Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK

MK PSIKOLOGI INDUSTRI & ORGANISASI


Analisis Kasus & Review Jurnal

Dosen Pengampu : Minto Istono, M.Psi.

Disusun Oleh :
Rossana Ayu Hanna W (139114023)
Prisca Nanda (169114064)
Adriana Kurnia P.M. (169114110)
Yulia Catur T. (169114143)
Yustine Widhi M. (169114144)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2018
Landasan Teori

Munculnya era globalisasi, perkembangan teknologi yang semakin maju, serta


aplikasi bisnis yang menyesuaikan dengan zaman sangat mempengaruhi organisasi.
Mello (2006) mengemukakan bahwa saat ini banyak perusahaan yang mulai
memperhatikan kepuasan kerja dan komitmen organisasi karyawannya (dalam Fatt,
Khin, & Heng, 2010).
Hal tersebut terjadi karena perusahaan sudah mulai menyadari bahwa karyawan
merupakan aset penting untuk menjadikan organisasi lebih maju dan berkembang Selain
itu, dengan pemanfaatan sumber daya manusia yang dilakukan secara optimal akan
memunculkan dampak positif dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan dalam
perusahaan (Fatt, Khin, & Heng, 2010). Hal yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja
karyawan terbagi menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Contoh perilaku
pada faktor intrinsik yaitu nilai-nilai yang dimiliki dan ekspektasi yang dimiliki
karyawan (Ghazzawi, 2008). Sedangkan salah satu contoh perilaku pada faktor
ekstrinsik adalah keadilan organisasi.
Keadilan organisasi merupakan persepsi yang dimiliki karyawan tentang
keadilan yang ada dalam organisasi dan diakui sebagai determinan penting mengenai
motivasi, sikap, dan perilaku organisasi (Kaswan, 2017). Menurut Kiersch (2012)
membahas tentang keadilan organisasi terbagi menjadi dua level yaitu level individu
dan grup. Empat bentuk keadilan organisasi pada level individu: keadilan distributif,
keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasi.
a. Keadilan Organisasi pada level Individu
1. Keadilan Distributif  Menurut Griffin & Moorhead (2014) keadilan
distributif merupakan persepsi pegawai terhadap pembagian imbalan atau
penghargaan dan hasil-hasil lain yang berharga dalam organisasi (dalam
Kaswan, 2017). Persepsi keadilan distributif mempengaruhi kepuasan
individu dengan berbagai hasil yang terkait dengan pekerjaan, seperti gaji,
penugasan kerja, pengakuan dan kesempatan untuk maju. Semakin adil
orang memandang penghargaan di distribusikan, maka semakin puas mereka
pada penghargaan tersebut. Semakin tidak adil mereka memandang imbalan
tersebut didistribusikan, mereka semakin tidak puas.
A) Ekuitas
Individu mengevaluasi seberapa besar proporsi hasil mereka terhadap
kontribusi yang dilakukan, dan dibandingkan dengan yang lain. Pegawai
percaya bahwa jika mereka bekerja lebih keras, seharusnya mereka lebih
banyak mendapatkan hasil. Begitupun untuk pegawai yang bekerja lebih
sedikit bekerja atau kurang produktif, mereka akan mendapatkan hasil
yang sedikit pula. Ekuitas memvalidasi perasaan seseorang sebagai
keanggotaan kelompok, dan pada tingkat organisasi, memungkinkan
organisasi untuk berfungsi secara efektif dan efisien. Wrestler et al
mencatat bahwa ekuitas dapat diterapkan dalam hubungan bisnis.
B) Ekualitas
Ekualitas adalah alokasi yang mana semua individu memiliki atau
kesempatan yang sama. Penggunaan ekualitas memungkinkan organisasi
mempertahankan pegawai. Ekuitas memegang peranan penting dalam
organisasi
C) Kebutuhan
Kebutuhan melibatkan pengalokasian hasil atau dasar kebutuhan khusus.
Tujuan organisasi menjadi fokus utama dalam memenuhi kebutuhan
anggota daripada tujuan pribadi.
2. Keadilan Prosedural
Merupakan persepsi individu terhadap keadilan proses yang digunakan
untuk menentukan berbagai hasil (Griffin & Moorhead, 2014). Jika evaluasi
dilakukan oleh seseorang yang tidak mengenal baik suatu pekerjaan, tidak
menjelaskan mengenai bagaimana evaluasi dilakukan, dan tidak memberi
penjelasan mengenai arti evaluasi, maka pegawai memandang prosedur
tersebut kurang adil (Kaswan, 2017).
Teori Leventhal (1980) mengenai keadilan prosedural dalam Gilliland &
Paddock (2005) selanjutnya mencakup 8 aspek proses keadilan: (1) keadilan
antar orang, (2) keadilan seiring waktu, (3) bebas dari bias, (4) berdasarkan
pada informasi yang akurat, (5) bisa dikoreksi, (6) mewakili semua
kepentingan, (7) berdasarkan standar moral yang ada, dan (8) berdasarkan
standar etis yang ada (Kaswan, 2017).
Thibaut dan Walker’s (1975) meneliti tentang reaksi individu kepada
resolusi perselisihan prosedur pemimpin untuk mengembangkan teori
keadilan prosedural, yang mana mengkhawatirkan dengan pendapat tentang
proses dari keputusan alokasi yang dibuat. Meskipun Thibaut dan Walker’s
(1975) memperkenalkan konsep dari keadilan prosedural, pekerjaan mereka
berfokus pada reaksi pembantah untuk prosedur yang legal. Leventhal dan
rekan-rekannya mendapat pujian untuk memperpanjang dugaan dari keadilan
