Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Pada Bab I ini akan dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan
masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, lingkup penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang


Berbagai faktor dapat mempengaruhi kinerja karyawan agar dapat
optimal. Sumaryono (2000) menyatakan komitmen karyawan terhadap
organisasinya merupakan dasar dari sebuah proses terciptanya kinerja optimal.
Organisasi saat ini tidak lagi hanya mencari anggota organisasi yang memiliki
kemampuan di atas rata-rata, namun mereka juga mencari karyawan yang
mampu menginvestasikan diri mereka sendiri untuk terlibat secara penuh dalam
pekerjaan, proaktif, dan memiliki komitmen tinggi terhadap standar kualitas
kinerja (Bakkerdan Demerouti, 2007). Boezeman dan Ellemers (2008) yang
menyatakan bahwa komitmen afektif berkorelasi dengan berbagai perilaku
organisasi dan kinerja karyawan seperti kehadiran, keterlambatan, lamban dalam
bekerja, keluar masuknya pekerja, serta produktivitas kerja yang buruk. Ansari
(2011) menyatakan bahwa tidak ada organisasi yang dapat menghasilkan kinerja
maksimal kecuali karyawannya memiliki komitmen terhadap tujuan organisasi.

Penelitian empiris lain mengenai komitmen organisasional membuktikan


juga bahwa komitmen afektif berkorelasi dengan kinerja. Chai-Amonphaisal dan
Ussahawanitchakit (2009) membuktikan bahwa pengaruh komitmen afektif yang
kuat terhadap kinerja karyawan pada organisasional yang memiliki ISO di
Thailand. Hal yang sama juga dibuktikan dari beberapa penelitian mengenai
komitmen organisasional yaitu Camp (2005), Chunghtai dan Zafar (2006), Cole
dan Bruch (2006), yang memukan bahwa rendahnya komitmen afektif
merupakan prediktor terkuat dari kinerja karyawan dan juga prediktor terkuat
dari keinginan untuk meninggalkan organisasi. Komitmen afektif berkembang
dengan melibatkan sisi afeksi yaitu kedekatan perasaan yang dimiliki oleh
individu terhadap organisasi (Price dan Mueller, 1981). Karyawan dengan
komitmen afektif yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap
organisasi dan memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap kinerja dibandingkan
tipe komitmen yang lain.
Mayer dan Allen (1990) membagi komitmen organisasional menjadi tiga
yaitu

komitmen

afektif

(affective

commitment),

komitmen

kontinuen

(continuance commitment), dan komitmen normatif (normative commitment).


Komitmen afektif (affective commitment) adalah pendekatan secara emosional
yang dimiliki oleh karyawan terhadap organisasi, memiliki identifikasi sebagai
bagian dari organisasi, dan memiliki keterlibatan dengan organisasi karena
adanya nilai-nilai dalam organisasi guna memajukan organisasi. Komitmen
kontinuen (continuance commitment) adalah sejauh mana seorang pekerja

memiliki

intensi

untuk

tetap

bekerja

pada

organisasinya

berdasarkan

pertimbangan kerugian yang dideritanya bila harus meninggalkan organisasi.


Komitmen normatif (normative commitment) adalah sejauhmana seorang pekerja
merasa memiliki kewajiban untuk tetap dan terus bekerja di dalam organisasi.
Komitmen normatif memiliki kaitan dengan pengalaman sosial yang dimiliki
individu sesuai dengan normanya. Berangkat dari penelitian sebelumnya,
penelitian ini akanmenggunakan komitmen afektif sebagai variabel dependennya.
Selama ini kebanggaan organisasi dianggap kurang mendapat perhatian
dari para ahli ilmu keperilakuan organisasi (Kraemer dan Gouthier, 2013).
Pendapat yang beredar dalam bidang industri dan organisasi mengenai
kebanggaan organisasi cenderung berbasis intuitif tanpa sebuah pembuktian
empiris (Arnett, Laverie, dan Mclane, 2002). Kebanggaan organisasi merupakan
pendorong utama perilaku kerja positif dan kunci diferensiasi dengan kompetitor
lain (Katzenbach, 2003). Kebanggaan didefinisikan sebagai karakteristik yang
berlaku positif dan berhubungan dengan emosi, terjadi karena sebuah
pengalaman seperti kesuksesan yang dicapai seseorang atau organisasi (Tracy
dan Robin, 2007). Kebanggaan terhadap diri dibangun dari sebuah proses
evaluasi akan kapasitas yang mampu mencapai prestasi. Evaluasi kapasitas
meliputi kepribadian, kemampuan, pengetahuan dan usaha. Evaluasi tersebut
disebut dengan atribusi internal (Weiner, 1985). Akan tetapi guna menimbulkan
kebanggaan, seorang individu tidak hanya mengandalkan atribusi internal.
Pekerja dapat merasakan pengalaman bangga berdasarkan performa dari subjek

atau objek terdekat (Tracy, et.al. 2010). Pekerja dapat merasakan kebanggaan
dari keberhasilan yang dicapai oleh organisasi tempatnya bernaung (dapat berupa
teman kerja, kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan). Pada titik itu,
pekerja memiliki kebutuhan melakukan afiliasi yang kuat terhadap organisasi
(Gold, 1982). Menjadi bangga terhadap organisasi atas prestasi yang diraihnya
disebut dengan emotional organizational pride (EOP).
Tipe

kebanggaan

organisasi

yang

kedua

adalah

Attitudinal

Organizational Pride (AOP). Tipe kebanggaan ini lebih mengevaluasi organisasi


secara lebih luas. Tidak hanya pada pencapaian insidentil saja, akan tetapi semua
aspek dalam organisasi. Kebanggaan tipe ini lebih bersifat stabil dan tidak
tergantung event-event kesuksesan organisasi (Ajzen, 2001). Pada sikap ini
terdapat ranah kognisi yang berisi relevansi keterikatan antara pekerja dengan
organisasi. Terdapat juga aspek afektif yang dibangun dari emosional yang terus
menerus. Pada titik ini, aspek emosi pada EOP berfungsi mempengaruhi sikap,
sedangkan aspek emosi pada AOP berfungsi sebagai bagian dari sikap itu sendiri
(Lines, 2005). Kemudian dapat disimpulkan bahwa, EOP yang berulang
sepanjang waktu, akan menghasilkan sebuah AOP (Gouthier dan Rhein, 2011).
Perbedaan dalam EOP dan AOP tidak bersifat kontradiktif atau berdiri sendiri.
Kedua konstrak tersebut bersifat sangat berhubungan. Guna menganut asas
kesederhanaan, selanjutnya akan disebut sebagi organizational pride atau
kebanggaan organisasi (Kraemer dan Gouthier, 2013).

