Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PSIKOLOGI POSITIF

“HOPE”

KELOMPOK 9

KELAS F

Nama Anggota Kelompok :


Ovaya Nayla 202110230311305
Aisha Ayu M. H 202110230311328
Farrah Rahma H 202110230311343
Andhini Maulidina 202110230311352
Fahmi Firza S. C 202110230311357

Dosen Pengampu :
Sofa Amalia, M. Si.

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
A. Pengertian Hope
Hope atau harapan dapat diartikan sebagai energi yang mampu memunculkan motivasi
seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Menurut Snyder (1991) mendefinisikan hope
sebagai keadaan psikologis dimana kesadaran dipengaruhi oleh ‘agency’ yang merupakan
energi untuk mencapai tujuan dan ‘pathways’ yang merupakan perencanaan dalam
mencapai tujuan. Hope juga dapat didefinisikan sebagai energi yang dapat memfokuskan
seseorang dalam mencapai tujuannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Cavus & Gokcen (2014) menunjukan bahwa, hope
berhubungan positif dengan kepuasan hidup, kinerja, serta motivasi dalam menghadapi
situasi yang dapat menimbulkan stres. Hope atau harapan ini akan mendukung keinginan
untuk memberikan hasil yang baik, hope juga dapat memberikan perasaan-perasaan baik
sehingga memunculkan motivasi untuk membuat mimpi seseorang terwujud. Di dalam
teori hope atau harapan ini juga terdapat sebuah sistem motivasi yang merupakan dasar
seseorang untuk belajar menghargai dan mengejar tujuan yang telah mereka rencanakan.

B. Sejarah Teori dan Tokoh Hope


Teori hope ini telah banyak dijelaskan oleh para filsuf, teolog, pendidik serta para
ilmuwan selama bertahun-tahun. Hal ini menimbulkan banyak sekali pendapat tentang arti
sesungguhnya dari apa itu harapan/hope. Shane Lopez (2009) kemudian memaparkan
bahwa secara umum, hope dapat didefinisikan sebagai keadaan mental yang positif dan
kemampuan untuk mencapai tujuan di masa depan. Menurut Linley & Joseph (2004), teori
harapan merupakan cerminan dari persepsi individu akan kapasitas mereka dalam
mengkonseptualisasikan tujuan-tujuan mereka secara jelas, bagaimana cara individu
tersebut mengembangkan strategi demi mencapai tujuan mereka (pathways thinking) serta
bagaimana cara individu memunculkan motivasi untuk menjalankan strategi tersebut
(agency thinking).
Pathway thinking dan agency thinking merupakan dua unsur dalam membentuk harapan
(hope). Jika salah satunya gagal tercapai, maka pencapaian tujuan tidak akan terlaksana.
Pathway dan agency thinking merupakan dua unsur yang saling melengkapi dan bersifat
timbal balik, mereka akan berkorelasi secara positif. Namun, kedua unsur tersebut
bukanlah satu hal yang sama (Linley & Joseph, 2004). Sementara itu, Shane & Snyder
(2004) dalam bukunya mengungkapkan bahwa harapan (hope) seringkali hanya dilihat
sebagai sebuah emosi atau suatu perasaan tertentu yang dapat mempertahankan
kepercayaan seseorang dalam kondisi buruk. Oleh karena itu, harapan (hope) adalah
pikiran dan keyakinan seseorang untuk mempertahankan tindakannya demi mencapai
suatu tujuan tertentu.
Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hope merupakan suatu
keadaan mental positif yang mampu mendorong kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang mereka inginkan melalui dua unsur, yaitu pathway thinking dan agency
thinking yang saling berkolaborasi untuk mempertahankan tindakan seseorang dalam
mencapai tujuan yang mereka buat.

