

pegawai dalam bekerja dibandingkan dengan waktu yangdigunakan untuk


kegiatan lain di luar pekerjaannya misalnya dalam keluarga, sosial maupun
pribadi. Komponen perilaku mencakup bagaimana tindakan yang dilakukan oleh
pegawai untuk mencapai hal atau tujuan yang diinginkan. Komponen kondisi
mengacu pada keyakinan terkait kemampuan dalam mencapai tujuan yang
diinginkan dalam pekerjaan dan tujuan pribadi. Adapun komponen ketegangan
(strain) merupakan komponen ketegangan yang mencakup beberapa halseperti
kecemasan, tekanan, kehilangan aktivitas penting pribadi serta sulit
mempertahankan atensi. Sedangkan komponen energi adalah daya/energi/ kekuatan
yang digunakan pegawai sebagai cara untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan.
Work-life balance dimana individu menyeimbangkan antara
tanggungjawab pekerjaan dengan keluarga dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Menurut Schabracq, et al. (2003), sejumlah faktor yang mempengaruhi work-life
balance seseorang, di antaranya adalah: 1) karakteristik kepribadian; merupakan
hal yang berpengaruh terhadap kehidupan kerja dan di luar kerja.Individu yang
memiliki secure attachment cenderung mengalami positive spoilover
dibandingkan individu yang memiliki insecure attachment. 2) Karakteristik
keluarga; merupakan aspek penting yang dapat menentukan ada tidaknya konflik
antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Misalnya konflik peran dan ambiguitas
antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. 3) Karakteristik pekerjaan;merupakan
karakteristik pekerjaan yang menjadi tanggungjawab individu dalam organisasi
meliputi pola kerja, beban kerja, dan jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja
sehingga dapat memicu adanya konflik baik konflik dalam pekerjaan maupun
konflik dalam kehidupan pribadi. 4) Sikap; merupakan evaluasi terhadap berbagai
aspek dalam dunia sosial meliputi pengetahuan, perasaan-perasaan dan
kecenderungan untuk bertindak. Sikap dari setiap individu merupakan faktor yang
mempengaruhi work-lifebalance. Kualitas hidup secara keseluruhan sangat
tergantung pada keseimbangan antara pekerjaan kita dan aspek kehidupan lainnya.
Ada banyak kekhawatiran bahwa orang-orang yang bekerja di berbagai tempat
(organisasi) merasa sulit untuk menyeimbangkan antara tanggung jawab pribadi
dengan tuntutan pekerjaan.
6

Penelitian ini mengkaji variabel keterlibatan anggota, iklim organisasi dan


kepuasan kerja yang berpengaruh terhadap keseimbangan kehidupan kerja
anggota organisasi. Keterlibatan kerja merupakan variabel sikap anggota
organisasi yang termotivasi untuk terlibat dalam peran pekerjaan yang mereka
miliki bahkan peran kerja yang melampaui pekerjaan yang mereka miliki. Sikap
positip yang demikian tentunya secara teoritis berpengaruh terhadap
keseimbangan kehidupan kerja anggota organisasi. Penelitian yang dilakukan
Linda Duxbury menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja berjam-jam dan
diminta untuk bekerja tanpa kejelasan kompensasi berpengaruh terhadap
kemampuan karyawan mengelola kehidupan keluarga. Sebagian besar organisasi
membuat kebijakan menjadikan tempat kerja lebih ramah dengan kehidupan
keluarga seperti menyelenggarakan program penitipan anak, kamp hari musim
panas, fleksibilitas pekerjaan, kolaborasi pekerjaan, pemberian fasilitas sekolah,
dan pekerjaan paruh waktu.
Beberapa praktik tambahan yang dapat membantu pegawai
menyeimbangkan kehidupan kerja (Robins, 2012), adalah sebagai berikut: 1)
tetapkan target waktu untuk menyelesaikan pekerjaan. Biasakan untuk
menyelesaikan pekerjaan pada waktu yang telah ditetapkan. Melalui cara ini,
rekan kerja akan mengetahui jadwal kerja dan menyesuaikan dalam berinteraksi.
2) Pisahkan antara ponsel kerja dan ponsel pribadi. Matikan telepon bisnis saat
Anda berada di luar jam kerja. Hindari memeriksa email atau menanggapi teks
terkait pekerjaan di luar jam kerja. Jelaskan kepada orang lain bahwa Anda
memisahkan kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Selanjutnya variabel iklim organisasi juga merupakan variabel yang secara
konseptual di uji pengaruhnya terhadap keseimbangan kehidupan kerja anggota
organisasi. Iklim organisasi merupakan variabel yang di konseptualisasikan
sebagai cara anggota organisasi mengekspresikan perasaan dan pengalamannya
dalam bekerja dilingkungan organisasinya. Aspek penting yang dirasakan oleh
anggota organisasi dan dibentuk oleh kebijakan prosedur, dan praktek yang
ditempat kerja. Dengan demikian, iklim organisasi adalah gagasan setiap individu
memiliki pemahaman unik tentang iklim organisasi yang dirasakan baik
7

lingkungan yang bersifat fisik dan juga lingkungan yang bersifat non-fisik.
Selanjutnya, variabel kepuasan kerja menjadi salah satu variabel independent
yang diasumsikan secara akademik mempengaruhi keseimbangan Kesehatan
kerja. Kepuasan kerja merupakan topik yang menarik karena kepuasan kerja
merupakan indikator efektivitas manajemen sumber daya manusia dan perilaku
organisasi yang berpengaruh terhadap keseimbangan kehidupan kerja dan
berujung kepada kinerja dan produktivitas individu dan organisasi.Kepuasan kerja
merupakan perasaan atau sikap anggota organisasi secara umum terkait dengan
pekerjaannya yang mencakup lingkungan kerja, kondisi kerja, reward yang
berkeadilan dan komunikasi dengan sesame anggota organisasi. Keseluruhan
komponen kepuasan kerja tersebut berpengaruh terhadap keseimbangan
kehidupan kerja anggota organisasi. Berdasarkan latar belakang permasalahan
diatas, penelitian ini berusaha menjawab pertanyan penelitian berikut ini.

1.2 Pertanyaan Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang:
1. Apa dan Bagaimana pendapat anggota polisi tentang keseimbangan
kehidupan kerja, keterlibatan anggota, iklim organisasi dan kepuasan kerja di
Polda Metro Jaya?
2. Apakah ada dan bagaimana perbedaan pendapat tentang keseimbangan
kehidupan kerja, keterlibatan anggota, iklim organisasi dan kepuasan kerja
antar fungsi unit organisasi responden di Polda Metro Jaya?
3. Bagaimana pengaruh keteribatan anggota, iklim organisasi, kepuasan kerja
terhadap keseimbangan kehidupan kerja di Polda Metro Jaya?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji :
1. Pendapat anggota polisi tentang keseimbangan kehidupan kerja, keterlibatan
anggota, iklim organisasi dan kepuasan kerja di Polda Metro Jaya?
2. Perbedaan pendapat tentang keseimbangan kehidupan kerja, keterlibatan
anggota, iklim organisasi dan kepuasan kerja antar fungsi unit organisasi
8

responden di Polda Metro Jaya?


3. Pengaruh keteribatan anggota, iklim organisasi, kepuasan kerja terhadap
keseimbangan kehidupan kerja di Polda Metro Jaya?

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu
pengetahuan khusus dalam memperkaya khasanah penelitian dibidang manajemen
sumber daya manusia yang berkaitan dengan keseimbangan kehidupan kerja
(work life balance) yang menjadi bagian penting bagi usaha meningkatkan kinerja
individu dan organisasi. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat
mendukung manajemen sumberdaya manusia untuk menggunakan keseimbangan
kehidupan kerja sebagai alat untuk membantu kesejahteraan anggota organisasi
khususnya persepsi anggota organisasi terhadap keseimbangan antara dunia kerja
dan keluarga yang keduanya saling berinteraksi serta mempengaruhi produktivitas
organisasi dan individu itu sendiri sebagai anggota organisasi.
9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Penelitian yang mengeksplorasi fenomena work life balance melalui
teknik kualitatif sudah cukup banyak (Wong & Ko, 2009) dan begitu juga
penelitian kuantitatif yang meneliti antara keseimbangan kehidupan kerja dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Wong and Ko (2009) mengungkapkan
bahwa karyawan hotel menemukan keseimbangan ketika diberikan waktu istirahat
yang memadai; dukungan keseimbangan kehidupan kerja di tempat kerja;
komitmen kerja; fleksibilitas penjadwalan; orientasi hidup; kemampuan untuk
secara sukarela mengurangi jam kerja ketika kehidupan keluarga menuntutnya;
dan pemeliharaan pekerjaan dan karir. Temuan kualitatif ini telah memberikan
dukungan untuk studi kuantitatif tentang work life balance.
Studi kualitatif penting lainny dalam industri perhotelan mengeksplorasi
opini keseimbangan kehidupan kerj adari manajer level awal. O’Neill (2012)
menemukan bahwa para manajer ini mengungkapkan kegelisahan mengenai
masalah utama yang dirasakan dari stres, kelelahan, dan pengasuhan anak karena
tuntutan waktu pekerjaan. Temuan juga mengungkapkan keprihatinan dengan
kemampuan berprestasi juga mengungkapkan bahwa sifat industri yang bergerak
cepat dan berbagai tugas yang melekat dalam pekerjaan memfasilitasi persepsi
bahwa waktu berlalu dengan cepat.
Manajer penginapan juga diwawancarai untuk menilai kemampuan
manajer di industri perhotelan yang juga orang tua dalm mencapai work life
balance (Hsieh & Eggers, 2010). Mayoritas manajer menunjukkan bahwa
keseimbangan dapat berubah sepanjang hidup seseorang dan itu biasa untuk
membuat pengorbanan pada usia yang lebih muda untuk meningkatkan peluang
kemajuan karir (Hsieh & Eggers, 2010). Hasilnya juga menunjukkan bahwa
mencapai posisi manajerial memberikan fleksibilitas penjadwalan yang lebih
besar dan pada titik inilah karir mereka ada kesadaran bahwa kehidupan pribadi
telah dikorbankan dan dirusak. Menariknya, semua responden dalam penelitian ini

9
10

yang menikah mengaitkan dukungan pasangan dengan kemampuan mereka untuk


mengurangi konflik kehidupan kerja (Hsieh & Eggers, 2010).
Meskipun ada sedikit jumlah penelitian kuantitatif tentang keseimbangan
kehidupan kerja dalam industri perhotelan, ada beberapa penelitian yang masih
ada. Misalnya, penelitian perhotelan telan menunjukkan bahwa tingkat kelelahan
emosional individu secara signifikan berfungsi untuk memediasi efek konflik
pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan pada kinerja pekerjaan dan
keterikatan pekerjaan (Karatepe, 2013). Hal ini dianggap relevan bagi ka Khusus
untuk industri perhotelan, penelitian telah menunjukkan pembenaran bagi
eksekutif perhotelan untuk mengintegrasikan praktik keseimbangan kehidupan
kerja agar tetap kompetitif di pasar (Mulvaney, O’Neill, Cleveland, & Crouter,
2007). Karatepe and Bekteshi (2008) menyarankan bahwa organisasi dapat
membantu mendukung keseimbangan kehidupan kerja melalui kebijakan dan
tunjangan termasuk cuti keluarga yang dibayar, perawtan anak di tempat kerja,
asuransi kesehatan, dan jadwal kerja yang fleksibel atau padat. Para peneliti
menyarankan bahwa ketersediaan dan penggabungan praktik-praktik ini
menunjukkan jenis perhatian yang diinginkan untuk menunjukkan lingkungan
kerja yang mendukung keluarga secara berkelanjutan. Namun, penelitian ini
terbatas pada karyawan perhotelan lini depan, yang meninggalkan celah dalam
penelitian untuk staf manajemen atau pengawas (Karatepe & Bekteshi, 2008).
Karyawan lini depan dan manajer mereka. Penelitian perhotelan juga
menemukan bahwa ketersediaan tunjangan yang berpusat pada keluarga dan staf
pengawas yang suportif memiliki efek positif pada integrase karyawan dalam
pekerjaan dan kehidupan keluarga (Karatepe & Bekteshi, 2008) dan
mempromosikan sumber daya penyangga yang berfungsi untuk menciptakan
keseimbangan (Chiang, Birtch, & Kwan, 2010). Tetapi masih ada cendikiawan
perhotelan lainnya yang telah menemukan bahwa peran keluarga jauh lebih besar
dalam menganggu peran kerja daripada peran kerja yang mengganggu peran
keluarga (Namasivayam & Zhao, 2007).
11

2.2 Keseimbangan Kehidupan Kerja (Work Life Balances)


2.2.1 Teori Keseimbangan Kehidupan Kerja (Work Life Balances)
Peran sosial yang diemban individu membantu membentuk dan
mendefinsikan individu tersebut. Peran yang diadopsi ini memungkinkan individu
untuk membentuk batas yang ditentukan sendiri yang pada gilirannya berfungsi
untuk mencipatakan perilaku (bagaimana individu bertindak), relasional (dengan
siapa individu berhubungan), afektif (bagaimana perasaan individu), spasial (lokal
fisik individu), dan batas waktu (bagaimana waktu penggunaan individu) (Frone,
2003). Secara inheren, peran sosial yang diadopsi sangat penting dalam
membentuk kehidupan semua individu (Ashforth, Kreiner, & Fugate, 2000; Clark,
2000). Selain itu ada penggambaran yang jelas antara domain pekerjaan dan
kehidupan (Rice, McFarlin, Hunt, & Near, 1985). Peran non-kerja yang diadopsi
oleh indiviu berkisar dari keluarga ke masyarakat hingga sesuatu yang sifatnya
religius, bahkan peran pelajar. Karena peran yang diasumsikan individu
memberikan makna dan struktur, keseimbangan atau ketidakseimbangan yang
diciptakan dan dipaksakan oleh peran sosial ini menjadi perhatian khusus bagi
banyak peneliti di berbagai disiplin ilmu. Ashforth et al. (2000) menegaskan
bahwa berbagai peran yang diberlakukan oleh suatu batas asuh individu. Batasan
peran tersebut bervariasi dalam fleksibilitas dan permeabilitasnya, namun transisi
batas seringkali merupakan hasil yang diperlukan.
Berbagai peran yang diasumsikan oleh individu tidak selalu menyiratkan
hasil dari konflik peran melainkan ada efek positif dan negatif dari transisi peran
(Sieber, 1974). Ilmuwan perilaku organisasi awal berpendapat bahwa untuk
menilai secara akurat dampak dari berbagai peran pada individu, penting untuk
mempertimbangkan tidak hanya hasil negatif, seperti kelebihan beban, ketegangan
atau kelelahan, tetapi juga hasil positif, yang meliputi kepuasan dan penghargaan
(Sieber, 1974). Asumsi berbagai pekerjaan dan peran hidup seharusnya tidak
hanya diperiksa melalui lensa yang hasilnya adalah penipisan energi (meskipun
ini adalah hasil yang tidak dapat disangkal) karena ada peran yang menghasilkan
efek pemberian energi. Dengan demikian, telah disarankan bahwa efek positif
berfungsi lebih besar daripada biaya negative dari asumsi peran ganda (Marks,
12

1977; Sieber, 1974). Faktanya, para ahli modern telah menunjukkan bahwa ada
pelaporan yang sama tentang efek positif dan negatif yang dihasilkan dari asumsi
pekerjaan dan peran keluarga serta cara peran ini mempengaruhi satu sama lain
(Grzywacz & Marks, 2000b; Hammer, Cullen, Neal, Sinclair, & Shafiro, 2005).
Bahkan telah dikemukakan bahwa pengalaman pengayaan peran dan konflik
peran oleh individu adalah ujung masing-masing dari suatu kontinum di mana
berbagai hasil peran keluarga dan pekerjaan ada (Greenhaus & Powell, 2006).
Greenhaus and Powell (2006) mendefinisikan pengayaan peran sebagai “sejauh
mana pengalaman dalam satu peran menigkatkan kualitas hidup dalam peran
lainnya” (hal. 73). Penelitian telah menunjukkan pengayaan peran dan konflik
peran secara jelas dan berbeda berhubungan dengan variabel lain. Mereka tidak
berkorelasi tinggi, dan, untuk berbagai hasil seperti kepuasan kerja, kepuasan
kehidupan rumah, dan kepuasan hidup, mereka memberikan prediksi tambahan
satu sama lain (Greenhaus & Powell, 2006; van Steenenbergen, Ellemers, &
Mooijaart, 2007). Demikian pula, ahli work life balance telah mengemukakan
bahwa work life balance itu sendiri secara konseptual unik dari pengayaan
kehidupan kerja dan konflik kehidupan kerja karena perspektif keseimbangan
global dan didukung oleh teori peran (Carlson, Grzywacz, & Zivnuska, 2009).
Penekanan keseimbangan terletak pada kemampuan individu untuk memenuhi
tuntutan peran yang dikarenakan oleh kehidupan kerja dan kehidupan keluarga.

2.2.2 Kategorisasi Keseimbangan Kehidupan Kerja


Ada banyak definisi keseimbangan kehidupan kerja meskipun para ahli
belum sampai pada konsensus makna mengenai definisi ini (Reiter, 2007). Telah
disarankan bahwa cara di mana work life balance harus diinterpretasikan adalah
melalui pengakuan terhadap ideologi yang mendasari konstruksi tersebut dan
kemudian menerapkan definisi yang mendukung perspektif ideologis yang
menjadi dasar dari interpretasi tersebut (Reiter, 2007). Taksonomi ideologi yang
disarankan oleh Forsyth (1980) menyoroti empat kategori di mana keseimbangan
kehidupan kerja dapat dilihat: absolutist, exceptionist, subjectivitst dan
situationist.
13

Absolutists dan exceptionists terdiri dari sisi tipologi nonrelativitstik.