Kebanggaan organisasi didefinisikan sebagai evaluasi positif kinerja


organisasi yang melebihi harapan dan standar sosial, bermuatan positif
(kebahagiaan, kebermaknaan dan mendorong meningkatnya self esteem) dan
memiliki kontribusi nyata terhadap perkembangan lingkungan (Kraemer dan
Gouthier, 2013). Pencapaian-pencapaian organisasi terhadap tujuan yang
diharapkan akan membuat sebuah evaluasi positif anggotanya. Evaluasi tersebut
muncul sebagai sebuah kebanggaan. Kebanggaan yang dimiliki seorang individu
akan membuat individu tersebut melakukan sebuah proses identifikasi dan
kelekatan terhadap organisasi. Individu juga mengidentifikasikan diri dengan
nilai-nilai yang ada di organisasi. Pada titik ini kebanggaan organisasi akan
meningkatkan komitmen afektif. Boezemen dan Ellemers (2008) dalam
penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan
antara kebanggaan organisasi dengan komitmen afektif. Pada titik ini sangat
layak apabila kebanggaan organisasi dijadikan sebuah variabel independen dalam
penelitian. Hal ini penting untuk mencari model peningkatan komitmen afektif
dalam PT. Propernas, sehingga diharapkan dengan ditemukannya model
peningkatan komitmen dapat meningkatkan kinerja polisi dalam melayani
masyarakat.
Hubungan antara kebanggaan organisasi dengan komitmen afektif tidak
hanya bersifat langsung. Pemahaman hubungan dapat dimediasikan dengan
keterikatan kerja. Pada titik ini dapat dijelaskan bahwa ketika seseorang merasa
bangga terhadap organisasinya, maka terdapat sebuah dorongan/motivasi untuk

menyumbangkan level energi yang tinggi dan ketahanan mental selama bekerja,
perasaan

bermakna,

perasaan

antusias,

perasaan

terinspirasi,

keadaan

berkonsentrasi penuh dan tenggelam dalam pekerjaan, dimana individu merasa


waktu berjalan cepat dan individu sulit dipisahkan dari pekerjaannya. Karyawan
yang

engaged

tidak

hanya

mampu

menjadi

giat,

namun

juga

melekat/berkomitmen secara emosional dengan organisasi, dan secara antusias


mencurahkan energi untuk benar-benar terlibat dalam bekerja, melebihi
perjanjian kontrak kerja demi kesuksesan organisasi mereka (Leiter dan Bakker,
2010, Markos dan Sridevi, 2010, Mone, et.al. 2011).
Pada dasarnya, masih terdapat kesamaan dalam definisi yang beragam
terhadap konsep engagement di antara akademisi dan praktisi (Mills,
Culberstson, dan Fullagar, 2012). Namun penelitian ini lebih fokus terhadap
engagement yang dikembangkan oleh Schaufeli, et.al. (2002), yang lebih dikenal
sebagai keterikatan kerja. Keterikatan kerja memiliki dimensi semangat (vigor),
pengabdian (dedication) dan kekusyukan (absorption) (Schaufeli et.al. 2002).
Semangat ditandai dengan level energi yang tinggi dan ketahanan mental selama
bekerja, keinginan untuk menginvestasikan upaya pada pekerjaan. Pengabdian
ditandai dengan perasaan bermakna, perasaan antusias, perasaan terinspirasi,
perasaan bangga dan perasaan tertantang. Kekusyukan ditandai dengan keadaan
berkonsentrasi penuh dan tenggelam dalam pekerjaan, dimana individu merasa
waktu berjalan cepat dan individu sulit dipisahkan dari pekerjaannya.

Work engagement (keterikatan kerja) sebagai bagian dari gerakan


psikologipositif (Shimazu, et.al. 2008), juga diyakini berhubungan dengan hasil
kinerja organisasiseperti employee retention, produktivitas, profitabilitas,
kesetiaan pelanggan dan keselamatan kerja (Markos dan Sridevi, 2010), hal ini
juga berkaitan erat dengan kinerja individu seperti kepuasan kerja, keterlibatan
kerja (Ram dan Prabhakar, 2011) dan juga masalah kesehatan individu (Schaufeli
dan Bakker, 2004).Tyler dan Blader (2003)yang menyatakan bahwa engagement
secara positif dipengaruhi oleh kebanggaan organisasi. Keterikatan kerja juga
secara positif mempengaruhi terjadinya komitmen afektif (Hakanen, Schaufeli,
dan Ahola (2008).
Dari telaah literatur yang dilakukan, terdapat suatu dinamika bahwa
ketika seorang anggota organisasi memiliki perasaaan positif terhadap
organisasinya yang disebabkan kesuksesan dari organisasi tempat ia bekerja.
Oleh karena itu maka akan timbul perasaan bermakna, terinspirasi, bangga dan
merasa tertantang untuk mengerahkan level energi yang lebih tinggi dalam
bekerja serta merasa sulit dipisahkan dengan pekerjaannya. Ketika anggota
organisasi engaged atau terikat dengan pekerjaanya, maka anggota organisasi
tersebut akan memiliki komitmen lebih tinggi untuk tetap menjadi anggota
organisasi serta ikut berpartisipasi aktif untuk pencapaian dan tujuan dari
organisasi.
Salah satu perusahaan swasta dalam bidang properti nasional di Indonesia
adalah PT. Propernas Griya Utama, selanjutnya disingkat PT. Propernas, yang

merupakan anak perusahaan dari Perum Perumnas PT. Propernas adalah salah
satu perusahaan swasta yang melayani rakyat dengan fungsi utama untuk
menyediakan perumahan yang layak bagi rakyat Indonesia.
Selain itu, pengaruh rasa bangga terhadap perusahaan juga mempunyai
yang cukup besar dalam tingkat komitmen karyawan. Kebanggaan terhadap
organisasi mengacu pada pengalaman menyenangkan dan self respect yang
muncul dari anggota organisasi Jones, 2010 (dalam Olson, Bryan, dan
Thompson, 2013). Menurut Pryce (2011: 1), pride is a psychological feeling
and an excessively high opinion employees having about their job and
organization.

Ini merupakan kombinasi dari kesenangan, perasaan positif,

harga diri, kehangatan personal, dan keterlibatan karyawan terhadap organisasi


dan nilai-nilai di dalamnya.
Hasil observasi peneliti dilapangan terlihat kurangnya rasa bangga
karyawan terhadap organisasi dimana tempat mereka kerja. Selain itu juga masih
rendahnya komitmen yang dimiliki karyawan dalam melaksanakan pekerjaan,
diamana karyawan bekerja sebatas lepas kewajiban saja. Demikian pula
keterikatan kerja karyawan yang masih rendah dalam melaksanakan pekerjaan
yang menjadi tanggung jawabnya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, penulis
tertarik untuk mengangkatnya sebagai topik penelitian dengan judul Analisa
Pengaruh Kebanggaan Organisasi Terhadap Komitmen Afektif Karyawan
PT. Propernas Griya Utama Dengan Keterikatan Kerja Sebagai Pemediasi.

1.2. Perumusan Masalah


Sesuai

dengan

pengertian

di

atas,

maka

permasalahan

dalam

penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :


1. Apakah kebanggaan organisasi berpengaruh positif

terhadap komitmen

afektif karyawan PT. Propernas Griya Utama?


2. Apakah kebanggaan organisasi berpengaruh

positif

terhadap keterikatan

kerja karyawan PT. Propernas Griya Utama?


3. Apakah keterikatan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen afektif
karyawan PT. Propernas Griya Utama?
4. Apakah kebanggaan organisasi berpengaruh positif

terhadap komitmen

afektif karyawan PT. Propernas Griya Utama yang dimediasi keterikatan


kerja?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui:
1. Untuk menganalisa dan menguji pengaruh kebanggaan organisasi terhadap
komitmen afektif.
2. Untuk menganalisa dan menguji pengaruh kebanggaan organisasi terhadap

keterikatan kerja.
3. Untuk menganalisa dan menguji pengaruh keterikatan kerja terhadap
komitmen afektif.
4. Untuk menganalisa dan menguji kebanggaan organisasi berpengaruh positif
terhadap komitmen afektif karyawan PT. Propernas Griya Utama yang
dimediasi keterikatan kerja.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada organisasi,
yaitu sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan dan menjadi
masukan bagi manajemen untuk meningkatkan kebanggaan karyawan terhadap
perusahaan, keterlibatan kerja dan komitmen organisasional karyawannya. Selain
itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menuntun karyawannya agar dapat
bertahan dalam era globalisasi dan persaingan bisnis yang semakin ketat demi
mencapai tujuan perusahaan.

