Anda di halaman 1dari 79

PENGARUH EDUKASI KEPERAWATAN TERHADAP KECEMASAN

PASEIN PRE OPERASI APPENDIXCITIS DIRUMAH SAKIT


MITRA KELUARGA CIBUBUR TAHUN 2020

SKRIPSI
Diajukan Sebagai salah satu syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

HERMAYA SANTI SIAHAAN

NIM : 11060155

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA 2020
LEMBAR PERSETUJUAN

PENELITIAN INI DISETUJUI, DIPERIKSA DAN DIPERTAHANKAN


DIHADAPAN TIM PENGUJI PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKILTAS KESEHATAN UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA

Jakarta, 19 Januari 2021

Pembimbing I Pembimbing II

( Thika Marliana, Ners, M.Kep.,Sp.Kep.J ) ( Umi Kalsum, M.Kep, Ners )

Pembimbing III

( Fajar Susanti, Ns, M.Kep.,Sp.Kep.Kom )

Mengetahui,
Ketua Program Studi Keperawatan

(Ns. Apri Sunandi, M.Kep, Sp.Kep.M.B)

II
PERNYATAAN PERSETUJUAN

PROPOSAL SKRIPSI DENGAN JUDUL

Pengaruh Edukasi Keperawatan Terhadap Kecemasan Pasein Pre Operasi


Appendixcitis Dirumah Sakit Mitra Keluarga Cibubur Tahun 2020

Hasil penelitian ini telah diperiksa oleh pembimbing dan disetujui untuk
dilaksanakan sidang proposal

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA

Jakarta, 19 Januari 2021

Pembimbing I Pembimbing II

( Thika Marliana, Ners, M.Kep.,Sp.Kep.J ) (Umi Kalsum, M.Kep, Ners )

Pembimbing III

( Fajar Susanti, Ns, M.Kep, Sp,Kep, Kom )

III
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kepada Tuhan YME , yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya ,sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

“PENGARUH EDUKASI KEPERAWATAN TERHADAP KECEMASAN

PASEIN PRE OPERASI APPENDIXCITIS DIRUMAH SAKIT MITRA

KELUARGA CIBUBUR TAHUN 2020 “. Dalam penulisan skripsi ini, peneliti

banyak mendapatkan dukungan juga bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo, drg., MS selaku Rektor Universitas Respati

Indonesia Jakarta.

2. Zainnal Abidin, M.Sc selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Respati Indonesia Jakarta

3. Ns. Apri sunandi, M. Kep Sp.KMB Ketua Program Studi Keperawatan

Universitas Respati Indonesia Jakarta.

4. Thika Marliana, Ners, M.Kep., Sp.Kep. J Sebagai pembimbing I yang memberikan

masukan dan pengarahan kepada penulis dalam melakukan perbaikan untuk

kesempurnaan Skripsi

5. Umi Kalsum, M.Kep, Ners Sebagai pembimbing II yang telah memberikan masukan
dan pengarahan kepada penulis dalam melakukan perbaikan untuk
kesempurnaan Skripsi

6. Fajar Susanti, Ns, M.Kep, S.Kep, Kom sebagai pembimbing III yang telah memberikan

dan pengarahan kepada penulis dalam melakukan perbaikan untuk kesempurnaan skripsi.

6. Sebagai Direktur Rumah Sakit Mitra Keluarga Cibubur yang telah


memberikan izin kepada penulis untuk pengambilan data.

IV
7. Para dosen dan seluruh karyawan staf yang terkait di program Studi

Keperawatan Universitas Respati Indonesiayang banyak membantu dalam

penyusunan Skripsi.

8. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan kasih sayang dan do’a

Untuk setiap langkah yang ditempuh Peneliti.

9. Kakak dan Adikku tercinta yang telah memberikan do’a sehingga dalam

Penelitan ini diberi kelancaran.

10. Kepada suami dan anak yang selalu memotivasi, membantu serta selalu

mendoakan kelancaran penelitian ini.