Teori harapan atau Expectanct Theory pertama kali dikemukakan oleh Victor H.
Vroom. Ia menyatakan bahwa kekuatan yang mendorong seseorang dan memotivasi
seseorang dalam bekerja atau melakukan sesuatu tergantung dari hubungan timbal-balik
antara apa yang seseorang tersebut inginkan dan butuhkan dari hasil pekerjaannya
tersebut. Seperti seberapa besar seseorang yakin perusahaan tempatnya bekerja akan
memberikan kepuasan bagi keinginannya sebagai imbalan atau bayaran atas usaha yang
telah dilakukannya. Teori harapan / Hope ini bertujuan untuk menentukan usaha dan
tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai harapan yang diinginkan oleh seseorang.
Teori ini menyatakan bahwa individu akan menilai strategi-strategi yang dilakukan
seseorang, seperti bekerja keras dan melakukan tindakan yang diharapkan mendapatkan
imbalan atau balasan seperti kenaikan gaji atau mendapatkan penghargaan yang
berharga bagi seseorang tersebut.

C. Konsep Teori Hope


Snyder & Lopez, 2007 menyatakan teori maupun definisi hope menurut Snyder
keduanya memiliki arti yang sama, yaitu harapan menekankan kognisis yang ada karena
pemikiran yang mengarah ke tujuan. tidak jauh dari teori sebelumnya Snyder menyatakan
konsep harapan ini bersifat kognitif, meskipun teori tersebut berevolusi untuk
menghubungkan emosi juga. harapan menjadi motivasi untuk tujuan, jalur, dan pemikiran
yang diarahkan oleh agresi untuk mencapai tujuan yang diharapkan(Lopez, 2009).
Cara berpikir juga menjadi kapasitas mental yang diperlukan untuk mencapai tujuan,
yang dikenal sebagai way power (Lopez, 2009). dengan dorongan seseorang untuk berpikir
memprioritaskan aktivitas yang dituju, menjadwalkan waktu latihan tertentu, dan
menciptakan sistem pengharapan pribadi agar waktu yang dihabiskan lebih fokus ke arah
yang ingin dituju .

Berikut merupakan komponen teori hope (Snyder & Lopez, 2007). Agency dan
pathways menjadi langkah awal mencapai tujuan, emotional sets menjadi target tujuan
tertentu. selanjutnya values menjadi penghargaan atas hasil yang akan dicapai. dari sini
akan menemukan pathways dan agency lagi, komponen ini saling berinteraksi,
berkelanjutan dan memberi pengaruh satu sama lain. Goals terdapat dua kemungkinan
yaitu berhasilkan emosi yang positif yang akan memperkuat proses pencapaian tujuan dan
emosi negatif yang akan menghambat pencapaian tujuan.
Pada Hope theory keberhasilan mencapai tujuan yang diinginkan terjadi ketika
seseorang menghindari hambatan yang mengakibatkan stress, lebih memilih memikirkan
emosi yang positif dan melanjutkan mengejar tujuannya (Le., positive reinforcement).
dibalik itu, jika tidak berhasil dalam mengejar tujuan (tak sanggup melewati rintangan),
muncullah emosi negatif sehingga tujuan gagal dicapai (Snyder & Lopez, 2007).