1.5. Batasan Penelitian


Penelitian ini hanya akan berfokus pada pengaruh antara kebanggaan
organisasi terhadap komitmen afektif dengan keterlibatan kerja sebagai
pemediasi, tidak pada faktor lainnya. Hasil penelitian ini juga terbatas pada
lingkungan PT. Propernas Griya Utama saja, belum tentu berlaku sama untuk
organisasi lainnya, baik sektor publik maupun privat. Studi ini sifatnya cross-

10

sectional, yaitu hanya berlaku pada kurun waktu tertentu, sehingga hasil
penelitian ini belum tentu sama jika dilakukan dalam waktu-waktu lainnya
karena memungkinkan terdapat kondisi lain yang memengaruhi faktor-faktor
tersebut untuk berubah.

1.6. Sistematika Penulisan


Penulisan thesis ini terdiri dari lima dapat dipisahkan karena memiliki
keterkaitan antara bab satu dengan bab lainnya. Sistematika penulisan
dimaksudkan agar dalam penulisan thesis ini dapat terarah dan sistematis.
Gambaran lebih rinci mengenai penulisan tesis ini dapat dilihat dalam setiap bab,
yaitu:
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai latar belakang penelitian,rumusan


masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang
lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Bab ini memuat tentang teori-teori dan hasil penelitian sebelumnya yang relevan,
pengembangan hipotesis

yang akan diuji, serta kerangka pemikiran yang

digunakan dalam penelitian ini.

11

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai desain penelitian, variabel penelitian,
sampel, sumber dan teknik pengumpulan data, definisi operasional, instrumen
penelitian, pengujian instrumen yang akan dilakukan, juga prosedur analisis yang
akan digunakan untuk menguji hipotesis, serta gambaran umum subjek
penelitian.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pendistribusian kuesioner penelitian, hasil pengujian


instrumen, penyajian data statistik deskriptif, hasil pengujian hipotesis, serta
pembahasan mengenai data dan hasil pengujian yang dilakukan.

BAB V

PENUTUP

Bab ini menjelaskan tentang simpulan hasil penelitian, keterbatasan yang


dihadapi, serta saran untuk organisasi dan penelitian selanjutnya.

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Pada Bab II ini akan dijelaskan mengenai teori dalam penelitian seperti
definisi variabel komitmen organisai, kebanggaan organisasi dan keterikatan kerja
serta hubungan antar variabel tersebut serta rumusan hipotesis dan model penelitian.

2.1 Komitmen Organisasi


2.1.1

Pengertian Komitmen Organisasi


Menurut Mathis dan Jakson (dalam Sopiah, 2008: 155) komitmen
organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima
tujuan tujuan organisasi dan akan tetap tingggal atau tidak akan
meninggalkan organisasi. Pengertian lain menurut Linchon (dalam Bashaw
dan Grant, dikutip Sopiah 2008: 155), komitmen organisasional mencakup
kebangggan anggota, kesetian anggota, dan kemauan anggota pada organisasi.

13

Sedangkan menurut OReilly (dalam Sopiah 2008: 156) komitmen karyawan


pada organisasi sebgai ikatan kewajiban individu terhadap organisasi yang
mencakup keterlibatan kerja, kesetiaan, dan perasaan percaya terhadap nilainilai organisasi.
Menurut Luthans (2006: 249) komitmen organisasi didefinisikan
sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2)
ada keinginan berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan
tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.
Berdasarkan beberapa teori diatas komitmen organisasi dapat diartikan
sebagai ikatan anggota oraganisasi untuk tetap tinggal dalam organisasi, setia
terhadap organisasi, bangga terhadap organisasi, memberikan upaya pada
organisasi, dan dapat menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi.

2.1.2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi


Streers (dalam Sopiah 2008: 163) mengidentifikasikan 3 (tiga) faktor
yang mempengaruhi komitmen karywan pada organisasi:
1. Ciri pribadi pekerja, termasuk jabatan dalam organisasi, dan variasi
keutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan
2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan
rekan sekerja
3. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan
cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya

14

mengenai organisasi.
David (dalam Sopiah 2008: 163-164) mengemukakan 4 faktor yang
memepengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pengalaman kerja, dan kepribadian.
2. Karateristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan pekerjaan,
konflik peran dalam pekerjaan, dan tingkat kesulitan dalam pekerjaan.
3. Karateristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi
seperti sentralitas atau desentralitas, kehadiran serikat pekerja dan tingkat
pengendalian organisasi yang dilakukan oleh karyawan.
4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh
terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang
hanya beberapa tahun bekerja dalam organisasi tentu mempunyai tingkat
komitmen yang berlainan.
Pernyataan

lain

menurut

Stum

(dalam

Sopiah

2008:

164)

mengemukakan ada 5 faktor yang berpengaruh terhadap komitmen


organisasional:
1. Budaya keterbukaan
2. Kepuasan kerja
3. Kesempatan personal untuk berkembang
4. Arah organisasi
5. Penghargaan kerja yang sesuai dengan kebutuhan

15

2.1.3

Dimensi Komitmen Organisasi


Menurut Allen dan Meyer (dalam Luthans 2006: 249-250)
mengklasifikasikan komitmen organisasional ke dalam 3 dimensi, yaitu
komitmen afektif (affective commitment), komitmen berkesinambungan
(continuance commitment), dan komitmen normatif (normative commitment).
adalah sebagai berikut :
1. Komitmen afektif (affective commitment) adalah keterikatan emosional
karyawan, identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi
2. Komitmen berkesinambungan (continuance commitment) adalah komitmen
yang berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan
dari organisasi.
3. Komitmen normatif (normative commitment) adalah perasaan wajib untuk
tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu, tindakan
tersebut memang hal yang harus dilakukan.
Pendapat lain menurut Kanter (dalam Sopiah 2008: 158) ada 3 (tiga)
bentuk komitmen organisasional, yaitu:
1. Komitmen berkesinambungan (continuance commitment), yaitu komitmen
yang berhubungan dengan dedikasi anggota dalam melangsungkan
kehidupan organisasi dan menghasilkan orang yang mau berkorban dan
berinvestasi pada organisasi.
2. Komitmen terpadu (cohesion commitment), yaitu komitmen anggota

16

terhadap organisasi sebagai akibat adanya hubungan sosial dengan anggota


lain di dalam organisasi. Ini terjadi karena karyawan percaya bahwa
norma-norma yang dianut organisasi merupakan norma-norma yang
bermanfaat.
3. Komitmen terkontrol (control commitment), yaitu komitmen anggota pada
norma organisasi sesuai dan mampu memberikan perilaku kearah yang
diinginkan. Norma-norma yang dimiliki organisasi sesuai dan mampu
memberikan sumbangan terhadap perilaku yang diinginkan.
Berdasarkan pada beberapa teori diatas maka untuk mengukur variabel
komitmen pada karyawan PT. Propernas Griya Utama digunakan 3 dimensi
utama yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer. Ketiga dimensi tersebut
adalah

komitmen

afektif

(affective

commitment),

komitmen

berkesinambungan (continuance commitment), dan komitmen normatif


(normative commitment).