Selanjutnya, perhatian terhadap konsekuensi keseimbangan kurang dari perspektif
ini (Reiter, 2007). Distribusi waktu, keterlibatan, dan kepuasan yang setara di
seluruh domain pekerjaan dan kehidupan seperti yang dikemukakan oleh
Greenhaus, Collins, and Shaw (2003) menunjukkan tipologi absolutist. Marks and
MacDermid (1996) mendukung perspektif ini. Mereka menyatakan bahwa
individu yang menunjukkan lebih banyak keseimbangan di seuma peran dan
aktivitas melaporkan mengalami lebih sedikit ketegangan peran dan depresi ketika
individu tersebut memiliki harga diri yang lebih tinggi, kemudahan peran, dan
tanda-tanda kesejahteraan tambahan. Perspektif exceptionist berfaedah dan
bertujuan untuk mengungkapkan keseimbangan apa yang paling cocok untuk
sebagian besar individu (Reiter, 2007).
Alternatif untuk kedua perspektif ini adalah perspektif subjectivitst dan
situationist, yang menunjukkan bahwa ada beberapa iterasi keseimbangan.
Perspektif subjectivist menawarkan bahwa “karena tidak ada standar moral yang
valid kecuali mengacu pada perilaku seseorang, evaluasi moral harus bergantung
pada perspektif pribadi” (Forsyth, 1980, p. 176). Perspektif situationist adalah
perspektif di mana karyawan dibimbing untuk berkonsentrasi pada manfaat
optimal, termasuk memaksimalkan kepuasan dan pengalaman, serta
meminimalkan stres dan kesalahan, baik dalam domain pekerjaan maupun
kehidupan sehari-hari (Reiter, 2007). Reiter (2007) menegaskan bahwa perspektif
ini paling berharga bagi akademisi dan praktisi. Sudut pandang situationist
memberi peneliti kesempatan untuk mengeksplorasi karakteristik dan faktor yang
memfasilitasi keseimbangan kehidupan kerja untuk kelompok tertentu (misalnya,
koki eksekutif). Secara khusus, perspektif situationist menekankan pada
penyesuaian definisi keseimbangan agar sesuai dengan konteks pribadi individu.
Selain itu, keseimbangan memfasilitasi pengelompokan individu sesuai dengan
kesamaan nilai, termasuk berdasarkan karir, jenis kelamin, struktur keluarga,
tingkat kehidupan, atau tingkat pendapatan dengan berbagai definisi work life
balance (Reiter, 2007).
14

2.2.3 Mendefinisikan Keseimbangan Kehidupan Kerja


Keseimbangan kehidupan kerja telah digambarkan sebagai keseimbangan
antara pekerjaan dan semua aktivitas kehidupan lainnya ynag terjadi di luar
pekerjaan (Guest, 2002). Secara tradisional, work life balance digunakan untuk
memberikan konotasi terhadap kesediaan untuk berkompromi atau membalas
dalam memberikan lebih atau kurang dari diri sendiri ke satu bidang bilai sesuai
dan memungkinkan, idenya adalah bahwa lebih sering daripada tidak, skala yang
berujung pada pekerjaan (Ransome, 2007). Pandangan ini telah dikemukakan oleh
cendikiawan lain, yang juga mempertahankan bahwa keseimbangan kehidupan
kerja adalah “pencapaian ekspektasi terkait peran yang dinegosiasikan dan
dibagikan antara individu dan mitra terkait perannya dalam domain pekerjaan dan
keluarga” (Grzywacz & Carlson, 2007, p. 458). Fokus pada keseimbangan
kehidupan dan pekerjaan menyoroti nilai yang ditempatkan pada kualitas hidup
secara keseluruhan dan membahas fakta bahwa peningkatan tuntutan di tempat
kerja berkontribusi pada ketidakseimbangan (Guest, 2002; Lyness & Judiesch,
2014).
Mengadopsi premis bahwa work life balance harus dilihat dari perspektif
situationist, istilah work life balance tidak selalu berarti distribusi pekerjaan dan
kehidupan yang setara. Padahal, nilai keseimbangan antara domain pekerjaan dan
kehidupan tidak memiliki nilai intrinsik dari perspektif situationist. Sebaliknya,
keseimbangan memungkinkan kepuasan dengan peran yang berlangsung di
domain tersebut, dan itu adalah berbagai jenis kepuasan yang bernilai bagi
individu (Fletcher, 1966). Dari perspektif situationist, keseimbangan kehidupan
kerja didefinisikan sebagai “kepuasan dan fungsi yang baik di tempat kerja dan
dirumah, dengan minimal konflik peran” (Clark, 2000, p. 751). Definisi ini
didasarkan pada definisi peneliti sebelumnya yang juga mencirikan work life
balance sebagai bergantung pada individu dalam keadaan tertentu. Misalnya,
Kofodimos (1993) mendefinisikan work life balance sebagai:
menemukan alokasi waktu dan energi yang sesuai dengan nilai dan
kebutuhan Anda, membuat pilihan sadar tentang bagaimana
menyusun hidup Anda dan mengintegrasikan kebutuhan batin dan
15

tuntutan luar dan melibatkan penghormatan dan hidup dengan


kualitas, nilai, dan tujuan pribadi Anda yang terdalam. (p. 8)
Mengembangkan definisi ini lebih lanjut, keseimbangan kehidupan kerja
telah dijelaskan sebagai tuntutan dari pekerjaan dan domain kehidupan yang
memakasakn tingkat konflik yang dapat diterima untuk individu (Greenblatt,
2002). Oleh karena itu, kemampuan individu untuk mencapai tujuan tersebut
dalam setiap domain yang paling penting dengan memanfaatkan dan mengelola
sumber daya yang memfasilitasi pencapaian. Sumber daya yang membantu
individu dalam mencapai tujuan keseimbangan kehidupan kerja termasuk
keuangan, kontrol, temporal, dan sumber daya pribadi, dengan sumber daya
pribadi yang terdiri dari komponen fisik, psikologis, emosional dan sosial
(Greenblatt, 2002).
Baru-baru ini, definisi operasional yang mempertimbangkan arti penting
peran dan hasil dari kepuasan peran dan konflik peran menggambarkan
keseimbangan kehidupan kerja sebagai:
Mencapai pengalaman yang memuaskan di semua domain
kehidupan ke tingkat yang konsisten dengan arti penting dari setiap
peran untuk individu…. [yang] memperkenalkan kemungkinan
hierarki peran; namun… hal ini tidak menuntut bahwa hierarki
tidak diperlukan atau diinginkan untuk keseimbangan (Reiter,
2007, hlm.277).
Definisi ini memungkinkan keseimbangan terjadi dalam keadaan yang
lebih cair dengan memungkinkan individu untuk menilai sendiri apakah
keseimbangan telah tercapai atau tidak. Hal ini memungkinkan seseorang yang
berkembang di tempat kerja untuk menilai keseimbangan dalam hal yang sama
dengan individu yang lebih menekankan pada pencapaian tujuan tertentu dalam
domain sosial, keluarga atau kehidupan lainnya. Pada dasarnya, setiap orang dapat
mendefinisikan apa arti keseimbangan bagi mereka untuk mencapai tujuan yang
memfasilitasi keseimbangan itu. Definisi ini menawarkan definisi yang lebih
bermakna bagi akademisi dan praktisi karena personalisasi fenomena tersebut.
Pada akhirnya, perspektif ini sesuai untuk membingkai keseimbangan kehidupan
kerja sebagai sarana untuk memahami apa dan bagaimana sekelompok individu
16

tertentu (koki eksekutif) mencapai keseimbangan dan pendahuluan yang


diperlukan untuk mencapainya.

2.2.4 Hasil dari Keseimbangan Kehidupan Kerja


Hasil keseimbangan kehidupan kerja telah terbukti memengaruhi individu
dan organisasi. Salah satu hasil positif dari dukungan organisasi untuk work life
balance adalah tampilan kinerja kerja yang lebih tinggi (Karatepe & Bekteshi,
2008). Gallinsky (2005) menetapkan bahwa keseimbangan kehidupan kerja
mengarah pada peningkatan komitmen karyawan dan peningkatan retensi,
produktivitas, dan kesehatan mental. Kepuasan karir juga telah terbukti sebagai
hasil dari seberapa baik tujuan dan kebutuhan individu telah dicapai melalui
pilihan karir mereka (Timms & Brough, 2012). Para peneliti telah menunjukkan
bahwa pemberian fasilitas kerja-keluarga yang diberikan oleh perusahaan
berhubungan positif dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasi afektif
(Aryee, Srinivas, & Tan, 2005; Tompson & Werner, 1997).
Hasil puncak atau kedua dari belakang dari pengalaman manusia adalah
kepuasan hidup (Andrews, 1974). Penelitian penting telah mengeksplorasi topik
pengalaman hidup dalam kaitannya dengan pekerjaan seseorang, kesehatan dan
kehidupan sosial (Andrews & Withey, 1976; Campbell, Converse, & Rodgers,
1976). Pavot & Diener (2008) mendefinisikan kepuasan hidup sebagai penilaian
diri kognitif yang komprehensif dan kualitas hidup yang berfungsi sebagai
indikasi kesuksesan yang dirasakan seseornag dan komponen prinsip
kesejahteraan subjektif. Karena individu telah terbukti menarik kesimpulan
tentang kepuasan hidup berdasarkan domain kehidupan penting lainnya (Pavot &
Diener, 2008).
Faktanya, ada atau tidak adanya keseimbangan kehidupan kerja telah
diketahui berdampak pada kepuasan hidup. Adams, King, and King (1996)
meneliti kelebihan domain kerja ke domain kehidupan. Mereka menemukan
bahwa masalah pekerjaan dapat mengganggu kehidupan keluarga dan kepuasan
hidup, dan pada gilirannya mempengaruhi kepuasan karyawan dengan pekerjaan
itu sendiri (Adams et al., 1996). Studi yang lebih baru menemukan bahwa
17

keseimbangan kehidupan kerja sebenarnya adalah praktik di mana komponen dari


domain pekerjaan dan kehidupan berinteraksi dan bergantung satu sama lain
(Munn, 2013). Karatepe and Bekteshi (2008) menemukan bahwa praktik
pemberian fasilitas pekerjaan-keluarga berhubungan positif dengan kepuasan
hidup, dan bahwa konflik pekerjaan-keluarga sebenarnya mengurangi kepuasan
hidup.

2.2.5 Praktik Keseimbangan Kehidupan Kerja


Manajemen sumber daya manusia telah mencoba menggunakan
keseimbangan kehidupan kerja sebagai alat untuk membantu kesejahteraan
karyawan yang meningkatkan persepsi mereka tentnag keseimbangan dan
berkontribusi pada retensi, produktivitas tempat kerja dan menarik pelamar yang
lebih berkualitas (Evan & Vernon, 2007). Misalnya, peneliti telah menunjukkan
bahwa tuntutan pekerjaan perhotelan tidak secara inheren membuat stres, terutama
ketika dukungan organisasi bekerja dalam hubungannya dengan kontrol individu
atas tanggung jawab pekerjaan mereka (Chiang et al., 2010). Temuan mereka
menegaskan peran penting yang dimainkan kontrol pekerjaan dalam mengurangi
atau meminimalisir stress, dan juga bahwa dukungan organisasi aktif dalam
bentuk kebijakan keseimbangan kehidupan kerja berfungsi sebagai sumber daya
penyangga yang berharga (Chiang et al., 2010). Meskipun kontrol pekerjaan telah
dipelajari, masih ada kesenjangan dalam pemahaman tentang bagaimana hal itu
dapat ditingkatkan (Jones, Burke, & Westman, 2012).

2.2.6 Anteseden dari Keseimbangan Kehidupan Kerja


Telah banyak penelitian yang dilakukan di bidang keseimbangan
kehidupan kerja dalam ilmu sosial. Para peneliti telah melakukan studi kualitatif
dan kuantitatif pad topik penting ini untuk mengeksplorasi dan kemudian
menjelaskan fenomena tersebut. Studi telah meneliti cara-cara di mana stres dan
masalah dari pekerjaan mengganggu kehidupan keluarga, apakah stres dan
masalah dari kehidupan keluarga mengganggu pekerjaan, dan apakah gangguan
tersebut mempengaruhi komitmen organisasi atau tidak (Karatepe & Bekteshi,
2008; Namasivayam, & Zhao, 2007).
18

Satu studi menunjukkan bahwa peran keluarga mengganggu kepuasan


kerja jauh lebih besar daripada peran kerja mengganggu peran keluarga
(Namasivayam & Zhao, 2007). Peneliti lain telah mengungkapkan bahwa
dukungan dan fasilitas sosial keluarga membantu mengurangi konflik lintas batas
pekerjaan-keluarga dan meningkatkan fasilitas keluarga-pekerjaan (Abendroth &
den Dulk, 2011; Karatepe & Bekteshi, 2008). Selain itu, penelitian lain
menunjukkan bahwa pengaruh budaya memainkan peran penting dalam
memprediksi sejauh mana keseimbangan atau ketidakseimbangan yang diciptakan
oleh limpahan dari pekerjaan ke rumah dan peran rumah ke pekerjaan
mempengaruhi dan memprediksi kepuasan kerja (Namasivayam & Zhao, 2007).
Namun, terlepas dari pengaruh budaya, sangat disarankan dalam literatur bahwa
peran keluarga sangat mempengaruhi keseimbangan kehidupan kerja individu
(Hall & MacDermid, 2009; Hsieh & Eggers, 2010; Minnotte, 2012).
Gender juga telah disorot sebagai prediktor keseimbangan kehidupan kerja
(Aryee, Srinivas, & Tan, 2005; Minnotte, 2012). Aryee et al., (2005) menemukan
bahwa gender hanya sedikit memoderasi fasilitas pekerjaan-keluarga,
menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan benar-benar mengalami masalah
yang sama berkenaan dengan keseimbangan kehidupan kerja tanpa memandang
gender. Temuan ini berbeda dari penelitian lain yang menunjukkan bahwa gender
terkait dengan masalah keseimbangan kehidupan kerja baik dari perspektif
pengawasn maupun dari perspektif pekerjaan perempuan, meskipun untuk alasan
yang berbeda (Lyness & Judiesch, 2014). Tetap saja, penelitian lain telah
mengungkapkan interaksi yang signifikan antara gender dan status orang tua
tunggal dalam memprediksi konflik pekerjaan ke keluarga (Minnotte, 2012).
Temuan yang saling bersaing ini menunjukkan bahwa diperlukan penelitian lebih
lanjut tentang hubungan antara gender dan keseimbangan kehidupan kerja.
Shankar and Bhatnagar (2010) meneliti keseimbangan kehidupan kerja
dan hasil organisasi, dan menyarankan hubungan antara keterlibatan karyawan
dan keseimbangan kehidupan kerja. Tautan ini diusulkan dalam model yang
belum diuji. Cendikiawan lain menguji hubungan antara keterlibatan karyawan
dan keseimbangan kerja-keluarga dan menemukan bahwa itu tidak signifikan
19

(Parkes & Langford, 2008). Namun, keseimbangan kehidupan kerja adalah


prediktor keterlibatan dalam penelitian ini. Hubungan antara dua konsep dengan
keterlibatan karyawan sebagai prediktor masih harus ditetapkan. Namun, para
peneliti telah menyerukan penyelidikan atas hubungan ini.
Penelitian tambahan telah mengakui kepribadian sebagai anteseden
potensial untuk keseimbangan kehidupan kerja (Aryee, Srinivas, & Tan, 2005).
Aspek neurotisme kepribadian terbukti mendukung gagasan bahwa kepribadian
dapat memprediksi kemampuan individu untuk mencapai perasaan yang
seimbang, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperkuat klaim ini.
Frone (2003) juga mengemukakan bahwa kepribadian memainkan peran integral
dalam menentukan keseimbangan kehidupan kerja. Meskipun ada penelitian yang
sebagian menunjukkan hubungan antar dua konstruksi (Devi & Rani, 2012; Eby,
Maher, & Butts, 2010; Grzywacz & Marks, 2000b), ada pemahaman yang terbatas
tentang bagaimana kepribadian secara keseluruhan memprediksi keseimbangan
kehidupan kerja. Sebagian besar penelitian hanya meneliti dimensi kepribadian
tertentu.
Berkenaan dengan industri kuliner, penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa bekerja di dapur profesional sebagai koki itu menantang karena jam kerja
yang tidak tradisional dan panjang, masalah mendapatkan hari libur, tuntutan fisik
yang intens, dan kurangnya tunjangan yang diberikan (Bartholomew & Garey,
1996). Karatepe (2013) mengemukakan bahwa kesesuaian individu dalam iklim
organisasi berkontribusi untuk memahami keseimbangan kehidupan kerja antara
karyawan lini depan dan manajer di industri perhotelan. Oleh karena itu, akan
bermanfaat untuk menjelajahi iklim organisasi di dapur, bidang yang sebelumnya
belum dijelajahi, untuk memastikan apakah hal itu memengaruhi pencapaian
keseimbangan kehidupan kerja.
Akhirnya, tidak ada penelitian yang masih ada yang disadari peneliti yang
meneliti kualitas prediktif pemanggilan dalam kaitannya dengan keseimbangan
kehidupan kerja. Akan ditunjukkan pada bagian selanjutnya bahwa koki eksekutif
adalah posisi yang memenuhi definisi bekerja sebagai panggilan. Selain itu, cara
20

pemanggilan didefinisikan untuk menunjukkan bahwa harus ada hubungan


dengan keseimbangan kehidupan kerja. Karenanya, hubungan ini akan diperiksa.
Mengingat banyaknya variabel yang telah disarankan sebagai anteseden
keseimbangan kehidupan kerja, dan manfaat ketika keseimbangan telah tercapai,
penting untuk memahami variabel ini dan hubungan prediktifnya dengan
keseimbangan kehidupan kerja. Lebih khusus lagi, dalam konteks perhotelan dan
dapur, penting untuk memahami apakah variabel-variabel ini membantu
memprediksi keseimbangan kehidupan kerja untuk koki eksekutif atau tidak,
karena posisi dalam organisasi ini adalah salah satu yang tidak dapat
dipertukarkan dan sangat penitng bagi keberhasilan organsiasi. Untuk lebih
memahami variabel prediktif yang terkait dengan keseimbangan kehidupan kerja
(panggilan, keterlibatan karyawan, kepribadian, iklim organisasi, gender dan
peran keluarga), pertama-tama penting untuk menjelaskan teori yang mendukung
keseimbangan kehidupan kerja.

2.3 Keterlibatan Anggota Organisasi (Employee Engagement)


2.3.1 Pengertian Keterlibatan Anggota Organisasi (Employee Engagement)
Khan (1990) mengembangkan konstruksi keterlibatan karyawan
berdasarkan karya Goffman (1961). Premis keterlibatan adalah bahwa orang
melekat dan terlepas dari peran kerja mereka pada tingkat dan waktu yang
bervariasi (Goffman, 1961). Khan (1990) mengemukakan bahwa tiga kondisi
psikologis membentuk keterlibatan karyawan: kebermaknaan, ketersediaan, dan
keamanan. Makna psikologis diwakili oleh energi emosional, fisik atau kognitif
yang dialami individu dan menginvestasikan waktu dalam suatu peran (Khan,
1990). Ketersedian psikologis mewakili kepercayaan diri seseorang yang
mendekati dan terlibat dalam peran pekerjaan mereka. Aktivitas yang terjadi di
luar tempat kerja dapat meningkatkan atau mengurangi kemampuan individu
untuk tersedia secara psikologis untuk peran kerja (misalnya, ulang tahun anggota
keluarga atau kematian anggota keluarga). Keamanan psikologis mewakili
kemampuan individu untuk berperilaku dengan cara yang alami dan
21

memanfaatkan keterampilan dan bakat dalam suatu peran tanpa takut akan
dampak negatif atau kritik (Khan, 1990).
Selanjutnya, keterlibatan berada di dalam individu, bukan pekerjaan itu
sendiri (Lewis, 2011). Dengan demikian, individu yang mengadopsi perannya
dikatakan memiliki rangkulan peran (role embracement), dan individu yang
menunjukkan ketidaksesuaian atau penolakan terhadap peran dikatakan
mengekspresikan jarak peran. Berdasarkan landasan ini, cendikiawan keterlibatan
karyawan telah berfokus pada tingkat yang berbeda-beda bahwa seornag individu
menempati perannya dalam suatu organisasi dan bagaimana secara psikologis
individu tersebut hadir selama durasi waktunya di tempat kerja (Khan, 1990).
Lalu keterlibatan dapat berfungsi sebagai prediktor penting dari kinerja peran
dalam sebuah organisasi (Khan, 1990).
Oleh karena itu, para cendikiawan mempertahankan adanya hubungan
dinamis antara individu dan peran pekerjaan mereka sehingga keterlibatan dalam
peran memfasilitasi baik diri untuk diekspresikan dalam peran itu (ekspresi diri)
dan pemasukan energi ke dalam kinerja peran tertentu (wirausaha) (Kahn, 1990).
Dengan demikian, tingkat keterlibatan individu berada pada kontinum yang
berkisar dari pelepasan hingga keterlibatan. Keterlibatan lebih lanjut tidak semata-
mata suatu sikap, melainkan sejauh mana individu diserap dalam kinerja perannya
dan jumlah perhatiannya pada pekerjaan (Kahn, 1990). Jadi, ada pendapat bahwa
keterlibatan ditunjukkan melalui tingkat energi yang tinggi, antusiasme terhadap
pekerjaan dan penyerapan dalam pekerjaan; itu adalah pengabdian individu dari
sumber daya kognitif, emosional, dan fisiknya untuk peran kerja (Saks, 2006).
Hasil positif dari keterlibatan termasuk kemungkinan yang lebih besar untuk
bekerja lebih keras dan dengan usaha yang lebih besar daripada individu yang
tidak terlibat (Bakker & Oerlemans, 2012). Namun, keterlibatan bukanlah sesuatu
yang dapat dicapai 100% setiap saat— pemulihan dari perhatian dan penyerapan
yang intens diperlukan (Bakker & Oerlemans, 2012). Berdasarkan atribut ini,
keterlibatan telah didefinisikan sebagai “memanfaatkan diri anggota organisasi
untuk peran kerja mereka” (Kahn, 1990, hlm. 694) dan merupakan kombinasi dari
tiga keadaan psikologis: 1) kebermaknaan, 2) keselamatan dan 3) ketersediaan.
22

Karyawan lebih terlibat dalam situasi di mana mereka menemukan makna, merasa
aman, dan tersedia secar psikologis (Khan, 1990; May, Gilson, & Harter, 1994).
Cendikiawan baru-baru ini telah mengadaptasi konsep ini dan
mendefinisikan keterlibatn sebagai “sejauh mana karyawan fokus dan hadir dalam
peran mereka” (Rothbard & Patil, 2012, hlm. 56). Kemudian, keterlibatan
karyawan adalah keadaan pikiran yang positif dan memuaskan; ditandai dengan
semangat, dedikasi, dan penyerapan (Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, &
Bakker, 2002). Semangat mewakili tingkat energi dan ketahanan mental yang
ditampilkan individu. Hal ini juga ditandai dengan jumlah upaya yang tersedia
dilakukan seseorang dalam pekerjaan mereka dan jumlah ketekunan yang
ditunjukkan selama situasi sulit. Dedikasi dicirikan oleh jumlah individu yang
terinspirasi, tertantang, antusias dan menemukan signifikansi dalam pekerjaan
mereka. Jumlah kebanggan seseorang dalam bekerja juga merupakan sifat yang
melekat dalam dedikasi. Penyerapan menandakan kemampuan individu untuk
berkonsentrasi penuh dan sejauh mana seseorang menjadi begitu asyik dengan
pekerjaannya sehingga tampaknya waktu berlalu dengan cepat. Skala Keterlibatan
Kerja Ultrecht (Utrecht Work Engagement Scale (UWES)) dikembangkan untuk
mengukur tiga dimensi kekuatan, dedikasi dan penyerapan. Ini telah dianggap
sebagai ukuran yang valid dan dapat diandalkan dari konsep keterlibatan
(Schaufeli et al., 2002).
Penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan yang terlibat pekerjaan
mereka lebih cenderung memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap pemberi
kerja mereka dan hubungan yang lebih baik dengan pemberi kerja mereka
(Karatepe, 2011; Saks, 2006). Hal itu juga menunjukkan bahwa karyawan yang
terlibat menunjukkan tingkat kinerja kerja yang lebih tinggi (Abraham, 2012).
Hasil individu yang terkait dengan keterikatan karyawan meliputi kualitas
pekerjaan yang dihasilkan oleh individu bersama dengan pengalaman positif dari
melakukan pekerjaan (Kahn, 1992). Saat memeriksa individu di seluruh hierarki
organisasi, ditemukan bahwa eksekutif senior menunjukkan tingkat keterlibatan
terbesar dan tingkat pelepasan terendah, sementara karyawan tingkat lini
menunjukkan tingkat pelepasan tertinggi (Towers Perrin, 2003). Apa yang
23

disarankan penelitian ini adalah, mengingat tingkat koki eksekutif dalam hierarki
dapur dan restoran, tingkat keterlibatan yang ditampilkan individu yang
menempati peran itu harus lebih tinggi.