11. Kepada para sahabat yang banyak membantu dalam penyusunan dan

pelaksanaan penelitian ini.

12. Kepada Teman-teman Kelas yang telah mengarungi susah senang bersama

dalam perkuliahan ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini, masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun

dari para pembaca agar skripsi menjadi lebih sempurna.

Jakarta, September 2020

Peneliti

V
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................I


LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................. II
PERNYATAAN PERSETUJUAN....................................................................... III
KATA PENGANTAR.......................................................................................... IV
DAFTAR ISI........................................................................................................ VI

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................6
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................................7
1.4. Manfaat Penelitian...........................................................................................8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori..............................................................................................................................9

2.1.1. Appendixcitis.............................................................................................................9

2.1.2. Kecemasan...............................................................................................................15

2.1.3. Pre Operasi ..............................................................................................................24

2.1.4. Konsep Edukasi........................................................................................................29

2.2. Kerangka Teori ..........................................................................................................34

BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPRASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep .......................................................................................................35

3.2. Definisi Oprasional ....................................................................................................36

3.3. Hipotesis ....................................................................................................................37

VI
BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian.........................................................................................................38

4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian......................................................................................39

4.3. Populasi.......................................................................................................................39

4.3. Sampel........................................................................................................................40

4.4. Etika Penelitian...........................................................................................................41

4.5. Metode Pengumpulan Data.........................................................................................41

4.6. Instrumen Penelitian ..................................................................................................41

4.6. Pengolahan Data...... ..................................................................................................43

BAB 5 Hasil Peneltian


5.1. Hasil Data................ ..................................................................................................47

5.1.1. Univariat .................................................................................................................47

5.1.2. Bivariat ...................................................................................................................52

BAB 6 PEMBAHASAN

5.1.Pengantar BAB................ ...........................................................................................54

5.2. Interprestasi dan diskusi hasil................ ....................................................................54

BAB 7 PENUTUP

7.1. Kesimpulan................ ................................................................................................69

7.2. Saran...................................................... ....................................................................69

LAMPIRAN- LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penyakit pada sistem pencernaan sangat banyak salah satunya adalah appendicitis.

Appendicitis adalah peradangan appendicitis perifomis dan merrupakan penyebab

abdomen akut yang palin sering. Appendicitis diperkirakan ikut serta dalam sistem

imun sekorik di saluran pencenrnaan. Namun pengangkatan appendicitis tidak

menimbulkan efek fungsi sistem imun. Komplikasi utama pada appendicitis adalah

perforasi appendicitis yang dapat bekembang menjadi peritoniis atau abses

(Soewito, 2017).

World Health Organization (WHO, 2016) memperkirakan kejadian appendicitis di

dunia pada tahun 2016 mencapai 8% dari keseluruhan penduduk dunia adalah 0,2-

0,8% serta serta meningkat sampai 20% pada penderita yang berumur kurang dari

18 tahun dan lebih dari 70 tahun (Soewito, 2017). Prevalensi sekitar 7% dari

kebanyakan populasi di Amerika dengan kejadian 1,1 kasus per seribu orang per

tahun. Kejadian appendicitis mencapai puncaknya pada kelompok usia remaja akhir

yaitu usia 17 – 25 tahun (Noffsinger AE, 2017). Frekuensi terjadinya Appendicitis

antara laki-laki dan perempuan umumnya sama. Terdapat perbedaan pada usia 20-

30 tahun, dimana kasus appendicitis lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki

pada usia tersebut (Amalia I, 2016). Departemen Kesehatan Republik Indonesia

pada tahun 2008 jumlah penderita appendicitis mencapai 591.819, pada tahun 2009

sebesar 596.132 orang dan insiden ini menempati urutan tertinggi diantara kasus

1
kegawatan abdomen lainnya (Depkes RI, 2013). Penderita appendicitis yang

dirawat di rumah sakit pada tahun 2013 sebanyak 3.235 orang dan pada tahun 2014

sebanyak 4351 orang (Depkes RI, 2014). Kementrian Kesehatan menganggap

appendik merupakan isu prioritas kesehatan ditingkat lokal dan nasional karena

mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2015). Dinas

kesehatan Jawa Barat menyebukan pada tahun 2014 jumlah kasus appendicitis

sebanyak 1355 penderita dan 190 penderita diantaranya menyebabkan kematian

(Zulfikar dkk,2015).