2.2 Kebanggaan terhadap organisasi


2.2.1

Definisi Kebanggaan Terhadap Organisasi


Kebanggaan

terhadap

organisasi

mengacu

pada

pengalaman

menyenangkan dan self respect yang muncul dari anggota organisasi Jones,
(dalam Olson, Bryan, dan Thompson, 2013). Menurut Pryce (2011:1), pride
is a psychological feeling and an excessively high opinion employees having
about their job and organization. Ini merupakan kombinasi dari kesenangan,

17

perasaan positif, harga diri, kehangatan personal, dan keterlibatan karyawan


terhadap organisasi dan nilai-nilai di dalamnya.
Menurut beberapa studi yang didasarkan pada penelitian psikologis,
kebanggaan ditandai sebagai hal positif, terkait kinerja emosi. Hal tersebut
dipicu oleh peristiwa tertentu seperti keberhasilan yang dirasakan dari
perbuatan pribadi (Decrop dan Derbaix, 2009; Grandey et.al, 2002; Lea dan
Webley, 1997; Tracy dan Robins, 2007). Alexander Haslam (2004)
mengemukakan bahwa kebanggaan terhadap organisasi merujuk pada
perasaan positif seorang individu terhadap kelompoknya yang bersumber dari
penilaian orang lain terhdap status kelompok tersebut. Sementara itu menurut
Mischkin (1998), kebanggaan terhadap organisasi nerupakan perasaan bangga
yang individu rasakan sebagai hasil pengidentifikasian diri dengan organisasi
yang memiliki reputasi dan rekam jejak yang bagus dimana individu tersebut
terlibat.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebanggaan
terhadap organisasi merupakan perasaan positif mengenai pekerjaan dan
organisasi.

2.2.2

Aspek-aspek Kebanggaan Terhadap Organisasi

2.2.2.1 Emotional Organizational Pride


Karyawan dapat memunculkan emosi kebanggaan yang dipicu oleh
peristiwa seperti pencapaian kesuksesan organisasi yang bukan merupakan

18

kontribusi mereka sendiri. Kebanggaan adalah salah satu emosi yang paling
kuat Katzenbach (dalam Gouthier dan Rhein, 2011) dan merupakan
pengalaman mental Fisher dan Ashkanasy, (dalam Gouthier dan Rhein, 2011).
Biasanya, objek stimulus tertentu atau peristiwa tertentu menyebabkan
munculnya rasa bangga Basch dan Fisher (dalam Gouthier dan Rhein, 2011).

Menurut prinsip atribusi eksternal, karyawan bisa bangga dengan


prestasi rekan-rekan mereka, kelompok kerja mereka, atau perusahaan pada
umumnya dan, dengan demikian, mengembangkan emotional organizational
pride. Oleh karena itu, pencapaian atau prestasi yang pernah diraih
perusahaan, dapat memunculkan rasa bangga karyawan. Pemicu awal yang
memunculkan emotional orgaizational pride adalah perbandingan kognitif
antara prestasi aktual perusahaan dan harapan asli karyawan tentang
bagaimana tugas organisasi dipenuhi oleh perusahaan Eccles dan Wigfield,
2002 (dalam Gouthier dan Rhein, 2011). Jika karyawan menganggap
perbuatan ini sebagai suatu keberhasilan, emotional organizational pride
dapat muncul. Emotional organizational pride, seperti semua emosi,
mempengaruhi sikap dan perilaku yang dihasilkan karyawan (Elfenbein dalam
Gouthier danRhein, 2011).

2.3.2.2 Sikap Kebanggaan Pada Organisasi

19

Penelitian dan praktek organisasi secara umum melihat kebanggaan


terhadap organisasi bukan sebagai emosi tetapi sebagai konstruksi yang
didasarkan pada keanggotaan karyawan dalam kelompok Arnett et.al (dalam
Gouthier dan Rhein, 2011). Sikap merupakan kecenderungan psikologis yang
dihasilkan dari evaluasi dengan beberapa derajat suka atau tidak suka- dari
sebuah objek atau orang Eagly, dan Chaiken (dalam Gouthier dan Rhein,
2011). Berdasarkan teori sikap, organisasi merupakan objek sikap yang
potensial Ajzan (dalam Gouthier dan Rhein, 2011). Dalam kasus attitudinal
organizational pride, individu memiliki derajat rasa suka yang tinggi terhadap
perusahaan. Sikap biasanya merupakan hasil dari pengalaman, mereka
dipelajari dan dibandingkan dengan emosi belaka cukup bertahan dalam
jangka panjang Fairfield dan Wagner (dalam Gouthier dan Rhein, 2011).

2.2.3

Manfaat dari Kebanggaan Terhadap Organisasi


Menurut Tracy, Shariff, dan Cheng (2010) ada beberapa keuntungan
yang dapat dihasilkan dari rasa bangga:
1. Pengalaman

merasakan

kebanggaan

memotivasi

seseorang

untuk

melakukan suatu pencapaian, rasa bangga juga merupakan perasaan yang


menyenangkan dan dapat membuat seseorang merasa senang dengan
dirinya sendiri.
2. Pegawai yang dimanipulasi untuk merasakan kebanggaan sebagai hasil dari
keberhasilan dalam mengerjakan tugas juga akan menjadi lebih gigih

20

dalam mengerjakan tugas berikutnya yang serupa dengan tugas


sebelumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa pengalaman merasakan
kebanggaan secara langsung meningkatkan hasrat dan keinginan untuk
mencapai sesuatu Williams dan DeSteno (dalam Tracy, Shariff, dan Cheng,
2010).
3. Semakin besar rasa bangga pegawai, semakin besar pula motivasi pegawai
tersebut dalam menyelesaikan tugas yang sulit.
Sedangkan menurut penelitian Gouthier dan Rhein (2011) rasa bangga
akan organisasi (organizational pride) memiliki efek positif terhadap
komitmen pegawai dalam bekerja, kreativitas pegawai, dan selain itu rasa
bangga akan organisasi juga berarti menghadirkan konstruk yang penting yang
berkontribusi terhadap daya saing organisasi. Oleh karena itu sangat penting
untuk mengetahui emosi pegawai terhadap organisasi dimana ia bekerja
terutama rasa bangga yang dimilikinya terhadap organisasi tersebut.

2.3 Keterikatan Kerja


2.3.1

Pengertian Keterlibatan Kerja


Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement dinyatakan
Vazirani (2007) sebagai tingkat komitmen dan keterlibatan yang karyawan
miliki terhadap organisasinya dan nilai-nilai yang ada di dalamnya yang
terlihat dalam sikap positif karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai yang
ada di dalamnya.

21

Macey, Schneider, Barbera dan Young (2009) mengatakan bahwa


keterikatan kerja karyawan adalah suatu keadaan psikologis yang positif
terkait pekerjaan yang dicirikan dengan suatu keinginan murni untuk
berkontribusi bagi kesuksesan organisasi. Dalam keterikatan kerja terdapat
hubungan emosional dan intelektual yang tinggi antara karyawan dengan
pekerjaannya,

organisasi,

manajer

dan

rekan

kerjanya,

sehingga

mempengaruhi karyawan untuk melakukan upaya lebih pada pekerjaannya.