prosedural menjadi konteks nonlegal seperti pengaturan yang berhubungan
dengan organisasi (Leventhal, 1980; Leventhal et al., 1980). Leventhal dan
rekannya juga memperluas daftar dari faktor-faktor keadilan prosedural
melebihi konsep dari proses kontrol. Teori Leventhal mengenai pendapat
keadilan prosedural berfokus pada enam kriteria, yaitu prosedur harus :
a) Diterapkan secara konsisten untuk seluruh orang dan waktu
b) Bebas dari bias
c) Memastikan informasi yang akurat dikumpulkan dan digunakan
dalam membuat keputusan
d) Memiliki beberapa mekanisme untuk mengoreksi kesalahan dan
keputusan yang tidak sesuai
e) Sesuai dengan pribadi dan standar yang berlaku secara moral atau
etika
f) Memastikan bahwa opini dari banyak grup dipengaruhi oleh
keputusan yang telah diambil (dalam jurnal : Bakhshi, A., 2009)
Ketika pegawai menganggap tingkat keadilan prosedural di
perusahaannya tinggi, mereka akan terdorong untuk terlibat aktif dalam tiap
kegiatan, mengikuti aturan-aturan yang ada, dan menerima hasil yang
relevan sebagai suatu keadilan. Namun, bila pegawai menganggap lebih
banyak ketidakadilan prosedural, maka mereka cenderung menarik diri dari
kesempatan berpartisipasi, kurang memperhatikan aturan dan kebijakan, dan
melihat hasil yang relevan sebagai sesuatu yang tidak adil. Selain itu,
ketidakadilan prosedural mungkin disertai dengan penafsiran yang
didasarkan kekuasaan dan perilaku politik orang atau pihak lain (Kaswan,
2017).
Dari pemaparan beberapa tokoh di atas, berikut ini kelompok kami
hendak menyimpulkan perkembangan, perbedaan dan persamaan teori-teori
terkait keadilan prosedural. Pertama oleh Griffin Moorhead, bahwa keadilan
prosedural dipersepsi oleh seorang karyawan bila dalam pengambilan
keputusan untuk berbagai hasil diupayakan melalui proses yang adil. Apabila
terdapat ketidakjelasan makna dari hasil atau evaluasi dan bagaimana
pelaksanaannya maka dipersepsikan prosedur kurang adil. Kedua, Thibaut &
Walker’s lebih menyoroti pada reaksi kontra yang dilakukan dari para
pegawai sebagai timbal balik terhadap peraturan-peraturan organisasi atau
perusahaan. Ketiga, Leventhal memperluas konsep dari keadilan prosedural
dalam enam kriteria yang lebih rinci. Persamaan dari ketiga tokoh tersebut
tentang keadilan prosedural adalah adanya mekanisme pengaturan organisasi
secara adil dan bila terjadi ketidakadilan prosedural maka pegawai akan
memberikan respon yang kontraproduktif terhadap organisasi atau
perusahaan.
3. Keadilan Intrerpersonal
Keadilan interpersonal merupakan persepsi mengenai tingkat keadilan
bagaimana mereka diperlakukan oleh orang lain dalam sebuah organisasi
(Griffin & Moorhead, 2014). Rathore & Sen (2017) menyatakan bahwa
keadilan interpersonal mengacu kepada derajat kepercayaan karyawan
bahwa mereka diperlakukan dengan martabat, hormat dan sensitif oleh
atasan dan rekan kerja mereka di organisasi. Persepsi keadilan interpersonal
yang dimiliki oleh anggota akan sangat memengaruhi bagaimana perasaan
anggota tersebut terhadap orang yang berinteraksi dan berkomunikasi
dengannya. Jika mereka mempersepsikan bahwa perlakuan yang mereka
terima sesuai dengan keadilan interpersonal maka mereka cenderung
membalasnya dengan memperlakukan orang lain dengan rasa hormat dan
terbuka.
Pegawai yang mengalami ancaman dan perlakuan kasar di tempat kerja,
cenderung berhenti kerja dan memiliki tingkat kesejahteraan dan kepuasan
kerja yang rendah. Hal ini terbukti dalam riset yang menunjukkan bahwa
perlakuan kasar dari yang pemegang otoritas menyebabkan kepuasan hidup
dan kerja yang rendah, komitmen organisasi yang rendah, konflik antara
pekerjaan dan keluarga, serta tekanan psikologis (Ivan Cevich, Konopaske,
dan Mattenson, 2011).
4. Keadilan Informasi
Griffin & Moorhead (2014) mengemukakan bahwa keadilan informasi
mengacu kepada persepsi keadilan yang dimiliki karyawan mengenai
informasi yang digunakan untuk sampai pada keputusan yang dibuat dalam
organisasi. Keadilan informasi akan terwujud ketika pemegang otoritas
memenuhi dua aturan, yaitu aturan justifikasi yang menyatakan bahwa
pemegang otoritas seharusnya menjelaskan prosedur dan hasil pembuatan
keputusan dengan cara yang jelas dan logis. Kedua, aturan kejujuran yang
mengatur bahwa komunikasi yang terjadi harus jujur dan apa adanya
(Colquitt, LePine, dan Wesson, 2013).
5. Keadilan Deontik
Istilah deontik merujuk kepada tanggung jawab moral atau mengikuti
aturan-aturan moral. Keadilan deontik merupakan bentuk keadilan organisasi
yang berdasar pada tindakan moral yang benar bagi organisasi maupun
individu (Landy & Conte, 2010).Hal ini terjadi ketika individu yang berusaha
mengoreksi ketidakadilan akan terlibat dalam aktivitas berkerja melawan
kepentingannya sendiri. Sebagai contoh psikolog bernama David Morris yang
tetap tinggal di Iraq meskipun setiap hari hidupnya terancam, ia melakukan
hal itu karena merasa bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.

