Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam dunia sekarang ini persaingan dalam dunia bisnis semakin meningkat seiring

berjalannya waktu. Bekerja merupakan suat deu kebutuhan dari seseorang dalam membawa diri

pada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada sebelumnya. Selain itu, seseorang juga

dituntut untuk terus meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan potensi dalam kinerja dan

produktivitas di perusahaan guna menjadi tolak ukur keberhasilan dalam bekerja, dan juga

memiliki daya bersaing dengan yang lain dalam peningkatan kerja. Dalam merealisasikan itu,

perusahaan menuntut sumber daya yang terlibat di dalamnya harus mampu mempertahankan

eksistensi perusahaan.

Di antara semua sumber daya yang terlibat menopang perusahaan, sumber daya manusia

memiliki kontribusi yang paling dominan. Manusia selalu berperan aktif dan dominan dalam

setiap kegiatan organinasi karena manusia menjadi perencana, pelaku dan penentu terwujudnya

tujuan organisaasi (Hasibuan 2015). Oleh karena itu, tampak bahwa sulit bagi sebuah

perusahaan untuk beroperasi dengan lancar dan memperoleh sasaran, jika karyawannya tidak

mampu mengeksekusi tugas dan fungsinya dengan baik. Terlebih jika perusahaan memberi

berbagai tuntutan dan tekanan pekerjaan tanpa memperhatikan kepuasan kerja karyawan.

Keseimbangan kehidupan kerja sendiri adalah bagaimana seseorang mampu

menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dengan kebutuhan pribadi dan keluarganya

(Schermerhorn, 2005 dalam Ramadhani:2). Menciptakan dan memelihara kepuasan kerja

karyawan merupakan upaya yang dapat berdampak besar bagi kelangsungan perusahaan. Hal ini

dikarenakan, karyawan yang puas membawa pengaruh yang positif bagi perusahaan, seperti

meningkatkan efisiensi dan produktivitas (Kanwar et al.,2009). Kepercayaan bahwa kayawan

yang puas lebih produktif dibandingkan karyawan yang tidak puas bahkan telah menjadi sebuah
1
kepercayaan dasar bagi para manajer selama bertahun-tahun, dimana berbagai riset mulai

membuktikannya (Robbins dan Judge, 2015). Pio (2015) juga mengatakan bahwa kepuasan

kerja dapat menjadi stimulus bagi karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.

Dalam upaya meningkatkan kepuasan kerja, perusahaan ada baiknya untuk menerapkan

work-life balance, karena ini sangat penting bagi perusahaan untuk menyadari bahwa karyawan

tidak hanya menghadapi peran serta masalah dalam pekerjaan, namun juga di luar pekerjaannya.

Singh dan Khanna (2011) menyatakan work-life balance sebagai konsep luas yang melibatkan

penetapan prioritas yang tepat antara “pekerjaan” (karir dan ambisi) pada satu sisi dan

“kehidupan” (kebahagiaan, waktu luang, keluarga dan pengembagan spiritual) di sisi lain.

Kebanyakan orang saat terjun dalam dunia kerja jadi kehilangan keseimbangan dalam hidup

mereka. Semakin tinggi karir mereka atau semakin tinggi bisnis yang dijalankan, maka semakin

sulit bagi mereka untuk menikmati hidup. Akhirnya waktu untuk keluarga dan “me time” jadi

terkuras, emosi tidak terkontrol, kesehatan menurun.

Kepuasan kerja sangatlah penting sebab karyawan dalam sebuah organisasi merupakan

faktor yang paling dominan dalam menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan organisasi.

Kepuasan kerja karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya agar moral kerja, dedikasi, kecintaan

dan kedisiplinan kerja tinggi.

Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual karena setiap

individu memiliki tingkat tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik yang

berlaku pada dirinya. Masalah kepuasan kerja penting sekali untuk diperhatikan, karena

kepuasan yang tinggi menciptakan suasana kerja yang menyenangkan dan akan mendorong

karyawan untuk berprestasi.

Kajian terbaru saat ini melaporkan sebanyak 56% pria dan wanita memberi pendapat

bahwa work-life balance merupakan definisi kesuksesan karir yang lebih dari uang, pangakuan,

dan otonomi (Robbins dan Judge, 2015).

2
Manado memiliki tingkat pertumbuhan dan persaingan serta budaya, perubahan gaya

kerja, budaya kerja, kebutuhan keluarga, tuntutan pekerjaan, dengan cepat mengambil tempat

yang akhirnya meningkatkan populasi pencari nafkah keluarga dan tanggung jawab, sehingga

antara kehidupan kerja dan kehidupan dalam keluarga terkadang timbul gesekan atau tekanan.

Hal itu mengakibatkan kurangnya rasa memiliki dan kemauan lebih untuk memaksimalkan

kinerja yang berasal dari diri karyawan terhadap perusahaan.

Sintesa Peninsula Hotel merupakan salah satu Hotel bintang lima di Manado yang

memiliki begitu banyak karyawan. Oleh karena itu, setiap orang harus bisa menyeimbangkan

antara pekerjaan dan juga pribadinya. Semakin pekerja mampu mengerjakan pekerjaannya

dengan baik dan menghasilkan suatu kesuksesan untuk perusahaan, maka perusahaan juga akan

memberikan keuntungan untuk pekerjanya sesuai dengan sumbangsihnya untuk

perusahaan.Mengacu pada salah satu penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kanwar et al.

(2009) mereka menemukan bahwa work-life balance berpengaruh positif terhadap kepuasan

kerja, yakni semakin tinggi work-life balance, semakin tinggi pula kepuasan kerja karyawan.

Inti dari program ini merupakan suatu konsep kecerdasan moral dan motivasi yang akan

menciptakan keseimbangan dalam bekerja, manajemen diri, motivasi diri, dan tanggung jawab.