Bertambahnya energi, melakukan pekerjaan yang melebihi harapan, bentukbentuk perilaku adaptif atau inovatif untuk kesuksesan perusahaan merupakan
indikasi perilaku keterikatan kerja.
Menurut Schiemann (2009) keterikatan kerja menggambarkan
seberapa jauh karyawan bersedia melampaui persyaratan minimal dari peran
mereka untuk memberikan energi tambahan atau mengadvokasi (membela)
organisasi mereka terhadap perusahaan lainnya sebagai tempat yang baik
untuk bekerja atau berinvestasi. Karyawan yang terikat akan bekerja lebih giat
dan bertahan di perusahaan lebih lama, memuaskan lebih banyak pelanggan
dan memiliki pengaruh positif yang lebih kuat terhadap hasil perusahaan.
Schaufeli dan Bakker (2010) mendefinisikan keterikatan kerja
sebagaisuatu keadaan pikiran yang positif terkait pekerjaan yang dicirikan
dengan vigor, dedication dan absorption. Vigor dicirikan dengan energi
tingkat tinggi dan fleksibilitas mental saat bekerja, keinginan untuk
menginvestasikan upaya dalam pekerjaan, dan tetap teguh meski menghadapi

22

berbagai kesulitan; dedication mengacu pada keterlibatan yang kuat pada


pekerjaan dan mengalami rasa penting, antusias dan tertantang terhadap
pekerjaan; absorption dicirikan dengan berkonsentrasi secara penuh dan
merasa asyik dengan pekerjaannya, sehingga waktu terasa berlalu dengan
cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Pendeknya, karyawan yang
terikat memiliki level energi yang tinggi dan antusias dengan pekerjaan
mereka.
Marciano (2010) mendefenisikan keterikatan kerja karyawan sebagai
luasan dimana seseorang itu komit, berdedikasi dan loyal dengan organisasi,
supervisor, pekerjaan dan koleganya. Hal ini ditunjukkan dengan gairah dan
antusias terhadap pekerjaan, secara konsisten melebihi sasaran dan harapan,
membawa gagasan baru dalam pekerjaan, berinisiatif, ingin tahu, mendorong
dan mendukung anggota tim, optimis dan positif, gigih mengatasi hambatan
dan tetapfokus pada tugas, berusaha secara aktif mengembangkan diri, orang
lain dan bisnis serta komit dengan organisasi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keterikatan kerja
karyawan menggambarkan suatu keadaan psikologis yang positif terhadap
pekerjaaan dan organisasi serta nilai-nilai yang ada di dalamnya yang
menimbulkan kesediaan untuk melampaui persyaratan minimal pekerjaan dan
direfleksikan dalam sikap positif kepada organisasi melalui kontribusi kinerja
terbaiknya secara fisik, kognitif dan emosi untuk kesuksesan organisasi.

23

2.3.2

Kategori Keterikatan Kerja


Gallup the Consulting Organization Vazirani, (2007) menyebut
karyawan yang terikat sebagai pembangun (builders). Mereka ingin tahu
harapan yang diinginkan dalam peran mereka sehingga bisa sesuai dan bahkan
melebihi harapan tersebut. Mereka secara alami ingin tahu tentang perusahaan
mereka dan tempat mereka di dalamnya. Mereka bekerja secara konsisten
pada level tinggi. Mereka ingin menggunakan talenta dan kekuatan mereka
dalam bekerja setiap hari. Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan
mereka mendorong inovasi serta menggerakkan organisasi mereka ke depan.
Selanjutnya, karyawan yang tidak terikat cenderung berkonsentrasi
pada tugas dibandingkan konsentrasi pada sasaran dan hasil yang diharapkan
perusahaan untuk mereka capai. Mereka hanya melakukan apa yang disuruh
dan melaporkan jika sudah selesai. Mereka fokus untuk mencapai tugas
dibanding mencapai suatu hasil. Mereka cenderung merasa kontribusi mereka
diabaikan dan potensi mereka tidak dipedulikan. Mereka kadangkala
merasakan hal ini karena mereka tidak memiliki hubungan yang produktif
dengan manajer mereka atau dengan mitra kerja mereka (Vazirani, 2007).
Sedangkan karyawan yang tidak terikat secara aktif, secara konsisten
melawan segala sesuatu secara nyata. Mereka tidak hanya tidak bahagia dalam
bekerja, mereka juga sibuk menunjukkan ketidakbahagiaan mereka. Mereka
menanam benih negativitas di setiap ada kesempatan. Setiap hari, para pekerja
yang secara aktif tidak terikat, mengacaukan pencapaian rekan kerja mereka

24

yang terikat. Dalam situasi dimana para pekerja bergantung satu sama lain
untuk menghasilkan produk dan jasa, permasalahan dan tegangan yang
dimunculkan oleh para pekerja yang secara aktif tidak terikat bisa
menyebabkan kerusakan besar bagi fungsi organisasi.

2.3.3

Aspek-Aspek Keterikatan Kerja


Berdasarkan definisi keterikatan kerja menurut Schaufeli dan Bakker
(2010)

terdapat tiga aspek keterikatan, yaitu vigor, dedication dan

absorption. Vigor ditunjukkan dengan tingkat energi yang tinggi dan


fleksibilitas mental saat bekerja, kesediaan untuk menginvestasikan seluruh
energi yang dimiliki untuk pekerjaan, dan tetap tekun meski menghadapi
berbagai kesulitan. Dedication ditunjukkan dengan kesediaan untuk terlibat
secara mendalam pada pekerjaan, merasa antusias dan bangga dengan
pekerjaan, serta selalu merasa tertantang dengan pekerjaan. Absorption
ditunjukkan dengan berkonsentrasi secara penuh dan merasa asyik dengan
pekerjaannya, sehingga waktu terasa cepat berlalu dan merasa enggan untuk
meninggalkan pekerjaan.
Schiemann (2009) menguraikan tiga aspek pembentuk keterikatan
kerja, yaitu: kepuasan, komitmen dan advokasi. Kepuasan merupakan
perasaan positif terhadap perusahaan karena telah terpenuhinya hal-hal

25

mendasar pada karyawan, yang membawa pada kehadiran karyawan secara


psikologis dalam pekerjaannya. Komitmen menggambarkan keengganan
meninggalkan perusahaan dan kebanggaan sebagai bagian dari perusahaan.
Sedangkan advokasi menggambarkan kesediaan untuk mengerahkan upaya
ekstra, bekerja melampaui harapan dan mendorong orang lain untuk
mendukung produk atau jasa perusahaan. Advokasi menimbulkan semangat
dan kekuatan (force) yang akan menjadi bahan bakar pada perilaku kerja yang
lebih efektif.
Berdasarkan uraian diatas, dapat

disimpulkan bahwa dalam

keterikatan kerja terdapat 3 aspek, yaitu energi yang tinggi dan ketekunan
kerja yang disebut Schaufeli dan Bakker (2010) sebagai vigor, kerelaan dan
ketulusan mendedikasikan kemampuan terbaiknya untuk perusahaan yang
disebut dedication serta merasa senang dalam menjalankan pekerjaan dan
lebur dalam pekerjaan yang disebut absorption.