Penyebab obstruksi lumen Appendicitis paling sering adalah oleh batu feses. Faktor

lain yang dapat menyebabkan obstruksi lumen appendicitis antara lain hiperplasia

jaringan limfoid, tumor, benda asing dan sumbatan oleh cacing. Studi epidemiologi

lainnya menyebutkan bahwa ada peranan dari kebiasaan mengonsumsi makanan

rendah serat yang mempengaruhi terjadinya konstipasi, sehingga terjadi

appendicitis (Fransisca dkk, 2018). Pasien yang menderita appendicitis umumnya

akan mengeluhkan nyeri pada perut kuadran kanan bawah. Gejala yang pertama

kali dirasakan pasien adalah berupa nyeri tumpul di daerah epigastrium atau di

periumbilikal yang akan menyebar ke kuadran kanan bawah abdomen. Selain itu,

mual dan muntah sering terjadi beberapa jam setelah muncul nyeri, yang berakibat

pada penurunan nafsu makan sehingga dapat menyebabkan anoreksia. Demam

dengan derajat ringan juga sering terjadi (Amalia I, 2016).

Dalam hal ini perlu dilakukan tindakan bedah sebagai terapi appendicitis, yang

disebut juga apendektomi, merupakan satu-satunya terapi kuratif Appendicitis

(Zulfikar dkk, 2015). Pembedahan adalah tindakan pengobatan dengan membuka

2
atau menampilkan bagian tubuh , dan pada umumnya dilakukan denagn sayatan

pada bagian tubuh yang akan ditangani serta dilakukan perbaikan dan diakhiri

dengan penutupan serta penjahitan luka (Apriansyah, Romadoni,& Andrianovita,

2015). Sebelum terjadinya proses pembedahan terdapat tahapan , Pre-operasi pada

umumnya tindakan operasi yang merupakan pengalam baru bagi sebagian orang,

dan operasi bisa menimbulkan seseorang mengalami respon berupa kecemasan.

(Kusniati, 2018). Karena tindakaan pengalaman pribadi terhadap-tahap oprasi pada

tahap ini merupakan pengalam baru dari sebagian orang tindakan oprasi yang

menimbulkan kecemasan yaitu respon pasien yang cemas ditunjukan melalui

ekspresi marah, bingung, apatis atau mengajukan pertanyaan (Soewito, 2017).

Perasaan kecemasan merupakan salah satu gejala bersamaan yang paling penting

dari penyakit fisik dan psikologis. Hal ini dapat dilihat sebagai reaksi organik

kompleks yang terjadi hanya dalam situasi yang dianggap berbahaya. Periode

sekitar operasi adalah contoh dari ini, sebagai pasien yang terlibat dalam situasi

yang dinilai menjadi negatif (Komolafe, dkk. 2015). Kecemasan biasanya

berhubungan dengan segala macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan

juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat prosedur pembedahan dan tindakan

operasi (Nugraheni dkk, 2016). Kecemasan pada pasien pra operasi dapat

mengakibatkan operasi tidak terlaksana atau dibatalkan, selain itu kecemasan dapat

meningkatkan tekanan darah pasien. Apabila tekanan darah pasien naik dan tetap

dilakukan operasi dapat mengganggu efek dari obat anastesi dan dapat

menyebabkan pasien terbangun kembali ditengah-tengah operasi (Tantri, 2017).