Agar juga dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik dimana tercipta raga yang sehat,

pemikiran yang jernih, merasakan kenikmatan hidup, juga karyawan tidak hanya menghabiskan

waktunya hanya untuk pekerjaan saja, tetapi mempunyai kehidupan lain di luar dunia pekerjaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada

penelitian ini ialah apakah terdapat pengaruh work-life balance terhadap kepuasan kerja

karyawan pada Hotel Sintesa Peninsula Manado?

3
1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah work-life

balance dapat berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan pada Hotel Sintesa Peninsula

Manado.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambabh ilmu pengetahuan dalam bidang manajemen sumber

daya manusia.

2. Manfaat Praktis

Bagi perusahaan yang menjadi tempat penelitian diharapkan penelitian ini dapat dijadikan

sebagai referensi atau masukan untuk kebijakan-kebijakan perusahaan, khususnya bagi unit

sumber daya manusia.

3. Manfaat Pribadi

Melalui penelitian ini, peneliti diharapkan memperoleh tambahan ilmu pengetahuan dan

pengalaman.

4
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Work-Life Balance

2.1.1. Pengertian Work-Life Balance

Work-life balance/keseimbangan didalam pekerjaan menurut Hudson (2005:3)

merupakan: “tingkat kepuasan yang berkaitan dengan peran ganda dalam kehidupan seseorang”.

Work-life balance umumnya dikaitkan dengan keseimbangan, atau mempertahankan segala

aspek yamg ada di dalam kehidupan manusia.

Menurut Delecta (2011) work-life balance didefinisikan sebagai kemampuan individu

untuk memenuhi pekerjaan dan komitmen berkeluarga mereka, serta tanggung jawab non-

pekerjaan lainnya.

Menurut Robbins dan Coulter (2012) program work-life balance meliputi sumber daya

pada perawatan orang tua dan anak, perawatan kesehatan dan kesejahteraan karyawan, dan

relokasi dan lain-lain.

Hutcheson (2012:5) mengungkapkan bahwa: “Work-Life Balance adalah suatu bentuk

kepuasan pada individu dalam mencapai keseimbangan kehidupan dalam pekerjaannya”.

Menurut Clark (2000), work-life balance merupakan kepuasan yang dirasakan individu

dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan keluarga dengan meminimalkan konflik yang mungkin

muncul akibat pemenuhan kedua tuntutan peran tersebut

Work-life balance mengandung tiga unsur penting, yaitu pengaturan total waktu jam kerja,

tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak. Ketika peran keluarga

dilaksanakan dengan baik, maka tempat kerja akan menjadi tempat menyenangkan dan

karyawan cenderung terhindar dari konflik (McDonald, Brown & Bradley, 2005; Gregory &

Milner 2009). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Purohit (2013) bahwa karyawan yang

mampu mengatur jam kerja dan mengurus rumah tangga dengan baik akan memiliki work

5
engagement terhadap organisasi sehingga karyawan akan menampilkan performa kerja yang

terus meningkat.

Work-life balance didefinisikan oleh Departemen Tenaga Kerja New Zealand sebagai

penciptaan budaya kerja yang produktif dimana kemungkinan terjadinya ketegangan antara

pekerjaan dengan bagian lain kehidupan seseorang dapat diminimalisasi (Mariati, 2013)

Lockwood (2003) mendefinisikan work-life balance sebagai suatu keadaan seimbang pada

dua tuntutan dimana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Work-life balance

dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung

jawab terhadap keluarga. Sedangkan dalam pandangan perusahaan work-life balance adalah

tantangan untuk menciptakan budaya yang mendukung di perusahaan dimana karyawan dapat

focus pada pekerjaan mereka sementara di tempat kerja.

Menurut Frame dan Hartog (2003:4) Work-life balance berarti karyawan dapat dengan

bebas menggunakan jam kerja yang fleksibel untuk menyeimbangkan pekerjaan atau karyanya

dengan komitmen lain seperti keluarga, hobi, seni, studi, dan tidak hanya fokus terhadap

pekerjaannya.

Berdasarkan uraian di atas,dapat ditarik konklusi bahwa work-life balance adalah

kemampuan individu dalam menyetarakan prioritas, komitmen, serta tanggung jawab terhadap

perannya dalam lingkungan pekerjaan dan di luar pekerjaan, sehingga dapat tercapai kepuasan

yang maksimal antar keduanya. Dimana dengan adanya work-life balance, karyawan dapat

bekerja dan berkontribusi dengan baik pada perusahaan, namun disamping itu tetap dapat

menikmati waktu dan aktivitas di luar pekerjaan, seperti kebersamaan bersama keluarga dan

teman, bersosialisasi, beribadah, memiliki waktu santai, hobi, rekreasi, olahraga, dan lain

sebagainya.

2.1.2. Indikator Work-life Balance

Indikator-indikator untuk mengukur work-life balance menurut McDonald et al. (2005)

adalah sebagai berikut:

6
1. Time Balance (Keseimbangan Waktu)

Time balance merujuk pada jumlah waktu yang diberikan oleh individu baik bagi pekerjaannya

maupun hal-hal diluar pekerjaan misalnya seperti waktu bagi keluarganya. Keseimbangan waktu

yang dimiliki oleh karyawan menentukan jumlah waktu yang dialokasikan oleh karyawan pada

pekerjaan maupun kehidupan pribadi mereka dengan keluarga, beragam aktivitas kantor,

keluarga atau tempat bersosialisasi lainnya hanya dapat dimiliki karyawan. Keseimbangan

waktu yang dicapai karyawan menunjukan bahwa tuntutan dari keluarga terhadap karyawan

tidak mengurangi waktu professional dalam menyelesaikan pekerjaan, begitupun sebaliknya.