b. Keadilan pada level Kelompok


Keadilan pada level kelompok atau biasa disebut dengan iklim keadilan
merupakan persepsi kelompok pegawai terhadap organisasi dilihat dari
kebijakannya, praktik, hasil, prosedur, imbalan dan hubungan interpersonal
dalam organisasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam suatu
kelompok, karyawan memiliki informasi dan pengalaman yang sama, karena
mereka berada pada kebijakan yang sama.
2. Dampak utama, Interaksi Bentuk Keadilan dan Keadilan vs Ketidakadilan
A. Dampak Utama
Yang menonjol dalam hal ini adalah model dua faktor yaitu yang
berargumen bahwa keadilan distributif, jika dibandingkan dengan keadilan
prosedural, prediktor lebih baik terhadap reaksi individu terhadap keputusan
alokasi khusus. Data yang mendukung model dua faktor membawa banyak
pakar mengajukan usulan bahwa keadilan prosedural, jika dibandingkan dengan
keadilan distributif, secara khusus penting untuk memelihara royalitas terhadap
institusi.
B. Interaksi Bentuk Keadilan
Keadilan distributif merupakan prediktor kuat sikap dan perilaku yang
terkait dengan pekerjaan ketika prosedur tidak adil. Secara umum dapat
dikatakan, individu akan cukup toleran terhadap ketidakadilan distributif jika
prosedur alokasi dipandang adil. Akan tetapi jika baik hasil maupun prosedur
tidak adil, reaksi pegawai secara khusus negatif.
C. Keadilan vs Ketidakadilan
Ketika seorang pegawai mengalami ketidakadilan, maka pegawai tersebut
cenderung mengalami penurunan motivasi, dan memperlihatkan perilaku buruk.
Sedangkan pegawai yang diperlakukan secara adil, maka dia akan lebih
termotivasi untuk bekerja. Biasanya, karyawan membandingkan dirinya dengan
karyawan lain untuk mengetahui apakah dia diperlakukan secara adil atau tidak.
Misalnya ketika karyawan digaji sesuai dengan apa yang dia berikan pada
perusahaan, maka karyawan tersebut semakin termotivasi untuk bekerja lebih
giat lagi.

