Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kesehatan menurut UU Kesehatan Republik Indonesia no.36 tahun

2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mantal, spiritual maupun sosial

yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

ekonomis. Penyelenggaraan upaya kesehatan di lakukan dengan pendekatan

promotif, preventif kuratif dan rehabilitatif yang di laksanakan secara terpadu,

menyeluruh dan berkesinambugan. Pelaksanaan kegiatannya salah satunya

adalah kegiatan kesehatan reproduksi. Dimana di dalamnya terdapat tentang

kesehatan seksual.

Kesehatan seksual merujuk pada keadaan sejahtera secara fisik

mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau

kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan seksulitas seseorang. Setiap

kelompok umur memerlukan pendekatan yang berbeda dalam mengenalkan

kesehatan reproduksi dan seksual, terutama pada anak. Pemahaman dan

pengenalan tentang kesehatan reproduksi dan seksual menjadi informasi

penting di berikan kepada anak sebelum anak berinteraksi dengan lingkungan

sosialnya (Saragih, 2014)

Anak-anak dan remaja rentan terhadap informasi yang salah mengenai

seksualitas. Informasi seksualitas sebaiknya didapatkan anak langsung dari

orang tuanya, namun karena kurangnya pengetahuan orang tua serta

1
kurangnya interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anak menjadi faktor

utama Safita (2016).

Data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak (KPP-PA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun

2008 menyebutkan bahwa prevlensi kekerasan terhadap anak yaitu 3.02%. hal

ini bearti diantara 100 anak terdapat 3 anak yang mengalami kekerasan.

Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling banyak ditemukan

(Kemenkes RI.2014).

Pengertian kekerasan seksual pada anak mengacu pada kegiatan

melibatkan anak di dalam kegiatan seksual, sementara anak tidak sepenuhnya

memahami atau tidak mampu memberi persetujuan. Aktivitas seksual ini

bertujuan untuk mendapatkan kepuasan bagi si pelaku. Kegiatan yang

termasuk di dalam nya adalah prostitusi atau pornografi, pemaksaan

melakukan kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan dan pemaksaan

terhadap anak (IDAI, 2014).

Badan PBB untuk anak-anak, UNICEF (United Nations international

Children’s Emergency Fund) menyebutkan bahwa 1 dari 10 anak perempuan

di dunia mengalami pelecehan seksual (Kristanti, 2014). Perhimpunan

nasional untuk pencegahan kekejaman terhadap anak (NSPCC) menyatakan

pada tahun 2012-2013 ada 18.915 kejahatan seksual terhadap anak di bawah

umur 16 tahun yang tercatat di Inggris dan Wales (Syahputra, 2014).

2
Di negara Eropa Barat dan Amerika Utara, hampir satu dari tiga anak

usia 6 - 15 tahun mengalami kekerasan (BBC,2015). Sedangkan di Indonesia

periode 2010 - 2015 terjadi 43% kasus kekerasan pada anak (KPAI, 2015).

Angka kejadian yang tinggi tersebut berasal dari berbagai laporan dan jenis

kasus. Penelitian Wodres & Nunner (2012) rentang masa usia sekolah, remaja

hingga dewasa awal, pada tingakatan masa anak dalam usia sekolah dan

remaja lebih sering menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual bisa

terjadi di sekolah, rumah dan lokasi lainnya.

Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi yang memiliki angka

kekerasan paling tinggi setelah Jakarta, Aceh, Jawa Timur dan Surabaya untuk

tahun 2014 – 2016 yaitu diatas 63%. Hasil penelitian Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPR dan KB) Sumatera Barat

menemukan 189 kasus kekerasan seksual pada anak tahun 2014 dan sebanyak

246 kasus pada tahun 2015. Berdasarkan laporan Polisi Resort Kota

Bukittinggi tahun 2015 terjadi 20 kasus kekerasan seksual dan pada tahun

2016 terjadi penurunan sebanyak 8 kasus, dan pada tahun 2017 menjadi

peningkatan kembali sebanyak 20 kasus. Jadi dapat disimpulkan bahwa

kekerasan seksual pada remaja terjadi peningkatan (KPAI, 2015)

Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan ada 348.446

kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama

tahun 2017, yang terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data

kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus yang

ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadalayanan, tersebar di 34 Provinsi.

3
Komnas Perempuan mengirimkan 751 lembar formulir kepada lembaga mitra

pengadalayanan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian

mencapai 32%, yaitu 237 formulir. Catatan tahunan Komnas Perempuan

dimaksudkan untuk memaparkan gambaran umum tentang besaran dan bentuk

kekerasan yang dialami oleh perempuan di Indonesia dan memaparkan

kapasitas lembaga pengadalayanan bagi perempuan korban kekerasan.

CATAHU 2018 menunjukkan hal yang baru, berdasarkan laporan kekerasan

di ranah privat/personal yang diterima mitra pengadalayanan, terdapat angka

kekerasan terhadap anak perempuan yang meningkat dan cukup besar yaitu

sebanyak 2.227 kasus. Sementara angka kekerasan terhadap istri tetap

menempati peringkat pertama yakni 5.167 kasus, dan kemudian kekerasan

dalam pacaran merupakan angka ketiga terbanyak setelah kekerasan terhadap

anak yaitu 1.873 kasus (R. Hassanet al,. 2018)

Pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2018, untuk

kekerasan seksual di ranah privat/personal, incest (pelaku orang terdekat yang

masih memiliki hubungan keluarga) merupakan kasus yang paling banyak

dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus, kedua adalah kasus perkosaan

sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555

kasus. Dari total 1.210 kasus incest, sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke

polisi, dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%).

CATAHU juga menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di

ranah privat/personal adalah pacar sebanyak 1.528 orang, diikuti ayah

kandung sebanyak 425 orang, kemudian diperingkat ketiga adalah paman

4
sebanyak 322 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung dan paman selaras

dengan meningkatnya kasus incest (Perempuan, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni tahn 2016, didapatkan bahwa

kekerasan seksual sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki – laki dan

pada orang dewasa, tapi kenyataannya anak – anak dan remaja pun bisa

berisiko dan menjadi korban kekerasan seksual. Komisi Perlindungan Anak

Nasional mencatat angka kekerasan seksual pada remaja meningkatkan 40%

setiap tahunnya dari tahun 2011 sampai 2017.

Penelitian Ligina pada tahun 2018 menyebutkan bahwa faktor yang

menyebabkan terjadinya kekerasan seksual pada anak antara lain kurangnya

pendidikan agama, kemudian faktor dari luar seperti pergaulan bebas tanpa

kendali orangtua yang menyebabkan mereka merasa bebas untuk melaukan

apa saja yang diinginkan serta perkembangan teknologi media komnkasi yang

semakin canggih yang memperbesar kemungkinan dapat mengakses apa saja

termasuk hal-ha yang negatif.

Hasil penelitian Jatmiko, Tri Endang tahun 2015, menyebutkan bahwa

terdapat hubungan antara peran orang tua terhadap kejadian kekerasan seksual

pada anak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh ria dan ernawati tahun

2015, dari hasil penelitiannya yang berjudul faktor yang berhubungan dengan

kekerasan pada anak didapatkan bahwa terdapat adanya hubungan antara

pengaruh media informasi terhadap kejadian kekerasan seksual pada anak,

hasil analisis penelitiannya adanya kemudahan dalam menemukan berbagai

macam informasi termasuk informasi yang berkaitan dengan masalah seks,

5
merupakan salah satu faktor yang bisa menjadikan sebagian besar remaja

terjebak dalam perilaku seks yang tidak sehat. Berdasarkan hasil penelitian

Mashudi tahun 2015, bahwa anak yang berada dalam kondisi keluarga

bercerai mengalami resiko kekerasan seksual 5,8 kali lebih besar

dibandingkan anak yang berada dalam keluarga yang tidak bercerai. Hal ini

kemungkinan berkaitan dengan adanya kesempatan bagi anak untuk

memperoleh perhatian yang lebih dari orang lain atau keluarga yang lain.

Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah

komunitas adalah pencabulan (911 kasus), pelecehan seksual (708 kasus),dan

perkosaan (669 kasus). Di Ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara, dari

sebanyak 247 kasus. (Perempuan, 2017). Data UPT P2TP2A Bulan februari

2018 jumlah korban kekerasan terhadap anak perempuan 169 orang, Jakarta

timur 41 orang, jakarta barat 33 orang, jakarta pusat 31 korban, jakarta selatan

30 korban, jakarta utara 29 korban (Handayani, 2018).

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Tahun 2011, 216

kasus, Tahun 2014 656 kasus, 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015.

Sementara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual

terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116 kasus, hingga

akhir februari 2018 tercatat 223 kasus. Sebanyak 3,581 kasus pengaduan

masyarakat, 414 kasus merupakan kasus kejahatan cyber. Pelakunya dengan

jenjang pendidikan SD korbanya 41,1%,SMP 35,5%, SMA 6,1 %,Tamat SD

4,6%, Tidak Sekolah 6,6%. Umur anak berkonflik hukum terbanyak adalah

6
umur 17 tahun (41,1%), umur 16 tahun (23,9%) dan dan umur 18 tahun

(17,8%) (Noviana, 2015).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Meningkatnya tindak kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten

Tangerang memerlukan strategi penanganan yang terpadu. Berdasarkan data

diatas didapatkan bahwa kekerasan terhadap anak perempuan meningkat pada

tahun 2018 dan cukup besar yaitu 2.227 kasus. Maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor Kejadian Kekerasan

Seksual Pada Anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan aAnak Kabupaten Tangerang Tahun 2019”

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisis faktor terjadinya kekerasan seksual pada anak

diwilayah kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan

Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian kekerasan seksual pada anak

di wilayah kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan

dan Anak di Kabupaten Tangerang tahun 2019.

7
b. Mengetahui distribusi frekuensi kepribadian terhadap kekerasan seksual

pada anak di wilayah kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019.

c. Mengetahui distribusi frekuensi religiusitas terhadap kekerasan seksual

pada anak di wilayah kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019.\

d. Mengetahui distribusi frekuensi peran orang tua terhadap kekerasan

seksual pada anak di wilayah kerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019.

e. Mengetahui distribusi frekuensi pendidikan orang tua terhadap

kekerasan seksual pada anak di wilayah kerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019.

f. Mengetahui ditribusi frekuensi status orang tua (bercerai / tidak

bercerai) terhadap kekerasan seksual pada anak di wilayah kerja Pusat

Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten

Tangerang tahun 2019.

g. Mengetahui distribusi frekuensi pengaruh sosial media terhadap

kekerasan seksual pada anak di wilayah kerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019.

h. Mengetahui hubungan antara kepribadian, religiusitas, peran orang tua,

pendidikan orang tua, status orang tua (bercerai/tidak bercerai), dan

pengaruh sosial media terhadap kejadian kekerasan seksual pada anak

di wilayah kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan

dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019.