2.3.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja


Berdasarkan model keterikatan kerja yang disebut JD-R (Job
Demands-Resources) Model yang dikembangkan oleh Bakker dan Demerouti
(2008), terlihat bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh job resources dan
personalresources. Model ini menunjukkan bahwa job resources dan personal
resources secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama meramalkan
keterikatan kerja karyawan. Job resources dan personal resources memiliki

26

dampak positif pada keterikatan kerja saat tuntutan kerja tinggi (Bakker dan
Demerouti (2008)).
Job resources mengacu pada aspek lingkungan terkait pekerjaan, yaitu
aspek fisik, sosial atau organisasional. Contoh job resource adalah: dukungan
sosial dari kolega dan supervisor, coaching dari supervisor, feedback kinerja,
beragamnya skill dan otonomi, dan lain-lain. Sedangkan personal resources
mengacu pada keadaan psikologis individu, yaitu: optimism, self efficacy,
resiliency dan self esteem (Bakker dan Demerouti, 2008).
Menurut Schiemann (2009) banyak faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja karyawan. Jaminan pekerjaan, perlakuan yang adil,
kompensasi yang mencukupi, perlakuan dengan penuh hormat dan
bermartabat, faktor-faktor yang berhubungan dengan stres (seperti beban kerja
yang berlebihan, target kinerja yang tidak realistis, konflik pekerjaan dan
keluarga yang disebabkan adanya ketidakseimbangan), adanya timbal balik
hak (konsekwensi positif perusahaan atas kinerja yang baik dari karyawan)
yang tidak hanya mencakup upah atau benefit yang menarik, tetapi juga
pengembangan keterampilan, budaya inovatif atau ketersediaan sumber daya
tertentu yang memungkinkan karyawan untuk berkembang. Selanjutnya
adalah pekerjaan yang menarik, dimana ada kesesuaian antara jenis pekerjaan
dengan individu, adanya teman sejawat yang akrab dan pemimpin yang
menginspirasi, dan lain-lain.
Marciano (2010) mengatakan bahwa saat level penghargaan terhadap

27

seseorang tumbuh, level keterikatan kerjanya juga tumbuh. Hal ini


dikembangkan dari prinsip bahwa jika orang diperlakukan dengan berharga,
mereka akan terikat dan bekerja lebih keras mencapai sasaran organisasi.
Selanjutnya Marciano (2010) menguraikan tujuh faktor yang
mendorong terjadinya keterikatan kerja karyawan yang dirangkumnya dalam
7 Drivers RESPECT Model, yaitu: Recognition, Empowerment, Supportive
feedback, Partnering, Expectations, Consideration dan Trust. Dengan
recognition (pengakuan), karyawan merasa kontribusi mereka diketahui dan
diapresiasi, pemberian reward (hadiah) diberikan berdasarkan kinerja dan para
atasan secara reguler mengakui anggota tim berhak mendapatkannya. Dalam
empowerment (pemberdayaan), para atasan menyediakan peralatan kerja,
sumber daya dan pelatihan yang dibutuhkan karyawan untuk sukses dalam
pekerjaan, memberikan otonomi dan didorong untuk mengambil risiko.
Supportive feedback (umpan balik yang mendukung) berarti para atasan
memberikan feedback yang spesifik pada waktunya dalam suatu media yang
mendukung, tulus dan konstruktif, bukan untuk membuat malu atau
menghukum. Dalam partnering (kemitraan), karyawan diperlakukan sebagai
mitra bisnis dan secara aktif berkolaborasi dalam pengambilan keputusan
bisnis, menerima informasi keuangan, mendapatkan keleluasaan dalam
pengambilan

keputusan,

atasan

bertindak

sebagai

pendorong

untuk

pengembangan dan pertumbuhan karyawan. Expectations (harapan), dimana


para atasan menjamin bahwa sasaran, tujuan dan prioritas bisnis secara jelas

28

ditetapkan dan dikomunikasikan, karyawan mengetahui standard kinerja


mereka yang dievaluasi dengan bertanggung jawab. Considerations dimana
para atasan, manajer dan anggota tim menunjukkan rasa tenggang, kepedulian
dan perhatian satu sama lain, para atasan secara aktif berusaha memahami
pendapat dan perhatian karyawan dan memahami serta mendukung saat
karyawan mengalami permasalahan pribadi. Trust (rasa percaya), dimana para
atasan menunjukkan kepercayaan dan yakin dengan skill dan kemampuan
karyawan, sebaliknya karyawan percaya bahwa atasan mereka akan bekerja
dengan tepat melalui mereka, para atasan memenuhi janji dan komitmen
mereka sehingga karyawan mempercayai para atasan.
Xanthopoulou, Bakker dan Demerouti (2008) menyatakan bahwa
keterikatan kerja ditentukan oleh faktor individual dan lingkungan. Faktor
lingkungan terkait dengan aspek organisasi dan atau psikologis, sosial dan
fisik pekerjaan, seperti : otonomi, dukungan sosial, coaching atasan, umpan
balik kinerja dan peluang pengembangan keahlian. Sedangkan faktor individu
mengacu pada evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency dan
rasa mampu untuk mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka
dengan sukses.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan secara umum bahwa
keterikatan kerja dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal mengacu pada individu karyawan, sedangkan faktor eksternal
mengacu pada aspek di luar diri individu, yaitu aspek fisik, sosial dan

29

organisasional dari pekerjaan.

2.4 Pengembangan Hipotesis


2.4.1

Pengaruh Kebanggaan Organisasi Terhadap Komitmen Afektif


Kebanggaan

terhadap

organisasi

mengacu

pada

pengalaman

menyenangkan dan self respect yang muncul dari anggota organisasi Jones
(dalam Olson, Bryan, dan Thompson, 2013). Menurut Pryce (2011:1), pride
is a psychological feeling and an excessively high opinion employees having
about their job and organization. Ini merupakan kombinasi dari kesenangan,
perasaan positif, harga diri, kehangatan personal, dan keterlibatan karyawan
terhadap organisasi dan nilai-nilai di dalamnya.
Berdasarkan beberapa teori diatas komitmen organisasi dapat diartikan
sebagai ikatan anggota oraganisasi untuk tetap tinggal dalam organisasi, setia
terhadap organisasi, bangga terhadap organisasi, memberikan upaya pada
organisasi, dan dapat menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Sedangkan menurut penelitian Gouthier dan Rhein (2011) rasa bangga
akan organisasi (organizational pride) memiliki efek positif terhadap
komitmen pegawai dalam bekerja, kreativitas pegawai, dan selain itu rasa
bangga akan organisasi juga berarti menghadirkan konstruk yang penting yang
berkontribusi terhadap daya saing organisasi.
Beberapa penelitian yang telah disebutkan sebelumnya secara
konsisten menunjukkan bahwa kebanggaan organisasi berhubungan positif

30

terhadap komitmen afektif. Hal ini berarti, jika kebanggaan organisasi yang
dirasakan karyawan tinggi, komitmen afektif karyawan juga akan cenderung
tinggi. Oleh karena itu, hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
H1: Kebanggaan organisasi berpengaruh positif terhadap komitmen
afektif.

2.4.2

Pengaruh Kebanggaan Organisasi Terhadap Keterikatan Kerja.