2. Involvement Balance (Keseimbangan Keterlibatan)

Involvement balance merujuk pada jumlah atau tingkat keterlibatan secara psikologis dan

komitmen suatu individu dalam pekerjaannya maupun hal-hal diluar pekerjaannya. Waktu yang

dialokasikan dengan baik belum tentu cukup sebagai dasar pengukuran tingkat work-life balance

karyawan, melainkan harus didukung dengan jumlah atau kapasitas keterlibatan yang

berkualitas disetiap kegiatan yang karyawan tersebut jalani. Sehingga karyawan harus terlibat

secara fisik dan emosional baik dalam kegiatan pekerjaan, keluarga maupun kegiatan sosial

lainnya, barulah keseimbangan keterlibatan akan tercapai.

3. Satisfaction Balance (Keseimbangan Kepuasan)

Satisfaction Balance merujuk pada jumlah tingkat kepuasan suatu individu terhadap kegiatan

pekerjaannya maupun hal-hal di luar pekerjaannya. Kepuasan akan timbul dengan sendirinya

apabila karyawan menganggap apa yang dilakukannya selama ini cukup baik dalam

mengakomodasi kebutuhan pekerjaan maupun keluarga. Hal ini dilihat dari kondisi yang ada

pada keluarga, hubungan dengan teman-teman maupun rekan kerja, serta kualitas dan kuantitas

pekerjaan yang diselesaikan.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work-life Balance

7
Menurut Schabracq et al. (2003) ada beberapa factor yang mungkin saja mempengaruhi

work-life balance seseorang. Faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Karakteristik Keperibadian

Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan kerja dan di luar kerja. Terdapat hubungan antara tipe

attachment yang didapatkan individu ketika masih kecil dengan work-life balance. Individu

yang memiliki secure attachment cenderung mengalami positive spillover dibandingkan

individu yang memiliki insecure attachment.

2. Karakteristik Keluarga

Menjadi salah satu asek penting yang dapat menentukan ada tidaknya konflik antara pekerjaan

dan kehidupan pribadi. Misalnya konflik peran dan ambiguinitas peran dalam keluarga dapat

mempengaruhi work-life balance.

3. Karakteristik Pekerjaan

Meliputi pola kerja, beban kerja dan jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja dapat memicu

adanya konflik dalam pekerjaan maupun konflik dalam kehidupan pribadi.

4. Sikap

Merupakan evaluasi terhadap berbagai aspek dalam dunia sosial. Dimana dalam dalam sikap

terdapat komponen seperti pengetahuan, perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk bertindak.

Sikap dari masing-masing individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi work-life

balance.

2.1.4. Strategi Menciptakan Work-life Balance

Singh dan Khanna (2011) merumuskan strategi dalam menciptakan work-life balance,

yakni sebagai berikut:

1. Jam kerja yang fleksibel; menyediakan penyusunan waku yang fleksibel dan dapat

dikonsultasikan untuk seluruh karyawan.

8
2. Kerja paruh waktu; menyediakan lebih banyak kerja paruh waktu dengan jam atau shift yang

lebih sedikit atau penyusunan pembagian kerja untuk seluruh karyawan.

3. Jam kerja yang masuk akal; mengurangi waktu kerja yang berlebihan.

4. Akses untuk penanganan anak; meningkatkan akses untuk penanganan anak dengan fasilitas

penanganan anak dikantor bagi yang membutuhkan fasilitas tersebut.

5. Penyusunan pekerjaan yang fleksibel; menyediakan fleksibilitas yang lebih baik dalam

penyusunan pekerjaan untuk menyesuaikan kondisi personal karyawan, termasuk menyediakan

waktu penuh untuk anggota keluarga.

6. Cuti harian; mengizinkan karyawan untuk miminta dan mengambil cuti dalam waktu harian.

7. Mobilitas pekerjaan; menyediakan mobilitas yang lebih baik untuk karyawan dapat berpindah

dari rumah sakit, tempat kerja, dan layanan kesehatan untuk menemukan penyusunan pekerjaan

yang lebih sesuai.

8. Keamanan dan kesejahteraan; meningkatkan keamanan, kesejahteraan, dan rasa hormat untuk

seluruh karyawan di tempat kerja.

9. Akses telepon; memastikan seluruh karyawan dapat menerima telepon atau pesan mendesak dari

keluarga mereka di tempat kerja, dan mendapat akses telepon unutk tetap dapat menghubungi

keluarga mereka selama jam kerja.

2.1.5. Manfaat Work-life Balance

Menurut Lazer et al. (2010), manfaat dengan diadakannya program work-life balance bagi

perusahaan antara lain:

1. Mengurangi tingkat ketidak hadiran (absenteeism) dan keterlambatan (lateness)

2. Meningkatkan produktivitas

3. Adanya komitmen dan loyalitas karyawan

4. Meningkatnya retensi pelanggan

5. Berkurangnya turn-over karyawan

Sedangkan bagi karyawan, manfaat program work-life balance adalah sebagai berikut ;

9
1. Meningkatnya kepuasan kerja

2. Semakin tingginya keamanan kerja (job security)

3. Meningkatkan kontrol terhadap work-life environment

4. Berkurangnya tingkat stress kerja

5. Semakin meningkatnya kesehatan fisik dan mental

2.1.6. Dimensi Work-life Balance

Menurut Fisher (2009), terdapat empat dimensi work-life balance, yaitu:

1. Work Interference With Personal Life (WIPL)

Dimensi ini mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat mengganggu kehidupan pribadi

individu. Misalnya, bekerja dapat membuat seseorang sulit mengatur waktu untuk kehidupan

pribadinya.

2. Personal Life Interference With Work (PLIW)

Dimensi ini mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu kehidupan

pekerjaannya. Misalnya, apabila individu memiliki masalah didalam kehidupan pribadinya, hal

ini dapat mengganggu kinerja individu pada saat bekerja.