8
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan sebagai sumber bacaan, tambahan kepustakaan dan

sebagai bahan acuan tentang analisis faktor yang berhubungan dengan

kekerasan seksual pada anak.

1.4.2 Bagi Tempat Penelitian

Sebagai bahan acuan dalam upaya peningkatan pelayanan pada

anak-anak korban kekerasan seksual.

1.4.3 Bagi keluarga

Sebagai gambaran atau pembelajaran guna mengidentifikasi

penyebab kekerasan seksual pada anak.

9
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pengertian Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah tindakan yang mengarah pada ajakan

seksual tanpa persetujuan. Ini juga termasuk tindakan seksual terhadap

anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada anak atau individu yang

terlalu muda untuk menyatakan persetujuan, ini disebut dengan pelecehan

seksual terhadap anak (Fuady, 2011)

Kekerasan seksual merupakan segala bentuk sentuhan yang tidak

senonoh dan tindakan sosial. Adanya kekerasan seksual yang terjadi,

berarti telah terjadinya kasus serius ditengah masyarakat. (Yulaeni, 2015)

Kasus kekerasan terhadap anak dan remaja selama ini menjadi persoalan

besar di seluruh dunia dan Indonesia. United Nation Children’s Fund

(UNICEF) melaporkan kasus kekerasan pada remaja di dunia mencapai

120 juta (Anthony, 2015). Jenis kasus kekerasan yang sering terjadi pada

anak dan remaja meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologis,

penelantaran, bullying dan kekerasan seksual (Hartono,2015). Diantara

jenis kekerasan tersebut, kekerasan seksual yang paling mendominasi

(Mulyadi.S ; Erlinda,2016)

10
Kekerasan seksual pada remaja merupakan masalah serius yang

dihadapi dunia begitu juga Indonesia. Kekerasan seksual pada remaja

adalah semua aktivitas seksual yang dilakukan dengan paksaan atau

ancaman oleh orang dewasa atau teman sebayanya (Finkelhor,2010;

Shaul,2012). Huraerah (2012) menyimpulkan kekerasan seksual

merupakan pemaksaan, ancaman atau keterperdayaan seseorang dalam

aktivitas seksual. Berdasarkan teori diatas kekerasan seksual merupakan

bentuk aktivitas seksual yang dilakukan secara paksaan dan mengancam

seseorang. Akibat perilaku kekerasan seksual ini tentu akan berdampak

pada kehidupan selanjutnya.

Kekerasan seksual akan mempengaruhi perkembangan dan masa

depan remaja. Menurut Gaskil dan Perry (2016) dampak kekerasan seksual

akan berpengaruh pada pertumbuhan fisik, psikologis dan perkembangan

psikososial. Selain itu, mereka dapat mengalami depresi, stres pasca

trauma, 2 kegelisahan, pikiran bunuh diri, gangguan makan, dan isolasi

sosial yang dapat berlanjut hingga dewasa ( Haileye, Gordana & Dragana,

2017). Studi lainnya melaporkan dampak kekerasan seksual dapat

menganggu kesehatan mental seperti bunuh diri, kehamilan yang tak

diinginkan, komplikasi ginekologi dan HIV (Jewkes, 2012 ; Mathew et al,

2017).

Yusuf dan Erlinda (2016) menyebutkan ada 8 faktor yang

menyebabkan kekerasan seksual antara lain:

1. Keluarga yang mengalami broken home

11
2. Pola asuh orang tua yang tidak sehat

3. Mudahnya mendapatkan konten pornografi

4. Tingginya angka kemiskinan dan

5. Tingginya angka pengangguran

6. Rentannya ketahanan keluarga

7. Kecendrungan korban kejahatan seksual yang belum tertangani

8. Rendahnya efek jera

Sedangkan Huraerah (2010) menyebutkan kekerasan seksual terjadi karena:

1. lemahnya pengawasan orang tua dalam media elektronik

2. anak mengalami cacat (keterbelakangan, autisme, dll)

3. keluarga yang belum matang secara psikologis

4. kesibukan orang tua dan

5. kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak

Berdasarkan jenis kelamin anak perempuan lebih rentan tujuh kali

dibandingkan laki- laki menjadi korban kekerasan seksual. Anak dengan

lingkungan yang kurang bagus lebih rentan dari pada anak yang tinggal

dilingkungan yang bagus dan aman. Data statistic hanya menunjukan “trip of

iceberg” ujung dari batu es karena dalam kenyataannya banyak korban kekerasan

seksual yang belum terdata dengan baik. Hopper (2015)

Sulitnya diperoleh data yang akurat karena :

a. Batasan pengertian seksual pada remaja cukup beragam dan dipengaruhi oleh

sudut pandang

b. Data yang diperoleh data pengalaman orang dewasa dimasa kecil mereka

12
c. Data yang diperoleh hanya berdasarkan kasus yang ada.

Faktor predisposisi yang mempengaruhi kekerasan seksual pada remaja salah

satunya adalah pengetahuan. Pengetahuan yang didapat oleh remaja baik secara

internal maupun eksternal. Kurangnya pengetahuan orang tua dan remaja dan

informasi menjadi faktor utama untuk terjadinya kekerasan seksual pada remaja.

(Fisnawati, 2016)

Faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap remaja tentang

kekerasan seksual, pekerjaan orang tua dan kepatuhan terhadap norma agama dan

sosial budaya lingkungan. Faktor ini mempengaruhi resiko terjadinya kekerasan

seksual pada remaja, karena kurangnya Pengetahuan remaja meliputi pengertian,

jenis, dan tanda gejala kekerasan seksual pada remaja. Selain itu orang perlu tahu

siapa yang berpotensi menjadi pelaku, dan anak yang berpotensi menjadi korban.

Remaja wajib dibekali pengetahuan untuk mencegah tindak kekerasan seksual.

Selain pengetahuan, sikap remaja tentang kekereasan seksual merupakan dampak

negatif dan positif. Sikap positif akan cendrung mendekati prilaku kekerasan

seksual, sedangkan sifat negatif akan cendrung menjauhi perilaku kekerasan

seksual. (Anindyajati, 2015)

Pertiwi, (2016) menyebutkan bahwa 80% remaja memiliki sikap negatif

terhadap kekerasan seksual. Sikap memiliki 3 komponen diantaranya:

1. Komponen kognitif

2. komponen afektif

3. komponen konatif / psikomotor.

Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan

penelantaran terhadap anak diantaranya: kemiskinan dalam masyarakat

13
dan tekanan nilai materialistis, kondisi sosial ekonomi yang rendah.

Lingkungan sosial yang tidak sehat akan memberikan pengaruh besar

kepada pembentukan kebiasaan atau perkembangan remaja (Sunarto,

2015).

Handayani (2016) melaporkan bahwa komunikasi antara orang tua

dan anak sangat diperlukan untuk menghindari perilaku kekerasan seksual.

Sedangkan menurut Alnatoura (2016) mengatakan, pengetahuan remaja

tentang child sexual abuse dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Perlakuan orang tua melalui pola asuh demokratis menurut Einstenz

(2015) menjadi solusi alternatif pencegahan kekerasan seksual pada k.

Sejalan dengan itu, penelitian Hargono R (2014) juga melaporkan bahwa

pendidikan orang tua, usia orang tua, dan pola asuh berhubungan dengan

pencegahan kekerasan seksual. Meskipun demikian, peran dari semua

pihak sangat dibutuhkan dalam upaya pencegahan, termasuk lingkungan

pendidikan dan sekolah (Aini, 2016)

Hasil survey diatas sejalan dengan beberapa hasil penelitian

berikut: Menurut Rahmah (2015) bahwa terdapat hubungan antara

pengetahuan, sikap remaja dengan kejadian kekerasan seksual. Penelitian

Amanda (2012) melaporkan adanya hubungan pengetahuan, sikap,

pendidikandan media informasi dengan 8 perilaku seksual remaja.

Sedangkan Qomarasari (2015) menyebutkan adanya hubungan media

informasi dan norma agama dengan perilaku seksual remaja.

Kekerasan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam

bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual

14
(sexual intercouse), melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta

meninggalkan seseorang, termasuk mereka yang masih berusia anak-anak,

setelah melakukan hubungan seksualitas. (Suyanto, 2010)

Kekerasan seksual memiliki dampak serius bagi korban dari segi

psikologi yaitu dapat menyebabkan penurunan harga diri, menurunnya

kepercayaan diri, kecemasan, ketakutan terhadap perkosaan atau terhadap

tindak kriminal lainnya. Pada anak dapat terjadi gejala depresi, rasa tidak

berdaya, merasa terisolasi, mudah marah, ketakutan, kecemasan, hingga

penyalahgunaan zat adiktif. Dampak fisik dari kekerasan seksual dapat

berupa gangguan kehamilan akibat kehamilan yang tidak diinginkan yang

merupakan efek dari perkosaan, gangguan kesehatan seksual atau

reproduksi dapat berupa penyakit menular seksual, dan risiko bunuh diri

pada korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual juga dapat berdampak

pada kehidupan sosial korban berupa masalah dengan kebudayaan korban

yang menjadikan gangguan interaksi dengan orang sekitar, masalah harga

diri dimana dibeberapa negara pemerkosa diwajibkan menikahi korban

untuk menebus kesalahan untuk menjaga nama baik keluarga korban, hal

ini cenderung menyebabkan masalah rumah tangga, dan masalah dalam

penilaian sosial (WHO, 2017).

Menurut data World Health Organization (WHO), pada tahun 2010

sekitar 20% perempuan dan 5-10% lakilaki di dunia pernah mengalami

kekerasan seksual pada masa kanakkanak. Menurut National Sex Offender

Public Website (NSOPW) 9,3% dari kasus penganiayaan anak-anak pada

15
tahun 2012 digolongkan sebagai pelecehan seksual dan pada tahun 2012

terdapat 62.939 kasus pelecahan seksual anak dilaporkan

Menurut United Nations International Children’s Emergency Fund

(UNICEF) (2014) mengungkapkan bahwa sekitar 120 juta anak diseluruh

dunia atau lebih dari 100 anak telah menjadi korban pelecehan seksual di

bawah usia 20 tahun. Di Indonesia sendiri menurut Komisi Perlindungan

Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2010 angka kekerasan pada anak

semakin meningkat. Menurut KPAI dari 1717 kasus pengaduan yang

masuk, terjadi 1164 kasus terkait dengan kasus kekerasan pada anak, dan

dari semua kasus kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kasus

kekerasan seksual pada anak sebanyak 553 kasus. Pada tahun 2011 terjadi

2.275 kasus kekerasan pada anak, sebanyak 887 diantaranya adalah

kekerasan seksual pada anak. Pada tahun 2012 kekerasan pada anak terjadi

3.871, sebanyak 1.028 diantaranya adalah kekerasan seksual pada anak.