3
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fatoye et. al (2015) di RSUD dr Rg

Goeteng Taroenadibrata menunjukan bahwa dari 51 responden yang akan dioperasi

diperoleh hasil analisis ada 26 responden (51%) memiliki signifikan kecemasan pre

operasi dan 8 responden (15,7%) memiliki signifikan kecemasan pasca oprasi.

Hasil statistik juga menunjukan bahwa ada perbedaan tingkat kecemasan yang lebih

tinggi signifikan dari kecemasan sebelum operasi dibandingkan dengan tingkat

kecemasan pasca operasi. Tindakan operasi bagi pasien yang belum pernah

mendengar dan mengalaminya akan memberikan suatu stresor atau masalah yang

dapat menjadikan kecemasan (Fatoye et. al, 2015).

Menurut penelitian oleh Wijayanto & Sari (2018) RS Imanuel Lampung.

pendidikan kesehatan terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi

menunjukan bahwa pasien yang mengalami kecemasan ringan sebanyak 28,1%,

kecemasan sedang sebanyak 59,4%, dan kecemasan berat 12,5%. Hal tersebut

menunjukan bahwa sebagian besar pasien pre operasi mengalami kecemasan.

Kecemasan seringkali dikaitkan dengan suatu bentuk pemahaman yangt salah

mengenai tindakan pembedahan atau keterbatas informasi tentang kejadian yang

akan dialami oleh seseorang pasien sebelum oprasi. Kesuksesan tindakan

pembedahan secara keseluruhan sangat bergantung kepada fase pre oprasi atau

perawatan sebelum dilakukan tindakan oprasi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wawan, dkk (2019) di RSUD

dr Soekardjo Kota Tasikmalaya menunjukan bahwa responden dengan tingkat

kecemasan ringan sebanyak 9 orang (21,4 %) tingkat kecemasan sedang yaitu 21

orang (50%) tinkat kecemasan berat itu sebanyak 12 orang (28,6%) dan 42 rendah

4
(100%). Pasien yang menjalani operasi mengalami tingkat kecemasan sedang

dengan skor yang didapat juga timbul respon fisik seperti seperti mulai berkeringat,

sering buang air kecil, tidur tidak nyenyak, suka bangun malam hari didukung pula

oleh setatus ekonomi, sosial, dan pendidikan rendah.

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan pasien

salah satunya dengan pemberian edukasi terkait prosedur keperawatan kemuadian

treatmen atau pengabatan dan alur penyakit yang diderita oleh pasien, hal ini

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasien pre oprasi dalam mengurangi tingkat

kecemasan akibatnya kurangnya informasi. Pemberian edukasi mengenai asuhan

keperawatan prosedur pengobatan dan alur penyakit yang diderita boleh, hal ini

karena salah satu kebutuhan yang harus terpenuhi pada pasien pre-operasi adalah

kebebasan dari rasa cemas akibat kurangnya informasi dari tenaga kesehatan.

Seperti penyampaian pendidikan kesehatan memerlukan lisan atau media untuk

membantu mempermudah penerimaan dalam pemberian pesan. Media yang

digunakan untuk pendidikan kesehatan terdiri atas media elektronik dan media

cetak. Media cetak terdiri dari leaflet, booklet, fleyer, flip chart dan rubric

Notoatmojo (2014) (Fitria & Mugi. 2019). Semua pasien perlu diberikan informasi

mengenai penyakit appendicitis sebelum pre operasi, hal ini merupakan elemen

penting untuk mengurangi kecemasan (Savitri, 2015).

Kecemasan akan menyebabkan tubuh bereaksi yang merangsang pikiran sehingga

menyebabkan ketegangan fisiologis yang salah satunya ditandai dengan ketegangan

otot. Ketegangan fisologis sebaliknya akan meningkatkan pengalaman subjektif

terhadap kecemasan. Hal ini diperkuat Dolbier & Rush (2017) yang menyatakan

5
bahwa terapi relaksasi oto progresife dapat menurunkan kecemasan yang singkat.