2.3.2 Keterlibatan Karyawan dan Keseimbangan Kehidupan Kerja


Memotivasi individu untuk terlibat dalam peran pekerjaan mereka adalah
masalah organisasi yang dibuat lebih kompleks dengan fakta bahwa beberapa
peran mungkin ada dan perilaku, emosi, dan perasaan terkait satu peran dapat
meluas ke peran lain (Edwards & Rothbard, 2000). Tidak selalu mungkin bagi
seseorang untuk meninggalkan emosi yang melekat pada masalah yang muncul di
rumah ke dalam pekerjaan dan begitu juga sebaliknya. Selain itu kompleksitas
dari ekspektasi pekerjaan tertentu sedemikian rupa sehingga banyak peran harus
dilibatkan untuk memenuhi dan mencapai harapan tersebut. Misalnya, koki
eksekutif mungkin bertugas mengelola dapur dan staf (peran internal) tetapi
mungkin juga bertanggung jawab atas pemasaran restoran (misalnya,
menghasilkan kesadaran melalui kompetisi makanan dan acara amal; peran
eksternal).
Literatur telah mengungkapkan tidak adanya motivasi dan kepuasan dalam
profesi kuliner, khususnya di kalangan koki (Pratten, 2003). Penelitian tambahan
telah menunjukkan bahwa faktor-faktor intrinsik, termasuk variasi dalam
pekerjaan, kemampuan untuk mengekspresikan kreativitas, pekerjaan yang
menarik dan menantang, dan sifat kompetitif pekerjaan, semuanya dirasa oleh
koki lebih dihargai daripada faktor ekstrinsik seperti jumlah karyawan, hari cuti
sakit, gaji, dan hari libur dibayar (Chuang, Yin, & DellmannJenkins, 2008).
Chuang et al. (2008) menemukan bahwa koki yang bekerja di restoran fine dining
dan mengelola 21 sampai 30 karyawan mengalami tingkat kepuasan tertinggi.
Hasil studi tersebut juga menemukan bahwa koki yang bekerja di restoran casual
dining dan mengelola antara 31 hingga 40 karyawan memiliki tingkat kepuasan
karir yang paling rendah. Literatur dalam psikologis telah mengungkapkan bahwa
tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dikaitkan dengan tingkat kepuasan kerja
yang tinggi (Adams, King, & King, 1996). Namun, temuan ini juga dikaitkan
24

dengan pekerjaan yang mengganggu kehidupan keluarga, dan dengan


menciptakan ketidakseimbangan atau konflik antara domain pekerjaan dan
kehidupan.
Identifikasi peran dan keterlibatan organisme merupakan komponen dari
fenomena teori peran (Ashforth, Kreiner, & Fugate, 2000; Biddle & Thomas,
1966). Identifikasi peran menyatakan bahwa individu cenderung menghargai dan
menjadi telribat dalam peran yang secara intrinsik memuaskan mereka, di mana
mereka mahir dan di mana mereka diberi penghargaan secara ekstrinsik (Ashforth
et al., 2000). Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa karyawan yang puas
dengan pilihan karir mereka lebih cenderung terlibat dan produktif di tempat kerja
(Schaufeli, 2004; Timms & Brough, 2012). Misalnya, koki selebriti dapat memilih
untuk mengidentifikasi dengan peran profesionalnya daripada peran orang tua
karena ada manfaat sosial selain keuntungan pribadi yang terkait dengan peran
profesional tersebut.
Selanjutnya, semakin individu menghargai peran dan identitas terkait
dengan peran itu, semakin besar kemungkinan menginternalisasi peran dan
melihatnya sebagai perpanjangan dari dirinya (Ashforth et al., 2000). Jadi, ketika
seorang individu ditentukan oleh peran yang dia identifikasi (misalnya, saya
seorang koki eksekutif), itulah titik di mana identifikasi peran terjadi (Ashforth et
al., 2000; Ashforth & Mael, 1989). Peran tersebut kemudian diinternalisasikan
oleh individu dan menjadi setidaknya definisi parsial dari diri—individu secara
efektif menjadi peran (Ashforth, 1998).
Penelitian juga menunjukkan bahwa semakin besar individu
mengidentifikasi dengan peran, semakin sering individu mencari peluang untuk
mengekspresikan peran itu sebagai perpanjangan harga diri dari konsep diri
mereka (Ashforth et al., 2000). Identifikasi yang melekat ini mendorong individu
untuk berusaha mengintegrasikan peran itu dengan peran kehidupan lainnya.
Dengan demikian, batas-batas yang dibuat oleh individu atau melekat dalam peran
itu sendiri, dapat dilonggarkan oleh individu untuk mengurangi kontras antara
berbagai pekerjaan dan peran hidup (Ashforth et al., 2000). Misalnya, seseorang
yang teridentifikasi kuat sebagai koki eksekutif mungkin bereksperimen dengan
25

makanan di rumah untuk memajukan karier mereka. Namun, ada batasan jumlah
yang diinginkan dengan integrase peran (Ashforth et al., 2000). Sementara
beberapa individu mungkin memilih untuk menjalankan bisnis milik keluarga atau
bekerja di rumah, yang lain membutuhkan pemisahan fisik dari keduanya dan
waktu perjalanan untuk mendekompresi dan memfokuskan kembali dari satu
peran ke peran lainnya (Mirchandani, 1998; Yalof, 1988).
Konsentrasi penuh dalam pengalaman peran menjadi lebih cepat dan
mudah ketika individu secara fisik dan psikologis dirangsang oleh apa yang
ditawarkan peran tersebut (Ashforth et al., 2000). Untuk itu, cendikiawan
keterlibatan telah mendefinisikan karyawan yang terlibat sebagai individu yang
secara fisik, emosional dan kognitif mengekspresikan diri selama operasi peran
kerja (Simpson, 2008). Konsentrasi penuh melengkapi dan mendukung gagasan
penyerapan yang berfungsi sebagai salah satu dimensi keterlibatan karyawan. Para
peneliti juga berpendapat bahwa seringkali lebih sulit untuk melepaskan diri dari
aspek psikologis pekerjaan bila ada identifikasi yang kuat. Akibatnya, seorang
individu yang ingin terserap dalam suatu peran mungkin mengalami keengganan
untuk meninggalkan atau mematikan peran itu (Frone, Russell, & Cooper, 1992).
Literatur sebelumnya menegaskan bahwa, “integrase dan pengembangan
inisiatif baru yang dapat diterapkan dan digunakan yang bertujuan untuk
melibatkan karyawan… memiliki potensi untuk mendorong tempat kerja yang
bermakna yang membantu individu mencapai keseimbangan kehidupan kerja”
(Munn, 2013, 402). Konstruksi keterlibatan, pada intinya, menunjukkan
pengalaman pekerja sebagai sesuatu yang merangsang dan energetik (yaitu,
semangat) menarik dan mengasyikkan (yaitu, penerapan), dan bermakna dan
signifikan (yaitu, dedikasi) (Bakker & Oerlmans, 2012). Karyawan yang telibat
terbukti menjadi individu yang efisien dan antusias yang memiliki kendali atas
keadaan dan peristiwa yang memengaruhi kehidupan mereka (Schaufeli &
Bakker, 2010). Faktanya, penulis berpendapat bahwa karyawan yang telribat
adalah mereka yang gigih dalam menghadapi kesulitan di tempat kerja, bersedia
mengerahkan upaya ekstra di tempat kerja, dan menunjukkan energi dan
fleksibilitas yang tinggi di tempat kerja (Rothmann & Baumann, 2014).
26

Hasil dari sikap positif dan sifat khusyuk karyawan yang terlibat adalah
umpan balik positif yang didirikan sendiri (Bakker & Oerlmans, 2012; Rothbard
& Patil, 2012). Rothmann and Baumann (2014) menemukan bahwa pertukaran
kerja-rumah yang positif memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang
positif pada keterlibatan individu di tempat kerja. Secara khusus, interaksi kerja
yang positif menyebar ke rumah dan selanjutnya mendukung keterlibatan di
tempat kerja. Ini menunjukkan bahwa keterlibatan dan keseimbangan kehidupan
kerja dapat menghasilkan upan balik positif yang dibangun sendiri. Selain itu,
antusiasme yang dialami melalui keterlibatan telah dilaporkan menembus aspek
kehidupan di luar pekerjaan (Bakker & Oerlmans, 2012). Dari sini, masuk akal
bahwa karyawan yang terlibat membantu menciptakan keseimbangan kehidupan
kerja mereka di tempat kerja. Penelitian tambahan telah menunjukkan bahwa
keterlibatan memiliki hubungan signfikan dengan keluarga dan peran kerja
(Rothbard, 2001). Secara khusus, baik pengaruh positif dan negatif baik dari
keluarga atau peran pekerjaan terkait dengan penyerapan dan perhatian dalam
peran itu (Rothbard, 2001).

2.4 Iklim Organisasi (Organizational Climate)


2.4.1 Pengertian Iklim Organisasi (Organizational Climate)
Iklim organisasi mewakili konseptualisasi cara individu mengalami dan
menjelaskan tempat kerja mereka (Schneider, Ehrhart, & Macey, 2013). Iklim
organisasi telah didefinisikan sebagai "persepsi seseorang tentang aspek
psikologis penting dari lingkungan kerja" (Ashforth, 1985; p. 837). Aspek penting
yang dirasakan oleh seorang karyawan ini, sebagian, dibentuk oleh kebijakan
prosedur, dan praktik yang ditetapkan di temapt kerja, dan sebagian, merupakan
hasil dari perilaku yang diamati yang dihargai, didukung, dan selanjutnya
diharapkan oleh organisasi (Ostroff, Kinicki, & Tamkins, 2003; Patterson et al.,
2005; Schneider & Reichers, 1983; Schneider, Ehrhart, & Macey, 2011;
Scheneider et al., 2013). Dengan demikian, melekat dalam definisi iklim
organisasi adalah gagasan bahwa setiap individu memiliki pemahaman unik
27

tentang iklim organisasi dan dapat dilihat dalam berbagai cara ini bukan sesuatu
yang dicapai melalui konsensus (Klein, Conn, Smith, & Sorra, 2001).
Untuk membangun ide ini, penelitian sebelumna telah menyatakan bahwa
pencapaian utama penelitian iklim organisasi adalah penekanan yang ditempatkan
pada iklim tertentu (Patterson et al., 2005; Schneider et al., 2013). Ketika literatur
yang ada telah mengungkapkan bahwa ada antara 6 dan 11 dimensi iklim
organisasi, ada kebutuhan untuk penelitian untuk memeriksa area iklim yang
kurang umum dan lebih fokus pada yang mengeksplorasi hasil tertentu (Schneider
et al., 2013). Secara khusus, apa yang dicari para cendikiawan iklim organisasi
adalah penelitian yang memanfaatkan ukuran-ukuran yang penitng bagi konteks
organisasi. Pada akhirnya, para ahli terkemuka telah menyerukan tindakan “cocok
dengan bandwith dan fokus dari hasil yang akan diprediksi” (Schneider et al.,
2013, hal. 365). Hasil karyawan potensial dan diakui dari iklim organisasi yang
positif termasuk peningkatan tingkat retensi, perilaku produktif (yaitu,
peningkatan kehadiran, peningkatan kinerja, perilaku ekstra) dan kesejahteraan
psikologis dan fisik (Gormley & Kennerly, 2009; Meyer, Stanley, Herscovitch, &
Topolnystsky, 2002).
Permohonan untuk aliran penelitian yang lebih terfokus meminta kepada
para peneliti untuk memeriksa tidak hanya langkah-langkah yang membantu
menjelaskan hasil yang diprediksi (misalnya, keseimbangan kehidupan kerja),
tetapi subunit organisasi yang diminati (misalnya, manajemen) untuk
berkembang, survei yang bermakna dengan ukuran yang valid dan dapat
diandalkan (Schneider et al., 2013). Ini dapat diambil lebih jauh dari posisi
indiividu (misalnya, koki eksekutif) di organisasi serupa dapat dipelajari untuk
menentukan apakah ada persepsi umum tentang iklim. Untuk mencapai hal ini,
pertama-tama perlu untuk mengidentifikasi hasil yang diinginkan dan kemudian
menentukan tindakan mana yang akan memfasilitasi pemahaman yang lebih baik
tentang hasil tersebut.
Sesuai dengan daya Tarik untuk pemeriksaan yang lebih spesifik dari
konstruksi, para peneliti telah menetukan bahwa melihat secara khusus pada
komponen psikologis dan iklim organisasi sangat penting untuk memahami
28

konstruksi multi-dimensi yang kompleks ini (Koys & DeCotiis, 1991). Berfokus
pada faktor psikologis iklim organisasi memungkinkan peneliti untuk
mendapatkan analisis yang lebih komprehensif dari penilaian individu terhadap
organisasi (Koys & DeCotiis, 1991). Selain itu, fungsi iklim adalah untuk
mendorong dan mengerahkan perilaku individu ke arah yang diinginkan oleh
organisasi (Koys & DeCotiis, 1991).
Ada beberapa karakteristik utama yang membentuk persepsi iklim
individu. Pertama, persepsi iklim secara khusus berbeda dari evaluasi pengalaman
karyawan dalam suatu organisasi (Ashforth, 1985). Artinya, persepsi individu
tentang iklim tidak memperhitungkan kepuasan atau ketidakpuasan yang mungkin
mereka alami, melainkan hanya deskripsi pengalaman dalam iklim (Schneider,
1975). Ciri kedua dari iklim organisasi adalah ia merupakan sesuatu yang cukup
stabil dari waktu ke waktu (Campbell, Dunnette, Lawler, & Weick, 1970). Ciri
penentu ketiga dari iklim organisasi adalah bahwa hal itu umumnya dilihat oleh
mayoritas individu dalam organisasi atau unit tertentu dalam organisasi (Litwin &
Stringer, 1968; Payne & Pugh, 1975). Namun, beberapa iklim mungkin ada dalam
organisasi yang sama karena persepsi iklim dapat bervariasi antara tingkat
hierarki, serta di departemen berbeda yang melayani fungsi berbeda di dalam
organisasi, dan di lokasi geografis berbeda dari organisasi (Litwin & Stringer,
1968; Payne & Mansfield, 1973; Schneider & Hall, 1972). Dengan demikian, ada
beberapa keprihatinan yang diungkapkan bahwa mungkin ada banyak iklim dalam
suatu organisais karena ada individu yang menyusunnya (Johannesson, 1971).
Namun, jika upaya sisitematis dilakukan untuk menentukan apakah terdapat
perbedaan signifikan dalam iklim organisasi pada sejumlah ukuran demografis
yang obyektif (misalnya, usia, jenis kelamin, status perkawinan, masa kerja) maka
informasi iklim yang representatif dapat dikaitkan dengan organisasi dan berbagai
tingkatan hierarkinya (Hellriegel & Slocum Jr., 1974).
Ada beberapa upaya untuk memfokuskan penelitian pada iklim untuk
meningkatkan validitasnya (Hellriegel & Slocum Jr., 1974; Schneider et al.,
2013). Upaya penelitian untuk menilai iklim organisasi sebagian besar telah
memeriksa persepsi pekerja tentang bagaimana iklim berkontribusi pada
29

kesejahteraan karyawan (Schneider et al., 2011). Melihat secara khusus pada


industri jasa, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keterlibatan karyawan
(Salanova, Agut, & Peiro, 2005) kepemimpinan transformasional (Liao &
Chuang, 2007), dan kepemimpinan yang melayani (Walumbwa, Hartnell, & Oke,
2010) berfungsi sebagai anteseden yang memprediksi iklim layanan. Selain itu,
teori peran telah digunakan untuk menjelaskan persepsi pekerja tentang iklim
organisasi. Literatur sebelumnya mengungkapkan korelasi negatif yang signifikan
antar ambiguitas peran, konflik peran dan dimensi iklim organisasi (Gormley &
Kennerly, 2010).
Demikian pula, terdapat berbagai hasil yang dihasilkan dari iklim
organisasi yang positif. Cendikiawan organisasi telah mengakui iklim sebagai
pengaruh yang mungkin pada perilaku dan kepuasan kerja karyawan di tempat
kerja (Ashforth, 1985; Johnstone & Johnston, 2005). Penelitian juga menunjukkan
bahwa dukungan sosial dalam organisasi dapat mengurangi efek penyebab stres
pekerjaan dan dapat membantu individu untuk menghadapi lingkungan kerja
dengan lebih baik (Cooper & Cartwright, 1994; Peterson, 1997). Iklim organisasi
telah diakui sebagai faktor penting untuk dipahami dalam industri perhotelan
(Manning, Davidson, & Manning, 2004). Ada sejumlah hasil organisasi yang
terkait dengan iklim termasuk produktivitas tempat kerja (James & Jones, 1974),
komitmen organisasi (Lam, Lo, & Chan, 2002), perubahan dan pengembangan
organisasi (Morrison & Milliken, 2000), dan kepuasan organisasi (Ghiselli,
LaLopa, & Bai, 2001).