3. Personal Life Enhancement Of Work (PLEW)

Dimensi ini mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan

performa individu dalam dunia kerja. Misalnya, apabila individu merasa senang dikarenakan

kehidupan pribadinya menyenangkan maka hal ini dapat membuat suasana hati individu pada

saat bekerja menjadi menyenangkan.

4. Work Enhancement Of Personal Life (WEPL)

Dimensi ini mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan

pribadi individu. Misalnya keterampilan yang diperoleh individu pada saat bekerja,

memungkinkan individu untuk memanfaatkan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-

hari.

10
2.2 Kepuasan Kerja

2.2.1. Pengertian Kepuasan Kerja

Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempat bekerja. Pada

dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual karena setiap individu memiliki

tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap

individu. Semakin babnyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu,

maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan.

Istilah kepuasan kerja (job satisfaction) berkaitan dengan sikap umum seorang individu

terhadap pekerjaannya. Menurut Robbins dan Judge (2015), kepuasan kerja merupakan suatu

perasaan positif tentang pekerjaan, yang dihasilkan dari suatu evaluasi pada karakteristik-

karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan yang

positif mengenai pekerjaannya, sedangkan seseorang dengan level yang rendah memiliki

perasaan negative.

Menurut Spector dalam (Mariati, 2013) kepuasan kerja adalah sikap yang menggambakan

bagaimana perasaan seseorang terhadap pekerjaannya secara keseluruhan maupun terhadap

berbagai aspek dari pekerjaannya. Hal ini menyangkut seberapa jauh seseorang menyukai (like)

dan tidak menyukai (dislike) pekerjaannya. Dengan demikian kepuasan kerja lebih muda

dipahami sebagai tingkat dimana seseorang menyukai pekerjaannya.

Amstrong dalam (Aziri, 2011) mengemukakan bahwa kepuasan kerja berkatan dengan

sikap dan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Menurutnya, sikap positif dan senang akan

pekerjaan mengindikasi adanya kepuasan kerja. Sebaliknya sikap negative dan tidak senang

akan pekerjaan mengindikasikan ketidakpuasan kerja.

Menurut Pio dan Tampi (2018) kepuasan kerja terkait dengan sikap seorang karyawan di

tempat kerja. Salah satu dimensi kepuasan kerja adalah sikap yang terkait dengan emosi,

sehingga hal ini juga berkaitan dengan motivasi.

11
Kepuasan kerja merupakan respon efektif atau emosional terhadap berbagai seni atau

aspek pekerjaan seseorang sehingga kepuasan kerja bukan merupakan konsep tunggal.

Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu aspek pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau

lebih aspek lainnya. Kepuasan kerja merupakan sikap (positif) tenaga kerja terhadap

pekerjaannya, yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Penelitian tersebut dapat

dilakukan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting dalam

pekerjaan.

Perasaan-perasaan yang berhubungan dengan kepuasan dan ketidakpuasan kerja

cenderung mencerminkan penaksiran dari tenaga kerja tentang pengalaman-pengalaman kerja

pada waktu sekarang dan lampau. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat dua unsur

penting dalam kepuasan kerja, yaitu nilai-nilai pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan dasar.

Nilai-nilai pekerjaan merupakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tugas

pekerjaan. Yang ingin dicapai ialah nilai-nilai pekerjaan yang dianggap penting oleh individu.

Dikatakan selanjutnya bahwa nilai-nilai pekerjaan harus sesuai atau membantu pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan dasar.

Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa kepuasan kerja adalah reaksi positif, dan rasa suka atau senang terhadap karakteristik-

karakteristik yang terkandung dalam pekerjaan. Dimana jika semakin banyak karakteristik

pekerjaan yang sesuai dengan keinginan karyawan, maka akan mengarah pada kepuasan kerja.

Sebaliknya, jika semakin sedikit karakteristik pekerjaan yang sesuai dengan keinginan

karyawan, maka mengarahkan pada ketidakpuasan kerja. Kepuasan kerja juga merupakan hasil

dari tenaga kerja yang berkaitan dengan motivasi kerja.

2.2.2. Dimensi Kepuasan Kerja

Luthans (2006) mengemukakan 5 dimensi pekerjaan yang paling penting dimana

karyawan memiliki respon efektif (kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja), yaitu:

12
1. Pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan harus memberikan tugas yang menarik kesempatan untuk

belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab.

2. Gaji. Upah yang diterima dipandang pantas dalam organisasi.

3. Kesempatan promosi. Terbuka kesempatan untuk maju dalam organisasi.

4. Pengawasan. Terdapat penyelia yang memiliki kemampuan untuk memberikan bantuan teknis

dan dukungan perilaku.

5. Rekan kerja. Terdapat rekan kerja yang memiliki kepandaian secara teknis dan memberi

dukungan secara sosial.

2.2.3. Teori Kepuasan Kerja

Secara umum terdapat 3 teori kepuasan kerja yang sudah dikenal, yaitu discrepancy,

theory, equity theory, dantwo factor theory (Suswanto dan Priansa, 2011). Ketiga teori tersebut

diuraikan di bawah ini:

1. Discrepancy Theory (Teori Ketidaksesuaian)

Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter pada tahun 1961. Porter mengukuer kepuasan kerja

dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan.

Apabila yang didapat seseorang ternyata lebih besar daripada apa yang diharapkan maka mereka

akan puas, tetapi sebaliknya jika diperoleh seseorang justru lebih rendah daripada yang

diharapkan maka akan menyebabkan ketidakpuasan.

2. Equity Theory (Teori Keadilan)

Equity Theory dikembangkan oleh Adam pada tahun 1963. Adapun pendahulu teori ini adalah

Zaleznik pada tahun 1958. Prinsip teori ini adalah bahwa seseorang akan merasa puas atau tidak

puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak (inequity) atas situasi

tertentu.