D. Cara Mengukur Hope


Lopez (2009) dalam bukunya mengatakan bahwa para peneliti telah mencoba untuk
mengukur hope dengan berbagai cara selama bertahun-tahun. Salah satunya adalah
Stotland, yang lebih memilih untuk mengukur hope dengan cara mengajukan pertanyan
kepada individu mengenai kemampuan mereka dalam mencapai keberhasilan daripada
menggunakan self-report untuk mengukur tingkat harapan individu. Erickson dan
rekannya akhirnya menyusun skala dari pandangan Stotland mengenai hope, dan skala ini
mencakup daftar tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Selain itu, Staats dan rekan-
rekannya juga mengembangkan alat ukur hope yang mengukur kognitif dan afektif dan
hope, dan terutama berfokus pada peristiwa dan hasil tertentu. Skala ini mengukur sejauh
mana keinginan individu dan harapan mereka untuk beberapa hal tertentu, seperti memiliki
teman ataupun menjadi lebih bahagia. Setelah itu, Snyder dan rekan-rekannya
mengembangkan beberapa alat ukur atau skala untuk mengukur hope, seperti Adult
Dispositional Hope, Children’s Hope, dan Adult State Hope.
Skala Adult Dispositional Hope atau yang dikenal sebagai skala Goals merupakan skala
yang paling banyak digunakan dalam 15 tahun terakhir (Lopez, 2009). Skala ini merupakan
sebuah self-report berisi 12 item yang dirancang untuk mengetahui harapan disposisional
pada orang dewasa. 4 item dari skala ini mewakili agency, 4 item mewakili pathways, dan
4 item lainnya sebagai distraktor. Item agency dan pathways dapat dijumlahkan untuk
menghasilkan total skor dari hope (Gallagher & Lopez, 2019). Pada studi awal,
pengukurannya menggunakan skala Likert 4 poin. Namun, studi yang lebih baru, mereka
menggunakan skala 8 poin yang terdiri dari pasti salah hingga yang pasti benar (Gallagher
& Lopez, 2019).
Skala Children’s Hope merupakan sebuah self-report dengan 6 item (3 item agency dan
3 item pathways) yang didasarkan pada premis bahwa pemikiran anak mengenai tujuan
mereka dapat dipahami melalui agency dan pathways. Skala ini telah mendapat validasi
untuk digunakan pada anak usia 7 sampai 16 tahun (Lopez, 2009).
Sama seperti skala Children’s Hope, skala Adult State Hope juga merupakan sebuah
self-report dengan 6 item di dalamnya yang terdiri dari 3 item agency dan 3 item pathways.
Untuk skala Adult State Hope, responden diminta untuk menilai item berdasarkan apa yang
mereka rasakan saat ini, dan pilihan jawabannya beragam mulai dari pasti benar sampai
pasti salah (Gallagher & Lopez, 2019).

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hope


Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hope pada seseorang menurut weli
(2000)
a) Dukungan sosial
Dukungan ini merupakan hubungan interpersonal yang melibatkan dua orang
atau lebih. Untuk memenuhi kebutuhan dasar anak dalam mendapatkan rasa
aman dan kasih sayang. Dukungan sosial dapat terjadi dari orang orang terdekat
khususnya keluarga.
b) Kepercayaan religius
Kepercayaan adalah keyakinan yang dipercayai oleh seseorang sedangkan
religius memiliki makna yang memiliki keterkaitan dengan tuhan. Secara
spiritual diartikan sebagai sumber utama harapan tentunya pada hal positif atau
dapat menyadarkan diri pada kenyataan bahwasannya terdapat tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya untuk situasi individu saat ini.
c) Kontrol
Mempertahankan kontrol bisa dilakukan dengan cara tetap untuk mencari
informasi, menentukan nasib dan kemandirian yang menimbulkan perasaan kuat
pada harapan individu. Kemampuan individu akan kontrol juga dipengaruhi
self-efficacy yang dapat meningkatkan presepsi individu. Hal ini dapat
dilakukan supaya menyiapkan diri untuk antisipasi terhadap stres dan
menghindari ketergantungan.

F. Bentuk-bentuk Intervensi Hope


Intervensi Hope atau Harapan, dalam penerapan dan konsepnya difokuskan pada goal
setting (penetapan tujuan), pathway setting (pemecahan masalah), dan agency (positive
self-talk). Partisipan diajak untuk menetapkan tujuan yang pada dasarnya memiliki
kemungkinan yang besar untuk tercapai dan mencari solusi untuk mencapai pencapaian
dalam tujuan keberhasilan tujuan yang sudah ditetapkan.
Intervensi yang tepat diperlukan dengan tujuan agar individu yang berpartisipasi dapat
beradaptasi dengan tuntutan yang berkenaan dengan tekanan situasi, sehingga diharapkan
mereka tidak mudah merasa stress, depresi, dan cemas terhadap kejadian yang terjadi di
lingkungannya (Snyder, 2003). Adapun beberapa jenis intervensi yang berdasar teori Hope
atau Harapan, yaitu:

1. Building Hope (HERO Intervention)


Program ini dirancang untuk format grup yang disampaikan selama 5 sesi, untuk
membantu individu dalam mengkonseptualisasikan tujuan atau goals yang jelas dengan
suatu motivasi yang kuat untuk meraih tujuan tersebut (agency), serta usaha dalam
mewujudkan tujuan tersebut serta menyusun ulang hambatan yang tampaknya tidak
dapat diatasi sebagai tantangan yang harus diatasi (Snyder dkk, 2003).
Teknik yang digunakan dalam pengaplikasian intervensi ini berfokus pada
solusi, naratif dan kognitif-perilaku dari masalah yang dihadapi. Intervensi ini
menawarkan psikoedukasi, pelatihan keterampilan proses kelompok, termasuk kegiatan
yang terstruktur, bermain peran, dan diskusi terbimbing. Intervensi ini atau yang disebut
Membangun harapan untuk Masa Depan (building hope) dirancang untuk mengontrol
perhatian orang dewasa, kohesi kelompok, dukungan sosial, diskusi tentang komponen
harapan, berbagi pemikiran dan perasaan dengan teman sebaya, dan keterlibatan
partisipan dalam sesi kegiatan (Erlyani, dkk, 2019).
2. Psikoreligius
Terapi psikoreligius merupakan jenis terapi yang menggunakan pendekatan
religious dengan tujuan meningkatkan pandangan positif partisipan intervensi.
Kegiatannya mencakup beribadah, doa, sholat, dzikir, mengaji, diskusi interaktif
keagamaan serta kajian perpustakaan didasari latar belakang agama atau kepercayaan
masing-masing partisipan. Terapi piskoreligius mengandung unsur spiritual yang dapat
memperkuat harapan (hope) dan rasa percaya diri (self confident) pada diri klien
(Rivaldi, 2020). Terapi ini mengandung unsur spiritual/agama yang mereka terima akan
memulihkan dan memperkuat rasa percaya diri, harapan dan keimanan. Dengan terapi
ini kekebalan (imunitas) tubuh meningkat, sehingga mem-percepat proses
penyembuhan.
3. Group Hope Therapy
Group Hope therapy merupakan metode psikoterapi yang berdasar pada konsep
positif tentang kekuatan manusia, yang tersusun secara sistematis dan bertujuan untuk
membangun kekuatan dalam diri seseorang serta mengajari cara mengembangkan
kekuatannya tersebut (Cheavens et al., 2006). Dalam pengaplikasiannya, hope therapy
lebih memfokuskan pada peningkatan emosi positif, keterlibatan serta membantu
seseorang memenuhi potensi yang mereka miliki (Sadeghi, Ebrahimi, & Vatandoust,
2015). Hope therapy bersandar pada hipotesis bahwa dalam menangani sebuah
gangguan, membangun dan meningkatkan emosi positif dalam penyelesaian masalah,
memiliki efek yang jauh lebih efektif dibandingkan dengan hanya berusaha mengurangi
gejala negatif (Seligman et al., 2006).

G. Penelitian-penelitian Terkait Hope


Intervensi berbasis harapan (hope- based intervention) terbukti efektif memperkuat
harapan sehingga memperkuat kepuasan hidup dan kesehatan mental penderita penyakit
kronis (Klausner, 2008). Berbagai penelitian yang melakukan intervensi harapan (hope
intervention) ataupun strategi-strategi meningkatkan harapan (hope enhancement
Strategies) menunjukkan hasil bahwa individu dengan harapan kuat memiliki
kemungkinan lebih besar untuk sukses menghadapi stressor yang diperoleh dan kesuksesan
yang diperoleh tersebut memberikan timbal balik yang semakin menguatkan harapan
mereka (Hartatik, 2020)
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 2015, oleh Sosialita dan Hamidah
kepada kelompok penderita Diabetes Melitus Tahap 2. Menurut Sosialita dan Hamidah
(2015), kurangnya harapan yang dimiliki penderita, membuat penderita Diabetes Mellitus
membuat pasien mengembangkan emosi- emosi negatif, serta kurang menikmati hidupnya.
Adanya penurunan pada beberapa aspek kehidupan tersebut, yaitu aspek kesehatan fisik,
aspek psikologis dan aspek sosial tersebut mengakibatkan kebahagian, kepuasan serta
kualitas hidup penderita turut menurun ketika penderita tidak mampu menyikapi
masalahnya secara baik. Sehingga, Intervensi berbasis harapan diberikan untuk
membuktikan bahwa intervensi berbasis harapan memiliki efektivitas yang besar dalam
meningkatkan harapan partisipan. Hal ini terjadi dikarenakan proses dalam pelaksanaan
intervensi berbasis harapan ini, strategi dan aktivitasnya berfokus pada peningkatan
haraoan melalui improvisasi individu ke arah yang lebih positif. Selain itu, proses
pemberian intervensi yang cenderung lebih banyak aktivitas dan tugas yang berhubungan
dengan harapan sebagai penderita diabetes mellitus tahap 2 juga sangat mempengaruhi
keberhasilan daripada pemberian intervensi jenis ini.
DAFTAR PUSTAKA