Kasus

Sumber : https://beritagar.id/index.php/artikel/berita
Nasib miris para buruh es krim Aice di Bekasi
Ada beragam jenis es krim kekinian yang beredar di pasaran. Rasanya pun
beraneka, mulai dari rasa kue hingga buah-buahan. Salah satu yang populer karena rasa
buahnya ialah merek Aice. Es krim yang berinduk perusahaan di Singapura ini memiliki
16 varian rasa dan terus bertambah. Mulai dari jagung, semangka, cokelat, pisang,
mangga, sampai talas. Harga yang dibanderol pun terbilang cukup murah, yakni hanya
berkisar antara Rp2 ribu hingga Rp10 ribu. Namun di balik popularitasnya berembus
kabar tak sedap.
Aice diberitakan tidak membayar ratusan buruhnya dengan sebagaimana mestinya.
Dilansir Kumparan, sejak Kamis (2/11/2017), 644 orang buruh yang berjasa dalam
memproduksi es krim ini melakukan mogok kerja hingga 16 November 2017 (15 hari).
Berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan oleh Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan
(SEDAR), keputusan untuk mogok kerja ini diambil setelah dua kali perundingan
dengan pihak perusahaan mengalami jalan buntu.
Disampaikan pula beberapa fakta ketidakadilan yang dialami para buruh di
perusahaan yang terletak di Jl. Selayar II Blok H No. 10, Telajung, Cikarang Barat,
Bekasi, Jawa Barat. Antara lain, para calon buruh harus rela membayar Rp2 juta hingga
Rp3,5 juta agar bisa bekerja di PT. Alpen Food Industry --perusahaan yang menaungi
Aice. Itu pun belum luput dari serangkaian tes.
"Kami kan menurut undang-undang harusnya tidak pakai tes-tesan lagi," ujar Panji
Novembri, Ketua Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI), yang juga bekerja
di pabrik es krim Aice. Namun setelah resmi bekerja, para buruh justru mengalami
berbagai ketidakadilan, bahkan sekadar menerima hak-hak dasar pekerja.
Sekitar 50 persen buruh Aice tidak mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan. Ijazah
para buruh pun ditahan perusahaan yang pernah memenangi Excellent Brand Award
2017 ini. Upah sebesar Rp3,5 juta yang diterima buruh per bulan pun masih harus
dibagi per jumlah hari kerja. Jadi apabila seorang buruh absen bekerja, meskipun
dengan alasan sakit, gajinya akan tetap dipotong.
Para buruh juga mendapat kontrak seperti pekerja harian. Buruh yang dikontrak
selama enam bulan hingga satu tahun tiada henti menerima perpanjangan kontrak.
Sebanyak 16 orang bahkan mengalami perpanjangan kontrak kerja empat hingga
delapan kali.
Tak lama setelah aksi mogok kerja dilakukan dan berita menyebar ke media sosial,
Sarinah --juru bicara SEDAR yang turut aktif bersuara-- mengaku mendapatkan teror.
Seseorang yang mengaku dari pihak Aice meneleponnya dan menyuruhnya untuk
menghentikan aksi. Selain itu pihak yang tak menyebutkan nama tersebut menyuruh
Sarinah untuk menghapus semua unggahannya tentang aksi mogok kerja para buruh.
"Dia tanya nama saya dan langsung marah-marah, menyuruh saya agar menghapus
postingan saya di website dalam 10 menit disertai dengan permohonan maaf karena
katanya itu merupakan bentuk pencemaran perusahaan. Kalau tidak, pihaknya akan
lapor polisi," tulisnya dalam status di Facebook pribadinya. Sebagai juru bicara para
buruh, Sarinah juga menyatakan bahwa pihaknya tak menuntut macam-macam, kecuali
ingin hak sebagai buruh dipenuhi sebagaimana yang diatur dalam UU yang berlaku.
Aksi ini mulai mendapat titik terang. Hari ini (6/11), sekitar pukul 13.00 WIB,
melalui akun twitter @pembebasanBDG, Serikat gerakan Buruh Bumi Indonesia
mengumumkan hasil perundingan dengan PT. Alpen Food Industry yang disaksikan
oleh pihak Dinas Tenaga Kerja kabupaten Bekasi dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Akun Twitter itu menyebutkan bahwa perusahaan akan memekerjakan kembali para
buruh yang terkena PHK. Perusahaan juga akan berusaha memenuhi tuntutan
pengangkatan pegawai tetap. Meski demikian, buruh akan kembali melakukan aksi
mogok apabila segala hal itu tidak diungkapkan dalam Surat Keputusan Pengangkatan
Karyawan yang berlandaskan hukum. Pada hari ini pula buruh menunjukkan itikad
dengan berhenti mogok dan bekerja kembali.
Di luar negeri, kasus serupa sedang diperjuangkan oleh para buruh yang bekerja
untuk jenama pakaian ternama Zara. Mereka mengklaim tidak dibayar dalam bekerja.
Dikutip dari New York Post, Senin (6/11), buruh lepasan di pabrik Zara dan ritel
lainnya menitipkan pesan itu dalam tag tersembunyi di dalam pakaian buatan
mereka.Tag tersebut berbunyi, "Saya membuat barang yang akan Anda beli ini, tapi
saya tidak dibayar untuk itu". Para konsumen pun tergerak dan mendukung kampanye
para buruh untuk memaksa Zara membayar upah para buruhnya. Tag ini juga
menjelaskan bahwa para buruh dipekerjakan oleh Bravo, pabrik yang berada di Istanbul,
Turki. Namun pabrik tersebut tutup sejak tahun lalu. Padahal Bravo masih berutang gaji
buruh dan beberapa tunjangan lainnya selama tiga bulan. Inditex, perusahaan induk
Zara, menyatakan telah memenuhi semua kewajiban kepada Bravo. Namun mereka
berjanji akan membantu mencarikan solusi bagi para buruh.
Review Jurnal