2.4.2 Iklim Organisasi dan Keseimbangan Kehidupan Kerja


Hubungan antara iklim organisasi dan keseimbangan kehidupan kerja telah
dimulai tetapi masih jauh dari bukti yang kuat, terutama di industri perhotelan.
Teori identitas peran dapat mendukung hubungan ini. Identitas peran adalah
identitas yang menggabungkan tujuan, keyakinan, norma, gaya interaksi dan nilai-
nilai individu (Stryker, 1980). Seperti iklim organisasi yang definisinya adalah
persepsi individu tentang lingkungan kerja, peran yang diasumsikan individu
dalam iklim itu juga mencerminkan persepsinya tentnag ap aarti dan kebutuhan
30

peran tersebut. Faktanya, identitas peran individu sebagian dibentuk oleh ruang
fisik di mana peran tersebut sesuai (Ashforth et al., 2000). Dengan demikian,
peran individu pada akhirnya akan mempengaruhi persepsi mereka tentang iklim
organisasi. Selain itu, dalam kasus tingkat manajemen yang lebih tinggi
(misalnya, koki eksekutif), individu-individu ini membantu menentukan iklim
organisasi.
Temuan dari satu studi tentang iklim organisasi mengungkapkan bahwa
lingkungan kerja yang dianggap mendukung, kohesif, inklusif dan bertekanan
rendah memiliki responden yang cenderung melaporkan tingkat kepuasan kerja
yang lebih tinggi, sedangkan iklim yang dianggap sebagai tekanan tinggi
cenderung memicu dorongan untuk bekerja keras pada responden (Johnstone &
Johnston, 2005).
Penelitian sebelumnya dalam iklim organisasi meneliti hubungan antara
konflik pekerjaan-keluarga, kelebihan beban kerja, peluang pengembangan, tujuan
kemajuan karir, harapan kemajuan karir, dan niat untuk keluar dari perusahaan
(Greenhaus, Collins, Singh, & Parasuraman, 1997). Akuntan yang Sudha menikah
atau memiliki anak atau keduanya dipelajari. Ketika temuan mengungkapkan
tingkah peralihan yang lebih tinggi untuk perempuan dibandingkan laki-laki,
temuan ini dijelaskan oleh perbedaan dalam aspirasi karir dna bukan masalah
konflik keluarga-pekerjaan. Selain itu, ditemukan bahwa kelebihan beban kerja
berkontribusi pada niat berpindah, bukan konflik pekerjaan-keluarga (Greenhaus
et al., 1997).
Dalam studi selanjutnya yang menghubungkan iklim organisasi dan
keseimbangan kehidupan kerja (Behson, 2002), mahasiswa yang dipekerjakan
dari universitas Amerika dijadikan sampel untuk menguji pengaruh iklim kerja
yang ramah keluarga pada kepuasan kerja, komitmen terhadap organisasi dan
konflik pekerjaan-keluarga. Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa
persepsi budaya kerja ramah keluarga berpengaruh signifikan terhadap konflik
pekerjaan-keluarga. Namun, tidak ada variabel lain yang diperiksa secara statistik
dipengaruhi secara signifikan oleh budaya ini.
31

Sebuah studi akhir meneliti pengaruh peran kerja dan persepsi iklim kerja
terhadap komitmen organisasi di kalangan perawat di akademisi (Gormley &
Kennerly, 2010). Hubungan dinamis antara iklim organisasi, ketidakjelasan peran,
konflik peran dan keseimbangan peran kerja dibangun. Baik ambiguitas peran dan
konlik peran telah dikatakan terjadi dalam keadaan di mana tanggung jawab yang
diperlukan dari berbagai peran membingungkan dan meregangkan peran kerja ke
titik ketegangan (Gormley & Kennerly, 2010). Studi ini mengungkapkan bahwa
ketika ambiguitas peran dan konlik peran dikatakan terjadi di tempat kerja, hal itu
memengaruhi iklim kerja dan komitmen secara negatif (Gormley & Kennerly,
2010).
Akhirnya, tidak ada studi tentang iklim organisasi yang berfokus secara
khusus pada karyawan tingkat manajerial yang mempengaruhi iklim. Mengingat
panggilan untuk penelitian untuk mengatasi subunit ini dalam organisasi untuk
lebih memahami konstruksi iklim organisasi (Patterson et al., 2005; Schneider et
al., 2013), masuk akal bahwa individu-individu yang membantu mendikte iklim
juga memerlukan penyelidikan untuk melihat bagaimana hal itu memengaruhi
mereka dan keseimbangan kehidupan kerja mereka. Selain itu, dengan
mempelajari lebih lanjut tentang persepsi koki eksekutif tentang iklim organisasi,
lingkungan dapur dapat dibangun yang mendukung hubungan positif, mendorong
metode kooperatif, dan memfasilitasi kejelasan peran yang ditingkatkan.

2.5 Kepuasan Kerja


2.5.1 Teori Kepuasan Kerja (Wanda Roose,2005). The Relationship
Between Employee Motivation, Job Satisfaction, Corporate Culture).
Thesis University of South Africa.
Konsep kepuasan kerja ini semakin mendapat perhatian dari organisasi
dewasa ini, karena pentingnya dan luasnya dalam hal efektivitas organsiasi telah
ditetapkan dengan kuat beberapa waktu yang lalu. Manajer sekarang merasa
bertanggung jawab secara moral untuk menjaga tingkat kepuasan kerja yang
tinggi di antara staf mereka, kemungkinan besar akan berdampak pada
produktivitas, absensi dan pergantian staf, serta pada aktivitas berserikat (Arnold
32

& Feldman, 1986). Kepentingannya melekat pada kepuasan kerja sudah signifikan
selama bagian pertama abad ke 20, dan Locke (1976) melaporkan, misalnya,
bahwa lebih dari 3000 studi terkait diterbitkan antara tahun 1935 dan 1976, rata-
rata satu publikasi setiap lima hari. Organisasi mengakui bahwa memiliki tenaga
kerja yang memperoleh kepuasan dari pekerjaan mereka berkontribusi besar
terhadap efektivitas organisasi dan kelangsungan hidup tertinggi. Kepuasan kerja
dianggap terkait dengan hasil penting karyawan dan organisasi, mulai dari kinerja
pekerjaan untuk kesehatan dan umur panjang (Specter, 2003).
Pentingnya kepuasan kerja di tempat kerja digarisbawahi oleh
hubungannya yang tak terpisahkan dengan seluruh kehidupan seseorang. Karena
pekerjaan seseorang di bagian terpenting dalam hidupnya, maka kepuasan kerja
adalah bagian dari kepuasan hidup. Sifat lingkungan di luar pekerjaan secara
langsung memengaruhi perasaan dan perilaku seseorang dalam pekerjaan
(Habede, 2001). Judge dan Watanabe (1993) memperkuat gagasn ini dengan
menyatakan bahwa ada hubungan positif dan timbal balik antara pekerjaan dan
kepuasan hidup dalam jangka pendek, dan bahwa seiring waktu, kepuasan hidup
secara umum menjadi lebih berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Schultz dan
Schultz (1998) menekankan bahwa orang menghabiskan sepertiga hingga
setengah dari jam bangun mereka di tempat kerja, untuk periode 40 hingga 45
tahun, dan bahwa ini adalah waktu yang sangat lama untuk frustasi, tidak puas,
dan tidak bahagia, terutama karena perasaan ini terbawa ke keluarga dan
kehidupan sosial, dan memengaruhi kesehatan fisik dan emosional. Sebuah
konsep dengan efek luar biasa pada kehidupan pribadi dan organisasi jelas layak
mendapatkan perhatian yang sesuai.

2.5.2 Definisi kepuasan kerja


Banyak sekali definisi konsep kepuasan kerja yang telah dirumuskan dari
waktu ke waktu. Arnold dan Feldman (1986, hal.86) menggambarkan kepuasan
kerja sebagai “jumlah keseluruhan pengaruh yang dimiliki individu terhadap
pekerjaan mereka”. Karenanya, kepuasan kerja yang tinggi berarti bahwa
seseorang menyukai pekerjaannya secara umum, menghargainya, dan merasa
33

positif tentang itu. Definisi McCormick dan Ilgen (1960) berbunyi serupa. Mereka
juga menganggap kepuasan kerja sebagai sikap seseorang terhadap pekerjaannya,
dan menambahkan bahwa sikap adalah respons emosional terhadap pekerjaan,
yang bervariasi di sepanjang kontinum dari positif ke negatif. Beck (1983)
menambahkan bahwa karena pekerjaan memiliki banyak karakteristik, kepuasan
kerja tentu merupakan penjumlahan dari sikap pekerja mengenai semua ini. Fitur
yang baik seimbang dengan yang buruk, sehingga kepuasan kerja secara
keseluruahan dianggap tinggi atau rendah. Tampaknya kepuasan kerja dapat
dipelajari dari dua perspektif yang sedikit berbeda. Pertama, kepuasan kerja dapat
diperlakukan sebagai perasaan tunggal dan menyeluruh terhadap pekerjaan
seseorang. Atau, peneliti dapat fokus pada berbagai aspek yang berdampak pada
suatu pekerjaan, mis. ganjaran dan lingkungan sosialnya, dan bahkan karakteristik
pekerjaan itu sendiri, seperti kontennya. Dipercaya bahwa pandangan terakhir ini
memungkinkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kepuasan kerja,
karena seorang individu biasanya mengalami tingkat kepuasan yang berebda di
berbagai aspek pekerjaan (Spector, 2003). Ini adalah jumlah total kepuasan
dengan berbagai aspek pekerjaan yang oleh banyak penulis secara kolektif disebut
sebagai kepuasan kerja.
Megginson, Mosley, dan Pietri (1982) menyatakan bahwa orang
mengalami kepuasan kerja ketika mereka merasa baik tentang pekerjaan mereka,
dan bahwa perasaan ini sering berkaitan dengan mereka melakukan pekerjaan
mereka dengan baik, atau mereka menjadi lebih cakap dalam profesi mereka, atau
mereka diakui karena kinerja yang baik. Locke (1976) held berpendapat bahwa
kepuasan kerja hanyalah keadaan emosional yang menyenangkan atau positif
yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
Kepuasan kerja dihasilkan dari persepsi bahwa pekerjaan seseorang memenuhi,
atau memungkinkan pemenuhan, nilai-nilai pekerjaan penting seseorang. Frasa
berbeda, pekerjaan memuaskan jika memenuhi keinginan dan kebutuhan pribadi.
Schneider dan Snyder (1975) menganggap kepuasan kerja sebagai evaluasi
pribadi atau kondisi yang ada dalam pekerjaan, atau hasil yang muncul sebagai
akibat dari memiliki pekerjaan. Tampaknya kemudian bahwa kepuasan kerja
34

merangkum persepsi dan evaluasi seseorang terhadap pekerjaanya, dan bahwa


persepsi ini dipengaruhi oleh disposisi unik orang tersebut. Oleh karena itu orang
akan mengevaluasi pekerjaan mereka terhadap aspek-aspek yang penting bagi
mereka (Sempane dkk., 2002).
Karena kepuasan kerja melibatkan emosi dan perasaan karyawan, itu
memiliki dampak besar pada kehidupan pribadi, sosial dan pekerjaan mereka
(Sempane dkk., 2002), dan untuk alasan ini juga dapat memengaruhi perilaku
mereka sebagai karyawan, mis. absensi (Locke, 1976; Visser, Breed, & Van
Breda, 1997). Kepuasan kerja kolektif karyawan juga dapat menghasilkan budaya
organisasi tertentu (Sampane dkk., 2002). Beberapa penulis setuju dengan ide-ide
yang disebutkan di atas mengenai kepuasan kerja dan respons emosional terhadap
pekerjaan, tetapi menambahkan bahwa beberapa aspek eksternal juga berdampak
pada yang terakhir. Sebagai contoh, Harrel (1968 dalam Vercuell, 1970)
menjelaskan bahwa kepuasan kerja berasal dari dan disebabkan oleh banyak
komponen yang saling terkait. Dengan menentukan komponen atau kombinasi
tunggal mana yang memberikan tingkat kepuasan kerja tertinggi, seseorang dapat
memperoleh indikasi tingkat kepuasan kerja secara umum. Komponen-komponen
ini berkontribusi terhadap dimensi tunggal yang melaluinya kepuasan kerja dapat
ditentukan. Variabel kepribadian dapat menjelaskan dimensi lain yang terkait
dengan kepuasan kerja. Schultz dan Schultz (1998) berpendapat bahwa kepuasan
kerja mencakup perasaan dan sikap positif dan negatif yang dimiliki orang tentang
pekerjaan mereka, dan bahwa ini tergantung pada banyak karakteristik yang
berhubungan dengan pekerjaan, tetapi juga pada karakteristik pribadi, seperti usia,
jenis kelamin, hubungan kesehatan dan sosial. Motivasi dan aspirasi pribadi
orang-orang dan seberapa baik ini dipenuhi oelh pekerjaan mereka, juga
memengaruhi sikap mereka terhadap pekerjaan.

2.5.3 Penentu kepuasan kerja


Model pada Gambar 2.4, yang diadaptasi dari model motivasi-kinerja yang
dikembangkan oleh para peneliti seperti Cummings dan Schwab (1973), Nadler
dan Lawler (1977), Steers dan Porter (1978) dan Vroom (1964) memberikan
35

pandangan yang mencerahkan dan komprehensif dari interaksi antara faktor


penentu kinerja individu, kepuasan, dan motivasi. Dari model ini, Walker (1980)
menyimpulkan bahwa kepuasan kerja memiliki beberapa dimensi yang berbeda,
yang masing-masing adalah masalah persepsi individu, karena kepuasan terkait
dengan kebutuhan individu. Dimensi ini adalah yang biasanya digunakan dalam
penelitian yang mensurvei perasaan dan sikap karyawan terhadap berbagai
karakteristik pekerjaan.
Konteks kerja, Keterampilan, Penghargaan
kegiatan & kemampuan dan
Variabel
tujuan pengetahuan
Terkendali
individu

Upaya Kinerja Hasil/


Kemajuan Kinerja Penghargaan

Kepuasan Rasa Kepuasan


dengan pencapaian, dengan gaji,
Kepuasan Kerja pekerjaan, umpan balik promosi,
pengawasan, kinerja peluang, dll
rekan kerja, dll

Walker (1980) menguraikan model sebagai berikut. Variabel tertentu yang


berkaitan dengan kinerja, kepuasan kerja dan motivasi dapat dikontrol, sampai
taraf tertentu, oleh manajemen. Contoh variabel tersebut meliputi konteks
pekerjaan, aktivitas tugas, konten dan tujuan pekerjaan. Variabel-variabel ini
memiliki efek langsung pada sifat dan tingkat upaya seseorang, dan dari usahanya
orang tersebut dapat memperoleh kepuasan. Namun, meskipun upaya merupakan
prasyarat untuk kinerja, kompetensi individu juga berperan, karena seseorang juga
dapat memperoleh kepuasan kerja dari rasa prestasi yang mengikuti pelaksanaan
tugas yang kompeten. Kinerja individu menghasilkan satu atau lebih hasil, yang
dapat mendukung produktivitas organisasi, atau mewakili penghargaan pribadi
36

untuk karyawan. Banyak pekerja mengukur kepuasan kerja mereka hanya dalam
hal hasil dari upaya mereka.
Perspektif yang berbeda tentang mengapa orang menyukai atau tidak
menyukai pekerjaan mereka ditawarkan oleh Spector (2003), yang menyatakan
bahwa aspek lingkungan, variabel kepribadian, atau kombinasi dari semua ini,
berfungsi sebagai anteseden terhadap kepuasan kerja. Anteseden lingkungan
mencakup beragam fitur terkait pekerjaan yang berdampak pada kepuasan kerja,
mis. karakteristik pekerjaan dan tugas pekerjaan, serta berbagai aspek organisai.
Dia membedakan sejumlah faktor pribadi dan lingkungan yang signifikan secara
spesifik, yaitu karakteristik pekerjaan, variabel peran, konflik pekerjaan-keluarga,
usia, jenis kelamin, ras, kemampuan kognitif, pengalaman kerja, penggunaan
keterampilan, kesesuaian pekerjaan, dan tingkat pekerjaan.
Karakteristik pekerjaan meliputi konten dan sifat tugas pekerjaan itu
sendiri. Sejumlah karakteristik pekerjaan inti telah disorot oleh Fried dan Ferris
(1967), yang juga menghasilkan korelasi rata-rata antara masing-masing dan
kepuasan kerja. Ini ditunjukkan pada Tabel 2.1. Tampaknya di samping identitas
tugas, signifikansi tugas dan ruang lingkup pekerjaan, otonomi, variasi
keterampilan, dan umpan balik pekerjaan adalah faktor-faktor yang memberikan
dampak paling kuat pada kepuasan kerja. Konflik pekerjaan-keluarga terkait erat
dengan kepuasan karyawan di tempat kerja. Kepuasan kerja dipengaruhi secara
negatif ketika seorang karyawan mengalami tuntutan yang bertentangan dari
pekerjaannya dan situasi keluarganya. Dala meta analisis sutdi terkait, Allen,
Herst, dan Sutton (2000) menemukan korelasi negatif antara kepuasan kerja dan
aspek ini.
Selain berbagai faktor eksternal untuk individu, banyak penulis setuju
bahwa karakteristik pribadi karyawan juga sangat mempengaruhi kepuasan kerja.
Banyak penelitian telah menunjukkan hubungan ini dalam beberapa tahun terakhir
(Brush, Moch & Pooyan, 1987; Staw, Bell & Clausen, 1986). Menariknya Staw
dkk., (1986) juga menemukan bahwa kepribadian secara khusus memiliki
pengaruh yang sangat abadi pada kepuasan kerja. Faktor kepribadian yang mereka
nilai pada remaja dapat memprediksi kepuasan kerja hingga 50 tahun kemudian.
37

Schultz dan Schultz (1998) menguraikan sejumlah karakteristik pribadi


yang diyakini berdampak pada kepuasan kerja. Secara umum, tampaknya
kepuasan kerja meningkat seiring bertambahnya usia. Alasan yang mungkin
meliputi:
1) orang muda yang tidak puas putus pekerjaan atau terlalu sering
berpindah untuk dihitung dalam survei;
2) rasa pasrah berkembang seiring bertambahnya usia, yang
seringkali berakibat menyerah pada pemenuhan pekerjaan atau
menemukannya di tempat lain;
3) banyak orang lanjut usia memiliki peluang lebih besar untuk
dipenuhi dalam pekerjaan, yaitu memiliki pekerjaan yang lebih
baik, karena usia dan pengalaman mereka seringkali
meningkatkan kepercayaan diri, kompetensi, penghargaan dan
tanggung jawab, dan karakteristik ini membawa rasa pencapaian
lebih besar;
4) orang tua cenderung menghargai berbagai hal di tempat kerja,
mis. mungkin kurang tertarik pada variasi tugas daripada orang
yang lebih muda (Warr, 2001).

Bukti penelitian mengenai perbedaan gender dalam kepuasan kerja tidak


konsisten dan bertentangan. Beberapa studi tidak menemukan perbedaan, mis. De
Vaus dan McAllister (1991), tetapi yang lain telah menunjukkan bahwa ada
sumber ketidakpuasan, tetapi ini berebda antara wanita yang telah memiliki karier
secara sukarela, dan mereka yang dipaksa bekerja untuk menghidupi keluarga
mereka. Ada beberapa spekulasi bahwa ketidakpastian ini mungkin; pada
kenyataannya tidak terkait gender, melainkan terkait jenis kelamin, mis. berputar
di sekitar isu-isu seperti diskriminasi gaji antara pria dan wanita, dan lebih sedikit
peluang promosi untuk wanita.
Secara umum, lebih banyak karyawan kulit putih daripada karyawan yang
bukan kulit putih melaporkan kepuasan dengan pekerjaan mereka. Khususnya
bagi orang kulit hitam, beberapa penelitian menemukan kepuasan kerja yang
sedikit lebih rendah (Greenhaus, Parasuraman, & Wormley, 1990; Tuch & Martin,
1991). Namun pengangguran skala besar di antara kelompok Non-kulit putih
mungkin memoderasi hubungan antara ras dan kepuasan kerja. Juga banyak
karyawan non-kulit putih memiliki pekerjaan tingkat rendah yang jarang
menawarkan banyak kesempatan untuk dipenuhi.
38

Kemampuan kognitif saja tampaknya tidak menjadi penentu signifikan


kepuasan kerja, tetapi mungkin sangat penting ketika dipertimbangkan dalam
kaitannya dengan jenis pekerjaan. Seseorang yang terlalu cerdas untuk
pekerjaannya cenderung mengalami tantangan yang tidak cukup dari
pekerjaannya, dan menjadi bosan dan tidak puas. Di sisi lain, seseorang yang tidak
cukup pintar cenderung mengalami frustasi karena tidak mampu menangani
permintaan pekerjaan. Selain itu, hubungan antara kepuasan kerja dan kecerdasan
dapat ditemukan dalam pendidikan. Sejumlah penelitian telah menunjukkan
sedikit hubungan negatif dengan kepuasan kerja. Ini mungkin terkait dengan
orang-orang yang berpendidikan lebih baik yang memiliki harapan yang lebih
tinggi terhadap pekerjaan mereka, dan percaya bahwa mereka harus memberikan
pemenuhan dan tanggung jawab yang lebih besar dan sayangnya, sebagian besar
pekerjaan tidak memberikan itu (Fried & Ferris, 1987).
Pengalaman kerja adalah faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja.
Pada tahap awal pekerjaan, ketika situasinya masih baru dan menarik, banyak
karaywan lebih puas daripada nanti karena stimulasi dan tantangan untuk
mengembangkan keterampilan dan kemampuan baru. Namun, kekecewaan
muncul jika bukti reguler tentang kemajuan dan pertumbuhan tidak muncul.
Setelah beberapa tahun keputusasaan cukup umum, karena kekcewaan tentang
kemajuan terutama dalam pekerjaan. Yang menarik, kepuasan kerja tampaknya
meningkat lagi setelah beberapa tahun pengalaman, dan terus meningkat sejak
saat itu. Hubungan ini paralel dengan kepuasan kerja ./ hubungan usa, dan oleh
karena itu beberapa peneliti menganggapnya sebagai fenomena yang sama
(Schultz & Schultz, 1998).
Karakteristik pribadi juga mencakup keterampilan dan kemampuan.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang lebih bahagia di tempat kerja jika
mereka menggunakan kemampuan yang mereka yakin mereka miliki (Schultz &
Schultz, 1998). Pekerjaan yang cocok dengan kepribadian (Gouws, 1995), atau
kesesuaian pekerjaan, mengacu pada kecocokan antara kemampuan karyawan dan
persyaratan pekerjaan. Ada korelasi postiif dengan kepuasan kerja secara umum
(Fricko & Beehr, 1992; Gottfredson & Holland, 1990).
39

Dalam hal karakteristik pribadi yang mempengaruhi kepuasan kerja,


tampak bahwa tingkat pekerjaan yang lebih tinggi umumnya dikaitkan dengan
kepuasan kerja yang lebih tinggi (Busch & Bush, 1978; Daftuar, 2001). Diyakini
demikian karena orang-orang di tingkat ini memiliki peluang lebih besar untuk
memuaskan kebutuhan motivator mereka, serta otonomi, tantangan dan tanggung
jawab lebih besar di tempat kerja. Hal-hal ini memiliki nilai besar membangun
harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri, yang meningkatkan kepuasan.