3. Two Factor Theory (Teori Dua Faktor)

13
Two factor theory (Robbins dan Judge, 2015) yang juga dinamakan motivation hygiene theory

(teori motivasi murni) dikembangkan oleh Frederick Hertzberg. Menurutnya lawan dari

kepuasan bukanlah ketidakpuasan, sebagaimana yang diyakini sejak dulu. Hertzberg

mengategorikan kondisi seperti mutu pengawasan, gaji, kebijakan perusahaan, kondisi fisik

kerja, hubungan dengan orang lain, dan keamanan pekerjaan sebagai faktor murni (hygiene

factor). Ketika faktor-faktor itu memadai, orang tidak mungkin tidak puas, tetapi mereka juga

tidak akan puaskan. Hertzberg menyarankan penekanan pada faktor-faktor yang berhubungan

dengan pekerjaan itu sendiri atau dengan hasil yang secara langsung dapat diperoleh dari

pekerjaannya, seperti kesempatan kenaikan pangkat, peluag pertumbuhan pribadi, pengakuan,

tanggung jawab, dan pencapaian. Sayangnya teori ini belum didukung dengan baik dalam

literature, dan memiliki banyak kritik.

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor-faktor tersebut

memberikan kepuasan kerja yang berbeda tergantung pada pribadi masing-masing karyawan.

Menurut Sutrisno (2010:80) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah:

1. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, yang

meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, dan keterampilan.

2. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antar karyawan

maupun karyawan dengan atasan.

3. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis

pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu,

penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya.

4. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan

karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan,

fasilitas yang diberikan, promosi, dan sebagainya.

14
Menurut Kreitner dan Kinicki (2001; 225) ada lima faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja, yaitu sebagai berikut:

1. Pemenuhan kebutuhan

Kepuasan ditentukan oleh tingkat karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu

untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Perbedaan

Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan

perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila

harapan lebih besar dari apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya individu akan

puas bila menerima manfaat diatas harapan.

3. Pencapaian nilai

Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja

individual yang penting.

4. Keadilan

Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja.

5. Komponen genetik

Kepuasan kerja merupan fungsi sifat pribadi dan faktor geneti. Hal ini menyiratkan perbedaan

sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja disamping

karakteristik lingkungan pekerjaan.

2.2.5. Dampak Kepuasan Kerja dan Ketidakpuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2015), hasil dampak yang spesifik dari kepuasan dan

ketidakpuasan kerja adalah sebagai berikut:

1. Kepuasan Kerja dan Kinerja

Sebagaimana kesimpulan beberapa studi, pekerja yang bahagia lebih mungkin merupakan

pekerja yang produktif. Saat kita berpindah dari level individu ke organisasi, kita juga

15
menemukan bahwa organisasi dengan lebih banyak pekerja yang puas cenderung lebih efektif

dibandingkan organisasi yang lebih sedikit pekerja yang puas.

2. Kepuasan Kerja dan OCB

Kepuasan kerja menjadi penentu utama dari perilaku kewargaan organisasional (organizational

citizenship behavior [OCB]). Pekerja yang puas seharusnya akan kelihatan berbicara positif

mengenai organisasi, membantu yang lain, dan melebihi ekspetasi normal dalam pekerjaannya.

3. Kepuasan Kerja dan Kepuasan Pelanggan

Para pekerja dalam pekerjaan jasa sering berinteraksi dengan pelanggan. Pekerja yang puas

meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan.

4. Kepuasan Kerja dan Absen

Masuk akal bahwa pekerja yang tidak puas cenderung meninggalkan pekerjaannya, tetapi

faktor-faktor lainnya juga dapat mempengaruhi itu.

5. Kepuasan Kerja dan Perputaran Pekerja (Turnover)

Hubungan antara kepuasan kerja dan perputaran kerja lebih kuat dibandingkan antara kepuasan

kerja dan absen. Pola kepuasan kerja yang rendah adalah alat prediksi niat untuk keluar dari

pekerjaan. Kesatuan pekerja dengan pekerjaannya dan komunitas dapat membantu menurunkan

probabilitas perputaran pekerja.

6. Kepuasan dan Penyimpangan di Tempat Kerja

Ketidakpuasan kerja dan hubungan antagonis dengan rekan kerja memprediksi beragam perilaku

yang tidak diinginkan organisasi, termasuk penyalahgunaan zat terlarang, mencuri di tempat

kerja, sosialisasi yang kurang, dan keterlambatan. Para peneliti berpendapat bahwa perilaku ini

adalah indicator sebuah sindrom yang lebih luas yang disebut perilaku menyimpang di tempat

kerja.

Dalam suatu organisasi ketidakpuasan kerja dapat ditunjukan melalui berbagai cara, Robins

and Judge juga menerangkan ada 4 respon yang berbeda satu sama lain dalam 2 dimensi yaitu

konstruktif/destruktif dan aktif/pasif, dengan penjelasan sebagai berikut:

16
1. Exit

Ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada meninggalkan organisasi, termasuk

mencari posisi baru atau mengundurkan diri.

2. Voice

Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki

keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai

bentuk aktivitas perserikatan.

3. Loyalty

Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu kondisi untuk

memperbaiki, termasuk dengan berbicara bagi organisasi dihadapan kritik eksternal dan

mempercayai organisasi dan manajemen melakukan hal yang benar.

4. Neglect

Ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif membiarkan kondisi semakin

buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan

meningkatkan tingkat kesalahan.

2.2.6. Korelasi Kepuasan Kerja

Menurut Kreitner dan Kinicki (2001; 226) hubungan yang kuat menunjukan bahwa atasan

dapat mempengaruhi dengan signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja.