Tahun 2013 terjadi 2.673 kekerasan yang terjadi pada anak, sebanyak

1.266 diantaranya adalah kekerasan seksual pada anak.

Menurut jumlah kasus yang ditangani oleh Unit Pelaksana Teknis

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT

P2TP2A) Kota Bandung pada tahun 2012 ada 3 kasus kekerasan terhadap

anak, pada tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi 17 kasus kekerasan

terhadap anak, pada tahun 2014 peningkatan kembali terjadi yaitu 58 kasus

kekerasan terhadap anak, dan pada tahun 2015 terjadi penurunan menjadi

25 kasus kekerasan terhadap anak, tetapi pada tahun 2016 terjadi

16
peningkatan kembali menjadi 41 kasus kekerasan terhadap anak (UPT

P2TP2A, 2017).

Menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT),

kekerasan seksual terhadap anak merupakan hubungan atau interaksi

antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa

seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak

dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku.

Konteks kekerasan seksual pada anak merupakan suatu bentuk

kekerasan seksual dimana anak sebagai objek kekerasan atau dapat

diartikan sebagai korban kekerasan seksual. Kekerasan Seksual terhadap

anak dengan istilah child sexual abuse didefinisikan sebagai suatu

tindakan perbuatan pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual

maupun aktivitas seksual lainnya, yang dilakukan oleh orang dewasa

terhadap anak-anak, dengan kekerasan maupun tidak, yang dapat terjadi

diberbagai tempat tanpa memandang budaya, ras, dan sastra masyarakat.

Korbannya bisa anak laki-laki maupun anak perempuan, akan tetapi anak

perempuan lebih sering menjadi target kekerasan seksual daripada anak

lakilaki. (Hairi, 2015)

Baker dan Dunken menggunakan definisi yang lebih luas, tetapi

dengan umur yang terbatas sekitar (usia 14-16 tahun). Menurut Baker dan

Dunken kekerasan seksual pada anak merupakan suatu bentuk kekerasan

yang dimana seorang anak dilibatkan dalam kegiatan yang bertujuan untuk

mengakibatkan gairah seksual pada pihak yang mengajak. (sarlito, 2012)

17
Secara operasional, definisi Baker dan Dunken (dalam Sarlito,

2012) itu bisa meliputi segala hal sebagai berikut:

a. Antara anggota keluarga, dengan orang dari luar keluarganya atau

dengan orang asing sama sekali.

b. Hanya terjadi sekali, terjadi beberapa kali dengan orang yang sama

atau terjadi beberapa kali dengan orang yang berbeda-beda

c. Tak ada kontak fisik (bicara cabul), ada kontak fisik (diraba, dibelai,

masturbasi), atau terjadi senggama

2.1.2 Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Masalah kekerasan seksual yang menimpa anak jika kita pahami

lebih jauh merupakan segala tidak kekerasan yang melanggar kehormatan

diri anak dan mengakibatkan anak merasa tidak nyaman dan tertekan.

Berdasarkan protokol tambahan KHA (Konvensi Hak-hak Anak) yang

dikutip dalam Nainggolan (2008) bentuk-bentuk kekerasan seksual

meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak (sale

children) untuk tujuan prostitusi (child prostitution) dan pornografi (child

phornografy). Bentuknya dapat berupa verbal (kata-kata), tindakan

sederhana seperti mencowel, memegang, hingga melakukan tindakan fisik

yang melanggar norma, seperti eksploitasi sosial, dan pemerkosaan.

Segala bentuk tindak kekerasan seksual sesederhana apapun itu

tentu saja merugikan, tidak hanya secara fisik namun secara

psikologis. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 8

menjelaskan bentuk kekerasan seksual meliputi:

18
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut.

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup

rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau

tujuan tertentu.

Kedua bentuk kekerasan seksual yang dijelaskan dalam pasal 8

merupakan gambaran umum bentuk kekerasan seksual di dalam

lingkungan keluarga. Tak berbeda jauh dari pasal 8 UU Nomor 23 Tahun

2004, bentuk-bentuk kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan

dijelaskan secara terperinci ada 15 jenis. 15 Bentuk dari kekerasan seksual

tersebut yaitu:

a. Perkosaan.

b. Intimidasi/serangan bernuangan seksual termasuk ancaman atau

percobaan pemerkosaan.

c. Pelecehan seksual.

d. Eksploitasi seksual.

e. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual

f. Prostitusi paksa.

g. Perbudakan seksual.

h. Pemaksaan perkawinan.

i. Pemaksaan kehamila

j. Pemaksaan aborsi.

k. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi

l. Penyiksaan seksual

19
m. Perhukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual.

n. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau

mendiskriminasi

o. Kontrol seksual, aturan diskriminatif moralitas dan agama.

Tiga kategori ataupun bentuk kekerasan seksual pada anak yaitu:

a. Kekerasan seksual yang sangat serius yaitu hubungan seksual anal,

oral dan oral-genital seks

b. Kekerasan seksual yang serius, yaitu dengan memperlihatkan adegan

seksual pada anak, berhubungan badan di depan anak, menyuruh

anak untuk memegang alat kelaminnya, atau melakukan kegiatan

seksual terhadap anak akan tetapi belum mencapai hubungan

kelamin dalam arti persetubuhan.

c. Kekerasan seksual yang cukup serius, yaitu dengan membuka baju

dengan paksa, menyentuh alat kelamin atau bagian-bagian lain yang

merupakan tertutup atau privasi anak.

2.1.3 Bentuk-bentuk pelecehan seksual tersebut berupa:

a. Menonton aktivitas seksual.

b. Cumbuan, dalam artian anak dicumbu oleh pelaku

c. Penetrasi digital.

d. Oral sex

e. Memperkosa korban

Bentuk-bentuk kekerasan seksual dari berbagai pendapat di atas

pada dasarnya tidak selalu sama, namun dalam bentuk sesederhana apapun

20
kekerasan seksual selalu merugikan korbannya. Sebagian ahli yang

menganggap bahwa pandangan tidak senonoh sudah masuk pada ranah

pelecehan seksual yang berarti korban telah mengalami kekerasan seksual,

namun ahli lain tidak berpendapat senada. Ketua Komnas Perlindungan

Anak, Arist Merdeka Sirait memandang bahwa saat anak mulai merasa tidak

nyaman dan terancam oleh orang dewasa, maka hal tersebut sudah

merupakan salah satu tindakan melanggar hukum. Oleh sebab itu, sebaiknya

orangtua harus mewaspadai sejak awal jika anak mengalami salah satu

bentuk pelecehan seksual paling dasar, misalnya dipandang oleh orang asing

dengan tatapan ganjil (Chomaria, 2016

Secara garis besar mengungkapkan kekerasan seksual dibedakan

menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Perkosaa

Perkosaan jelas merupakan bentuk paling berat dari kekerasan

seksual. Perkosaan merupakan tindakan pemaksaan hasrat seksual

yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kekuatan lebih

kepada seseorang yang dianggap lemah. Pemerkosaan jelas melanggar

hukum, dan pelakunya dijerat dalam perundang-undangan.

Pemaksaan seksual hampir sama dengan perkosaan,

perbedaannya pada pemaksaan seksual belum terjadi perkosaan atau

belum terjadi kontak fisik (memasukkan alat kelamin pelaku pada

korban). Biasanya bentuk pemaksaan seksual berupa sodomi,

penetrasi, meraba bagian intim korban, dll

21
1. Pelecehan seksual

Pelecehan seksual merupakan segala tindakan melanggar

kehormatan diri seseorang. Bentuknya bermacam, dalam bentuk

verbal bisa berarti dalam bentuk kata-kata yang dilontarkan oleh

satu orang ke orang lain, mulai dari kata-kata jorok yang

membuat rasa malu, tersinggung, marah, sakit hati, dan 17

sebagainya, sampai pada tindakan fisik seperti mencowel,

memegang, atau melakukan sentuhan-sentuhan yang tidak pantas.

2. Incest

Incest merupakan hubungan seksual atau aktivitas seksual

antara individu yang memiliki hubungan dekat, yang mana

perkawinan di antara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur.

Misalnya antara kakak dan adik kandung. Incest biasanya terjadi

dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses

terkondisi.

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri

Hurlock (dalam Arlyanti,2012) mengemukakan faktor yang

mempengaruhi kontrol diri terdiri dari dua faktor, yaitu :

a. Faktor internal

1. Kepribadian

Kepribadian (personality) adalah sifat dan tingkah laku khas

seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Integrasi

karakteristik dari struktur, pola tingkahlaku, minat, pendirian,

22
kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang (Sjarkawi, 2008).

Kepribadian anak merupakan suatu kesatuan yang utuh, antara jiwa

(psycho) dan tubuh (fisik) bukan dua unsur yang terpisah. Keduanya

akan saling berespon terhadap perlakuan dari lingkungan, sebagai

upaya menyesuiakan diri. Artinya bagian dari psycho dan physic akan

saling mempengaruhi satu sama lain (Anindyajati, 2015).

2. Religius

Masa kanak-kanak adalah masa yang paling rentan dimana masa

ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.

Ketika anak masih diusia dini, orang tua harus mendidikdan

mengajarkan nilai-nilai pendidikan kepada anak untuk membantu

menunjang kehidupan anak di masa yang akan datang. Begitu banyak

hal yang harus di ajarkan oleh orang tua kepada anaknya seperti

mengajarkan pendidikan agama dan moral (Ari, 2016)

Pendidikan agama dan moral sangat membantu anak dalam

memasuki tahapan selanjutnya. Karena pendidikan agama dan moral

adalah salah satu pendidikan yang penting yang harus diajarkan dan di

biasakan kapada anak seusia dini. pendidikan agama merupakan

pendidikan dasar untuk anak karena jika anak ditanamkan pendidikan

sejak usia dini, maka pendidikan umum lainnya juga akan mengikuti

pendidikan agama. Dikarenaka pendidikan umum sudah tercakup di

dalam pendidikan agama.