2.5.4 Teori tentang kepuasan kerja


Menurut Beck (1983) teori tentang kepuasan kerja melibatkan komponen
motivasi, emosional, dan inforamasi, seperti halnya teori sikap lainnya.
McCormick dan Ilgen (1980) telah memilih dan menguraikan secara singkat teori-
teori berikut. Karena teori-teori ini telah dibahas secara rinci di bagian motivasi,
hanya ringkasan singkat yang diberikan. Menurut teori perbandingan proses
seorang individu dikatakan memiliki beberapa standar refernsi terhadap pekerjaan
yang dinilai (Walker, 1960). Referensi ini sebagian besar ditentukan oleh
pendorong motivasi internal seseorang. Ukuran dan arah perbedaan antara standar
yang dipekerjakan dan staf yang sebenarnya menetukan tingkat kepuasan kerja
yang dialami. Seorang karyawan yang dimotivasi oleh hadiah uang dapat,
misalnya, memperoleh kepuasan yang cukup besar dari pekerjaan yang membayar
lebih dari pekerjaan sebelumnya, atau posisi serupa yang dibandingkan dengan
orang tersebut. Teori proses perbandingan berkaitan dengan teori motivasi sampai
batas tertentu, karena standar pengukuran kepuasan yang ditetapkan berasal dari
motif atau kebutuhan internal seseorang.
Dari perspektif teori peran, kepuasan kerja dikatakan tinggi jika pekerjaan
seseorang dianggap berperan dalam mendapatkan apa yang ia hargai atau
inginkan dari pekerjaannya. Ini sama dengan teori VIE milik Vroom (1964) VIE
theory, yang menyatakan bahwa imbalan menagrah pada perilaku tertentu, ketika
perilaku ini diyakini berperan penting dalam memberikan hasil yang diinginkan.
Teori pengaruh sosial menyatakan bahwa orang dipengaruhi oleh seberapa puas
mereka percaya pekerja lain dengan pekerjaan yang sama (Van Vuuren, 1990).
40

Karyawan baru dapat, misalnya, mengubah keraguan awal mereka tentang


pekerjaan mereka ketika mereka menemukan bahwa orang lain yang melakukan
tugas yang sama puas dengan pekerjaan mereka. Dalam arti teori pengaruh sosoial
dapat berbagi fitur umum tertentu dengan teori ekuitas.
Teori keadilan menyatakan bahwa orang pada umumnya ingin menerima
apa yang mereka anggap sebagai pengembalian yang adil atau merata atas usaha
mereka di tempat kerja. Kepuasan yang lebih besar dialami jika mereka
menganggap pengembalian atau hadiah yang merka terima adil. Persepsi ini
mungkin didasarkan pada pengalaman sebelumnya atau perwakilan, atau pada
pengamatan orang terhadap karyawan lain, misalnya (Van Vuuren, 1990).
Kepuasan kerja daam hal ini terkait dengan motivasi untuk mencapai kondisi
kesetaraan atau keadilan dalam hubungan orang dengan orang lain, sebagaimana
dikatakan oleh Adams (1965). Teori dua faktor yang terkait dengan kepuasan
kerja serta motivasi, dan berpendapat bahwa hal-hal yang memberikan kepuasan
pada karyawan di tempat kerja tidak sama dengan teori yang menimbulkan
ketidakpuasan. Ini adalah teori Herzberg tentang kepuasan dan ketidakpuasan,
atau aspek positif dan negaitf dari pekerjaan itu. Rasa tidak puas tidak mengarah
pada kepuasan kerja, tetapi mencegah ketidakpuasan jika dipelihara dengan baik.
Rasa puas, di sisi lain, berdampak langsung pada kepuasan kerja, misalnya, aspek
promosi positif meningkatkan tingkat kepuasan kerja (Gouws, 1995).
Pandangan konsolidasi kepuasan kerja, untuk tujuan penelitian ini, adalah
bahwa konsep tersebut mewakili sikap umum orang tehradap, dan perasaan
tentang pekerjaan mereka, dan bahwa sikap dan perasaan ini ditentukan oleh
berbagai faktor yang berkaitan dengan orang tersebut, pekerjaan tersebut, dan
organisasi secara keseluruhan. Perasaan dan sikap karyawan terhadap pekerjaan
mereka dipengaruhi secara signifikan oleh sumber motivasi dan demotivasi
mereka (Spector, 2003). Selain itu, cara mereka memandang budaya organisasi
memiliki pengaruh langsung pada tingkat motivasi mereka, dan tingkat kepuasan
kerja yang mereka alami. Penting untuk dicatat bahwa faktor-faktor ini berbeda
dari orang ke orang, dan seringkali juga untuk orang yang sama dari waktu ke
waktu dan meningkatkan tahap hidupnya.Faktor-faktor penentu kepuasan
41

pekerjaan juga berbeda dalam hal pengaruhnya terhadap kepuasan kerja, baik
antar faktor maupun antar orang. Selain faktor pribadi, kepuasan kerja dapat
ditentukan oleh sejumlah dimensi dalam situasi kerja (Walker, 1980), seperti
fungsi organisasi, tugas atau karakteristik pekerjaan, kondisi kerja fisik, masalah
karir (seperti potensi kemajuan), masalah sosial atau hubungan, dan aspek yang
berkaitan dengan paket remunerasi dan kebijakan pribadi.
Titik pergantian dari beberapa penulis adalah bahwa ketidakpuasan kerja
dan kehidupan berkontribusi terhadap stres umum yang dialami seseorang (Judge
& Watanabe, 1993). Untuk mendapatkan pandangan yang lebih komprehensif
dalam hal ini, penyebab stres di luar, serta dalam situasi kerja, karenanya harus
dinilai. Karena variabel yang terkait dengan orang dan yang terkait dengan
pekerjaan muncul untuk menentukan motivasi dan kepuasan kerja (Schultz &
Schultz, 1998), dianggap ada hubungan antara dua konsep tersebut.
42

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Paradikma Penelitian


Hakekat permasalahan penelitian ini membawa implikasi terhadap
pendekatan penelitian kuantitatif yang digunakan dalam menjawab tujuan
penelitian yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Pada prinsipnya penelitian
kuantitatip memerlukan review atas beberapa penelitian sebelumnya (prevevious
research) sehingga terdapat “body of literature”, untuk lebih mengetahui berbagai
variabel dan keberadaan teori yang mendasari variabel tersebut (Cresswell,1994).
Pendekatan kuantitatip menggunakan paradikma positivistik yang memandang
suatu fenomena secara obyektip, bisa diukur atau dikuantifikasi dan bisa
dibuktikan secara obyektip (Eichelberger, 1990).
Dari sudut pandang ontology, penelitian kuantitatip memandang suatu
realitas secara “obyektip” dan peneliti bersifat indepeden yang dapat dimaknai
bahwa realitas bisa di ukur secara obyektip menggunakan kuesioner dan
instrument yang dikonstruksikan dari teori yang ada (Cresswell,1994). Adapun
dari aspek espitemologi penelitian kuantitatip memandang hubungan antara
peneliti dan yang diteliti tidak perlu dekat dalam arti peneliti kuantitatip tidak
harus berinteraksi langsung dengan subyek yang diteliti seperti peneliti kualitatip
karena peneliti kualitatip mengandalkan dirinya sebagai instrument untuk
pengumpulan data kualitatip. Dengan demikian, dalam penelitian survei dan
eksperimen, peneliti kuantatip berusaha mengkontrol bias, dengan memilih
sampel yang sistematik dan “obyektif” dalam menilai suatu keadaan
(Cresswell,1994). Penelitian kuantitatip menggunakan retorika yang secara umum
diterima dan dipahami menggunakan terminologi hubungan, pengaruh, dan
perbandingan seperti yang digunakan dalam perumusan permasalahan penelitian
tesis ini.

3.2 Populasi dan Sampel


Populasi penelitian ini adalah anggota polisi yang berada pada Polda
Metro Jaya dan akan menjadi fokus penelitian ini. Jumlah populasi anggota polisi
42
43

dilingkungan Polda Mtero Jaya yang terdiri dari fungsi reserse, lalulintas, intel,
bimas dan sabhara sebanyak 8029 anggota polisi. Populasi anggota polisi di
beberapa fungsi-fungsi operasional tersebut terdiri dari anggota polisi seperti
disajikan berikut ini. Populasi penelitian hanya melibatkan anggota polisi
berpangkat perwira pertama dan bintara polri dengan tidak melibatkan PNS
sebagai sampel dalam penelitian ini, karena anggota polisi yang banyak
bersentuhan dengan operasional lapangan.
1) Populasi direktorat reserse sekitar 1.713 orang anggota polisi
2) Populasi direktorat lalulintas sekitar 3921 orang anggota polisi
3) Populasi direktorat intel sekitar 60 orang anggota polisi
4) Populasi direktorat shabara sekitar 2280 orang anggota polisi
5) Populasi direktorat binmas sekitar 55 orang anggota polisi
Jumlah sampel akan diambil dari populasi anggota polisi yang mewakili
masing-masing fungsi unit yang berada di Polda Metro Jaya. Dengan demikian,
anggota polisi yang berada di masing-masing fungsi serse, lalulintas, intel,
shabara dan bimas di lingkungan polda Metro Jaya mempunyai kesempatan untuk
dipilih menjadi sampel penelitian. Pengambilan sampel penelitian menggunakan
teknik kluster random sampling yang artinya sampel penelitian akan diwakili dari
anggota polisi yang berasal dari masing-masing unit kerja yang berasal dari fungsi
satreskrim, inteligen, shabara, polisi masyarakat dan anggota lalulintas. Fenomena
keseimbangan kehidupan kerja, keterlibatan anggota organisasi, iklim organisasi
dan kepuasan kerja anggota polisi akan dipersepsikan oleh masing-masing
responden yang terpilih sebagai sampel penelitian. Total pengambilan sampel
yang tercakup dalam penelitian ini menggunakan rumusan Slovin berikut ini.

n = jumlah minimal sampel yang dibutuhkan


N = Populasi
e = derajat kesalahan

Dengan menggunakan derajat kesalahan sebesar 10%, maka sampel


minimal diambil dengan menggunakan rumus Slovin. Setelah diperoleh total
44

sampel berdasarkan rumus tersebut, diambil sampel secara proporsional random


sampling dari total populasi untuk masing-masing fungsi-fungsi tersebut sekitar
10 prosen dari total populasi masing-masing fungsi. Dengan demikian rincian dan
sebaran total sampling dari masing-masing fungsi adalah:
1) Sampel direktorat reserse sekitar 94 orang anggota polisi
2) Sampel direktorat lalulintas sekitar 98 orang anggota polisi
3) Sampel direktorat intel sekitar 38 orang anggota polisi
4) Sampel direktorat shabara sekitar 96 orang anggota polisi
5) Sampel direktorat binmas sekitar 35 orang anggota polisi
6) Secara keseluruhan total sampel penelitian 361 orang anggota polisi

3.3 Variabel Penelitian dan Pengukuran


Penelitian ini terdiri dari variabel dependen Keseimbangan Kehidupan
Kerja, (work life balance) dan independent variabel, keterlibatan anggota
(employee engagement), iklim organisasi (organizational climate) dan kepuasan
kerja (job satisfaction). Berikut ini di sajikan keseluruhan variabel penelitian
dengan beberapa dimensi dalam masing-masing variabel serta skala pengukuran
yang digunakan untuk mengukur persepsi responden pada masing-masing butir
pernyataan yang terdapat dalam kuesioner atau instrument penelitian.

3.3.1 Variabel Keseimbangan Kehidupan Kerja


Variabel Keseimbangan Kehidupan Kerja mengukur dimensi (1) work
interference with personal life yang artinya mengukur fenomena keterkaitan
pekerjaan dengan kehidupan pribadi anggota organisasi; (2) dimensi personal life
interference work mengukur fenomena kehidupan rumah tangga yang berkaitan
dengan kehidupan kerja; (3) dimensi personal life enhancement of work yaitu
mengukur kehidupan personal yang dapat meningkatkan pekerjaan; (4) dimensi
work enhacement of personal life yang artinya mengukur fenomena pekerjaan
yang dapat mempengaruhi peningkatan kehidupan personal anggota organisasi.
Keseluruhan pernyataan dari masing-masing dimensi tersebut diukur
menggunakan 5 Skala Likert yang menjadi pilihan anggota organisasi dalam
pernyataan kuesioner yang telah disiapkan dalam lampiran ini.
45

3.3.2 Variabel Keterlibatan Anggota Organisasi


Variabel keterlibatan anggota organisasi diukur dengan berbagai indikator
pernyataan berikut ini dan masing-masing pernyataan diukur dengan
menggunakan 5 Skala Likert berikut ini:
1.Sangat Tidak Setuju
2.Tidak Setuju
3.Biasa saja
4.Setuju
5.Sangat Setuju
Beberapa pernyataan dan pertanyaan berikut ini akan dipersepsikan oleh
responden dengan memberikan rentang skala pilihan diatas dan responden akan
memberikan pilihan skala tersebut sesuai dengan perasaan dan pengalaman di unit
fungsi mereka bekerja di organisasi kepolisian saat ini.
1. Strategi keterlibatan anggota organisasi sangat mendukung pencapaian
strategi organisasi;
2. Kepemimpinan organisasi kami mendapat tingkat kepercayaan yang tinggi
dari para anggota organisasi atas kepemimpinan, kemampuan dan
keinginannya untuk mendukung anggota organisasi;
3. Kebijakan dan praktek manajemen sumberdaya manusia di lingkungan
organisasi kami, sangat mendorong dan memotivasi keterlibatan kami dalam
mendukung tugas-tugas dan keberhasilan organisasi;
4. Organisasi saya selalu mendorong untuk berbagi informasi, pengetahuan, dan
sumber daya organisasi kepada sesame anggota organisasi;
5. Saya memahami apa yang diharapkan pimpinan dan organisasi terhadap
keberadaan saya sebagai anggota organisasi;
6. Pimpinan dan organisasi saya sangat mendorong pengembangan karir
anggota;
7. Organisasi saya selalu memberikan kesempatan kepada anggota organisasi
untuk terus belajar dan mengembangan diri untuk kepentingan organisasi dan
karir saya;
8. Saya selalu termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik di organisasi
46

saya;
9. Pekerjaan saya dalam organisasi saya banyak memberi rasa kepuasan kerja.

3.3.3 Variabel Iklim Organisasi


Variabel iklim organisasi diukur dengan menggunakan The
Organizational Climate (QCQ) yang dikembangkan Adrian Furnham and Leonard
D.Goodstein (1997) yang meliputi enam dimensi (1) Role Clarity; (2) Respect;
(3) Communication; (4) Reward System; (5) Career Development; (6) Planning
and Decision Making. Keseluruhan jumlah pernyataan dalam ke enam dimensi
sebanyak 108 butir pernyataan. Atau menggunakan pengukuran Iklim Organisasi
yang terdiri dari dimensi (Meyer and Allen,1997) yaitu (1) Affective Organization
Commitment; (2) Continuance Organizational Commitment; (3) Normative
Commitment. Pengukuran masing-masing pernyataan dalam kuesioner tersebut
menggunakan pengukuran 5 Skala Likert mulai dari (1) sangat tidak setuju; (2)
tidak setuju; (3) biasa saja; (4) setuju; (5) sangat setuju.

3.3.4 Variabel Kepuasan Kerja


Dimensi kepuasan kerja merepresentasikan karakteristik seperti (1) the
work itself; (2) pay and benefit; (3) promotions; (4) working conditions; (5)
supervision; (6) Co-workers dan butir-butir pertanyaan yang diturunkan dari
dimensi tersebut diukur dengan menggunakan 5 Skala Likert mulai dari (1) sangat
tidak setuju; (2) tidak setuju; (3) biasa saja; (4) setuju; (5) sangat setuju.

3.4 Teknik Analisis Data


Analisis data dilakukan untuk menjawab tiga hipotesis yang telah
ditetapkan pada bab II mengenai pengaruh kepemimpinan pelayanan, kecerdasan
emosional dan keterlibatan terhadap komitmen organisasi. Analisis yang
digunakan meliputi karakteristik responden, statistik deksriptif, distribusi
frekuensi, matriks korelasi, analisis regresi sederhana dan analisis regresi linier
berganda.
47

3.4.1 Pertanyaan Penelitian Pertama


Pertanyaan penelitian pertama tentang bagaimana pendapat responden
terhadap variabel keterlibatan anggota, iklim organisasi, kepuasan kerja dan
keseimbangan kehidupan kerja. Analisis terhadap data masing-masing variabel
menggunakan analisis statistik deskriptip yang berupa frekuensi distribusi, mean,
minimum, maksimum dan standar deviasi untuk mengetahui kecenderungan
pendapat responden terhadap keempat variabel tersebut.

3.4.2 Pertanyaan penelitian kedua


Pertanyaan penelitian kedua tentang apakah ada perbedaan pendapat
responden terhadap variabel keseimbangan kehidupan kerja, keterlibatan, iklim
organisasi dan kepuasan kerja pada masing-masing fungsi unit kerja Polda Metro
Jaya digunakan uji tes. Tes ini digunakan untuk menguji perbedaan persepsi
anggota yang berada pada fungsi unit-unit organisasi terhadap variabel penelitian.

3.4.3 Pertanyaan penelitian ketiga


Pertanyaan penelitian ketiga untuk mengkaji bagaimana pengaruh
pengaruh keterlibatan responden, iklim organisasi dan kepuasan kerja terhadap
keseimbangan kehidupan kerja di Polda Metro Jaya. digunakan analisis uji
statistik regresi berganda. Uji statistik regresi sederhana dilakukan untuk
mengkaji seberapa besar hubungan pengaruh masing-masing independent
variabel terhadap komitmen organisasi secara sendiri-sendiri tanpa di kontrol oleh
variabel independent lainnya. Selanjutnya analisis regresi berganda dilakukan
untuk mengkaji kuatnya hubungan dan pengaruh masing-masing independen
variabel kepemimpinan pelayanan, kecerdasan emosional dan keterlibatan
anggota organisasi. Apabila keseluruhan independen variabel masuk dalam satu
model regresi yang disajikan dalam model regresi berganda berikut ini.
Y= a+bX1+bX2+bX3 + e
Y= Keseimbangan Kehidupan Kerja (Work Life Balance)
X1=Iklim Organisasi (Organizational Climate)
X2= Keterlibatan anggota organisasi (Employee Involvement)
X3= Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
48

Untuk mengetahui kebenaran hipotesis yang telah dirumuskan, maka data


kuisioner yang telah dibagikan dan dikumpulkan harus dianalisis. Analisa data
yaitu sebuah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah untuk
dibaca, dipahami serta diinterpretasikan, pada proses ini sering kali digunakan uji
statistik. Tujuan analisis data yaitu menyempitkan serta membatasi penemuan-
penemuan hingga menjadi suatu tabulasi data yang teratur serta tersusun dan lebih
rapi serta mudah dipahami. Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data
kuantitatif dikarenakan pendekatan yang digunakan pada penelitian ini merupakan
pendekatan kuantitatif. Teknik analisis data merupakan suatu upaya pengolahan
data menjadi informasi, sehingga karakteristik data tersebut dapat dengan mudah
dipahami dan bermanfaat untuk menjawab rumusan masalah yang telah
ditetapkan. Analisis data menggunakan statistik yang dibantu oleh software SPSS
sesuai dengan alat statistik yang sesuai dan diperlukan secara akademik untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan.