Terapi relaksasi otot progresife dapat mengatasi kecemasan melalui aspek kognitif

dan fisik serta memberikan efek releksasi sehingga selai dapat menurunkan

kecemasan juga dapat meningkatkan status fisik dan psikologis klien (Mc Cloghan

et al, 2015).

Dari data di Rs Mitra Keluarga Cibubur kasus appendicitis dari tahun 2017 sampai

2019 mengalami peningkatan. Data dalam rekam medik tahun 2017 terdapat 51

kasus pasien appendicitis. Sedangkan untuk tahun 2018 terdapat 58 kasus pasien

appendicitis. Dari data tersebut dapat diperkirakan tahun 2019 63 kasus lebih tinggi

dari tahun- tahun sebelumnya . Data tersebut terjadi kasus appendicitis masih

terbilang besar. Berdasarkan data rekam medik 3 bulan terakhir sesudah pandemic

covid 19 pada tanggal 4 Mei sampai 3 Juli 2020 terdapat 38 pasien pre oprasi

appendicitis (Rekam Medik RS Mitra Keluarga Cibubur, 2020).

1.2. Rumusan Masalah

Kecemasan dapat dialami oleh pasien yang akan menjalani operasi merpakan

tindakan yang dapat menyebabkan kematian atau kecacatan jika tindakan tersebut

tidak berjalan dengan baik. Sehingga kebanyakan orang yang akan menjalani

operasi merasa takut bahkan tidak ingin menggalaminya. Dari data rekam medik

tiga bulan terkhir 4 Mei sampai 3 Juli 2020 yang didapatkan di ruang operasi RS.

Mitra keluarga cibubur dari 38 pasien, setelah di wawancarai pasien mengatakan

merasa cemas akibat takut terjadi apa-apa dalam prosedur operasi dan pasien

mengatakan tidak mengerti dirinya akan dilakukan tindakan apa ketika operasi.

Menurut hasil wawancara dari perawat ruang operasi yang sedang bertugas pada

6
tanggal 5 Mei 2020 pasien pre operasi selalu diberikan edukasi sebelum dilakukan

operasi namun tidak secara mendetail. studi pendahuluan yang dilakukan oleh

penelitian di Rumah Sakit Mitra Kelurga Cibubur peneliti tertarik untuk

mengetahui Pengaruh Edukasi Keperawatan Terhadap Kecemasan Pasein Pre

Operasi Appendicitis Di Rumah Sakit Mitra Kelurga Cibubur Tahun 2020.

1.3. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Pengaruh Edukasi Keperawatan Terhadap Kecemasan

Pasein Pre Operasi Appendicitis Di Rumah Sakit Mitra Kelurga Cibubur

Tahun 2020

b. Tujuan Khusus

1. Untuk Diketahui distribusi frekuensi kejadian appendicitis di ruang operasi

RS. Mitra keluarga Cibubur tahun 2020

2. Untuk Diketahui tingkat kecemasan pasien pre-operasi appendicitis setelah


diberikan edukasi di RS. Mitra keluarga Cibubur tahun 2020.

3. Untuk Diketahui tingkat kecemasan pasien pre-operasi appendicitis tanpa


diberikan edukasi di RS. Mitra keluarga Cibubur tahun 2020.

7
1.4.Manfaat Penelitian

1. Institusi Rumah Sakit

Diharapkan dapat menjadi acuan memberikan asuhan keperawatan pasien dengan

kecemasan di ruang operasi.

2. Perawat

Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan perawat dalam malakukan asuhan

keperawatan dengan baik. Salain itu bagi perawat agar lebih memberikan perhatian

terhadap klien dalam melakukam edukasi terhadap tingkat kecemasan pasien di

ruang operasi.

3. Bagi Pasien

Dengan dilakukannya edukasi terhadap pasien diharapkan pasien mampu

mengurangi / mengontrol kecemasan.