Pendidikan agama adalah pendidikan yang di dalamya terdapat

pengertahuan yang dapat membentuk kepribadian dan sikap seorang

23
anak. Tujuan diajarkan pendidikan agama yaitu adalah agar anak

tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang mempunyai karakter.

b. Faktor eksternal

1. Peran orang tua

Dari beberapa faktor yang berkontribusi terjadinya kekerasan

seksual, erat kaitannya dengan peran orang tua. Pentingnya kesadaran

orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak dapat

diantisipasi dengan cara berperan semaksimal mungkin sebagai orang

tua. Ada enam peran yang dapat dilakukan orang tua dalam mencegah

kekerasan seksual, diantaranya orang tua dapat berperan sebagai

pendorong, orang tua dapat mendorong anak untuk percaya diri dan

berani dalam melawan tindak kejahatan. Kurangnya pendidikan

agama dan pendidikan seksual sesuai usia dapat diberikan orang tua

dengan berperan sebagai pendidik dan sebagai komunikator, orang tua

dapat mendidik dan berkomunikasi dua arah dengan anak bagaimana

cara mencegah kekerasan seksual, salah satu contohnya orang tua

dapat mengajarkan apa saja bagian tubuh dari anak yang tidak boleh

disentuh oleh orang lain. Globalisasi informasi yang turut

berkontribusi juga erat kaitannya dengan peran orang tua, orang tua

dapat berperan sebagai pengawas dan panutan anak, sebagai pengawas

orang tua dapat mengawasi penggunaan telepon seluler dan internet

yang diakses anak dan sebagai panutan orang tua dapat menunjukkan

penggunaan internet yang diakses orang tua adalah penggunaan

internet yang positif. Sebagai konselor orang tua dapat berdiskusi

24
dengan anak tentang apa yang menjadi masalah anak atau rahasia

yang anak miliki. Peran keluarga atau orang tua dalam pencegahan

kekerasan seksual sangat penting karena peranan orang tua sangat

besar dalam membantu anak agar siap menuju gerbang kehidupan

mereka dan keluarga adalah orang terdekat dengan anak, dengan

memaksimalkan perananannya sebuah keluarga akan menjadi suatu

benteng yang kuat bagi anggota keluarganya dari berbagai hal buruk

yang bisa saja timbul dari lingkungan sosialnya (Sandarwati, 2016).

Keluarga merupakan sekelompok sosial yang sangat besar

pengaruhnya terhadap sosialisasi anak. Orangtua berperan aktif

dalam pengasuhan anak supaya mengetahui tumbuh kembang

anak. Orangtua merupakan pendidikan pertama bagi seorang

anak, yang menanamkan pendidikan dasar bagi perkembangan

jiwa anak (Tadjab, 2014).

Menurut Surbakti (2010) orangtua yang mudah cemas

akan berpengaruh pada ketahanan mental anaknya dan menjadikannya

sebagai anak yang mudah rapuh. Sebaliknya, jika orangtua memiliki

ketahanan mental yang prima maka secara sebenarnya orangtua telah

mendidik anaknya menjadi anak yang tangguh dan tegar dalam

menghadapi situasi yang paling sulit sekalipun.

Menurut Clemes (dalam Prihatiningsih, 2016) terjadinya

perilaku menyimpang disebabkan kurangnya ketergantungan anak

terhadap orangtuanya, dan ketidak berfungsiannya sistem sosial di

lingkungan tempat tinggalnya.

25
2. Pendidikan orang tua

Pendidikan formal merupakan pendidikan di sekolah yang di

peroleh secara teratur, sistematis, bertingkat atau berjenjang, dan

dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas. Orangtua mempunyai

fungsi pendidik karena seorang anak pertama kali memperoleh

pengetahuan dari orangtua terutama ibu, ayah, dan anggota keluarga

yang lain. Kepribadian seseorang terbentuk dari hasil perpaduan

antara warisan sifat-sifat, bakat orangtua dan lingkungan dimana ia

berada. Lingkungan pertama yang memberikan pengaruh mendalam

adalah keluarga sendiri (Herjanti, 2015).

Tahap awal pendidikan seks adalah mengajarkan konsep benar

dan salah, membiasakan membersihkan anggota tubuh, mengajarkan

cara menjaga diri sendiri, serta cara membina hubungan dengan orang

lain. Pendidikan seks tidak hanya mencakup pengetahuan seputar

seks. Pendidikan seks juga membahas cara mendidik perilaku anak

terhadap seks (Tjandra, 2012).

Orangtua harus memberikan pendidikan seks yang benar kepada

anak. Dengan memberikan pendidikan seks yang benar berarti

orangtua telah membantu mengembangkan perilaku seks yang sehat

dan mengajarkan pemikiran tentang seks yang bertanggungjawab

kepada anak ( Dina Setya, 2015).

26
3. Status orang tua (bercerai/tidak bercerai)

Adanya kemiskinan struktural dan disharmoni keluarga yang

dapat memicu depresi dan frustasi. Kondisi semacam ini dapat

menyebabkan orang tua hanya hadir secara fisik, namun tidak hadir

secara emosional. Oleh karena itu anak merasa tidak kerasan di rumah,

sehingga dapat menyebabkan anak mencari orang untuk berlindung.

Anak akan mengembangkan kebencian pada kejadian, ataupun pihak-

pihak yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Perceraian tidak hanya

akan menimbulkan kebencian pada kedua orang tua, tapi juga pada

dirinya sendiri. Sehingga, anak akan berusaha “menjauhi” orang tua

dan dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya

perceraian membentuk pola tingkah laku anak terhadap orang lain

dalam masyarakat yang meningkatkan resiko terjadinya kekerasan

seksual pada anak (Dina Setya, 2015)

Berkeluarga merupakan salah satu tugas perkembangan yang

seharusnya dilalui oleh setiap individu. Keluarga dibentuk melalui

sebuah pernikahan, yaitu lembaga yang menyatukan laki-laki dan

perempuan dalam satu ikatan untuk hidup bersama. Ikatan sakral

dalam pernikahan seringkali harus berakhir dengan perceraian.

Perceraian merupakan pemutusan hubungan pernikahan yang

dilakukan secara sah menurut hukum yang berlaku. Pemutusan

tersebut biasanya didahului oleh timbulnya permasalahan dan konflik

yang tidak terselesaikan antara suami istri, adanya ketidakpuasan, rasa

tersakiti yang tidak dapat diatasi bersama lagi. Sehingga pasangan

27
tersebut mengambil keputusan untuk bercerai sebagai jalan mengakhiri

segala ketidaknyamanan dan tekanan yang terjadi dalam hubungan

mereka.

Akibat perceraian pasangan yang sebelumnya terikat dalam satu

hubungan marital dapat berdampak buruk bagi pihak anggota keluarga

yang lain, khususnya anak-anak yang lahir dari hubungan pemikahan

tersebut. Anak – anak harus memlilih tinggal dengan salah satu orang

tua mereka atau bahkan tidak dengan keduanya.

4. pengaruh media sosial

Adanya pengawasan dari orang tua terhadap informasi-

informasi yang diperoleh anak dari media massa seperti televisi,

handphone, internet dapat mengurangi dampak negatif yang

ditimbulkan dari media-media tersebut. Orang tua dapat membantu

dalam pembentukan persepsi dan memberikan pemahaman terhadap

anak, sehingga informasi-informasi terkait pelecehan seksual dapat

dipahami dan dimengerti oleh anak sesuai dengan usianya (Gusti

Agung, 2017)

Peran media sosial yang dimaksud adalah segala macam bentuk

media tempat orang bersosialisasi secara maya baik itu dalam bentuk

situs, jejaring sosial, konten, film, maupun gambar, dan apapun yang

berhubungan dengan dunia internet atau dunia maya.Media sosial

sangat cepat mempengaruhi prilaku dari penggunanya dan sangat

membuat seseorang merasa ketergantungan untuk mengaksesnya. (I

Gusti Agung, 2017)

28
Tayangan media massa atau teknologi yang menonjolkan aspek

pornografi diyakini sangat erat hubungannya dengan meningkatnya

berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada remaja (Cerita

Remaja Indonesia, 2001). Rangsangan kuat dari film-film seks,

sinetron, buku-buku bacaan dan majalah bergambar seksi, godaan dan

rangsangan dari kaum pria dan wanita, serta pengamatan secara

langsung terhadap perilaku seksual tidak hanya mengakibatkan

memuncaknya atau semakin panasnya reaksi-reaksi seksual tetapi juga

mengakibatkan kematangan seksual yang lebih cepat pada anak

(Kartono, 2003). Hasil data statistik dari Family Safe Media

menyatakan bahwa terdapat 4,2 juta situs internet porno, dimana setiap

harinya terdapat 68 juta permintaan mencari materi pornografi melalui

mesin pencari (search engine) internet dan setiap harinya rata-rata

setiap pengguna internet menerima atau mengirim 4,5 e-mailporno.

Survei yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati di

Jabodetabek (2005) dengan 1.705 responden remaja memperoleh hasil

bahwa lebih dari 80% anak usia 9-12 tahun telah mengakses materi

pornografi melalui situs-situs internet (Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana Nasional, 2004). Semakin meningkatnya jumlah

remaja yang terpapar pornografi maka semakin banyak remaja yang

berperilaku seksual aktif (Supriati dan Fikawati, 2009).

29
2.2 kerangka teori

Berdasarka uraian pada landasan teori di atas, maka kerangka teori

dapat dijelaskan bagan kerangka teori di bawah ini.

1. Kejadian perkosaan

2. pelecehan seksual

3. incest

4. Kepribadian

5. Religiusitas
Kekerasan seksual
6. Peran orang tua
pada anak
7. Pendidikan orang tua

8. Status orang tua

9. Pengaruh media sosial

30
2.3 kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependent

1. Kepribadian

2. Religiusitas Kekerasan seksual


pada anak
3. Peran orang tua

4. Pendidikan orang tua

5. Status orang tua

6. Pengaruh media sosial

31
2.4 Hipotesis penelitian

a. Ada hubungan antara kepribadian dengan kekeraan seksual pada

anak.Ada hubungan antara tingkat religiusitas dengan kekeraan

seksual pada anak.

b. Ada hubungan antara peran orang tua dengan kekeraan seksual pada

anak.

c. Ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan kekeraan seksual

pada anak.

d. Ada hubungan antara status orang tua (bercerai/tidak bercerai) dengan

kekeraan seksual pada anak.

e. Ada hubungan antara pengarush media sosial dengan kekeraan seksual

pada anak.

32
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan metode analitik dengan

pendekatan case control yaitu suatu desain penelitian epidemiologi analitik

untuk mempelajari pengaruh pajanan terhadap out come (penyakit atau

masalah kesehatan) dengan cara membandingkan pada kelompok kasus

kontrol, pertimbangan desain penelitian ini adalah efisien untuk out come

yang jarang frekuensinya, disamping pertimbangan waktu yang relatif lebih

cepat. Dengan menggunakan data primer melalui kuesioner mengenai

Kekerasan seksual pada anak. Variabel independen yang diteliti yaitu:

kepribadian, religiusitas, peran orang tua, pendidikan orang tua, status orang

tua, pengaruh sosial media.

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subyek yang hendak

dikenai generalisasi hasil penelitian (Badriah, 2015). Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh korban kekerasan seksual di Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Kabupaten Tangerang

pada tahun 2019 berjumlah 82 orang.