Beberpa korelasi kepuasan kerja sebagai berikut:

1. Motivasi

Antara motivasi dan kepuasan kerja terdapat hubungan yang positif dan signifikan. Karena

kepuasan dengan pengawasan/supervisi juga mempunyai korelasi signifikan dengan motivasi,

atasan/manager disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi

kepuasan pekerja sehingga mereka secara potensial dapat meningkatkan motivasi pekerja

melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.

2. Pelibatan Kerja

17
Hal ini menunjukan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan dengan peran kerjanya.

Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja, dan peran atasan/manajer

perlu didorong memperkuat lingkungan kerja yang memuaskan unutk meningkatkan

keterlibatan kerja pekerja.

3. Organizational citizenship behavior

Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.

4. Organizational commitment

Mencerminkan tingkat dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai

komitmen terhadap tujuannya. Antara komitmen organisasi dengan kepuasan terdapat hubungan

yang signifikan dan kuat, karena meningkatnya kepuasan kerja akan meningkatkan komitmen

yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih tinggi dapat meningkatkan produktivitas

kerja.

5. Ketidakhadiran

Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat. Dengan kata lain

apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.

6. Perputaran

Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana perputaran dapat

mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga diharapkan atasan/manejer dapat

meningkatkan kepuasan kerja dengan mengurangi perputaran.

7. Perasaan stres

Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukan hubungan negatif dimana dengan

meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi dampak negatif stres.

8. Prestasi kerja/kinerja

Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja. Dikatakan kepuasan kerja

menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih produktif. Di sisi lain

18
terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja atau prestasi kerja sehingga pekerja akan

lebih produktif akan mendapatkan kepuasan.

2.2.8 Pengaruh Kepuasan Kerja

1. Terhadap Produktivitas

Orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikan dengan meningkatkan kepuasan kerja.

Kepuasan kerja mungkin merupakan akibat dari produktivitas atau sebaliknya. Produktivitas

yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja

mempersiapkan bahwa apa yang telah dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang mereka

terima (gaji/upah) yaitu adil dan wajar serta diasosiasikan dengan performa kerja yang unggul.

Dengan kata lain bahwa performansi kerja menunjukan tingkat kepuasan kerja seorang pekerja,

karena perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat keberhasilan yang

diharapkan.

2. Ketidakhadiran

Ketidakhadiran sifatnya lebih spontan dan kurang mencerminkan ketidakpuasan kerja. Tidak

adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan ketidakhadiran. Karena ada dua faktor dalam

perilaku hadir yaitu motivasi unutk hadir dan kemampuan unutk hadir.

3. Keluarnya Pekerja

Berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat akibat ekonomis yang besar, maka besar

kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja. Ketidakpuasan kerja pada pekerja

dapat diungkapkan dalam berbagai cara misalnya selain dengan meninggalkan pekerjaan,

mengeluh, membangkang, mencuri barang milik perusahaan/organisasi, menghindari sebagian

tanggung jawab pekerjaan mereka dan lainnya.

2.2.9 Meningkatkan Kepuasan Kerja

Menurut Riggio (2005), peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

19
1. Melakukan perubahan struktur kerja, misalnya dengan melakukan perputaran pekerjaan (job

rotation), yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke tugas yang

lainnya (yang disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang harus dilakukan adalah

dengan pemekaran (job enlargement), atau perluasan satu pekerjaan sebagai tambahan dan

bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktik unutk para pekerja yang menerima tugas-tugas

tambahan dan bervariasi dalam usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah

lebih dari sekedar anggota dari organisasi.

2. Melakukan perubahan struktur pembayaran, perubabhan sistem pembayaran ini dilakukan

dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-based pay), yaitu pembayaran dimana para pekerja

digaji berdasarkan performancenya, pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil yang

dicapai oleh individu itu sendiri. Pembayaran yang ketiga adalah Gainsharing atau pembayaran

berdasarkan pada keberhasilan kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh anggota

kelompok).

3. Pemberian jadwal kerja yang fleksibel, dengan memberikan kontrol pada para pekerja mengenai

perkerjaan sehari-hari mereka, yang sangat penting untuk mereka yang bekerja di daerah padat,

dimana pekerja tidak bisa bekerja tepat waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung

jawab pada anak-anak. Compressed work week (pekerjaan mingguan yang dipadatkan), dimana

jumlah pekerjaan perharinya dikurangi sedang jumlah jam pekerjaan perhari ditingkatkan. Para

pekerja dapat memadatkan pekerjaannya yang hanya dilakukan dari hari senin hingga jumat,

sehingga mereka dapat memiliki waktu longgar untuk liburan. Cara yang kedua adalah dengan

sistem penjadwalan dimana seorang pekerja menjalankan sejumlah jam khusus perminggu

(Flextime), tetapi tetap mempunyai fleksibilitas kapan mulai dan mengakhiri pekerjaannya.

4. Mengadakan program yang mendukung, perusahaan mengadakan program-program yang

dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para karyawan, seperti; health center, profit

sharing, dan employee sponsored child care.

20
2.3 Hubungan Antar Variabel Work-life Balance dan Kepuasan Kerja

Work-life balance memberikan implikasi yang penting, baik dalam tingkat organisasional

maupun individual. Menurut Scholarios dan Marks dalam (Mariati, 2013), ketika karyawan

diberikan kontrol untuk mengelola potensi konflik yang muncul antara tuntutan pekerjaan dan

tuntutan di luar pekerjaan, hal ini dapat meningkatkan kepuasan kerja.