4 Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya seperti,

penelitian yang membahas tentang Pengaruh Edukasi Keperawatan Terhadap

Kecemasan Pasein Pre Operasi Appendicitis

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1 Appendicitis

2.1.1.1. Definisi

Appendicitis adalah suatu proses obstruksi yang disebabkan oleh benda asing batu

feses kemudian terjadi proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari apendiks

verivormis (Nugroho, 2017). Sedangkan menurut Williams & Wilkins, (2016)

appendicitis merupakan peradangan yang berbahaya jika tidak ditangani segera bisa

menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams & Wilkins, 2016). Dan menurut

Reksoprojo appendicitis adalah suatu peradangan yang berbentuk cacing yang

berlokasi dekat ileosekal (Reksoprojo, 2017).

Appendicitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing.

Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan

bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya

(Sjamsuhidajat, 2016).

Jadi dapat disimpulkan definisi 2 tersebut appendicitis merupakan proses obstuksi

atau peradangan dari apendiks yang menyebabkan infeksi pada umbai cacing. Jika

tidak segara ditangani dapat menyebabkan kerusakan pada usus sehingga

memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah terjadinnya komplikasi.

9
2.1.1.2.Klasifikasi

Menurut Nurafif & Kusuma (2013) terdapat beberapa klasifikasi penyakit

appendicitis, diantaranya terbagi menjadi 3 jenis yaitu:

a. Appendicitis akut, radang mendadak di umbai cacing yang memberikan tanda,

disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum lokal.

b. Appendicitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang di perut bagian

kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi

bila serangan apendisitis akut pertama sembuh spontan.

c. Appendicitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah

lebih dari dua minggu (sumbatan di lumen apendiks, adanya jaringan parut dan

ulkus lama di mukosa), dan keluhan hilang setelah apendiktomi

2.1.1.3. Etiologi

Appendicitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal menjadi faktor

penyebabnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus disamping

hyperplasia jaringan limfe, batu feses, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat

juga menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga menimbulkan

appendicitis yaitu erosi mukosa appendicitis karena parasit seperti E.Histolytica

(Sjamsuhidajat, 2016).

2.1.1.4.Patofisologi

Appendicitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh

fases yang terlibat atau fekalit. Sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa

appendicitis berhubungan dengan asupan makanan yang rendah serat. Pada stadium

10
awal appendicitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian

berlanjut ke submukosa dan melibatkan peritoneal. Cairan eksudat fibrinopurulenta

terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal

yang bersebelahan, dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas

ke dalam lumen yang menjadi distensi dengan pus akhirnya, arteri yang menyuplai

appendicitis menjadi bertrombosit dan appendicitis yang kurang suplai darah

menjadi nekrosis ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh

omentum, abses local akan terjadi (Burkit, Quick & Reed, 2017).

2.1.1.5.Manifestasi Klinis

Menurut Wijaya dan Putri (2013), gejala-gejala permulaan pada appendicitis yaitu

nyeri atau perasaan tidak enak sekitar umbilikus di ikuti anoreksia, nausea dan

muntah, ini berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari.

Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke nyeri pindah ke kanan bawah dan

menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc. Burney, nyeri

rangsangan peritoneum tidak langsung, nyeri pada kuadran kanan bawah saat

kuadran kiri bawah ditekan, nyeri pada kuadran kanan bawah bila peritoneum

bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, dan mengedan, nafsu makan

menurun, demam yang tidak terlalu tinggi, biasanya terdapat konstipasi, tetapi

kadang-kadang terjadi diare.

11
2.1.1.6.Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada appendicitis menurut Smeltzer dan Bare (2014)

yaitu :

a. Perforasi

Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan appendicitis, sekum, dan letak

usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan suhu 39,5 0C

tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis meningkat akibat

perforasi dan pembentukan abses.

b. Peritonitis
Peritonitis yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas tinggi

390C-400C menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang jarang.