33
3.2.2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan diangap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo,2010). Sampel dalam penelitian ini terbagi menjadi

2 kelompok yaitu kasus dan kontrol. Kasus adalah anak yang mengalami

kekerasan seksual dan kontrol adalah anak yang tidak mengalami

kekerasan seksual. Peneliti memakai perbandingan 1:1 Sehingga kelompok

kontrol berjumlah 36 orang jadi total sampel 72 orang.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kabupaten Tangerang.

3.3.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Juli-Agustus 2020 di Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan perempuan san Anak Kabupaten Tangerang

3.4 Variabel Penelitian

Variabel bebas (independent variabel) pada penelitian ini adalah

tingkat religius, peran orangtua, pendidikan orang tua, status orang tua,

pengaruh sosial media. Sedangkan Variabel terikat (dependent variabel)

adalah Kekerasan seksual pada anak.

34
3.5 Definisi Operasional

Tabel 3.5 Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala


operasional Ukur Ukur
Dependen
Kekerasan Terlibatnya Catatan dari Mengecek 1. Anak yang Nomina
seksual responden Pusat catatan dari mengalami l
pada segala Layanan Pusat kekerasan
bentuk Terpadu Layanan seksual
kegiatan Pemberdaya Terpadu 2. Anak yang
seksual an Pemberdayaa tidak
sebelum Perempuan n Perempuan mengalami
mencapai dan anak dan anak kekerasan
batasan umur Seksual
yang telah
ditetapkan.
Independen
Kepribadian Karakteristik Kuisioner Mengisi 1. Pasif Ordinal
atau sifat khas lembar ceklis (jika
responden menjawab
yang terdiri Tidak ≥ 3
dari tipe pertanyaan)
kepribadian 2. Aktif
ekstrovert dan (jika
introvert. menjawab
Ya < 3
pertanyaan)
Religiusitas Jenis dan Kuisioner Mengisi 1. Tidak taat Nomina
tingkat lembar ceklis (jika l
aktifitas yang menjawab
berhubungan Tidak ≥ 3
dengan agama, pertanyaan)
pelaksanaan 2. Taat (jika
ibadah, menjawab
kegiatan Ya < 3
terkait agama, pertanyaan)
dan kontrol
spiritual.

35
Peran Orang Usaha orang Kuisioner Mengisi 1. Kurang Nomina
Tua tua yang di lembar ceklis baik (jika l
lakukan dalam menjawab
hal mengasuh, Tidak ≥ 3
komunikasi, pertanyaan
mendidik, )
membimbing, 2. Baik (jika
mendisiplinkan menjawab
, dan Ya < 3
mengontrol pertanyaan)
anak dalam
berprilaku di
kehidupan
sehari-hari.

Pendidikan Tingkat Kuisioner Mengisi 1. Rendah Ordinal


Orang tua pendidikan lembar ceklis (jika
yang di pendidikan
tempuh dari orang tua
orang tua <SMA)
responden 2. Tinggi
diukur dari (jika
jenjang pendidikan
pendidikan orang tua
formal yang ≥SMA )
pernah diikuti
berdasarkan
ijazah terakhir.

Status orang Untuk Kuisioner Mengisi 1. Bercerai Nomina


tua mengetahui lembar ceklis 2. Tidak l
(bercerai/tida status bercerai
k bercerai) pernikahan
orang tua
(bercerai/tidak
bercerai)
Pengaruh Paparan Kuisioner Mengisi 1. Terpapar Ordinal
media sosial responden lembar ceklis (jika
terhadap media menjawab
pornografi, Tidak ≥ 3
televisi, pertanyaan)
handphone dan 2. Tidak
internet. terpapar
(jika
menjawab
Ya < 3
pertanyaa)

36
3.6 Instrumen Penelitian

Merupakan segala peralatan yang digunakan untuk memperoleh,

mengelola informasi dari para responden yang dilakukan dengan pola

pengukuran yang sama (Notoatmodjo, 2012). Instrumen penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

3.7 Validitas dan Reliabilitas

Validitas adalah salah satu yang utama yang harus dimiliki oleh setiap

alat ukur. Dalam pengertian umum validitias diartikan sebagai ketepatan dan

kecermatan instrumen dalam menjalankan fungsi ukurnya artinya bahwa

validitas dapat menunjukkan sejauh mana skala mampu mengungkapkan

dengan akurat dan teliti pada data yang diperoleh mengenai atribut yang

sudah dirancang untuk mengukurnya. Skala yang hanya dapat mengukur

sebagian dari atribut yang sudah ditentukan, dikatakan sebagai skala yang

fungsinya tidak valid (Azwar, 2016).

Reliabilitas adalah suatu alat ukur yang mengacu pada kepercayaan

dan konsistensi hasil ukur, yang mengandung makna mengenai seberapa

tinggi kecermatan pengukuran (Azwar, 2016).

Dalam penelitian ini tidak di lakukan uji validitas dan reliabilitas

dikarenakan keterbatasan akses untuk mendapatkan sampel.

3.8 Prosedur Pengumpulan Data

3.8.1 Mempersiapkan materi dan konsep teori yang mendukung

3.8.2 Melakukan studi pendahuluan

3.8.3 Melakukan konsultasi dengan pembimbing

37
3.8.4 Mengurus perijinan untuk pengambilan data

3.8.5 Melakukan persamaan persepsi dengan asisten peneliti bila

dibutuhkan

3.8.6 Melakukan pengambilan data yang didahului dengan pemilihan

sampel atau responden

3.8.7 Kemudian mengumpulkan data dari sampel

3.8.8 Mengolah data hasil penelitian dengan melakukan editing dan coding.

3.9 Prosedur Pengolahan Data

Proses pengolahan data peneliti menggunakan langkah-langkah

pengolahan data diantaranya:

a. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data atau

formulir kuesioner yang di peroleh atau di kumpulkan. Editing dapat

dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

Dalam pengambilan penelitian ini, kuesioner yang telah diisi oleh

responden akan diperiksa kembali kelengkapan datanya, apabila ada data

yang belum terisi, maka peneliti perlu meminta responden untuk

melengkapi data yang masih kosong.

b. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data yang terdiri dari beberapa kategori. Pemberian kode ini sangan

penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer.

Biasanya dalam pemberian kode dbuat juga daftar kode dan artinya dalam

satu buku (code boox) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti

38
suatu kode dari suatu variebel. Pemberian kode untuk variabel yang

dikategorikan adalah sebagai berikut:

1) Variabel kekerasan seksual

Kode 1 = anak yang mengalami

Kode 2 = anak yang tidak mengalami

2) Variabel kepribadian

Kode 1 = pasif

Kode 2 = aktif

3) Variabel religiusitas

Kode 1 = tidak taat

Kode 2 = taat

4) Variabel peran orang tua

Kode 1 = kurang baik

Kode 2 = baik

5) Variabel pendidikan orang tua

Kode 1 = rendah

Kide 2 = tinggi

6) Variabe status orang tua (bercerai/tidak bercerai)

Kode 1 = bercerai

Kode 2 = tidak bercerai

7) Variabel pengaruh media sosial

Kode 1 = terpapar

Kode 2 = tidak terpapar

39
c. Entry Data

Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah terkumpulkan

kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana.

d. Tabulating

Tabulating yaitu mengolah data dalam bentuk tabel distribsi untuk

mempermudah analisa data pengolahan data serta pengambilan

kesimpulan. (Notoatmodjo,2012)

3.10. Analisis Data

Teknik analisis data adalah Kegiatan setelah data dari seluruh

responden atau sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data

yaitu mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden,

mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan

data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab

rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang

telah diajukan (Sugiyono, 2016).

3.10.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari

semua variabel yang ada. Rumus yang diperlukan adalah :

P= x 100%

Keterangan :

P : presentase
F : frekuensi
N : jumlah
100 : bilangan tetap

40
3.10.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah tabel silang dua variabel (variabel

dependen dan independen). Analisa ini untuk melihat kemaknaan

hubungan antara dua variabel (variabel dependen dan independen) dengan

menggunakan bantuan komputer program SPSS.

Uji yang digunakan adalah chi square dengan menggunakan derajat

kepercayaan 95% dengan α = 0,05. Untuk melihat hasil kemaknaan

perhitungan stasisik digunakan : apabila P.value ≤ 0,05 berarti ada

hubungan yang bermakna antara variabel dependen dan variabel

independen, dan apabila P.value > 0,05 berarti tidak ada hubungan antara

variabel dependen dari variabel independen. Adapun rumus uji Chi

Square menurut Hidayat (2017) adalah sebagai berikut:

Keterangan :

X2 : Chi Square

O : Frekuensi yang diamati

E : Frekuensi yang diharapkan

3.11 Etika Penelitian

Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku

untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti,

pihak yang diteliti (subyek penelitian) dan masyarakat yang akan

memperolah dampak hasil penelitian tersebut. Etika penelitian ini

mencakup juga perilaku peneliti atau perlakuan peneliti terhadap subyek

41
penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh peneliti bagi masyarakat. Hal

ini bararti bahwa ada hubungan timbal balik antara orang sebagai peneliti

dan orang sebagai yang diteliti (Notoatmodjo, 2018). Secara rinci hak-hak

dan kewajiban peneliti dan yang diteliti (informan) adalah sebagai berikut :

3.11.1 Hak dan Kewajiban Responden

3.11.2 Hak untuk dihargai privasinya. Privacy adalah hak setia orang. Semua

orang mempunyai hak untuk memperoleh privacy atau kebebasan

pribadinya.

3.11.3 Hak untuk merahasiakan informasi yang diberikan.

3.11.4 Hak memeperoleh jaminan keamanan atau keselamatan akibat dari

informasi yang diberikan.

3.11.5 Hak memperoleh imbalan atau kompensasi.

3.11.6 Hak dan kewajiban peneliti atau pewawancara

3.11.7 Hak Peneliti. peneliti mempunyai hak memperoleh informasi yang

diperlukan sejujur-jujurnya dan selengkap-lengkapnya dari responden

3.11.8 Kewajiban Peneliti

3.11.9 Menjaga privacy responden

3.11.10 Menjaga kerahasiaan resonden

42
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Analisis Univariat

a. Distribusi Frekuensi Kekerasan Seksual pada Anak

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kekerasan Seksual pada Anak di Wilayah

Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan

Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Kekerasan Seksual Frekuensi (f) Persentase (%)


Mengalami 36 50
Tidak Mengalami 36 50
Jumlah 72 100

Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui dari 72 responden yang mengalami

kekerasan seksual sebanyak 36 anak (50%).

b. Distribusi Frekuensi Kepribadian Anak

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kepribadian pada Anak di Wilayah Kerja

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

Kabupaten Tangerang tahun 2019

Kepribadian Frekuensi (f) Persentase (%)


Pasif 28 38,9
Aktif 44 61,1
Jumlah 72 100

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui dari 72 responden mayoritas

responden berkepribadian aktif sebanyak 44 anak (61,1%).