Frame dan Hartog dalam (Mariati, 2013) mengemukakan bahwa program work-life

balance membuat karyawan merasa bebas untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan

komitmen lainnya seperti keluarga, kegemaran, seni, jalan-jalan, pendidikan, dan sebagainya,

selain hanya berfokus pada pekerjaan. Hal ini menunjukan bahwa work-life balance dapat

mengarah pada aktivitas sehat yang akan memuaskan karyawan.

Berdasarka uraian diatas, dapat dilihat keterkaitan antara work-life balance terhadap

kepuasan kerja. Dimana kepuasan kerja sesungguhnya dapat tercapai ketika organisasi

mendukung terciptanya work-life balance.

2.4 Penelitian Terdahulu

Berikut beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya, yang terkait

dengan Work-life Balance terhadap Kepuasan Kerja:

Tabel 1. Penelitian Terdahulu

Nama dan Variabel Hasil


No Judul Penelitian
Tahun Penelitian
1 Kanwar et Work-life Independen: Dengan
al. (2009) Balance and Work-life responden
Burnout as Balance and sebanyak 313
Predictors of Burnout karyawan,
Job Dependen: ditemukan
Satisfaction in Job bahwa work-
The IT-ITES Satisfaction in life balance
Industry The IT-ITES berpengaruh
Industry positif dan
signifikan

21
terhadap
kepuasan
kerja.

2 Ganapathi Pengaruh Independen: Peneliatian


(2016) Work-life Pengaruh tersebut
Balance Work-life dilakukan pada
terhadap Balance karyawan PT.
Kepuasan Dependen: Bio Farma
Kerja Kepuasan (Persero)
Karyawan Kerja dengan
Karyawan responden
sebanyak 92
karyawan.
Hasil dari
penelitiannya
menunjukan
bahwa Work-
life Balance
berpengaruh
secara
simultan
terhadap
kepuasan kerja
karyawan
sebesar 42,2%,
dan sisanya
57,8%
dipengaruhi
oleh variabel
lain yang tidak
diteliti pada
penelitian ini.

3 Nur Intan Pengaruh Independen: Hasil


Maslichah Work-life Work-life penelitian ini
(2006) Balance dan Balance dan menunjukkan
Lingkungan Lingkungan bahwa work-
Kerja terhadap Kerja life balance
22
Kepuasan Dependen: memiliki
Kerja Kepuasan pengaruh
Karyawan Kerja sebesar 0,307
Karyawan terhadap
kepuasan
kerja.
4 Friane Livi Pengaruh Independen: Berdasarkan
Pangemanan Work-life Work-life hasil pengujian
(2017) Balance dan Balance dan hipotesis
Burnout Burnout secara
Terhadap Dependen: silmutan untuk
Kepuasan Kepuasan Work-life
Kerja Kerja Balance dan
burnout
terhadap
kepuasan
kerja, didapati
bahwa Work-
life Balance
dan burnout
terhadap
kepuasan kerja
karyawan PT.
Jasa Raharja
(Persero)
Cabang Sulut.
5 Ischevell Pengaruh Independen: Berdasarkan
Vialara Work-life Work-life hasil penelitian
Saina Balance dan Balance dan Work-life
(2016) Kompensasi Kompensasi Balance
terhadap Dependen: berpengaruh
Kinerja Kinerja terhadap
Karyawan Karyawan kinerja
karyawan,
Kompensasi
berpengaruh
terhadap
kinerja
karyawan,
Work-life
Balance dan
Kompensasi
secara
bersama-sama

23
mempengaruhi
peningkatan
Kinerja
Karyawan
sebesar 55,2%.
Kompensasi
yang lebih
berpengaruh
terhadap
kinerja
karyawan
dibandingkan
Work-life
Balance.

6 Riane Johny The Influance Independen : Hasil


Pio et al. of Spiritual Spiritual penelitian
(2018) Leadership on Leadership menunjukan
Quality of Dependen: bahwa
Work Life, Job Quality of kepemimpinan
Satisfaction, Work Life, Job spiritual secara
and Satisfaction, langsung dan
Organizational and signifikan
Citizenship Organizational mempengaruhi
Behavior Citizenship kepuasan
Behavior kerja.
Kepemimpinan
spiritual
mempengaruhi
OCB dan
QWL atau
kepuasan
kerja.
Penelitian ini
menemukan
tiga hubungan
yang
signifikan,
yaitu
kepemimpinan
spiritual dan
QWL,
kepemimpinan
spiritual dan
kepuasan
24
kerja,
kepemimpinan
spiritual dan
OBC.

2.5 Kerangka Konseptual

Pada gambar 1 dapat diihat kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam penelitian ini.

Work-life Balance Kepuasan Kerja

(X) (Y)

Gambar 1

Kerangka Konseptual

Model kerangka konseptual tersebut menunjukan variabel work-life balance

mempengaruhi variabel kepuasan kerja. Jika karyawan merasakan work-life balance, maka

kepuasan kerja akan meningkat.

2.6 Hipotesis

Menurut Sugiyono (2014:93), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan

masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada

teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh saat pengumpulan

data.

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan

sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yang dinyatakan dalam kalimat

berikut, “Terdapat pengaruh antara Work-life balance terhadap kepuasan kerja karyawan pada

Hotel Sintesa Peninsula Manado”.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode survey. Motode

survey adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu, dimana

peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data, misalnya dengan mengedarkan

kuesioner, tes, wawancara terstruktur, dan sebagainya (Sugiyono, 2014).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini bertempat di Sintesa Peninsula Hotel, dimana pelaksanaannya dilakukan

pada bulan Juli 2018 sampai dengan selesai.

3.3 Populasi dan Sampel

Menurut Sugiyono (2014:80) populasi adalah wilayah generalisasi, objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan Sintesa

Peninsula Hotel yang berjumlah 150 orang.