Menurut

Borwn

(dalam

Blogspot

2009)

karyawan

dapat

mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannnya, dan


menganggap pekerjaannya penting untuk dirinya selain untuk organisasi.
Pengertian keterikatan kerja lainnnya menurut Blau dan Boal (dalam Davis
dan Newstrom 1997: 259) tingkatan di mana karyawan membenamkan diri
dengan pekerjaan mereka, menginvestigasikan waktu dan energi di dalamnya,
dan bekerja melihat sebagai sebagi pusat dari kehidupan mereka secara
keseluruhan. Sedangkan menurut Khaerul Umam (2010: 81) keterikatan kerja
dapat didefinisikan sebagai derajat seseorang secara psikologis mengartikan
dirinya dengan pekerjaan dan menganggap tingkat kinerjanya sebagai hal
penting bagi harga diri.
Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat menunujukan seorang
pekerja terlibat dalam pekerjaan (Allport, 1943). Ketika seorang karyawan

31

merasa bangga terhadap perusahaannya, maka ia akan aktif berpartisipasi dan


perhatian terhadap sesuatu. Dari tingkat atensi inilah maka dapat diketahui
seorang karyawan perhatian, peduli, dan menguasai bidang yang menjadi
perhatiannya. Hal ini berarti jika tingkat kebanggaan organisasi yang
dirasakan karyawan tinggi, maka tingkat keterikatan kerja karyawan juga
tinggi. Oleh karena itu, hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.

2.4.3

H2: Kebanggaan organisasi berpengaruh positif terhadap keterikatan


kerja.
Pengaruh Keterikatan Kerja Terhadap Komitmen Afektif
Menurut Mathis dan Jakson (dalam Sopiah, 2008: 155) komitmen
organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima
tujuan tujuan organisasi dan akan tetap tingggal atau tidak akan
meninggalkan organisasi. Menurut Linchon (dalam Bashaw dan Grant, dikutip
Sopiah 2008: 155), komitmen organisasional mencakup kebangggan anggota,
kesetian anggota, dan kemauan anggota pada organisasi. Sedangkan menurut
OReilly (dalam Sopiah 2008: 156) komitmen karyawan pada organisasi
sebgai ikatan kewajiban individu terhadap organisasi yang mencakup
keterikatan kerja, kesetiaan, dan perasaan percaya terhadap nilai-nilai
organisasi. Menurut Luthans (2006: 249) komitmen organisasi didefinisikan
sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2)
ada keinginan berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan
tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.

32

Berdasarkan beberapa teori diatas komitmen organisasi dapat diartikan


sebagai ikatan anggota oraganisasi untuk tetap tinggal dalam organisasi, setia
terhadap organisasi, bangga terhadap organisasi, memberikan upaya pada
organisasi, dan dapat menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi. Hal ini
berarti jika tingkat keterikatan kerja yang dirasakan karyawan tinggi, maka
tingkat komitmen afektif karyawan juga tinggi. Oleh karena itu, hipotesis
kedua yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
H3: Keterlibatan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen afektif.
2.5 Kerangka Pemikiran Teoritis
Penelitian ini menggunakan model moderated mediation yang
dalam sumber lain disebutkan sebagai conditional indirect effects
(Preacher et al., 2007) .Berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan
sebelumnya, model yang diajukandalam penelitian ini disajikan dalam Gambar
2.1.
Keterikatan
Kerja

Kebanggaan
Organisasi

Komitmen
Afektif
Gambar: 2.1
Kerangka Pemikiran Teoritis

33

BAB III
METODE PENELITIAN

Bab ini akan membahas metode penelitian yang meliputi desain penelitian,
populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional
variabel dan pengukuran variabel, pengujian instrumen penelitian dan prosedur
pengujian model.

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskripsi dangan metode causal
effect. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan
dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskipsi tentang suatu
keadaan secara obyektif. Metode penelitian deskriftif digunakan untuk menjawab

34

permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Sekaran, 2006: 76).
Sedangkan causal effect merupakan penelitian hubungan cause and effect antar
variabel penelitian (Sekaran, 2006: 101).
Berdasarkan Cooper dan Schindler (2014: 126), desain penelitian ini
diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan
kausalitas yang terjadi di antara variabel sehingga penelitian ini merupakan
bagian dari studi kausal.
2. Berdasarkan dimensi waktunya, penelitian ini termasuk penelitian cross
sectional, yakni hanya mengambil data penelitian pada suatu kurun waktu
tertentu yang kemudian digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
3. Berdasarkan lingkungan penelitiannya, penelitian ini dilakukan dalam kondisi
lingkungan yang sebenarnya (kondisi lapangan).

3.2 Variabel Penelitian


Dalam penelitian ini digunakan tiga variabel, yakni satu variabel
dependen, satu variabel independen, satu variabel pemediasi. Penjelasan dari
masing-masing variabel tersebut menurut Cooper dan Schindler (2014: 55-58)
adalah sebagai berikut.
1. Variabel Independen
Variabel independen merupakan variabel yang dimanipulasi oleh peneliti.
Manipulasi tersebut kemudian mengakibatkan pengaruh pada variabel

35

dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah kebanggaan


organisasi, yang di ukur dari:
a. Emotional Organizational Pride
b. Sikap Kebanggaan Pada Organisasi
2. Variabel Dependen
Variabel dependen merupakan variabel yang diukur, diprediksi, atau dimonitor
dan diharapkan terpengaruh atas manipulasi dari sebuah variabel independen.
Dalam penelitian ini, variabel dependen yang digunakan adalah komitmen
afektif, yang di ukur dari:
a. Keterikatan emosional karyawan
b. Identifikasi
c. Keterlibatan dalam organisasi
3. Variabel Pemediasi
Variabel pemediasi termasuk dalam kategori intervening variable. Yang
dimaksud dengan intervening variable adalah sebuah faktor yang secara
teoritis memengaruhi variabel dependen tetapi tidak dapat diobservasi atau
belum diukur; efeknya dapat disimpulkan dari pengaruh variabel independen
dan variabel pemoderasi atas fenomena yang sedang diobservasi. Variabel
pemediasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah burnout. Dalam hal ini,
kebanggaan organisasi akan berkorelasi positif dengan komitmen afektif
melalui terjadinya keterikatan kerja karyawan. Keterikatan kerja, di ukur dari:
a. Vigor: energi yang tinggi dan ketekunan kerja

36

b. Dedication, kerelaan dan ketulusan mendedikasikan kemampuan


terbaiknya untuk perusahaan
c. Absorption merasa senang dalam menjalankan pekerjaan dan lebur
dalam pekerjaan

3.3 Sampel Penelitian


Sampel adalah sebagian dari anggota populasi yang akan diteliti, dipilih
secara hati-hati dengan menggunakan prosedur tertentu, dan diharapkan dapat
mewakili populasi (Cooper dan Schindler, 2014: 84). Sampel dalam penelitian ini
adalah para karyawan yang bekerja di PT. Propernas Griya Utama, baik di kantor
pusat Jakarta, cabang Bekasi, Semarang, dan Balikpapan. Sampel yang diperoleh
dalam penelitian ini adalah sebanyak 80 karyawan yang tersebar di berbagai
wilayah tersebut dari total 200 karyawan. Hal ini dilakukan berdasarkan
pertimbangan bahwa ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah
tepat untuk kebanyakan penelitian (Roscoe, 1975 dalam Sekaran, 2006: 160).

3.4 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data


Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari data primer.
Sumber data primer merupakan hasil murni dari penelitian atau data mentah
tanpa interpretasi atau pernyataan yang merepresentasikan opini atau posisi resmi
(Cooper dan Schinder, 2014: 96). Data ini dikumpulkan langsung oleh penulis
untuk keperluan analisis.