3.4.3.1 Uji Instrumen Data


Uji instrumen data digunakan untuk mengetahui apakah item pernyataan
yang diperoleh memenuhi syarat untuk dianalisis menggunakan analisis korelasi
dan regresi. Uji instrumen data terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas.
a. Uji validitas Data
Untuk menghindari perolehan data error maka perlu dilakukan uji
validitas terhadap alat pengukuran. Teknik pengujian ini yang akan diuji yaitu
validitas konstruksi dengan mengunakan uji analisis faktor dengan cara
mengkorelasikan skor faktor dengan skor total dengan memakai rumus korelasi
product moment pearson yang dibantu dengan program SPSS versi 23. Rumus
produc moment pearson sebagai berikut:
N ∑ XY −( ∑ X )( ∑ Y )
r xy =
2 2
√ {N .∑ X −(∑ X ) }{ N ∑ Y −(∑ Y ) }
2 2

Keterangan
49

r xy = Indeks korelasi skor item dengan skor total item


 = Jumlah skor tiap-tiap subyek
Y = Jumlah skor total item
2
ΣX = Jumlah kuadrat nilai tiap-tiap item
2
ΣY = Jumlah kuadrat total item
N = Jumlah subyek / responden

b. Uji Reliabilitas
Selanjutnya juga akan dilakukan pengujian reliabilitas instrumen
penelitian. Azwar (2011: 4) menyatakan bahwa reliabilitas berasal dari kata
rely dan ability. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai
pengukuran yang reliabel (reliable). Konsep reliabilitas adalah sejauhmana
hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang tidak reliabel tentu
tidak akan konsisten pula dari waktu ke waktu. Pengujian terhadap item-item
yang valid alat ukur yang digunakan dengan menggunakan teknik uji
reliabilitas Alpha Cronbach. Rumus perhitungan reliabilitas dengan uji
Cronbach Alpha dengan kriteria hasil pengujian reliabilitas menurut Nunnally
(dalam Ghozali, 2011) adalah jika nilai Cronbach Alpha hasil perhitungan >
0,7 maka dapat dikatakan bahwa variabel penelitian adalah reliabel. Adapun
rumus koefisien Alpha menurut Azwar (2011: 87) sebagai berikut:
k−r
α=
1−( k−r )
Keterangan :
α = Koefisien Alpha
K = Jumlah item valid
r = Mean korelasi antar item
1 = Bilangan konstan
Dalam persamaan regresi perlu diuji mengenai sama atau tidak varian dari
residual observasi yang satu dengan observasi yang lain. Jika residualnya
mempunyai varian yang sama disebut terjadi heteroskedastisitas dan jika
variannya tidak sama atau berbeda tersebut terjadi heteroskedastisitas. Persamaan
regresi yang baik jika tidak terjadi heteroskedastisitas. Cara mendeteksi terjadi
atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode uji Glejser
dengan cara meregresi nilai absolut residual dari model yang diestimasi terhadap
50

variabel-variabel penjelas. Jika nilai signifikansi > 0,05 untuk setiap variabel
independen berarti tidak terjadi heteroskedastisitas, sebaliknya jika terdapat
minimal satu pada variabel independen dengan nilai signifikansi < 0,05 berarti
terjadi heteroskedastisitas.

3.4.3.2 Uji Asumsi/Persyaratan Data


a. Uji Normalitas
Uji persyaratan data yang dilakukan oleh peneliti adalah uji normalitas
untuk mengetahui apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak. Uji
normalitas adalah uji untuk mengukur apakah data memiliki distribusi normal,
sehingga dapat dipakai dalam statisitisk parametrik. Uji normalitas sampel
dimaksudkan untuk menguji normal tidaknya sampel. Pengujian diadakan
dengan maksud untuk melihat normal tidaknya data yang akan dianalisis.
Dalam penelitian ini menggunakan teknik uji parametrik kolmogorov-smirnov.
Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5% atau
0,05 (Priyatno, 2008: 28).
b. Uji Multikolinieritas
Pengujian multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model
regresi yang baik seharunya tidak terjadi korelasi di antara variabel
independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabel-
variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen
yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol
(Ghozali, 2011: 105). Multikolinieritas dilakukan untuk menunjukkan bahwa
antara variabel independen mempunyai hubungan langsung (berkorelasi).
Konsekuensi dari multikolinieritas akan menyebabkan kuesioner regresi
nilainya kecil, apabila standar error regresi nilainya besar maka pengujian
individunya tidak signifikan. Ciri adanya multikolinieritas adalah R2 tinggi, F-
test signifikan namun t-testnya banyak yang tidak signifikan. Langkah-langkah
dalam pengujian multikolinieritas dilakukan sebagai berikut:
Ho : Tidak terdapat multikolinieritas
51

Ha : Terdapat multikolinieritas

c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier
ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka
dinamakan ada problem autokorelasi (Imam Ghozali, 2011). Pada penelitian ini
untuk menguji ada tidaknya gejala autokorelasi menggunakan uji Durbin-
Watson (DW test). Apabila nilai dW terletak diantara dU dan 4-dU maka tidak
terjadi autokorelasi.

3.4.3.3 Uji Regresi


Penelitian ini menggunakan rumus Regresi linier berganda. Analisis
regresi linier berganda merupakan pengembangan dari analisis regresi sederhana.
Kegunaannya yaitu untuk meramalkan nilai variabel terikat (Y) yaitu integritas
polisi yang dipengaruhi oleh kepemimpinan etika (X1) dan kepuasan kerja (X2).
Persamaan regresi ganda dirumuskan sebagai berikut:
Y = a + β 1X1 + β 2X2 + + β 2X3
Keterangan:
Y^ = Keseimbangan kehidupan kerja
X1 = Keterlibatan anggota
X2 = Iklim organisasi
X3 = Kepuasan kerja
a
^
= konstanta (nilai Y apabila X1, X2, = 0)
b1, dan b2 = koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)

Nilai-nilai a, b1, dan b2 pada persamaan regresi ganda untuk dua variabel
bebas dapat ditentukan dari rumus-rumus berikut:
∑ x 1 y= b1 ∑ x 1 2 +b 2 ∑ x21

∑ x 2 y= b1 ∑ x1 x 2 + b 2 ∑ x2 2

a=Ȳ −b 1 X̄ 1 −b2 X̄ 2
52

Namun untuk memudahkan analisis regresi ganda maka peneliti


menggunakan perhitungan dengan SPSS versi 23.

a. Uji Koefisien Regresi Parsial (Uji t)


Uji koefisien regresi secara parsial digunakan untuk menguji tingkat
signifikansi masing-masing koefisien variabel bebas secara individu terhadap
variabel dependen. Rumus t hitung pada analisis regresi adalah:
bi
t hitung = Sbi
Keterangan:
bi = koefisien regresi variabel i
Sbi = standar error variabel i

Dengan bantuan program SPSS 23 Hasil uji t dapat dilihat pada output
Coefficient dari hasil analisis regresi linier berganda. Melakukan uji t terhadap
koefisien-koefisien regresi untuk menjelaskan bagaimana suatu variabel
independent secara statistik berhubungan dengan dependen secara parsial.
Kriteria pengujian uji t dengan membandingkan nilai thitung dengan t tabel atau
dengan melihat nilai signifikansiuntuk membuat keputusan menolak atau
menerima H0. Alternatif keputusannya adalah:
1) Jika thitung > ttabel atau probabilitas t kurang dari α
=0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. H0 ditolak berarti bahwa variabel
bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas yang
diteliti
2) Jika thitung < ttabel atau probabilitas F lebih dari α
=0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. H0 diterima berarti bahwa variabel
bebas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas
yang diteliti.
b. Uji Koefisien Regresi Secara Simultan (Uji F)
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen yakni
kepemimpinan etika dan kepuasan kerja secara bersama-sama berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel integritas polisi. F hitung dapat dicari
dengan rumus sebagai berikut:
53

2
R /k
2
F hitung = ( 1−R ) / ( n−k−1 )
Keterangan:
R2 = koefisien determinasi
n = jumlah data
k = jumlah variabel independen
Dengan bantuan program SPSS versi 23 hasil uji F dapat dilihat pada
output ANOVA dari hasil analisis regresi linier berganda. Melakukan uji F
untuk mengetahui pengujian secara bersama-sama signifikansi hubungan antara
variabel independent dan variabel dependen. Kriteria pengujian dan
pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
1) Jika Fhitung > Ftabel atau probabilitas F kurang dari α =0,05 maka H0
ditolak dan Ha diterima. Artinya secara bersama-sama kepemimpinan
etika dan kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
variabel integritas polisi.
2) Jika Fhitung < Ftabel atau probabilitas F lebih dari α =0,05 maka H0 ditolak
dan Ha diterima. Artinya secara bersama-sama kepemimpinan etika dan
kepuasan kerja tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
variabel integritas polisi.
c. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui persentase
pengaruh variabel terikat terhadap variabel bebas (Ghozali, 2006).
R² = (r)² X100 %
3.4.3.4 Korelasi
Pada tahap awal analisis kuantitatif dalam penelitian ini digunakan
korelasi product moment, untuk mengetahui hubungan antara variabel
kepemimpinan etika dan kepuasan kerja terhadap integritas polisi dalam upaya
pancegahan korupsi di Polres Boyolali. Selanjutnya untuk mengetahui besar dan
arah korelasi antar variabel digunakan teknik regresi.

Tabel 3.1 Tingkat Keeratan Hubungan

Koefisien Korelasi ( r ) Hubungan


54

0,00 – 0,20 Bisa Diabaikan


0,20 – 0,40 Rendah
0,40 – 0,60 Sedang
0,60 – 0,80 Besar
0,80 – 1,00 Tinggi/amat tinggi

Teknik ini digunakan untuk mengetahui besar dan arah korelasi, serta bobot
sumbangan masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat pengelolaan data
kuantitatif ini menggunakan bantuan SPSS versi 23.
55

DAFTAR PUSTAKA

Abendroth, A.K. & den Dulk, L. (2011). Support for the work-life balance in
Europe: The impact of state, workplace and family support on work-life
balance satisfaction. Work, Employment and Society, 25(2), 234-256.

Abraham, S. (2012). Job satisfaction as an antecedent to employee engagement.


SIES Journal of Management, 8(2), 27-36.

Adams, G.A., King, L.A., & King, D.W. (1996). Relationships of job and family
involvement, family social support, and work-family conflict with job and
life satisfaction. Journal of Applied Psychology, 81(4), 411-420.

ACF. (2014). Who we are: The standard of excellence for chefs. Retrieved from:
http://www.acfchefs.org/download/documents/membership/ACF_Member
ship.pdf

Allik, J., & McCrae, R. R. (2002). A five-factor theory perspective. In R.R.


McCrae & J. Allik (Eds.), The five factor model of personality across
cultures (pp. 303–322). New York, NY: Kluwer Academic/Plenum
Publishers.

Andrews, F.M. (1974). Social indicators of perceived life quality. Social


Indicators Research, 1, 279- 299.

Andrews, F.M., & Withey, S.B. (1976). Social indicators of well-being. New
York, NY: Plenum.

Aryee, S., Srinivas, E.S., & Tan, H.H. (2005). Rhythms of life: Antecedents and
outcomes of work–family balance in employed parents. Journal of Applied
Psychology, 90(1), 132-146.

Ashforth, B.E. (1998). Becoming: How does the process of identification unfold?
In D.A. Whetten & P.C. Godfrey (Eds.), Identity in organizations:
Building theory through conversations (213-222). Thousand Oaks, CA:
Sage.
56

Ashforth, B.E., Kreiner, G.E., & Fugate, M. (2000). All in a day’s work:
Boundaries and micro role transitions. Academy of Management Review,
25, 472-491.

Ashforth, B.E., & Mael, F. (1989). Social identity theory and the organization.
Academy of Management Review, 14, 20-39.

Bakker, A.B., & Oerlemans, W.G.M. (2012). Subjective well being in


organizations. In K.S. Camerson, J.E. Dutton, & R.E. Quinn (Eds.)
Positive organizational scholarship (pp. 178-189). San Francisco: Berrett-
Koehler Publishers, Inc.

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Barnett, R.C., & Hyde, J. S. (2001). Women, men, work and family: An
expansionist theory. The American Psychologist, 56(10), 781–796.

Barrick, M. R., & Mount, M. K. (1991). The big five personality dimensions and
job performance: A meta-analysis. Personnel Psychology, 44, 1-26.

Barrick, M.R., Mount, M.K., & Li, N. (2013). The theory of purposeful work
behavior: The role of personality, higher order goals, and job
characteristics. Academy of Management Review, 38(1), 132-153.

Bartholomew, P. S., & Garey, J. G. (1996). An analysis of determinants of career


success for elite female executive chefs. Hospitality Research Journal,
20(2), 125–135.

Baumeister, R. F. (1991). Meanings of life. New York, NY: Guilford.

Bellah, R.N., Madsen, R., Sullivan, W.M., Swindler, A., & Tipton, S.M. (1985).
Habits of the heart: Individualism and commitment in American life. New
York, NY: Harper and Row.

Berg, J.M., Grant, A.M., & Johnson, V. (2010). When callings are calling:
Crafting work and leisure in pursuit of unanswered occupational callings.
Organization Science, 21, 973-994.

Bernas, K.H. & Major, D.A. (2000). Contributors to stress resistance: Testing a
model of women’s work-family conflict. Psychology of Women Quarterly,
24, 170-178.

Biddle, B.J. & Thomas, E.J. (1966). Role theory: Concepts and research. New
York, NY: Wiley & Sons, Inc.
57

Block, J. (1995).A contrarian view of the five-factor approach to personality


description. Psychological Bulletin, 117, 187-215.

Bolman, L., & Deal, T. (2001). Leading with soul. San Francisco, CA: Jossey-
Bass.

Bond, J.T., Thompson, C., Galinsky, E., & Prottas, D. (2002). Highlights of the
national study of the changing workforce. New York, NY: Families and
Work Institute.

Briggs, S.R. (1989). The optimum level of measurement for personality


constructs. In D.M. Buss & N. Cantor (Eds.), Personality psychology:
Recent trends and emerging directions. New York, NY: Springer-Verlag.

Bunderson, J.S., & Thompson, J.A. (2009). The call of the wild: Zookeepers,
callings, and the dual edges of deeply meaningful work. Administrative
Science Quarterly, 54, 32-57.

Bureau of Labor Statistics. (2002a). Employment characteristics of families in


2001. Retrieved from:
http://bls.gov/pub/news.release/History/famee.03292002.txt

Bureau of Labor Statistics. (2002b). The employment situation: March 2002.


Retrieved from:
http://bls.gov/pub/news.release/History/empsit.04052002.txt

Bureau of Labor Statistics. (2012). Women in the labor force: A databook.


Retrieved from: http://www.bls.gov/cps/wlf-databook-2013.pdf

Burnett, S.B., Gatrell, C.J., Cooper, C.L., & Sparrow, P. (2010). Well-balanced
families? A gendered analysis of work-life balance policies and work
family practices. Gender in Management: An International Journal, 25(7),
534-549.

Campbell, A., Converse, P.E., & Rodgers, W.L. (1976). The quality of American
life. New York, NY: Russell Sage.

Campbell, J.P., Dunnette, M.D., Lawler, E.E. III, & Weick, K.E. (1970).
Managerial behavior, performance, and effectiveness. New York, NY:
McGraw-Hill.

Career as a Chef. (2007). Career as a chef. Chicago, IL: Institute for Career
Research.

Carlson, D.S., Grzywacz, J.G, & Zivnuska, S. (2009). Is work-family balance


more than conflict and enrichment? Human Relations, 62, 1459-1486.
58

Cattell, R.B. (1948). The primary personality factors in women compared with
those in men. British Journal of Psychology, 1, 114-130.

Chiang, F.F.T., Birtch, T.A., & Kwan, K.H. (2010). The moderating roles of job
control and work-life balance practices on employee stress in the hotel and
catering industry. International Journal of Hospitality Management, 29,
25–32.

Chuang, N-K., Yin, D. & Dellmann-Jenkins, M. (2008). Intrinsic and extrinsic


factors impacting casino hotel chefs’ job satisfaction. International
Journal of Contemporary Hospitality Management, 21(3), 323-340.

Clark, S.C. (2000). Work/family border theory: A new theory of work/family


balance. Human Relations, 53, 747-770.

Cooper, C.L., & Cartwright, S. (1994). Healthy mind, healthy organization:


Proactive approach to occupational stress. Human Relations, 47, 455-471.

Costa, P.T., & McCrae, R.R. (1992). Normal personality assessment in clinical
practice: The NEO Personality Inventory. Psychological Assessment, 4, 5-
13.

Costa, P.T., & McCrae, R.R. (1988). From catalog to classification: Murray’s
need and the five-facto model. Journal of Personality and Social
Psychology, 55, 258-265.

Daniels, L., & McCarraher, L. (2000) The work–life manual. London, England:
Industrial Society.

Devi, A.C., & Rani, S.S. (2012). Personality and work-life balance. Journal of
Contemporary Research in Management, 7(3), 23-30.

Digman, J.M., & Takemoto-Chock, N.K. (1981). Factors in the natural language
of personality: Re-analysis, comparison, and interpretation of six major
studies. Multivariate Behavioral Research, 16, 149-170.

Dik, B.J., & Duffy, R.D. (2009). Calling and vocation at work. The Counseling
Psychologist. 37(3), 424-450.

Dobrow, S.R. (2006) Having a calling: A longitudinal study of young musicians.


(Doctoral Dissertation). Harvard University, Cambridge MA.

Dobrow, S.R., & Tosti-Kharas, J. (2011). Calling: The development of a scale


measure. Personnel Psychology 64, 1001-1049.
59

Duffy, R. D. (2006). Spirituality, religion, and career development: Current status


and future directions. Career Development Quarterly, 55, 52–63.

Duffy, R.D., Dik, B.J., & Steger, M.F. (2011). Calling and work-related outcomes
Career commitment as a mediator. Journal of Vocational Behavior, 78,
210-218.
Duffy, R., & Sedlacek, W. (2007). The presence and search for a calling:
Connections to career development. Journal of Vocational Behavior, 70,
590–601.

Duxbury, L.E., & Higgins, C.A. (1991). Gender differences in work-family


conflict. Journal of Applied Psychology, 76(1), 60-74.

Eagle, B.W., Icenogle, M.L., Maes, J.D., & Miles, E.W. (1998). The importance
of employee demographic profiles for understanding experiences of work-
family interrole conflicts. Journal of Social Psychology, 138(6), 690-709.

Eby, L.T., Casper, W.J., Lockwood, A., Bordeaux, C., & Brinley, A. (2005).
Work and family research in IO/OB: Content analysis and review of the
literature (1980–2002). Journal of Vocational Behavior, 66, 124–197.

Eby, L.T., Maher, C.P., & Butts, M.M. (2010). The intersection of work and
family life: The role of affect. Annual Review of Psychology, 61, 599-622.

Edwards, J.D. & Rothbard, N.P. (2000). Mechanisms linking work and family:
Clarifying the relationship between work and family constructs. Academy
of Management Review, 25, 178-199.

Efron, B. (1979). Bootstrap methods: Another look at jackknife. The Annals of


Statistics, 7(1), 1-26.

Elangovan, A.R., Pinder, C.C., & McLean, M. (2010). Callings and organizational
behavior. Journal of Vocational Behavior, 76, 428-440.

Emrich, C.G., Denmark, F.L., & Den Hartog, D.N. (2004). Cross-cultural
differences in gender egalitarianism: Implications for societies,
organizations, and leaders. In R.J. House, P.J. Hanges, M. Javidan, P.W.
Dorfman, & V. Gupta (Eds.), Culture, leadership, and organizations: The
GLOBE study of 62 societies (pp. 343– 394). Thousand Oaks, CA: Sage.

Fletcher, J. (1966). Situation ethics: The new morality. Philadelphia, PA:


Westminster Press.