2.1.1.7.Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pre operasi apendiktomi menurut Wijaya dan Putri (2013),

yaitu:

a. Laboratorium

Pada pemeriksaan ini leukosit meningkat rentang 10.000 –hingga 18.000 / mm3,

kemudian neutrofil meningkat 75%, dan WBC meningkat sampai 20.000 mungkin

indikasi terjadinya perforasi (jumlah sel darah merah).

b. Data Pemeriksaan Diagnostik

Radiologi yaitu pada pemeriksaan ini foto colon menunjukkan adanya batu feses

pada katup. Kemudian pada pemeriksaan barium enema menunjukkan

appendicitis terisi barium hanya sebagian.

12
2.1.1.8. Penatalaksanan

Pada penatalaksanaan operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga (Brunner &

Suddarth, 2010), yaitu:

a. Sebelum operasi

1). Observasi

Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat karena

tanda dan gejala appendicitis belum jelas. Pasien diminta tirah baring dan

dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis.

Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah

timbulnya keluhan.

2) Antibiotik

Appendicitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan antibiotik,

kecuali appendicitisitis tanpa komplikasi tidak memerlukan antibiotik.

Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan

abses atau preforasi.

b. Operasi

Oprasi/pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi.

Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi.

Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan pembedahan

abdomen bawah atau dengan laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode

terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010). Apendiktomi dapat

dilakukan dengn menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik

13
terbuka (pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi

yang merupakan teknik pembedahan minimal invasive dengan metode terbaru

yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2015).

1). Laparatomi

Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke dalam rongga perut.

Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam untuk

membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik diagnosa yang tidak invasif,

laparatomi semakin kurang digunakan dibanding terdahulu. Prosedur ini hanya

dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti

laparoskopi yang seminimal mungkin tingkat invasifnya juga membuat laparatomi

tidak sesering terdahulu. Bila laparatomi dilakukan, begitu organ-organ dalam

dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah harus segera

dilakukan.

Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi laparatomi

dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen,

misalnya trauma abdomen. Bila klien mengeluh nyeri hebat dan gejala-gejala

lain dari masalah internal yang serius dan kemungkinan penyebabnya tidak

terlihat seperti usus buntu, tukak peptik yang berlubang, atau kondisi ginekologi

maka dilakukan operasi untuk menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi

keparahan lebih. Laparatomi dapat berkembang menjadi pembedahan besar

diikuti oleh transfusi darah dan perawatan intensif (David dkk, 2014).

14
2). Laparaskopi

Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh mulai dari iga paling

bawah samapi dengan panggul. Teknologi laparoskopi ini bisa digunakan untuk

melakukan pengobatan dan juga mengetahui penyakit yang belum diketahui

diagnosanya dengan jelas.

Keuntungan bedah laparoskopi :

a) Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan dokter dalam

pembedahan.

b) Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka operasi pasca bedah

konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3 sampai 10 mm akan hilang

kecuali klien mempunyai riwayat keloid.

c) Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-obatan

dapat diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan lebih cepat sehingga klien

dapat beraktivitas normal lebih cepat.

c. Setelah operasi

Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan

di dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan. Baringkan klien dalam

posisi semi fowler. Klien dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi

gangguan, selama itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu

hari setelah dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak di temmpat tidur

selama 2 x 30 menit. Hari keduadapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar.

Hari ke tujuh dapat diangkat dan dibolehkan pulang (Mansjoer, 2015).


15
2.1.2 Kecemasan

2.1.2.1. Definisi

Menurut Asmadi (2008) dalam Syahputra dkk (2016) kecemasan merupakan

gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya dan

mekanisme diri yang digunakan dalam mengatasi permasalahan, terlihat jelas

bahwa kecemasan ini mempunyai dampak terhadap kehidupan seseorang, baik

dampak positif maupun negatif. Pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit

dengan berbagai situasi dan kondisi akan membuatnya semakin cemas. Kaplan

(2015) dam Syahputra dkk (2016) kecemasan adalah suatu sinyal yang

menyadarkan, memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan

memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman.

Kecemasan merupakan respons terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak

diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual. Kecemasan tidak dapat

dihindarkan dari kehidupan individu dalam memelihara keseimbangan.