37

Dalam penelitian ini, teknik utama yang digunakan untuk mengumpulkan


data primer adalah dengan cara menyebarkan kuesioner baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui surat elektronik dan media sosial. Kuesioner
diberikan kepada karyawan yang telah memenuhi beberapa kriteria yang telah
disebukan sebelumnya dan diisi sendiri oleh mereka. Selain itu, penulis juga
melakukan wawancara yang dilakukan melalui tatap muka maupun telepon
dengan karyawan maupun responden yang memahami permasalahan penelitian
ini untuk mendapatkan informasi tambahan.

3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas


3.5.1

Uji Validitas
Menurut Hastono (2006:89) validitas merupakan salah satu cara untuk
mengukur instrument

dalam suatu penelitian guna melihat tingkat

validitasnya. Untuk mengukur validitas suatu instrument (kuesioner)


dilakukan dengan cara membandingkan nilai r hitung masing-masing item
pertanyaan dengan nilai r tabel. Kriteria uji validitas menggunakan derajat
kebebasan (n-2) pada r tabel (jumlah sampel dikurang 2), maka apabila r
hitung > r tabel item pertanyaan tersebut valid.

3.5.2

Uji Reliabilitas

38

Menurut Hastono (2007: 90) dalam melakukan uji reliabilitas


digunakan pendekatan () alpha cronbach dengan kriteria uji bila nilai ()
alpha cronbach> r tabel, maka instrumen reliabel.

3.6 Uji Asumsi Klasik


Model regresi linier berganda (multiple regression) dapat disebut sebagai
model yang baik jika memenuhi beberapa asumsi yang kemudian disebut dengan
asumsi klasik. Proses pengujian asumsi klasik dilakukan bersama dengan proses
uji regresi sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam pengujian asumsi
klasik menggunakan langkah kerja yang sama dengan uji regresi (Ghozali,
2009). Ada empat uji asumsi yang dilakukan terhadap suatu model regresi
tersebut yaitu uji Normalitas, Autokorelasi, uji Multikolinieritas dan uji
Heteroskedastisitas.

3.6.1

Uji Normalitas
Uji normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi
normal atau tidak. Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi apakah residual
berdistribusi normal atau tidak yaitu dengan cara uji statistik non-parametrik
Kolgomorov-smirnov (uji K-S). uji K-S dilakukan dengan melihat nilai
probabilitas signifikansi atau asymp. Sig (2-talied). Sebelumnya perlu
diketahui terlebih dahulu hipotesis pengujian, yaitu:
Hipotesis (H0): data terdistribusi tidak normal

39

Hipotesis Alternatif (Ha): data terdistribusi normal


Apabila nilai probabilitas signifikan lebih dari = 0,05, maka data
terdistribusi secara normal. Apabila nilai probabilitas signifikansi kurang dari
nilai = 0,05, maka data tidak terdistribusi secara normal.

3.6.2

Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah kondisi terdapatnya hubungan linier atau
korelasi yang tinggi antara masing-masing variabel independen dalam model
regresi. Multikolinearitas biasanya terjadi ketika sebagian besar variabel yang
digunakan saling terkait dalam satu model regresi. Oleh karena itu masalah
Multikolinearitas tidak terjadi pada regresi linier sederhana yang hanya
melibatkan satu variabel independen. Konsekuensi praktis yang timbul
sebagai akibat adanya multikolinearitas adalah kesalahan standar penaksir
semakin besar dan probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah semakin
besar sehingga mendapat kesimpulan yang salah (Ghozali, 2009:56).
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinieritas didalam model
regresi adalah dengan cara melihat nilai Variance Information Factor (VIF)
dan nilai Tolerance. Jika VIF < 10 dan Tolerance > 0,1, maka persamaan
regresi tidak terjadi multikolinieritas dn jika VIF > 10 dan Tolerance <0,1,
maka persamaan regresi terjadi multikolinieritas.

3.6.3

Uji Heteroskedastisitas

40

Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model


regresi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan
lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap,
maka disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.
Model regresi yang baik adalah Homoskedastisitas. Kebanyakan data
crossection mangandung situasi Heteroskesdastisitas karena data ini
menghimpun data yang mewakili berbagai ukuran (kecil, sedang dan besar)
(Ghozali, 2005)
Dalam melakukan uji Heteroskedastisitas digunakan uji Glejser. Uji
Glejser dilakukan dengan meregres nilai absolute residual terhadap variabel
independen Gujarati,2003) dengan persamaan regresi:
Ut= + Xt + Vt.
Jika nilai variabel independen signifikan yang berarti mempengaruhi
variabel dependen maka dapat disimpulkan ada indikasi bahwa telah terjadi
heterokedastisitas.

3.7 Analisis Data


Analisis data merupakan proses pengolahan, penyajian, interpretasi dan
analisis data yang diperoleh dari lapangan. Pada penelitian ini untuk menganalisa
data yang diperoleh ditabulasi secara manual dan selanjutnya dianalisis secara
statistik menggunakan softwere SPSS. Adapun tahapan uji mediasi, sebagai
berikut:

41

1. Tahap 1: Melakukan analisis regresi sederhana kebanggaan organisasi


memprediksi komitmen afektif untuk menguji jalur efek langsung.
2. Tahap 2: Melakukan analisis regresi sederhana kebanggaan organisasi
memprediksi keterikatan kerja untuk menguji jalur efek langsung.
3. Tahap 3: Melakukan analisis regresi sederhana keterikatan kerja memprediksi
komitmen afektif untuk menguji jalur efek langsung.
4. Tahap 4: Untuk menghitung efek tidak langsung menggunakan produk
koefisien dari sobel.

Selanjutnya, analisis statistic yang digunakan multiple regression, dengan


rumus sebagai berikut:
Model 1: Y = B01 + t X + e1
Model 2: Y = B02 + t X + BM + e2
Keterangan :
Y1

: Komitmen afektif

Y2

: Keterikatan kerja

tX

: Koefisien Regresi

tX

: Koefisien Regresi

B01. B02 : Intercept


e1.e2

: Error

BM

: Mediasi

42

1. Untuk menguji hipotesis pengaruh secara parsial kebanggaan organisasi


terhadap komitmen afektif dan keterikatan kerja serta pengaruh keterikatan
kerja terhadap komitmen afektif karyawan PT. Propernas Griya, digunakan
Uji t. Cara pengujian adalah membandingkan nilai sig dengan nilai alpha =
0,05.
a. Bila nilai sig alpha = 0.05, maka secara parsial variabel (X) berpengaruh
terhadap variabel (Y),
b. Bila nilai sig > alpha = 0.05, maka secara parsial variabel (X) tidak
berpengaruh terhadap variabel (Y),
2. Untuk menguji hipotesis pengaruh secara simultan kebanggaan organisasi
terhadap komitmen afektif dan keterikatan kerja, digunakan Uji

F. Cara

pengujian adalah membandingkan nilai sig dengan nilai alpha = 0,05.


a. Bila nilai sig alpha = 0.05, maka secara simultan variabel (X)
berpengaruh terhadap variabel (Y),
b. Bila nilai sig > alpha = 0.05, maka secara simultan variabel (X) tidak
berpengaruh terhadap variabel (Y),

43

Anda mungkin juga menyukai