43
c. Distribusi Frekuensi Religiusitas Anak

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Religiusitas pada Anak di Wilayah Kerja

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

Kabupaten Tangerang tahun 2019

Religiusitas Frekuensi (f) Persentase (%)

Tidak Taat 40 55,6

Taat 32 44,4

Jumlah 72 100

Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui dari 72 responden mayoritas responden

tingkat religiusitasnya yang tidak taat sebanyak 40 anak (55,6%).

d. Distribusi Frekuensi Peran Orang Tua Responden

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Peran Orang Tua Responden di Wilayah Kerja

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

Kabupaten Tangerang tahun 2019

Peran Orang Tua Frekuensi (f) Persentase (%)

Kurang Baik 39 54,2

Baik 33 45,8

Jumlah 72 100

Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui dari 72 responden mayoritas peran

orang tua yang kurang baik sebanyak 39 anak (54,2%).

44
e. Distribusi Frekuensi Pendidikan Orang Tua Responden

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pendidikan Orang Tua Responden di Wilayah

kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan

Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Pendidikan Orang Tua Frekuensi (f) Persentase (%)

Rendah 23 31,9

Tinggi 49 68,1

Jumlah 72 100

Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui dari 72 responden mayoritas

pendidikan orang tua tinggi sebanyak 49 responden (68,1%).

f. Distribusi Frekuensi Status Orang Tua Responden

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Status Orang Tua Responden di Wilayah

Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan

Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Status Orang Tua Frekuensi (f) Persentase (%)

Bercerai 31 43,1

Tidak Bercerai 41 56,9

Jumlah 72 100

Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui dari 72 responden mayoritas status

orang tua tidak bercerai sebanyak 41 anak (56,9%).

45
g. Distribusi Frekuensi Pengaruh Media Sosial

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Pengaruh Media Sosial pada Anak di Wilayah

Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan

Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Pengaruh Media Sosial Frekuensi (f) Persentase (%)

Terpapar 33 45,8

Tidak Terpapar 39 54,2

Jumlah 72 100

Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui dari 72 responden mayoritas pengaruh

media social yang tidak terpapar sebanyak 39 anak (54,2%).

46
4.1.2 Hasil Analisis Bivariat

a. Hubungan Antara Kepribadian dan Kekerasan Seksual Seksual pada

Anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Tabel 4.8 Hubungan antara kepribadian dan kekerasan seksual pada anak di

Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Kekerasa Seksual

Tidak Jumlah
Mengala P
Kepribadian Mengala OR
mi value
mi

N % N % N %

Pasif 14 38,9 14 38,9 28 38,9

Aktif 22 61,1 22 61,1 44 61,1 1,000 1,000

Total 36 100 36 100 72 100

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang

mengalami kekerasan seksual, 14 responden (38,9%) memiliki kepribadian

Pasif dan 22 responden (61,1%) memiliki kepribadian Aktif. Dan dari 36

responden yang tidak mengalami kekerasan seksual, 14 responden (38,9%)

memiliki kepribadian pasif dan 22 responden ( 61,1%) memiliki kepribadia

aktif.

Hasil analisis didapatkan nilai p = 1,000 > 0,05 dengan demikian tidak

ada hubungan kepribadian responden dengan kekerasan seksual pada anak di

Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

Kabupaten Tangerang Tahun 2019.

47
Adapun nilai Odds Ratio (OR) sebesar 1,000 sehingga dapat

dinyatakan bahwa responden dengan kepribadian aktif berpeluang 1 kali lebih

besar mengalami kekerasan seksual dibandingkan responden dengan

kepribadian pasif.

b. Hubungan Antara Religiusitas dan Kekerasan Seksual Seksual pada

Anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Tabel 4.9 Hubungan Antara Religiusitas dan Kekerasan Seksual Seksual

pada Anak di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan

dan Anak di Kabupaten Tangerang tahun 2019

Kekerasan Seksual

Tidak
Mengala P
Religiusitas Mengala Jumlah OR
mi value
mi

N % N % N %

Tidak Taat 28 77,8 12 33,3 40 55,6

Taat 8 22,2 24 66,7 32 44,4 0,000 7,000

Total 36 100 36 100 72 100

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang

mengalami kekerasan seksual 28 responden (77,8%) memiliki tingkat

religiusitas tidak taat dan 8 responden (22,2%) memiliki tingkat religiusitas

taat. Dan dari 36 responden yan tidak mengalami kekerasan seksual 12

responden (33,3%) memiliki tingkat religiusitas tidak taat taat dan 24

responden (66,7%) memiliki tingkat religius taat.

48
Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,000 < 0,05 dengan demikian ada

hubungan antara tingkat religiusitas dengan kekerasan seksual pada anak di

Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

Kabupaten Tangerang Tahun 2019.

Adapun nilai Odds Ratio (OR) sebesar 7,000 sehingga dapat

dinyatakan bahwa responden dengan religiusitas tidak taat berpeluang 7,000

kali lebih besar mengalami kekerasan seksual dibandingkan responden

dengan religiusitas taat.

c. Hubungan Antara Peran Orang Tua dan Kekerasan Seksual Seksual

pada Anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Tabel 4.10 Hubungan Antara Peran Orang Tua dan Kekerasan Seksual

Seksual pada Anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten

Tangerang tahun 2019

Kekerasan Seksual

Tidak Jumlah
Mengala Nilai
Peran Orang Tua Mengala OR
mi p
mi

N % N % N %

Kurang Baik 26 72,2 13 36,1 39 55,6


10,77
Baik 10 27,8 23 63,9 33 44,4 0,000
1
Total 36 100 36 100 72 100

Berdasarkan tabel 4.10 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang

mengalami kekerasan seksual 26 responden (72,2%) terjadi pada peran orang

49
tua yang kurang baik dan 10 responden (27,8%) terjadi pada peran orang tua

yang baik. Dan dari 36 responden yang tidak mengalami kekerasan seksual

13 reponden (36,1%) terjadi pada peran orang tua yang kurang baik dan 23

responden (63,9%) terjadi pada peran orang tua yang baik.

Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,000 < 0,05 dengan demikian ada

hubungan peran orang tua responden dengan kekerasan seksual pada anak di

Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Pemrempuan dan

Anak Kabupaten Tangerang Tahun 2019.

Adapun nilai Odds Ratio (OR) sebesar 10,771 sehingga dapat

dinyatakan bahwa responden dengan peran orang tua kurang baik berpeluang

10,771 kali mengalami kekerasan seksual dibandingkan responden dengan

peran orang tua baik

.
d. Hubungan Antara Pendidikan Orang Tua dan Kekerasan Seksual

Seksual pada Anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Tabel 4.11 Hubungan Antara Pendidikan Orang Tua dan Kekerasan

Seksual Seksual pada Anak di Wilayah Kerja Pusat

Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

Kabupaten Tangerang tahun 2019

Kekerasan Seksual
Pendidikan Orang Tidak Nilai
Mengala Jumlah
Tua Mengala p
mi
mi

50
N % N % N %

Rendah 10 27,8 13 36,1 23 31,9

Tinggi 26 72,2 23 63,9 49 68,1 0,448

Total 36 100 36 100 72 100

Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang

mengalami kekerasan seksual seksual, 10 responden (27,8%) memiliki

tingkat pendidikan orang tua rendah dan 26 responden (72,2%) memiliki

tingkat pendidikan orang tua tinggi. Dan dari 36 responden yang tidak

mengalami kekerasan seksual, 13 responden (36,1%) memiliki tngkat

pendidikan orang tua rendah dan 23 responden (63,9%) memiliki tingkat

pendidikan orang tua tinggi.

Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,448 > 0,05 dengan demikian tidak

ada hubungan pendidikan orang tua responden rendah dengan kekerasan

seksual pada anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang Tahun 2019.

e. Hubungan Antara Status Orang Tua dan Kekerasan Seksual Seksual

pada Anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

51
Tabel 4.12 Hubungan Antara Status Orang Tua dan Kekerasan Seksual

Seksual pada Anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten

Tangerang tahun 2019

Kekerasan Seksual

Tidak Jumlah
Mengala Nilai
Status Orang Tua Mengala
mi p
mi

N % N % N %

Bercerai 13 36,1 18 50 31 43,1

Tidak Bercerai 23 18 50 41 56,9 0,234


63,9

Total 36 100 36 100 72 100

Berdasarkan tabel 4.12 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang

mengalami kekerasan seksual, 13 responden (36,1%) memiliki status orang

tua bercerai dan 23 responden (63,9%) memiliki status orang tua tidak

bercerai. Dan dari 36 responden yang tidak mengalami kekerasan seksual,

18 responden (50%) memiliki status orang tua bercerai dan 18 responden

(50%) memiliki status orang tua tidak bercerai.

Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,234 > 0,05 dengan demikian

tidak ada hubungan status orang tua responden dengan kekerasan seksual

pada anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Pemrempuan dan Anak Kabupaten Tangerang Tahun 2019.

52
f. Hubungan Antara Pengaruh Media Sosial Orang Tua dan Kekerasan

Seksual Seksual pada Anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang tahun 2019

Tabel 4.13 Hubungan Antara Pengaruh Medsia Sosial dan Kekerasan

Seksual Seksual pada Anak di Wilayah Kerja Pusat

Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

Kabupaten Tangerang tahun 2019

Kekerasan Seksual

Tidak Jumlah
Pengaruh Media Mengala Nilai
Mengala
Sosial mi p
mi

N % N % N %

Tidak Terpapar 18 50 15 41,7 33 45,8

Terpapar 18 50 21 58,3 39 54,2 0,478

Total 36 100 36 100 72 100

Berdasarkan tabel 4.13 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang

mengalami kekerasan seksual, 18 responden (50%) memiliki pengaruh

sosial media tidak terpapar dan 18 responden (50%) memiliki pengaruh

sosial media terpapar. Dan dari 36 responden yang tidak mengalami

kekerasan seksual pada anak, 15 responden (41,7%) memiliki pengaruh

sosial media tidak terpapar dan 21 responden (58,3%) memiliki pengaruh

sosial media terpapar.

Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,478 > 0,05 dengan demikian

tidak ada hubungan pengaruh media sosial dengan kekerasan seksual pada

anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Pemrempuan dan Anak Kabupaten Tangerang Tahun 2019.

53
4.2 Pembahasan

4.2.1 Aanalisis Univariat

4.2.1.1 Kekerasan seksual pada anak

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Pusat

Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten

Tangerang tahun 2020 didapatkan data yang mengalami kekerasan seksual

sebanyak 36 responden. Dan berdasarkan kelompok kontrol sebanyak 36

responden.