Forsyth, D. R. (1980). A taxonomy of ethical ideologies. Journal of Personality


and Social Psychology, 39, 175-184.
60

Frone, M.R. (2003). Work-family balance. In J.C. Quick & L.E. Tetrick (Eds.)
Handbook of occupational health psychology, (pp. 143-162).Washington,
D.C.: American Psychological Association.

Frone, M.R., Russell, M., & Cooper, M.L. (1992). Antecedents and outcomes of
workfamily conflict: Testing a model of the work-family interface.
Journal of Applied Psychology, 77, 65-78.

Gallinsky, E. (2005). The changing workforce in the United States: Making work
“work” in today’s economy. Inaugural Conference of the International
Center of Work and Family, IESE Business School, Barcelona.
George, D., & Mallery, M. (2010). SPSS for Windows step by step: A
simple guide and reference, 17.0 update (10a ed.) Boston, MA: Pearson.

Ghiselli, R.F., LaLopa, J.M., & Bai, B. (2001). Job satisfaction, life satisfaction,
job security, and customer focus of quick-service restaurant employees.
Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly, 42(2), 28-37.

Goffman, E. (1961). Encounters: Two studies in the sociology of interaction.


Indianapolis, IN: Bobbs-Merrill Co.

Goldberg, L.R. (1981). Language and individual differences: The search for
universals in personality lexicons. In L. Wheeler (Ed.), Review of
personality and social psychology, 141- 165. Beverly Hills, CA: Sage.

Goldberg, L.R. (1990). An alternative “description of personality”: The big-five


factor structure. Journal of Personality and Social Psychology, 59, 1216-
1229.

Gormley, D.K., & Kennerly, S. (2010). Influences of work role and perceptions of
climate on faculty organizational commitment. Journal of Professional
Nursing, 26(2), 108-115.

Gosling, S.D., Rentfrow, P.J., & Swann Jr., W.B. (2003). A very brief measure of
the Big-Five personality domains. Journal of Research in Personality, 37,
504–528.

Graham, C. W., Sorell, G. T., & Montgomery, M. J. (2004). Role-related identity


structure in adult women. Identity: An International Journal of Theory and
Research, 4(3), 251–271.

Grant, A. (2007). Relational job design and the motivation to make a prosocial
difference. Academy of Management Review, 32, 393–417.
61

Graves, L.M., Ohlott, P.J., & Ruderman, M.N. (2007). Commitment to family
roles: Effects on managers’ attitudes and performance, Journal of Applied
Psychology, 92(1), 44-56.

Greenhaus, J.H., & Allen, T.D. (2011). Work–family balance: A review and
extension of the literature. In J.C. Quick & L.E. Tetrick (Eds.), Handbook
of occupational health psychology (2nd ed., pp. 165–183). Washington,
DC: American Psychological Association.

Greenhaus, J. H., Collins, K. M., & Shaw, J. D. (2003). The relation between
work-family balance and quality of life. Journal of Vocational Behavior,
63, 510-531.

Greenhaus, J.H., Collins, K.M., Singh, R., & Parasuraman, S. (1997). Work and
family influences on departure from public accounting. Journal of
Vocational Behavior,50, 249-270.

Greenhaus, J.H., & Powell, G.N. (2006). When work and family are allies: A
theory of work-family enrichment. Academy of Management Review, 31,
72-92.

Grzywacz, J.G., & Carlson, D.S. (2007). Conceptualizing work–family balance:


Implications for practice and research. Advances in Developing Human
Resources, 9, 455–71.

Grzywacz, J. G., & Marks, N. E. (2000a). Family, work, work-family spillover,


and problem drinking during midlife. Journal of Marriage and Family,
62(2), 336–348.

Grzywacz, J.G., & Marks, N.F. (2000b). Reconceptualizing the work–family


interface: An ecological perspective on the correlates of positive and
negative spillover between work and family. Journal of Occupational
Health Psychology, 5, 111–126.

Guest, D.E. (2002), Perspectives on the study of work-life balance. Social Science
Information, 41(2), 255-79.

Gutek, B.A., Nakamura, C.Y., & Nieva, V F. (1981). The interdependence of


work and family roles. Journal of Occupational Behavior, 2, 1-16.

Gutek, B.A., Searle, S., & Klepa, L. (1991). Rational versus gender role
explanations for work-family conflict. Journal of Applied Psychology,
76(4), 560-568.

Hair, J. F. Jr., Black, W. C., Babin, B. J., & Anderson, R. E. (2010). Multivariate
data analysis (7th Ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
62

Hakel, M.D. (1974). Normative personality factors recovered from ratings of


personality descriptors: The beholder’s eye. Personnel Psychology, 27,
409-421.

Hall, D.T., & Chandler, D.E. (2005). Psychological success: When the career is a
calling. Journal of Organizational Behavior, 26, 155-176.

Hall, D.T., & Richter, J. (1988). Balancing work life and home life: What can
organizations do to help? Academy of Management Executive, 3, 213-223.

Hall, S.S., & MacDermid, S.M. (2009). A typology of dual earner marriages
based on work and family arrangements. Journal of Family and Economic
Issues, 30, 215–225.

Hammer, L.B., Colton, C.L., Caubet, S.L., & Brockwood, K.J. (2002). The
unbalanced life: Work and family conflict. In J. C. Thomas & M. Hersen
(Eds.), Handbook of mental health in the workplace (pp. 83–101). London,
England: Sage.

Hammer, L.B., Cullen, J.C., Neal, M.B., Sinclair, R.R., & Shafiro, M.V. (2005).
The longitudinal effects of work–family conflict and positive spillover on
depressive symptoms among dual-earner couples. Occupational Health
Psychology, 10(2), 138-154.

Harris D.A., & Giuffre, P. (2010). The price you pay: How female professional
chefs negotiate work and family. Gender Issues, 27, 27-52.

Harzer, C., & Ruch, W. (2012). When the job is a calling: The role of applying
one's signature strengths at work. The Journal of Positive Psychology,
7(5), 362-371.

Hayghe, H.V. (1997). Development in women’s labor force participation.


Monthly Labor Review, 120(9), 41-46.

Hellriegel, D., & Slocum Jr., J.W. (1974). Organizational climate: Measures,
research and contingencies. The Academy of Management Journal, 17, (2),
255-280.

Heslin, P.A. (2005). Conceptualizing and evaluating career success. Journal of


Organizational Behavior, 26(2), 113–136.

Higgins, E. (1987). Self-discrepancy: A theory relating self and affect.


Psychological Review, 94, 319–340.
63

Hogan, R. (1983). A socioanalytic theory of personality. In M.M. Page (Ed.),


Personality – Current theory and research: Nebraska symposium on
motivation. Lincoln, NE: University of Nebraska Press.

Hogan, R. (1986). Manual for the Hogan personality inventory. Minneapolis,


MN: National Computer Systems.
Hsieh, Y., & Eggers, P.D. (2010). Coping strategies used by lodging managers to
balance work and personal lives: An exploratory study. International
Journal of Hospitality & Tourism Administration, 11, 39–58.

Hsieh, Y., Kline, S., & Pearson, T. (2008). Lodging managers’ perceptions of
work and personal life balance: Balanced or imbalanced? International
Journal of Hospitality and Tourism Administration, 9(1), 18–35.

Hsieh, Y., Pearson, T., Chang, H., & Uen, J. (2004). Spillover between work and
personal life balance for lodging managers. Journal of Human Resources
in Hospitality and Tourism, 3(2), 61–83.

Hunter, I., Dik, B.J., & Banning, J.H. (2010). College students’ perceptions of
calling in work and life: A qualitative analysis. Journal of Vocational
Behavior, 76, 178-186.

James, L.R., & Jones, A.P. (1974). Organizational climate: A review of theory
and research. Psychological Bulletin, 81, 1096–1112.

Jang, S.J., & Zippay, A. (2011). The juggling act: Managing work-life conflict
and worklife balance. Families in Society: The Journal of Contemporary
Social Services, 84-90.

Johannesson, R.E. (1971). Job satisfaction and perceptually measured


organization climate: Redundancy and Confusion. In M.W. Frey (Ed.),
New developments in management and organization theory. Proceedings
of the Eighth Annual Conference, Eastern Academy of Management, (pp.
27-37).

John, O.P. (1989). Towards a taxonomy of personality descriptors. In D.M. Buss


& N. Cantor (Eds.), Personality psychology: Recent trends and emerging
directions. New York, NY: Springer-Verlag.

Johnstone, A., & Johnston, L. (2005). The relationship between organizational


climate, occupational type, and workaholism. New Zealand Journal of
Psychology, 34(4), 181-188.

Jones, F., Burke, R.J., & Westman, M. (Eds). (2012). Work life balance: A
psychological perspective. New York, NY: Psychology Press
64

Kahn, R. L., Wolfe, D. M., Quinn, R., Snoek, J. D., & Rosenthal, R. A. (1964).
Organization stress. New York, NY: Wiley.

Kahn, W.A. (1990). Psychological conditions of personal engagement and


disengagement at work. Academy of Management Journal, 33(4), 692–
724.
Karatepe, O.M. (2013). The effects of work overload and work-family conflict on
job embeddedness and job performance: The mediation of emotional
exhaustion. International Journal of Contemporary Hospitality
Management, 25(4), 614-634.

Karatepe, O.M., & Bekteshi, L. (2008). Antecedents and outcomes of work–


family facilitation and family–work facilitation among frontline hotel
employees. International Journal of Hospitality Management, 27, 517–
528.

Keene, J. R., & Reynolds, J. R. (2005). The job costs of family demands: Gender
differences in negative family-to-work spillover. Journal of Family Issues,
26(3), 275–299.

Klein, K.J., Conn, A.B., Smith, D.B., & Sorra, J.S. (2001). Is everyone in
agreement? An exploration of within - group agreement in employee
perceptions of the work environment. Journal of Applied Psychology, 86,
3-16.

Kofodimos, J. R. (1993). Balancing act: How managers can integrate successful


careers and fulfilling personal lives. San Francisco, CA: Jossey-Bass.

Koubova, V., & Buchko, A.A. (2013) Life-work balance: Emotional intelligence
as a crucial component of achieving both personal life and work
performance. Management Research Review, 36(7), 700-719.

Koys, D.J., & DeCotiis, T.A. (1991). Inductive measures of psychological


climate. Human Relations, 44, 265-285.

Lam, T., Lo, A., & Chan, J. (2002). New employees’ turnover intentions and
organizational commitment in the Hong Kong hotel industry. Journal of
Hospitality & Tourism Research, 26(3), 217-234.

Lenaghan, J.A., Buda, R., & Eisner, A.B. (2007). An examination of the role of
emotional intelligence in work and family conflict. Journal of Managerial
Issues, 19(1), 76-94.

Lewis, S. (2011). Positive psychology at work: How positive leadership and


appreciative inquiry create inspiring organizations. Chichester, West
Sussex: Wiley-Blackwell.
65

Liao, H., & Chuang, A. (2007). Transforming service employees and climate: a
multilevel multi-source examination of transformational leadership in
building long-term service relationships. Journal of Applied Psychology,
92,1006–1019.

Linton, R. (1936). The study of man. New York, NY: Appleton-Century.

Litwin, G.H., & Stringer, R.A. (1968). Motivation and organization climate.
Boston, MA: Division of Research, Harvard Business School.

Louis, M.R., & Sutton, R.I. (1991). Switching cognitive gears: From habits of
mind to active thinking. Human Relations, 44, 55-76.

Lyness, K.S., & Judiesch, M.K. (2008). Can a manager have a life and a career?
International and multisource perspectives on work–life balance and career
advancement potential. Journal of Applied Psychology, 93, 789–805.

Lyness, K.S., & Judiesch, M.K. (2014). Gender egalitarianism and work–life
balance for managers: Multisource perspectives in 36 countries. Applied
Psychology: An International Review, 63(1), 96-129.

MacDermid, S.M., & Wittenborn, A.K. (2007). Lessons from work–life research
for developing human resources. Advances in Developing Human
Resources, 9(4), 556-568.

Manning, M.L., Davidson, M.C.G., & Manning, R.L. (2004). Toward a shortened
measure of organizational climate in tourism and hospitality. Journal of
Hospitality and Tourism Research, 28(4), 444-462.

Marks, S.R., & MacDermid, S.M. (1996). Multiple roles and the self: A theory of
role balance. Journal of Marriage and Family, 58(2), 417-432.

Masling, J.M., & Bornstein, R.F. (1994). Empirical perspectives on object


relations theory. Washington, DC: American Psychological Association.
May, D.R., Gilson, R.L., & Harter, L.M. (1994). The psychological conditions of
meaningfulness, safety and availability and the engagement of the human
spirit at work. Journal of Occupational and Organisational Psychology,
77, 11-37.

McCrae, R.R., & Costa, P.T., Jr. (1987). Updating Norman’s “adequate
taxonomy”: Intelligence and personality dimensions in natural language
and in questionnaires. Journal of Personality and Social Psychology, 49,
710-721.
66

McCrae, R.R., & Costa, P.T., Jr. (1987). Validation of the five-factor model of
personality across instruments and observers. Journal of Personality and
Social Psychology, 52, 81-90.

McCrae, R.R., & Costa, P.T., Jr. (1989). The structure of interpersonal traits:
Wiggins's circumplex and the five-factor model. Journal of Personality
and Social Psychology, 56, 586-595.
McCrae, R.R., Costa, P.T., Jr., & Yik, M. S. M. (1996). Universal aspects of
Chinese personality structure. In M. H. Bond (Ed.), The handbook of
Chinese psychology (pp. 189-207). Hong Kong: Oxford University Press.

McCrae, R.R., & John, O.P. (1992). An introduction to the five-factor model and
its applications. Journal of Personality, 60, 175-215.

McCrae, R.R., Terracciano, A., & 78 Members of the Personality Profiles of


Cultures Project. (2005). Universal features of personality traits from the
observer’s perspective: Data from 50 cultures. Journal of Personality and
Social Psychology, 88, 547–561.

McCrae, R.R., Zonderman, A. B., Costa, P.T., Jr., Bond, M.H., & Paunonen, S.V.
(1996). Evaluating replicability of factors in the revised NEO personality
inventory: Confirmatory factor analysis versus Procrustes rotation.
Journal of Personality and Social Psychology, 70, 552-566.

McDougall, W. (1932). Of the words character and personality. Character


Personality, 1, 3-16.

Meyer, J. P., Stanley, D. J., Herscovitch, L. & Topolnystsky, L. (2002). Affective,


continuance, and normative commitment to the organization: A meta-
analysis of antecedents, correlates and consequences. Journal of
Vocational Behavior, 61, 20–52.

Miller-McLemore, B. J. (1994). Also a mother: Work and family as theological


dilemma. Nashville, TN: Abdington Press.

Minnotte, K.L. (2012). Family structure, gender, and the work-family interface:
Work-to-family conflict among single and partnered parents. Journal of
Family Economic Issues, 33, 95-107.

Mirchandani, K. (1998). Protecting the boundary: Teleworker insights on the


expansive concept of work. Gender and Society, 12, 168-187.

Morrison, E.W., & Milliken, F.J. (2000). Organizational silence: A barrier to


change and development in a pluralistic world. Academy of Management
Review, 25(4), 706-725.
67

Mulvaney, R.H., O’Neill, J.W., Cleveland, J.N., & Crouter, A.C. (2007). A model
of work-family dynamics of hotel managers. Annals of Tourism Research,
34(1), 68- 87.

Munn, S.L. (2013). Unveiling the work-life system: The influence of work-life
balance on meaningful work. Advances in Developing Human Resources,
15(4), 401-417.
Namasivayam, K., & Zhao, X. (2007). An investigation of the moderating effects
of organizational commitment on the relationships between work–family
conflict and job satisfaction among hospitality employees in India.
Tourism Management 28, 1212–1223.

Netemeyer, R.G., Maxham, J.G. III, & Pullig, C. (2005). Conflicts in the work-
family interface: links to job stress, customer service employee
performance, and customer purchase intent. Journal of Marketing, 69(2),
130-143.

Norman, W.T. (1963). Toward an adequate taxonomy of personality attributes:


Replicated factor structure in peer nomination personality ratings. Journal
of Abnormal and Social Psychology, 66, 574-583.

Oates, K.L.M., Hall, M.E.L., & Anderson, T.L. (2005). Calling and conflict: A
qualitative exploration of interrole conflict and the sanctification of work
in Christian mothers in academia. Journal of Psychology and Theology,
33, 210-223.

O’Neill, J.W. (2012). Using focus groups as a tool to develop a hospitality work-
life research study. International Journal of Contemporary Hospitality
Management, 24(6), 873-885.

Ostroff, C., Kinicki, A.J., & Tamkins, M.M. (2003). Organizational culture and
climate. In Handbook of psychology: Industrial and organizational
psychology, W.C. Borman, D.R. Ilgen, & R.J. Klimoski, (Eds.) vol. 12, pp.
565–93. New York, NY: Wiley.

Parkes, L.P., & Langford, P.H. (2008).Work-life balance or work-life alignment?


A test of the importance of work–life balance for employee engagement
and intention to stay in organisations. Journal of Management and
Organization, 14(3) 267–284.

Patterson, M.G., West, M.A., Shackleton, V.J., Dawson, J.F., Lawthom, R.,
Maitlis, S., Robinson, D.L., & Wallace, A.M. (2005). Validating the
organizational climate measure: links to managerial practices, productivity
and innovation. Journal of Organizational Behavior,26, 379-408.
68

Pavot, W., & Diener, E. (2008). The satisfaction with life scale and the emerging
construct of life satisfaction. The Journal of Positive Psychology, 3, 137–
152.

Payne, R.L. & Mansfield, R. (1973). Relationships of perceptions of


organizational climate to organizational structure, context, and hierarchical
position. Administrative Science Quarterly, 18, 515-526.
Payne, R.L., & Pugh, D.S. (1975). Organization structure and climate. In M.D.
Dunnette (ed.) Handbook of Industrial and Organizational Psychology.
Chicago, IL: McNally.

Pedhazur, E.J. (1997). Multiple regression in behavioral research (3rd ed.).


Belmont, CA: Wadsworth.

Peterson, M. (1997). Work, corporate culture, and stress: Implications for


worksite health promotion. American Journal of Health Behavior, 21, 243-
252.

Pleck, J.H. (1977). The work family role system. Social Problems, 24, 417-427.

Pratt, M., & Ashforth, B. (2003). Fostering meaningfulness in working and at


work. In K. Cameron, J. Dutton, & R. Quinn (Eds.), Positive
organizational scholarship (pp. 309–327). San Francisco, CA: Berrett-
Koehler Publishers.

Pratten, J.D. (2003). What makes a great chef? British Food Journal, 105(7), 454-
459.

Ransome, P. (2007). Conceptualizing boundaries between life and work.


International Journal of Human Resource Management, 18(3), 374–86.

Reiter, M. (2007). Work life balance: What do you mean? The ethical ideology
underpinning appropriate application. The Journal of Applied Behavioral
Sciences, 43(2), 273-294.

Rice, R.W., McFarlin, D.B., Hunt, R.G., & Near, J.P. (1985). Organizational work
and the perceived quality of life: Toward a conceptual model. Academy of
Management Review, 10, 296-310.

Roehling, P. V., Jarvis, L. H., & Swope, H. E. (2005). Variations in negative work
- family spillover among White, Black, and Hispanic American men and
women. Journal of Family Issues, 26(6), 840–865.

Robinson, R.N.S., & Beesley, L.G. (2010). Linkages between creativity and
intention to quit: An occupational study of chefs. Tourism Management,
31, 765-776.
69

Robinson, R.V., & Garnier, M.A. (1985). Class reproduction among men and
women in France: Reproduction theory on it home ground. American
Journal of Sociology, 91, 250-280.

Rothbard, N.P. (2001). Enriching or depleting? The dynamics of engagement in


work and family roles. Administrative Science Quarterly, 46, 655-684.
Rothbard, N.P., & Patil, S.V. (2012). Being there: Work engagement and positive
organizational scholarship. In Cameron, K.S., & Spreitzer, G.M. (Eds).
The Oxford handbook of positive organizational scholarship (p. 56-69)
Oxford, England: Oxford University Press, Inc.

Rothmann, S., & Baumann, C. (2014). Employee engagement: The effects of


workhome/home-work interaction and psychological conditions. South
African Journal of Economic and Management Sciences, 4, 515-530.

Ruhlman, M. (1997). The making of a chef: Mastering the heat of the Culinary
Institute of America. New York, NY: Henry Holt and Company.

Saks, A.M. (2006). Antecedents and consequences of employee engagement.


Journal of Managerial Psychology, 21(7), 600–619.