Review Jurnal 1 (Prisca Nanda P. – 169114064)


Bakshi, A. (2009). Organizational justice perceptions as predictor of job satisfaction and
organization commitment. International Journal of Business and Management, 4(9),
145-154.

1. Hipotesis hubungan antara memahami keadilan organisasi; komitmen organisasi


dan kepuasan kerja
Hipotesis 1: Keadilan distributif berhubungan positif dengan kepuasan kerja.
Hipotesis 2: Keadilan prosedural berhubungan positif dengan kepuasan kerja.
Hipotesis 3: Keadilan distributif berhubungan positif dengan komitmen
organisasi.
Hipotesis 4: Keadilan prosedural berhubungan positif dengan komitmen
organisasi.
2. Sampel
Sampel untuk penelitian ini sekitar 128 pegawai yang bekerja di kampus
kedokteran. Sebanyak 67.36% responden yang diperoleh (128 dari 190
keseluruhan responden). Jenis kelamin untuk sampel yaitu 61.71% adalah laki-
laki (N=79) dan 38.28% adalah wanita (N = 49). Rata-rata usia dari seluruh
responden adalah 30,4 tahun (SD=3,25). Dan rata-rata responden telah bekerja
selama 32 bulan (SD=25.31).
3. Variabel
Variabel terkontrol: Usia, jenis kelamin, dan kepemilikan pekerjaan
Variabel prediktor: Keadilan distributif dan keadilan prosedural
Variabel kriteria: Kepuasan kerja dan komitmen organisasi

4. Hasil
Untuk mendukung hipotesis 1, keadilan distributif berkorelasi positif
dengan kepuasan kerja (r = .61, p < .01). Selain itu, keadilan prosedural
berkorelasi positif dengan kepuasan kerja (r = .59, p < .01), mendukung
hipotesis 2. Keadilan distributif juga berkorelasi positif dengan komitmen
organisasi (r = .91, p < .01), mendukung hipotesis 3. Terakhir, keadilan
prosedural berkorelasi positif dengan komitmen organisasi (r = .60, p < .01),
untuk mendukung hipotesis 4.
Bakshi, A. (2009). Organizational justice perceptions as predictor of job satisfaction and
organization commitment. International Journal of Business and Management, 4(9),
145-154.

Review Jurnal 2 (Yustine Widhi M – 169114144)

Al-Zu'bi, H. (2010). A Study of Relationship between Organizational Justice and Job


Satisfaction. International Journal of Business and Management. 102-109.