Kekerasan seksual adalah tindakan yang mengarah pada ajakan

seksual tanpa persetujuan. Ini juga termasuk tindakan seksual terhadap anak

yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada anak atau individu yang terlalu

muda untuk menyatakan persetujuan, ini disebut dengan pelecehan seksual

terhadap anak (Fuady, 2011)

Penelitian ratna sari (2015) terlihat bahwa faktor terjadinya

kekerasan seksual adalah pergaulan dengan teman sebaya yang negatif,

kurangnya pendidikan keagamaan, rendahnya peran orang tua dan pengaruh

sosial media yang dapat memicu kejadian lebih tinggi. Berdasarkan hasil

penelitian yang didapat jumlah usia korban rata-rata yaitu 5-16 tahun tahun.

Menurut asumsi peneliti bahwa remaja yang mengalami kekerasan

seksual banyak terjadi dan rata-rata berumur 8-19 tahun dipengaruhi oleh-

oleh beberapa faktor seperti kepribadian, religiulitas, peran orang tua,

pendidikan orang tua, status orang tua (bercerai/tidak bercerai) dan

pengaruh media sosial.

54
4.2.2 Analisis Bivariat

4.2.2.1 Hubungan antara kepribadian dan kekerasan seksual pada anak di

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di

Kabupaten Tangerang tahun 2020

Berdasarkan hasil penelitian 36 responden yang mengalami

kekerasan seksual, 14 responden (38,9%) memiliki kepribadian pasif dan 22

responden (61,1%) memiliki kepribadian aktif. Hasil uji statistik diperoleh

tidak ada hubungan kepribadian dengan kekerasan seksual pada anak di

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di kabupaten

Tangerang.

Kepribadian adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang

membedakan dengan orang lain. Faktor lain yang mempengaruhi

terbentuknya kepribadian adalah faktor lingkungan dimana seseorang

tumbuh dan dibesarkan, norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial

(Sulistyowati, 2018)

Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Diana (2017) yang menyatakan bahwa kepribadian pasif sangat

berpengaruh terhadap kejadian kekerasan seksual pada anak. Karena anak

dengan kepribadian pasif dapat menutupi kejadian yang telah dialaminya.

Menurut asumsi peneliti bahwa kepribadian sangat di pengaruhi oleh

faktor lingkungan. Lingkungan yang positif akan memberikan dampak yang

positif, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, tak sedikit anak-anak yang

memiliki kepribadian aktif namun menjadi korban karena mereka mudah

untuk dekat dengan orang yang baru dia kenal.

55
4.2.2.2 Hubungan antara religiusitas dan kekerasan seksual pada anak di

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di

Kabupaten Tangerang tahun 2020

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 responden

yang mengalami kekerasan seksual 28 responden (77,8%) memiliki tingkat

religiusitas tidak taat dan 8 responden (22,2%) memiliki tingkat religiusitas

taat. Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,000 < 0,05 dengan demikian ada

hubungan antara tingkat religiusitas dengan kekerasan seksual pada anak di

Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan

Anak Kabupaten Tangerang Tahun 2019. Adapun nilai Odds Ratio (OR)

sebesar 7,000 sehingga dapat dinyatakan bahwa responden dengan

religiusitas tidak taat berpeluang 7,000 kali lebih besar mengalami

kekerasan seksual dibandingkan responden dengan religiusitas taat.

Pendidikan agama adalah pendidikan yang didalamnya terdapat

pengetahuan yang dapat membentuk kepribadian dan sikap seorang anak.

Tujuan diajarkan pendidikan agama yaitu agar anak tumbuh dan

berkembang menjadi manusia yang mempunyai karakter. Pendidikan agama

dan moral sangat membantu anak memasuki tahapan selanjutnya (Wiji,

2016).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Humaira (2015) bahwa

anak dengan paham agama yang kurang dapat memicu tindakan asusila.

Contohnya dengan mengenakan pakaian mini yang dapat mengundang

tindakan kejahatan. Penelitian Aprelia (2016) juga menyatakan bahwa

56
pengetahuan agama yang kurang dapat berisiko terjadinya kekerasan

seksual.

Menurut asumsi peneliti bahwa ada hubungan antara tingkat

religiusitas dengan kekerasan seksual. Ilmu pengetahuan agama dapat

membentengi rohani anak agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang

menyimpang. Selain itu, cara berpakaian yang sopan dan tertutup dapat

mencegah atau melindungi diri dari kejahatan di lingkungan sekitar dan juga

dapat membatasi diri dengan siapa harus bergaul dalam kesehariannya.

4.2.2.3 Hubungan antara peran orang tua dan kekerasan seksual pada anak di

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di

Kabupaten Tangerang tahun 2020

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 responden

yang mengalami kekerasan seksual 26 responden (72,2%) terjadi pada peran

orang tua yang kurang baik dan 10 responden (27,8%) terjadi pada peran

orang tua yang baik. Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,000 < 0,05 dengan

demikian ada hubungan peran orang tua responden dengan kekerasan

seksual pada anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Pemrempuan dan Anak Kabupaten Tangerang Tahun 2019.

Adapun nilai Odds Ratio (OR) sebesar 10,771 sehingga dapat dinyatakan

bahwa responden dengan peran orang tua kurang baik berpeluang 10,771

kali mengalami kekerasan seksual dibandingkan responden dengan peran

orang tua yang baik.

57
Pentingnya kesadaran orang tua dalam mengantisipasi tindak

kejahatan pada anak dapat diantisipasi dengan cara berperan semaksimal

mungkin sebagai orang tua. Peran yang orang tua yang dapat dilakukan

dalam mencegah kekerasan seksual diantaranya orang tua dapat berperan

sebagai pendorong , pendidik, komunikator. Orang tua dapat mendidik dan

berkomunikasi dua arah dengan anak sebagaimana cara mencegah

kekerasan seksual, salah satu contohnya orang tua dapat mengajarkan apa

saja bagian tubuh dari anak yang tidak boleh disentuh oleh orang lain.

(Indanah, 2016)

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati

(2015) dilihat dari uji statistic di dapat nilai P-value: 0,036. Maka

disimpulkan bahwa ada hubungan antara peran orang tua terhadap

kekerasan seksual pada anak. Hasil analisis tersebut sesuai dengan hipotesis

yang telah di tegakkan.

Menurut asumsi peneliti bahwa walaupun peran orang tua banyak

yang baik, namun masih banyak terdapat pera orang tua yang kurang baik.

Keluarga atau orang tua sebagai figur contoh untuk dapat memberikan

pengetahuan agama untuk membentuk karakter sedini mungkin. Selain itu,

orang tua mengajarkan berpakaian yang sopan ketika keluar rumah atau

bertemu dengan tamu dirumah. Untuk mencegah terjadinya kekerasan

seksual pada anak, orangtua harus lebih memperhatikan tentang pergaulan

sehari-hari dan memberikan batasan jam main atau jam pulang kerumah.

58
4.2.2.4 Hubungan antara pendidikan orang tua dan kekerasan seksual pada

anak di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan

Anak di Kabupaten Tangerang tahun 2020

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 responden

yang mengalami kekerasan seksual seksual, 10 responden (27,8%) memiliki

tingkat pendidikan orang tua rendah dan 26 responden (72,2%) memiliki

tingkat pendidikan orang tua tinggi. Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,448

> 0,05 dengan demikian tidak ada hubungan pendidikan orang tua

responden rendah dengan kekerasan seksual pada anak di Wilayah Kerja

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten

Tangerang Tahun 2019.

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang ditempuh secara

teratur, sistematis, bertingkat atau berjenjang dan mengikuti syarat-syarat

yang jelas. Secara umum, yang dimaksud pendidikan adalah mengikuti

kegiatan proses pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan dan

keterampilan. Tingkat pendidikan yang di tempuh diukur dari jenjang

pendidikan formal berdasarkan ijazah terakhir (Herjanti, 2015)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Syahputra (2014) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara pendidikan orang tua dengan keadian kekerasan seksual

pada anak. Namun hal ini bertolak belakang dengan penelitian Yudiningrum

(2015) tentang faktor yang mempengaruhi kekerasan seksual menunjukkan

hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan

orang tua dengan kejadian kekerasan seksual pada anak.

59
Menurut asumsi peneliti bahwa tidak ada hubungan antara

pendidikan orang tua dengan kekerasan seksual. Pendidikan orang tua yang

tinggi tidak menjamin dapat memberikan pendidikan kepada anak-anak

mereka. Banyak faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut seperti para

orang tua yang sibuk bekerja dan yang tidak memiliki banyak waktu untuk

mendidik atau memberikan informasi tentang seksualitas kepada anak-anak.

4.2.2.5 Hubungan antara status orang tua dan kekerasan seksual pada anak di

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di

Kabupaten Tangerang tahun 2020

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 responden

yang mengalami kekerasan seksual, 13 responden (36,1%) memiliki status

orang tua bercerai dan 23 responden (63,9%) memiliki status orang tua tidak

bercerai. Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,234 > 0,05 dengan demikian

tidak ada hubungan status orang tua responden dengan kekerasan seksual

pada anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang Tahun 2019.

Status perceraian dalam keluarga banyak menimbulkan dampak

negatif bagi keluarga lain termasuk anak. Perceraian ini menyebabkan anak

mengalami kurang kasih sayang oleh kedua orangtuanya yang dapat

menimbulkan masalah seperti kurangnya minat untuk belajar dan

berkurangnya tingkat kepercayaan diri. Peran orang tua sangat berpengaruh

terhadap anak. Anak dalam keluarga yang bercerai lebih menunjukkan

penyesuaian dibandingkan dengan keluarga anak yang utuh dengan

kehadiran kedua orangtuanya. Orang tua tua yang sibuk, pengasuh yang

60
buruk, membuat anak menjadi depresi, bingung, dan ketidakmantapan

emosi yang menghambat mereka untk tanggapdalam situasi (Santrock,

2015).

Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Diana (2017) dilihatdari uji statistic di dapat nilai P=value 0,036. Maka

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara status orang tua dengan

kejadian kekerasan seksual pada anak.

Menurut asumsi peneliti bahwa ternyata status orang tua yang tidak

bercerai lebih banyak, namun tidak menutup kemungkinan bahwa anak

tidak menjadi korban kekerasan seksual. Tanpa pengawasan, pola asuh,

pendidikan agama dan peran orang tua yang baik, siapapun dapat menjadi

korban. Orang tua yang bercerai harus tetap memberikan perhatian dan

kasih sayang yang sama seperti keadaan sebelum bercerai agar anak tidak

merasa murung dan cenderung menyalahkan diri sendiri.