Cheavens, J. S., Feldman, D. B., Woodward, J. T., & Snyder, C. R. (2006). Hope in cognitive
psychotherapies: On working with client strengths. Journal of cognitive
Psychotherapy, 20(2), 135-145.

Erlyani, N., Vira Zwagery, R., Dwi Mayangsari, M., Corinna Marsha, G., Ananda Arini
Sugma, K., Utami Febriani, W., & Nuraini, N. (2019). INTERVENSI HERO (Hope,
Efficacy, Resilience, Optimism) Bagi Relawan Bencana.

Hartatik, F. Y. (2020). HOPE DAN PERCEIVED CONTROL PADA NARAPIDANA (Studi


pada Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kab. Banyuwangi) (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Malang).

Klausner, E. J., Snyder, C. R., & Cheavens, J. (2000). A hope-based group treatment for
depressed older adult outpatients. Physical illness and depression in older adults: A handbook
of theory, research, and practice, 295-310.

Lopez, S. J. (Ed.). (2011). The encyclopedia of positive psychology. John Wiley & Sons.

Linley, P. A., & Joseph, S. (2004). Applied positive psychology: A new perspective for
professional practice. Positive psychology in practice, 3-12.

Lopez, S. J., & Snyder, C. R. (2003). Positive psychological assessment: A handbook of


models and measures (pp. xvii-495). American Psychological Association.

Lopez, S. J. (2009). The Encyclopedia of Positive Psychology. Blackwell Publishing Ltd.

Rivaldi, M., Kusmawati, A., & Tohari, M. A. (2020). Intervensi Sosial Melalui Terapi
Psikoreligius pada Remaja Penyalahgunaan Narkoba. KHIDMAT SOSIAL: Journal of Social
Work and Social Services, 1(2), 127-137.

Seligman, M. E., Rashid, T., & Parks, A. C. (2006). Positive psychotherapy. American
psychologist, 61(8), 774.

Snyder, C. R., Harris, C., Anderson, J. R., Holleran, S. A., Irving, L. M., Sigmon, S. T., ... &
Harney, P. (1991). The will and the ways: development and validation of an individual-
differences measure of hope. Journal of personality and social psychology, 60(4), 570.

Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2007). Positive Psychology The Scientific and Practical
Explorations of Human Strengths . Sage Publications,.
Sosialita, T. D., & Hamidah, H. (2015). Hope-based intervention untuk menurunkan stres serta
meningkatkan harapan dan subjective well-being pada penderita diabetes mellitus tipe
2. Psikoislamika: Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam, 12(1), 55-63.

Gallagher, M. W. (2019). Positive Psychological Assessment. Washington: American


Psychological Association .

Gökçen, A., KOÇ, M., & ÇAVUŞ, M. F. (2014). Being socially responsible by managing
technology and innovation. Journal of Social Sciences, 11(1), 20-29.

Weil, C.M. 2000. Exploring Hope in Patients With End Stage Renal Disease on Chronic
Hemodialysis. ANNA Journal.

Anda mungkin juga menyukai