1. Hipotesis : tidak ada hubngan yang signifikan antara keadilan organisasi dengan
kepuasan kerja

2. Variabel :

Variabel bebas: keadilan organisasi

Variabel terikat : kepuasan kerja

3. Subjek: 229 karyawan perusahaan listrik di Yordania.

4. Metode : dengan membagikan kuisioner. data dan sampel diambil menggunakan


sampel acak. Dari 250 karyawan yang terpilih

, sebanyak 238 karyawan mengembalikan kuisioner, tetapi 9 kuisioner ditolak karena


respon yang diberi tidak lengkap. Maka 229 responden lah yang digunakan untuk
analisis data.

5. Hasil : terdapat hubungan yang kuat antara keadilan organisasi dengan kepuasan
kerja (r = .19, p < .05) dan semua dimensi kerja berkorelasi positif dengan kepuasan
kerja.

6. Saran : untuk penelitan selanjutnya, peneliti diharapkan menilai kemugkinan


penyebab dan akibat hubungan antara keadilan organisasi dan kepuasan kerja.
Review Jurnal 3 (Rossana Ayu Hanna W - 139114023)

Fatt, C. K., Khin, E. W. S., & Heng, T. N. (2010). The impact of organizational justice
on employee's job satisfaction: The Malaysian companies perspectives. American
Journal of Economics and Business Administration, 2(1), 56.

Penelitian yang dilakukan Fatt, Khin, dan Heng (2010) memiliki variabel
independen keadilan organisasi. Variabel tersebut terdiri dari keadilan distributif dan
keadilan prosedural. Sedangkan variabel dependen pada penelitian ini adalah perilaku
yang muncul pada karyawan yang terdiri dari kepuasan kerja, komitmen organisasi,
intensi turnover.
Metode penelitian yang digunakan merupakan pengisian kuisioner yang terdiri
46 pertanyaan dengan 5 pilihan jawaban yang mengacu pada skala Likert. Skala yang
digunakan terdiri dari skala kepuasan kerja (6 aitem), skala komitmen organisasi (6
aitem), skala intensi turnover terdri dari (5 aitem), skala keladilan distributif (5 aitem),
skala keadilan prosedural (19 aitem), namely fairness (4 aitem), komunikasi dan
partisipasi karyawan (7 aitem). Subjek penelitian merupakan karyawan yang bekerja
pada perusahaan berskala kecil di Klang Valley, Malaysia sebanyak 300 orang.
Hasil yang ditunjukan yaitu terdapat korelasi antara keadilan distributif, keadilan
prosedural dan kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif namun lemah dengan
Pearson 0,282. Selain itu, pada hubungan keadilan prosedural dan kepuasan kerja
memiliki korelasi Pearson 0,458. Pada analisis regresi, memperoleh nilai R = 0,461 dan
R2 = 0,21. Hal ini menandakan bahwa 21% variansi kepuasan kerja merupakan keadilan
distributif dan keadilan prosedural.
Pada hasil t-test kedua variabel independen diperoleh hasil bahwa keadilan
distributif kurang memberikan kontribusi pada model (0,734 dan p-value 0,46).
Sedangkan keadilan prosedural berkontribusi dengan signifikan pada model (4,977 dan
p-value kurang dari 5%). Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan terhadap
keadilan distributif dengan intensi turnover (-0,339). Keadilan prosedural juga memiliki
hubungan yang negatif dan signifikan dengan intensi turnover (-0,539). Selain itu, pada
analisi regresi yang telah dilakukan sebanyak 29% variasi dari intensi turnover pada
karyawan dapat diwakilkan keadilan distributif dan keadilan procedural.
Review Jurnal 4 (Adriana Kurnia P.M.- 169114110)

Rathore, M., & Sen, C. (2017). Organizational Justice and Organizational Commitment
: A Study on IT Sector. The International Journal of Indian Psychology, 4 (4), 119-124.