4.2.2.6 Hubungan antara pengaruh media sosial dan kekerasan seksual pada

anak di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan

Anak di Kabupaten Tangerang tahun 2020

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 responden yang

mengalami kekerasan seksual, 18 responden (50%) memiliki pengaruh

sosial media terpapar dan 18 responden (50%) memiliki pengaruh sosial

media tidak terpapar. Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,478 > 0,05

dengan demikian tidak ada hubungan pengaruh media sosial dengan

61
kekerasan seksual pada anak di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Pemrempuan dan Anak Kabupaten Tangerang Tahun 2019.

Media sosial yang di maksud adalah segala macam bentuk media

tempat orang bersosialisasi secara maya baik dalam bentuk situs, jejaring

sosial, konten, film, maupun gambar, dan apapun yang berghubungan

dengan dunia internet. Media sosial sangat cepat mempengaruhi prilaku

penggunanya dan sangat membuat orang merasa ketergantungan untuk

mengaksesnya (I Gusti Agung, 2017).

Hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang di lakukan oleh

Sari (2014), bahwa terdapat adanya hubungan antara pengaruh media sosial

terhadap kejadian kekerasan seksual pada anak. Hasil analisis penelitian

adanya kemudahan dalam menemukan berbagai macam informasiberkaitan

dengan seks yang menyebabkan kekerasan seksual pada anak.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Novi (2015) yang

menyatakan bahwa pengaruh media sosial dengan kejadian kekeraan

seksual pada anak kurang berpengaruh. Hasil uji statistic di dapat nilai

P=value 0,268 maka disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara

pengaruh media sosial dengan kekerasan seksual pada anak.

Menurut asumsi peneliti media sosial tidak berpengaruh terhadap

kekerasan seksual pada anak selama penggunaan nya masih terpantau oleh

orang tua. Berbagai informasi yang dapat diakses oleh anak-anak melalui

internet atau majalah yang disajikan secara jelas namun terkadang ditelan

secara mentah oleh anak-anak tanpa adanya penjelasan dari orang dewasa

atau orang tua mengenai prilaku seks dan sebagainya.

62
4.3 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah saat mengumpulkan

sampel, dimana korban kekerasan seksual bersifat rahasia dan pada saat

pemberian kuesioner penelitian melalui bantuan dari google form,

menjadikan peneliti tidak dapat melihat secara langsung. Akan tetapi

peneliti melakukan wawancara informal kepada responden sehingga hasil

penelitian ini dapt di pertanggung jawabkan. Pada penelitian ini, peneliti

menggunakan metode analitik dengan pendekatan case control karena

keterbatasan akses mendapatkan sampel. Banyak faktor yang

mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual pada anak yang dijadikan

variabel, namun dalam penelitian ini yang digunakan hanya enam variabel

saja. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan waktu.

63
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Dari penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang Tahun 2019

pada 72 responden di dapatkan anak yang mengalami kekerasan seksual

sebesar (50%), memiliki kepribadian pasif (38,9), tingkat religiusitas tidak

taat (55, 6%), peran orang tua kurang baik (54,2%), pendidikan orang tua

yang rendah (31,9%), status orang tua bercerai (43,1%), pengaruh media

sosial yang tidak terpapar (54,2%)

b. Sebanyak 50% responden mengalami kejadian kekerasan seksual pada

anak.

c. Tidak ada hubungan signifikan antara kepribadian dengan kekerasan

seksual pada anak.

d. Ada hubungan signifikan antara religiusitas dengan kekerasan seksual

pada anak.

e. Ada hubungan signifikan antara peran orang tua dengan kekerasan seksual

pada anak.

f. Tidak ada hubungan signifikan antara pendidikan orang tua dengan

kekerasan seksual pada anak.

g. Tidak ada hubungan signifikan antara pengaruh media sosial dengan

kekerasan seksual pada anak.

64
h. Peluang terjadinya kekerasan seksual yang terbesar adalah peran orang tua

dengan nilai OR 10,771.

5.2 Saran

a. Bagi institusi pendidikan

Diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu

kebidanan dalam mencegah kekerasan seksual pada anak.

b. Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan dan

informasi bagi masyarakat khususnya orang tua untuk mencegah

terjadinya kekerasan seksual pada anak usia 8-19 tahun.

c. Bagi keluarga

Diharapkan dapat menjadikan pelajaran untuk mengidentifikasi kasus

kekerasan seksual pada anak agar dapat di ditangani sedini mungkin.

65
DAFTAR PUSTAKA

Anugraheni, E. (2013). Hubungan pengetahuan dan sikap orang tua tentang

pendidikan seks dengan tindakan orang tua dalam pemberian pendidikan

seks pada remaja di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Fakultas

Kesehatan Masyarakat bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Universitas Jember.

Amanda, Putri. 2016. Mencegah dan Melindungi Kekerasan Terhadap Anak.

Jurnal Peradilan Indonesia. 4 (01): 49-67.

Azwar, S. (2015). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi ke 2.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bahri, Dkk. (2015). Suatu Kajian Awal Terhadap Tingkat Pelecehan Seksual Di

Aceh. (Jurnal Pencerahan) Vol. 9. Universitas Syiah Kuala : Majelis

Pendidikan Daerah Aceh.

Catahu. 2020. Ringkasan Eksekutif Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020.

Sbmi.

Dwi Yuwono, Ismantoro, 2015, Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan

Seksual terhadap Anak, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, Cet.I.

Ekandari, Mustaqfirin, & Faturochman. 2001. Perkosaan, dampak, dan alternatif

penyembuhannya. Jurnal Psikologi, 1, 1–18

Fauzi’ah, Syarifah 2016, Faktor Penyebab Pelecehan Seksual Terhadap Anak,

An-Nisa’, Volume IX Nomor 2 Desember 2016.

66
Fu’ady, M. A. 2011. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi

Fenomenologi. Psikoislamika : Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam, 8(2),

191–208.

Fisnawati, shanti. 2014. Hubungan pengetahuan orang tua tentang kesehatan

seksual pada Anak usia 7-12 tahun dengan sikap orang tua dalam

pencegahan Kekerasan seksual.

Frued, Sigmund. (2016). A General Introduction To Psychoanalysis (Pengantar

Umum Psikoanalisis). Indoleterasi : Yogyakarta

Ghazali, Dkk. (2016). Deteksi Kepribadian-Psikologi Kepribadian Deteksi

Kepribadian. Pt Bumi Aksara : Jakarta

Hawari, D. (2011). Psikopatologi kejahatan seksual. Jakarta: Badan Penerbit

FKUI

Humaira B, Diesmy dkk. 2015. Kekerasan Seksual pada Anak: Telaah Relasi

Pelaku Korban dan Kerentanan pada Anak. Jurnal Psikologi Islam (JPI). 12

(2). Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim.

IDAI. (2014). Mengajari kewaspadaan kekerasan seksual pada anak.

Indanah, 2016, Pelecehan Sexual Pada Anak, JIKK Vol. 7 No.1 Januari 2016 :

16-23.

Jatmiko, Tri Endang, Angin, Ria dan Ernawati. 2015. “Model dan Materi

Pendidikan Seks Anak Usia Dini Perspektif Gender untuk Menghindarkan

Sexual Abuse.” Cakrawala Pendidikan, No 13.

Kemenkes RI. (2014). Tingkatkan kerjasama dan kewaspadaan kekerasan pada

anak.

67
Kemenkes RI. 2016. Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Ligina, Lani., 2018. Peran orang tua dalam pencegahan kekerasan seksual pada

anak sekolah dasar di kota bandung

Mashudi, Dkk. (2015). Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak Melalui

Pengajaran Personal Safety Skills. (Jurnal) Universitas Pendidikan

Indonesia : Serang.

Mesra, E. M., Salmah, S. S., & Fauziah, F. F. 2014. Kekerasan Dalam Pacaran

Pada Remaja Putri Di Tangerang. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan,

2(1), 1–8.

Neng Lani.(2018).Peran Orang tua Dalam Pencegahan Kekerasan Seksual Pada

Anak Sekolah Dasar di Bandung. ISSN.2086-3071.E-ISSN2443-0900.Vol.

09 no 02 juli 2018.

Notoadmodjo, S, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta

Ratih, 2015. Pedofilia dan kekerasan seksual: masalah dan perlindungan

terhadap anak

Ratnasari, R. F. and Alias, M. (2016) ‘Pentingnya Pendidikan Seks Untuk Anak

Usia Dini’, 2(2), pp. 55–59.

Rakhmawati, I. (2015). Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak. SMP 1 Undaan

Kudus Jawa Tengah, Indonesia

68
Rossy, AE. 2015. Analisis Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media

Online Detik.Com. Jurnal UIN Alauddin Makassar

Rustianti, R. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku

Pencegahan Orangtua Terhadap Kekerasan Seksual Pada Anak Di Rw 003

Desa Sukamanah Kecamatan Sukatani Kabupaten Bekasi. Stikes Medika :

Cikarang

Safita, R. (2013). Peranan orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada

anak.

Saragih, R. S. (2014). Membangun paradigma optimalisasi kompetensi

mahasiswa melalui pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual.

Universitas Indonesia, Fakultas Hukum.

Sari, Ratna. dkk. 2015. Pelecean Seksual Terhadap Anak. Prosiding Riset dan

PKM. 2 (1) 1-146. Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.

Sheila & Farida. 2017. Pendidikan Seksualitas Sejak Dini sebagai Upaya

Menghindarkan Anak-Anak Usia Sekolah Dasar dari Penyimpangan

Seksualita. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar. 5 (3). Universitas Negeri

Surabaya

Suistyowati, Anugrah. dkk. 2018. Psikoedukasi Seks: Meningkatkan Pengetahuan

Untuk Mencegah Pelecehan Seksual pada Anak Prasekolah. 6 (1) Januari

2018. Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Syahputra, W. (13 Februari 2014). Lima negara tertinggi kasus pelecehan seksual

anak. Republika Online.

69
Wahyuni, Sri., 2017. Hubungan karakteristik orangtua dengan pengetahuan

tentang pencegahan tindak kekerasan seksual pada anak usia 3-5 tahun di

kb ‘aisyiyah rejodani sariharjo ngaglik sleman yogyakarta

WHO. 2014. Violence Against Women. World Health Organization.

Wiji, susi,. 2016. hubungan antara kontrol diri dengan pelecehan seksual pada

remaja di Unit Kegiatan Mahasiswa Olahraga Universitas Muhammadiyah

Purwokerto.

Yudiningrum, F. O. F. R. (2015). Terpaan Pemberitaan Kekerasan Seksual Pada

Anak Terhadap Tingkat Kecemasan Dan Perilaku Protektif Orang Tua

Murid. Jurnal Komunikasi Massa, 1(1), 1–20.

Zikra, Z. 2019. Chronotherapy for Women Victims of Domestic Violence

Chronotherapy untuk Wanita Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia, 5(1), 20–23.

70

Anda mungkin juga menyukai