Salanova, M., Agut, S., & Peiro, J.M. (2005). Linking organizational resources
and work engagement to employee performance and customer loyalty: The
mediation of service climate. Journal of Applied Psychology, 90, 1217-
1127.

Samuelsson, M., & Chambers, V. (2012). Yes, chef: A memoir. New York, NY:
Random House Press, Inc.

Schaufeli, W.B. (2004), The future of occupational health psychology, Applied


Psychology: An International Review, 53(4), 502-517.

Schaufeli, W.B., & Bakker, A.B. (2010). Defining and measuring work
engagement: Bringing clarity to the concept. In A.B. Bakker, & M.P.

Leiter (Eds), Work engagement: A handbook of essential theory and research.


New York, NY: Psychology Press.

Schaufeli, W.B., & Bakker, A.B., & Salanova, M. (2006). The measurement of
work engagement with a short questionnaire. Educational and
Psychological Mesurement, 66(4), 701-716.

Schaufeli, W.B., Salanova, M., Gonzalez-Roma, V., & Bakker, A.B. (2002) The
measurement of engagement and burnout: A two sample confirmatory
factor analytic approach. Journal of Happiness Studies, 3, 71-92.
70

Schneider, B. (1975). Organizational climate: An essay. Personnel Psychology,


28, 447-479.

Schneider, B., Ehrhart, M.G., & Macey, W.H. (2011). Perspectives on


organizational climate and culture. In APA Handbook of Industrial and
Organizational Psychology: Vol. 1. Building and Developing the
Organization, ed. S. Zedeck, pp. 373–414. Washington, DC: American
Psychological Association.

Schneider, B., Ehrhart, M.G., & Macey, W.H. (2013). Organizational climate and
culture. Annual Review of Psychology, 64(1), 361-388.

Schneider, B., & Hall, D.T. (1972). Toward specifying the concept of work
climate: A study of Roman Catholic diocesan priests. Journal of Applied
Psychology, 56, 447-455.

Schneider, B., & Reichers, A.E. (1983). On the etiology of climates. Personal
Psychololgy, 36, 19–39.

Schuurman, D. J. (2004). Vocation: Discerning our callings in life. Grand Rapids,


MI: Eerdmans.

Shankar, T., & Bhatnagar, J. (2010). Work life balance, employee engagement,
emotional consonance/dissonance & turnover intention. The Indian
Journal of Industrial Relations, 46(1), 74-87.

Sieber, S.D. (1974). Toward a theory of role accumulation. American


Sociological Reviews, 39, 567-578.

Simpson, M.R. (2008). Engagement at work: A review of the literature.


International Journal of Nursing Studies, 1, 1-13.

Stryker, S. (1980). Symbolic interactionism: A social structural version. Menlo


Park, CA: Benjamin/Cummings.

Super, D. E. (1980). A life-span, life-space approach to career development.


Journal of Vocational Behavior, 16, 282-298.

Tabachnick, B.G., & Fidell, L.S. (2013). Using multivariate statistics. Boston ,
MA: Pearson.

Tajfel, H., & Turner, J.C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. In
W.G. Austin and S. Worchel (Eds.), The social psychology of intergroup
relations (pp. 37-47). Monterey, CA: Brooks-Cole.
71

Thoits, P. A. (1992). Identity structures and psychological well-being: Gender and


marital status comparisons. Social Psychology Quarterly, 55(3), 236–256.

Tompson, H. B., & Werner, J. M. (1997). The impact of role conflict/ facilitation
on core and discretionary behaviors: Testing a mediated model. Journal of
Management, 23, 583–601.
Timms, C., & Brough, P. (2012). I like being a teacher: Career satisfaction, the
work environment and work engagement. Journal of Educational
Administration, 51(6), 768-789.

Towers Perrin (2003). Working today: Understanding what drives employee


engagement, The 2003 Towers Perrin Talent Report, Stamford, CT.
Retrieved from
http://www.keepem.com/doc_files/Towers_Perrin_Talent_2003(TheFinal)
.pdf.

Treadgold, R. (1999). Transcendent vocations: Their relationship to stress,


depression, and clarity of self-concept. Journal of Humanistic Psychology,
39, 81–106.

Tupes, E.C., & Christal, R.E. (1961, May). Recurrent personality factors based
on trait ratings (ASD-TR-61-97). Lackland Airforce Base, TX:
Aeronautical Systems Division Personnel Laboratory.

US Department of Labor. (1999) Futurework: Trends and challenges for work in


the 21st century. Washington, DC: US Department of Labor.
van Steenenbergen, E.F., Ellemers, N., & Mooijaart, A. (2007). How work
and family can facilitate each other: Distinct types of work-family
facilitation and outcomes for women and men. Journal of Occupational
Health Psychology, 12, 279-300.

Wada, M., Backman, C.L., & Forwell, S.J. (2010). Theoretical perspectives of
balance and the influence of gender ideologies. Journal of Occupational
Science, 17, 92– 103.

Walumbwa, F.O., Hartnell, C.A., & Oke, A. (2010). Servant leadership,


procedural justice climate, service climate, employee attitudes, and
organizational citizenship behavior: A cross-level investigation. Journal of
Applied Psychology, 95, 517– 529.

Williams, K.J., & Alliger, G.M. (1994). Role stressors, mood spillover, and
perceptions of work-family conflict in employed parents. Academy of
Management Journal, 37, 837-868.

Winslow, S. (2005). Work-family conflict, gender, and parenthood, 1977-1997.


Journal of Family Issues, 26, 727-755.
72

Wong, S.C., & Ko, A. (2009). Exploratory study of understanding hotel


employees’ perception on work–life balance issues. International Journal
of Hospitality Management 28, 195-203.

Wrzesniewski, A. (2003). Finding positive meaning in work. In K.S. Camerson,


J.E. Dutton, & R.E. Quinn (Eds.) Positive organizational scholarship (pp.
296-308). San Francisco, CA: Berrett-Koehler Publishers, Inc.

Wrzesniewski, A. (2012). Callings. In Cameron, K.S., & Spreitzer, G.M. (Eds).


The Oxford handbook of positive organizational scholarship (p.45-55)
Oxford, England: Oxford University Press, Inc.

Wrzesniewski, A., McCauley, C.R., Rozin, P., & Schwartz, B. (1997). Jobs,
careers, and callings: People’s relations to their work. Journal of Research
in Personality, 31, 21-33.

Yalof, I. (1988). Life and death: The story of a hospital. New York, NY: Fawcett
Crest.
73

KUESIONER

A. PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER


1. Kuesioner ini merupakan daftar isian dalam rangka penulisan karya ilmiah
tesis S2 kajian ilmu kepolisian Universitas Indonesia.
2. Jawaban Saudara terhadap kuesioner ini semata-mata untuk keperluan
akademis dalam rangka penyelesaian program S2 di kajian ilmu kepolisian
Universitas Indonesia.
3. Oleh sebab itu kami mohon kesediaan Saudara untuk mengisi kuesioner ini
sesuai dengan kebenaran dan kenyataan yang saudara rasakan dalam
organisasi. Dan tidak ada kaitannya dengan karir dan jabatan saudara.
4. Terimakasih atas partisipasi dan kesediaan saudara untuk mengisi kuesioner
ini.

B. PROFIL RESPONDEN

1. Jenis Kelamin: Pria [ ] Wanita [ ]


2. Pangkat Anda saat ini :
Bintara ( )
Perwira pertama ( )
3. Berapa lama anda bekerja di Polri?
Di bawah 3 tahun [ ] 4-7 tahun [ ]
8-10 tahun [ ] Di atas 10 tahun [ ]
4. Di fungsi kepolisian mana Anda bekerja?
Reskrim [ ] Intel [] Sabhara ( )
Satlantas [ ] Bimas [ ]
5. Apakah tingkat pendidikan tertinggi Anda?
SMA sederadjat [ ] Diploma [ ]
74

Sarjana [] Master [] Doktor ( )


6. Pengalaman mengikuti diklat selama bekerja di Polri
Dibawah 5 kali ( )
5 sd 10 kali ( )
11 sd 15 kali ( )
16 sd 20 kali ( )
Diatas 20 kali ( )
7. Pengalaman pindah-pindah unit/ fungsi kerja selama di Polri
0 sd 1 kali pindah/mutasi
1 sd 3 kali pindah/mutasi
4 sd 6 kali pindah/mutasi
7 sd 9 kali pindah/mutasi
Lebih dari 10 kali pindah/mutasi

C.KUESIONER KETERLIBATAN ANGGOTA ORGANISASI

Berikan tanda V pada kolom angka yang Saudara anggap paling cocok dan
tepat sesuai dengan perasaan dan pengalaman nyata Saudara dalam
organisasi tempat Saudara bekerja. Skala 1= Sangat Tidak Setuju; 2= Tidak
Setuju; 3= Biasa Saja; 4= Setuju; 5= Sangat Setuju.

N BUTIR PERNYATAAN 1 2 3 4 5
O

1 Kami terlibat dalam mendiskusikan


berbagai pekerjaan yang terkait dengan
pencapaian sasaran dan tujuan yang
akan dicapai organisasi.
2 Kami sebagai anggota organisasi sangat
percaya kepada kemampuan dan
kebaikan pimpinan dalam pelaksanaan
tugas dan pencapaian sasaran
organisasi.
3 Kebijakan pimpinan dan organisasi
mendorong keterlibatan anggota
75

organisasi di semua tingkat organisasi.


4 Organisasi mendorong anggota untuk
berbagi informasi, pengetahuan dan
sumber daya yang ada di organisasi
untuk mencapai tujuan dan sasaran
organisasi.
5 Saya sangat memahami dan menyadari
apa yang diharapkan dari saya untuk
kepentingan organisasi saya.
6 Pimpinan dan kebijakan organisasi
selalu mendorong perkembangan dan
peningkatan karir saya
7 Beberapa tahun ini, saya diberi
kesempatan oleh pimpinan dan
organisasi untuk mengikuti kesempatan
belajar, meningkatkan Pendidikan dan
pelatihan
8 Saya merasa termotivasi untuk
melakukan pekerjaan saya saat ini di
tempat unit kerja saya
9 Saya merasa pekerjaan saya dapat
memberi kepuasan bagi saya
76

D.VARIABEL KUALITAS KEHIDUPAN KERJA (QUALITY OF WORK


LIFE) Di Adaptasi dari Lanja Hashang Heimed

Pilih angka yang paling sesuai dengan skala berikut saat memilih jawaban
Anda:

1 = Sangat Tidak Setuju

2 = Tidak Setuju

3 = Biasa saja

4 = Setuju

5 = Sangat Setuju
No. Pertanyaan Jawaban
Kompensasi
1 Kompensasi dalam pekerjaan saya saat ini 5 4 3 2 1
adil
2 Gaji dalam pekerjaan saya saat ini adil. 5 4 3 2 1
Kondisi Kerja
3 Lingkungan kerja saya saat ini sehat 5 4 3 2 1

4 Keselamatan adalah prioritas tinggi bagi 5 4 3 2 1


perusahaan saya
Kesempatan
Dalam pekerjaan saya saat ini, saya
5 5 4 3 2 1
memiliki cukup informasi untuk
menyelesaikan pekerjaan
Dalam pekerjaan saya saat ini, saya
6 5 4 3 2 1
memiliki kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan saya sendiri
Dalam pekerjaan saya saat ini, saya puas
7 5 4 3 2 1
dnegan kenaikan tahunan posisi saya
Integrasi sosial
8 Dalam pekerjaan saya saat ini, saya 5 4 3 2 1
diperlakukan sama dengan rekan-rekan saya
Konstitusionalisme
77

9 Saya memiliki privasi pribadi di tempat 5 4 3 2 1


kerja
10 Dalam pekerjaan saya saat ini, saya 5 4 3 2 1
memiliki hak untuk menyatakan pendapat
saya
Keseimbangan Kehidupan Kerja:
Aturan tentang keseimbangan kehidupan
11 5 4 3 2 1
kerja dan kehidupan sosial dapat diterapkan
Dalam pekerjaan saya saat ini jumlah waktu
12 5 4 3 2 1
kerja atau istirahat memuaskan
Kesehatan dan Kesejahteraan Karyawan
13 Tunjangan selain uang memuaskan 5 4 3 2 1
14 Lingkungan kerja saya saat ini memberi 5 4 3 2 1
saya motivasi
Sistem Informasi
Teknologi yang disediakan oleh perusahaan
15 5 4 3 2 1
saya memadai untuk tugas saya
Sumber Daya Manusia
16 Departemen sumber daya manusia 5 4 3 2 1
bereaksi secara tepat terhadap kebutuhan
dan kekhawatiran saya
17 Departemen sumber daya manusia 5 4 3 2 1
memiliki sistem tindak lanjut yang efektif
untuk setiap pengaduan
18 Dalam pekerjaan saya saat ini, sesi 5 4 3 2 1
pelatihan sering dilakukan
Sesi pelatihan relevan dan berguna bagi
19 5 4 3 2 1
saya
Pengasingan
Lingkungan pekerjaan saya memungkinkan
20 5 4 3 2 1
saya untuk melakukan tugas saya tanpa
gangguan yang tidak perlu
Sarana dan Prasarana
21 Kualitas perabot kantor yang disediakan 5 4 3 2 1
memadai bagi saya untuk berkinerja
baik
22 Suhu di kantor membuat saya dapat 5 4 3 2 1
mengerjakan tugas saya dengan baik
Gaya Kepemimpinan dan Manajemen
23 Pengawas saya memperlakukan saya 5 4 3 2 1
dengan adil
Manajer saya mengizinkan saya untuk
24 5 4 3 2 1
berkontribusi dalam membuat keputuasan
78

E. VARIABEL KEPUASAN KERJA (JOB SATISFACTION)

Pilih angka yang paling sesuai dengan skala berikut saat memilih jawaban
Anda:
1 = Sangat Tidak Setuju (STS)
2 = Tidak Setuju (TS)
3 = Biasa saja / netral (N)
4 = Setuju (S)
5 = Sangat Setuju (STS)
N ALTERNATIF JAWABAN
BUTIR PERNYATAAN
O SS S N TS STS
Faktor Psikologis
1 Saya merasa senang dengan pekerjaan
yang saya lakukan.
2 Saya memiliki inisiatif yang baik untuk
melaksanakan tugas.
3 Saya berani bertanggung jawab dalam
melaksanakan tugas yang telah
dikerjakan.
4 Kepribadian saya cukup baik dalam
melaksanakan pekerjaan.
5 Kepemimpinan saya cukup baik dalam
melaksanakan pekerjaan.
6 Saya ramah terhadap rekan kerja di saat
melaksanakan pekerjaan.
7 Integritas pribadi saya cukup baik untuk
menjalankan tugas.
Faktor Sosial
1 Pimpinan/atasan yang bekerja dengan
saya memberikan dukungan moril yang
baik.
2 Pimpinan/atasan bersedia
mendengarkan keluhan setiap anggota
baik terkait personal anggota maupun
tentang pekerjaan.
3 Pimpinan/atasan mengakui pendapat
yang diutarakan oleh bawahan.
79

4 Pemimpin/atasan membeda-bedakan
dalam memperlakukan setiap anggota
dibawahnya.
5 Rekan-rekan kerja yang bekerjasama
dengan saya memberikan dukungan.
6 Saya mampu bekerjasama dengan baik
dengan sesama anggota lainnya.
Faktor Fisik
1 Saya merasa puas dengan pekerjaan
yang saya kerjakan.
2 Pekerjaan saya saat ini sangat menarik.
3 Kuantitas/jumlah jam kerja yang saya
lakukan selama satu periode melebihi
rata-rata rekan kerja lainnya.
4 Waktu istirahat saya pakai untuk
melakukan tugas di lapangan.
5 Ketersediaan fasilitas yang diberikan
institusi kurang memadai dalam
melakukan tugas.
6 Ruang kerja yang digunakan kurang
nyaman untuk bekerja.
7 Kualitas kerja saya jauh lebih baik dari
rekan kerja yang lain.
8 Kemampuan melaksanakan pekerjaan
utama saya sangat baik.
9 Tingkat kreativitas saya dalam bekerja
cukup baik dan mampu diandalkan.
10 Saya merasa nyaman dengan
lingkungan pekerjaan saat ini.
11 Kondisi kerja yang kondusif dan
produktif membuat saya sehat secara
jasmani dan rohani.
Faktor Finansial
1 Gaji yang saya peroleh cukup sesuai
dengan tanggung jawab yang saya
emban.
2 Gaji yang dibayarkan selalu tepat waktu
sesuai dengan yang ditetapkan.
3 Jaminan sosial yang didapatkan sudah
sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
4 Tidak semua anggota mendapatkan
jaminan sosial.
5 Disamping gaji yang saya dapatkan,
tidak ada tunjangan lainnya yang saya
terima sebagai anggota.
80

6 Tunjangan diberikan kepada setiap


anggota yang memiliki pangkat/jabatan.
7 Jika saya melaksanakan pekerjaan
dengan baik, maka saya akan
dipromosikan.
8 Hanya yang memiliki jabatan tertentu
yang dapat dipromosikan.
9 Fasilitas yang diberikan institusi kepada
saya cukup baik.
10 Jika kemudian hari pensiun, institusi
sudah menyediakan jaminan pensiun
bagi setiap anggota.
81

F. VARIABEL IKLIM ORGANISASI


Pilih angka yang paling sesuai dengan skala berikut saat memilih jawaban
Anda:
1 = Sangat Tidak Setuju (STS)
2 = Tidak Setuju (TS)
3 = Biasa saja (N)
4 = Setuju (S)
5 = Sangat Setuju (SS)

Nyatakan tingkat persetujuan Anda terhadap pernyataan berikut:


N ALTERNATIF JAWABAN
BUTIR PERNYATAAN
O SS S N TS STS
REWARD/REMUNERASI
1 Saya diberi upah yang memadai untuk
kinerja saya yang luar biasa
2 Semua tanggung jawab dan tugas aya
telah diperhitungkan dalam menentukan
paket remunerasi saya
3 Saya puas dengan remunerasi yang saya
terima
STRUKTUR
4 Kebebasan berpikir dipromosikan di
Departemen
5 Birokrasi berdampak negatif pada
komunikasi saya dengan manajemen
6 Kebijakan dan prosedur yang kaku
berdampak negatif terhadap prestasi
kerja
TANGGUNG JAWAB
7 Saya memiliki otonomi penuh dalam
mengambil keputusan
8 Tujuan dan sasaran pekerjaan saya jelas
9 Saya dipercaya untuk melaksanakan
tugas yang dilimpahkan kepada saya
TANTANGAN
10 Departemen tersebut telah dikelola
dengan baik selama beberapa tahun
terakhir
82

11 Manajemen menolak melakukan


perubahan
12 Perubahan di Departemen sangat lambat
13 Kurangnya perubahan di Departemen
menyebabkan perasaan tidak puas
KEHANGATAN
14 Di Departemen ada lingkungan kerja
yang ramah
15 Semangat tim yang kuat berlaku di
Departemen
16 Manajer langsung saya peduli dengan
saya sebagai pribadi/untuk
kesejahteraan saya
17 Di Departemen ada perasaan peduli
secara umum
DUKUNGAN
18 Supervisor dapat diandalkan untuk
memberikan bimbingan yang baik
kepada stafnya
19 Staf berkumpul untuk membantu saat
tugas penting dan mendesak muncul di
divisi
20 Manajer / supervisor saya memotivasi
saya
21 Kolaborasi antar departemen sangat
efektif
STANDAR
22 Staf selalu berada di bawah tekanan
untuk memenuhi target
23 Budaya Departemen lebih terkait pada
tugas daripada pada manusia
24 Pedoman untuk mengukur prestasi kerja
saya jelas
25 Saya menerima umpan balik
konstruktif, informasi yang teratur
tentang tugas yang dilakukan
KONFLIK
26 Saya diizinkan untuk berbeda dengan
supervisor saya
27 Manajer saya menerima perbedaan
pendapat
28 Setiap konflik yang muncul ditangani
segera
29 Ada kebijakan pintu terbuka antar
manajer dan staf untuk menangani
83

keluhan
IDENTITAS
31 Saya memiliki rasa loyalitas dan
komitmen terhadap department
32 Jika upaya ekstra diperlukan, saya
bersedia bekerja lembur untuk
Departemen
33 Saya bangga memberi tahu teman-
teman saya bahwa saya bekerja untuk
Departemen
34 Saya melihat masa depan jangka
panjang bagi saya di Departemen

Anda mungkin juga menyukai