Tujuan dari jurnal penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara
keadilan organisasi dan komitmen organisasi pada sektor TI (India). Penelitian itu
dilakukan pada 90 karyawan yang bekerja di sektor TI. Desain Korelasi digunakan
untuk analisa data. Tiga dimensi keadilan organisasi - prosedural, distributif dan
interaksional berkorelasi positif dengan komitmen organisasi di mana distributif
keadilan berkontribusi paling besar terhadap komitmen.
Keadilan organisasional adalah motivator penting bagi karyawan yang bekerja
(Folger & Cropanzano, 1998). Tiga dimensi keadilan adalah distributif, prosedural dan
interaksional. Keadilan organisasional digambarkan sebagai “persepsi individu atau
grup dari perlakuan yang adil yang diterima dari suatu organisasi dan sebagai
konsekuensinya, perilaku karyawan dalam menanggapi perlakuan tersebut (Nadiri &
Tanova, 2010). Keadilan prosedural mengacu pada "Keadilan yang dirasakan dari
kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan dalam organisasi
”(Greenberg, 1990). Keadilan prosedural sebagai dimensi diperkenalkan oleh Thibaut
and Walker (1975). Mereka mempelajari proses keadilan dalam proses hukum. Keadilan
Distributif mengacu pada "keadilan yang dirasakan dari hasil yang diterima karyawan
dari organisasi mereka ”(Folger & Cropanzano, 1998). Interactional Justice mengacu
pada "Kekhawatiran tentang keadilan komunikasi interpersonal" (Bies & Moag, 1986).
Sampel terdiri dari 90 karyawan yang bekerja di industri TI di perusahaan yang
berbeda di India. Para peserta terdiri dari karyawan laki-laki dan perempuan dengan
pengalaman minimal 2 tahun. Kriteria inklusi: Karyawan yang bekerja di tingkat
menengah di perusahaan, karyawan penuh waktu, karyawan dengan pengalaman
minimal 2 tahun di industri TI, karyawan dengan kualifikasi pendidikan minimal b tech.
Kriteria eksklusi: Karyawan yang menjadi pekerja paruh waktu, karyawan dengan
pengalaman kurang dari 2 tahun di industri TI, karyawan dengan kurang dari kualifikasi
yang dibutuhkan.
Hipotesis dari penelitian : tidak akan ada hubungan yang signifikan antara
semua dimensi yang dirasakan keadilan organisasi (prosedural, distributif dan
interaksional) dan komitmen organisasi. Tiga dimensi tidak akan berkontribusi secara
signifikan untuk memprediksi komitmen organisasi.
Alat ukur yang digunakan adalah sebagai berikut :
Peradilan organisasional yang dirasakan: Skala persepsi keadilan organisasional
(Niehoff & Moorman, 1993). Skala terdiri dari tiga sub-dimensi yaitu prosedural,
keadilan distributif dan interaksional. Kuesioner terdiri dari 20 pertanyaan, 5 item untuk
keadilan distributif, 6 item untuk keadilan prosedural dan 9 item yang menggambarkan
keadilan interaksional. Kuesioner diukur pada skala Likert tujuh poin mulai dari 1 =
sangat tidak setuju sampai 7 = sangat setuju.
Komitmen Organisasi: Skala komitmen organisasi (Meyer & Allen, 1997). Itu skala
diukur tiga dimensi komitmen yaitu komitmen afektif, kelanjutan komitmen, dan
normatif. Skala terdiri dari total 18 item, 6 item untuk setiap dimensi komitmen. Skala
ini mengukur skala Likert tujuh poin mulai dari 1 = sangat tidak setuju sampai 7 =
sangat setuju.
Hasilnya menunjukkan bahwa keadilan prosedural (r =, 49, p <0,01), keadilan
distributif (r =, 53, p <0,01) dan keadilan interaksional (r = 0,35, p <0,01) secara positif
dan signifikan berkorelasi dengan organisasi komitmen. Ketiga dimensi keadilan:
prosedural, distributif dan interaksional adalah berkorelasi positif dengan komitmen
organisasi. Ketika para karyawan merasakan kesempatan yang adil untuk promosi dan
penghargaan dalam organisasi, tingkat komitmen meningkat. Keadilan distributif
memberikan pengaruh yang lebih kuat pada komitmen organisasi dibandingkan dengan
keadilan prosedural dan interaksional. Jika karyawan diperlakukan dengan adil,
ketentuan pembayaran, penghargaan, promosi, kebijakan dan komunikasi, mereka
merasa termotivasi dan akan mengungkapkan tingkat komitmen yang lebih tinggi
terhadap organisasi mereka. Karyawan yang merasakan keadilan dalam organisasi
mereka lebih cenderung merasa puas dengan pekerjaan mereka dan kurang cenderung
meninggalkan pekerjaan mereka (Bakhshi, Kumar & Rani, 2009). Karyawan seperti itu
merasa lebih berkomitmen untuk pekerjaan mereka. Karyawan ingin tetap bersama
organisasi karena mereka memiliki perasaan keterikatan dengan organisasi. Analisis
regresi menunjukkan peran yang signifikan antara keadilan organisasi dalam komitmen
organisasi.
Selanjutnya analisis regresi dilakukan, di mana keadilan prosedural, keadilan
distributif dan keadilan interaksional adalah variabel prediktor dan komitmen organisasi
adalah variabel kriteria. Analisis menunjukkan bahwa keadilan distributif muncul
sebagai yang paling utama sebagai prediktor signifikan dari komitmen organisasi.
Temuan ini ditemukan konsisten dengan penelitian lain, yang menyatakan bahwa
keadilan distributif ditemukan menjadi signifikan prediktor komitmen organisasi (Dude,
2012). Tingkat keadilan distributif yang lebih tinggi dikaitkan dengan tingkat komitmen
organisasi yang lebih tinggi. Ketika karyawan merasakan hasil kerjanya relatif terhadap
masukan kerja dalam organisasi, tingkat komitmen mereka meningkat. Organisasi harus
memastikan bahwa hasil kerja seperti gaji, penghargaan didistribusikan secara
proporsional dengan input kerja karyawan. Diskusi transparan dan jelas tentang
tanggung jawab akan membantu semua karyawan memahami mengapa gaji mereka
berbeda dengan rekan-rekan mereka.