Menurut Sugiyono (2014:81) Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi tersebut. Jumlah sampel dalam penelitian ini diambil dengan

menggunakan rumus Slovin (Sevilla, et all.1960) dengan tingkat kepercayaan 90% (a) = 0,1

adalah sebagai berikut :

N
𝑛=
1 + N(e)2

Keterangan :

N = ukuran populasi

26
n = ukuran sampel

e = persen kelonggaran ketidaktelitian (10%)

150
𝑛=
1 + 150(0,10)2

150
𝑛=
1 + 150(0,01)

150
𝑛=
2,5

𝑛 = 60

3.4 Definisi Operasioanal Variabel

Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat dua jenis variabel yang digunakan, yaitu:

1. Variabel Bebas (Variabel Independen)

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan variabel

terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Work-life Balance (X).

Work-life Balance adalah konsep luas yang melibatkan penetapan prioritas yang tepat antara

”pekerjaan” (karir dan ambisi) pada satu sisi dan “kehidupan” (kebahagiaan, waktu luang,

keluarga, dan pengembangan spiritual) di sisi lain (Singh dan Khanna, 2011).

2. Variabel Terikat (Variabel Dependen)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Yang menjadi variabel

terikat dalam penelitian ini adalah Kepuasan Kerja (Y).

Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan positif tentang pekerjaan, yang dihasilkan dari suatu

evaluasi pada karakteristi-karakteristiknya (Robbins dan Judge, 2015).

Variabel, indikator, dan item-item yang digunakan tampak pada table 2

Tabel 2. Definisi Operasional Tabel

27
No Veriabel Indikator Item
Waktu yang cukup untuk
X Keseimbagan pekerjaan, keluarga, dan aktivitas
Work-life Waktu di luar pekerjaan.
Balance Terlibat aktif dalam pekerjaan dan
Keseimbagan
1. (McDonald
Keterlibatan kehidupan pribadi.
dan
Puas dengan pekerjaan, puas
Bradley, Keseimbangan
2015) dengan kehidupan di luar
Kepuasan pekerjaan.
Pekerjaan Itu Kesempatan belajar, kesempatan
Sendiri menerima tanggungjawab,
pekerjaan cocok dengan
kemampuan.

Gaji Jumlah yang diterima, sistem


Y penerimaan gaji.
Kepuasan Kesempatan Kesempatan untuk maju dan
2. Kerja Promosi mengembangkan karir.
(Luthans,
2006) Pengawasan Atasan mendiskusikan masalah
pekerjaan, atasan memberikan
arahan untuk bekerja lebih baik.
Rekan Kerja Rekan kerja bersedia
mendiskusikan dan membantu
teknis pekerjaan, rekan kerja
memberi dukungan sosial.
3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner

(Angket), yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat

pertanyaan atau tertulis kepada responden untuk dijawab.

Skala pengukuran variabel menggunakan skala Likert. Jawaban setiap item instrument

yang menggunakan skala Likert menggunakan 5 tingkatan jawaban dengan nilai intervalnya 5-1,

dengan rincian sebagai berikut:

1. Sangat setuju, diberi skor :5

2. Setuju, diberi skor :4

3. Ragu-ragu, diberi skor :3

28
4. Tidak setuju, diberi skor :2

5. Sangat tidak setuju, diberi skor :1

3.6 Koefisien Determinan dan Korelasi

Koefisien korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan variabel bebas (X) terhadap

variabel terikat (Y).

3.7 Analisis Data

Dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh

responden terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah: mengelompokkan data berdasarkan

variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden,

menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan

masalah, dan melakukan penelitian untuk menguji hipotesis yang telah diajukan

(Sugiyono,2014).

Untuk keakuratan dalam analisis data digunakan alat bantu perhitungan, yaitu program

computer SPSS (Statistical Package for Social Science)

3.7.1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara

mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya.

Termasuk dalam statistik deskriptif antara lain adalah penyajian data melalui table, grafik,

diagram, dan sebagainya. (Sugiyono, 2014)

3.7.2. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen

Berikut ini dikemukakan cara pengujian validitas dan reliabilitas instrument yang akan

digunakan untuk penelitian.

1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur valid atau tidaknya instrument penelitian. Pengujiannya

sendiri dilakukan dengan membandingkan nilai corrected item – total cprrelation dengan rtabel.

29
Jika nilai corrected item – total correlation lebih besar dari rtabel dan nilai positif, maka data

dinyatakan valid (Ghozali, 2011)

2. Uji Reliabilitas

Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan

adalah lonsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2011). Pengujian reliabilitas

dilakukan dengan membandingkan crombanch alpha. Jika nilai alpha ≥ 0,6, maka nilai

instrument yang digunakan adalah reliabel.

3.7.3. Analisis Regresi Linier Sederhana

Analisis regresi linier sederhana adalah hubungan secara linier antara satu variabel

independen (X) dengan variabel independen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan

antara variabel independen dengan variabeldependen apakah positif atau negatif dan untuk

memprediksi nilai daripenurunan. Data yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio.

Rumus regresi linier sederhana sebagai berikut:

Y’ = a + Bx

Keterangan:

Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)

X = Variabel independen

a = Konstanta (nilai Y’ apabila X = 0)

b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)

3.7.4. Uji Hipotesis (Uji t)

Uji t digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen

secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

Perumusan hipotesis dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:

30
Ho: Tidak ada pengaruh variabel x terhadap variabel y

Ha: Ada pengaruh variable x terhadap variabel y

Dengan level signifikansi 5%, kriteria penolakan atau penerimaan hipotesis adalah sebagai

berikut:

a. Apabila thitung < ttabel, maka Ha ditolak dan Ho diterima. Artinya tidak terdapat variabel

independen terhadap varibel dependen.

b. Apabila thitung > ttabel, maka Ha diterima dan Ho ditolak. Artinya terdapat pengaruh independen

terhadap variabel dependen.

31

Anda mungkin juga menyukai