Review Jurnal 5 (Yulia Catur T. – 169114143)

Mahrani, S.W., Kamaluddin, M., Takdir, D., & Ansir. (2015). Organizational Justice
and Orgaizational Commitment. International Journal of Science and Research, 4(3),
627-632

Tujuan dari penelitian ini ingin mengetahui pengaruh kebijakan organisasi terhadap
komitmen organisasi pada pekerja pemerintahan di kantor pemerintahan provinsi
Sulawesi Tenggara. Sehingga variabel bebas dari penelitian ini adalah kebijakan
organsisasi dan variabel terikat yaitu komitmen organisasi.

Subjek penelitian adalah pekerja pemerintahan (PNS) yang bekerja di kantor gubernur
Sulawesi Tenggara. Sampel berasal dari 41 kantor kemudian dipilih dengan
menggunakan metode three-stage sampling atau teknik penarikan sampel dengan tiga
tahap. Kemudian didapatkan 97 responden dengan menggunakan Slovian Formula.

Data penelitian didapat dengan menggunakan metode cross section melalui kuesioner
untuk mengetahui pengaruh keadilan organisasi dan komitmen organisasi dari
perspektif universal dan perspektif unit kerja tertentu.

Dari pengumpulan data diketahui bahwa pada indikator keadilan organisasi dalam
penelitian ini, yaitu keadilan distributif, keadlian prosedural, keadilan interaksional dan
keadilan informasional mayoritas memberikan pernyataan yang baik dengan mean 4:10.
Sedangkan pada indikator komitmen organisasi dengan indikator afektif komitmen,
komitmen normatif dan kemitmen continuants responden juga memberikan pernyataan
yang baik dengan mean 3,9. Pengolahan data menggunakan T-statistic diperoleh hasil
yang menunjukkan bahwa keadilan organisasi memiliki pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap komitmen organisasi. Meningkatkan keadilan organisasi dan
komitmen organisasi memiliki peran penting dalam mendukung pencapaian perilaku
karyawan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Zu'bi, H. (2010). A Study of Relationship between Organizational Justice and Job


Satisfaction. International Journal of Business and Management. 102-109.

Bakshi, A. (2009). Organizational justice perceptions as predictor of job satisfaction and


organization commitment. International Journal of Business and Management,
4(9), 145-154.
Fatt, C. K., Khin, E. W. S., & Heng, T. N. (2010). The impact of organizational justice
on employee's job satisfaction: The Malaysian companies perspectives.
American Journal of Economics and Business Administration, 2(1), 56.
Ghazzawi, I. (2008). Antecedents and Consequences of Job Satisfaction: A New
Conceptual Framework. The Business Review, Cambridge. Vol. 11, Num. 2,
December 2008, pp. 1-10.

Kaswan, M.M. (2017). Psikologi Industri dan Organisasi. Bandung: Alfabeta CV


Mahrani, S.W., Kamaluddin, M., Takdir, D., & Ansir. (2015). Organizational Justice
and Orgaizational Commitment. International Journal of Science and Research,
4(3), 627-632

Rathore, M., & Sen, C. (2017). Organizational Justice and Organizational Commitment
: A Study on IT Sector. The International Journal of Indian Psychology, 4 (4),
119-124.

Anda mungkin juga menyukai