Pengalaman cemas seseorang tidak sama pada beberapa situasi dan hubungan

interpersonal.

Kesimpulan Kecemasan adalah gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan

diluar dirinya atau suatu sinyal yang memperingatkan adanya bahaya yang

mengancam dan memukinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi

permasalahan, yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau

konfliktual.

2.1.2.2. Penyebab Kecemasan

Hal yang dapat menimbulkan kecemasan biasanya bersumber dari ancaman

integritas biologi meliputi gangguan terhadap kebutuhan dasar makan, minum,


16
kehangatan, sex, dan ancaman terhadap keselamatan diri seperti tidak

menemukan integritas diri, tidak menemukan status prestise, tidak memperoleh

pengakuan dari orang lain dan ketidak sesuaian pandangan diri dengan lingkungan

nyata (Nurjamiah, 2015). Cemas berbeda dengan rasa takut, karakteristik rasa

takut adalah adanya suatu objek sumber yang spesifik dan dapat di identifikasi

serta dapat dijelaskan oleh individu sedangkan kecemasan diartikan sebagai suatu

kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab atau

objek yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak

berdaya. Sebagai contoh kekhawatiran menghadapi operasi/pembedahan

(misalnya takut sakit waktu operasi, takut terjadi kecacatan), kekhawatiran

terhadap anestesi atau pembiusan (misalnya takut terjadi kegagalan

anestesi/meninggal, takut tidak bangun lagi) dan lain-lain (Nurjamiah, 2015).

2.1.2.3 Ciri Cemas

Menurut Hawari (2016), ciri-ciri cemas antara lain:

a. Cemas, khawatir, tidak tenang, dan bimbang

b. Memandang masa depan dengan was-was

c. Tidak percaya diri, gugup apabila tampil dimuka umum

d. Sering tidak merasa bersalah, menyalahkan orang lain

e. Tidak mudah mengalah, suka ngotot

f. Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah

g. Seringkali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatic), khawatir

berlebihan terhadap penyakit

h. Mudah tersinggung, membesar-besarkan masalah yang kecil (dramatis)

17
i. Dalam mengambil keputusan sering bimbang dan ragu

j. Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya sering kali di ulang-ulang

k. Kalau sedang emosi sering kali histeri

2.1.2.4. Gejala Klinis Cemas

Menurut Hawari (2013), gejala cemas antara lain:

a. Cemas, khawatir,firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah

tersinggung

b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut

c. Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang

d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan

e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat

f. Keluhan-keluhan somatic, misalnya rasa sakit dan tulang pendengaran

berdengin (tinnitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan,

gangguan perkemihan, sakit kepala.

2.1.2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan menurut Struart (2017)

antara lain:

a. Dalam pandangan psikoanalisa kecemasan/ ansietas adalah konflik emosional

yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan Super ego. id mewakili

dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan super ego mencerminkan

hati nurani dan dikendalikan oleh norma-norma budaya. Ego atau aku, berfungsi

menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi

ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.


18
b. Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut

terhadap ketidak setujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga

berhubungan dengan perkembangan trauma, sepertiperpisahan dan

kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga

diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.

c. Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan produk frustasi yaitu

segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku lain menganggap kecemasan sebagai

suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk

menghindari kepedihan. Ahli teori perilaku lain menganggap kecemasan

sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri

untuk menghindari kepedihan. Ahli teori pembelajaran meyakini bahwa individu

yang terbiasa sejak kecil dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan lebih

sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya. Ahli teori konflik

memandang kecemasan sebagai pertentangan antara dua kepentingan yang

berlawanan. Mereka meyakini adanya hubungan timbal balik antara konflik

dan kecemasan. Konflik menimbulkan kecemasan, dan kecemasan

menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan

konflik yang dirasakan.

d. Kajian keluarga, menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi

dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan

kecemasan dengan depresi.

e. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk

benzodiazepines. Obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi

19
asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam mekanisme

biologi berhubungan dengan kecemasan. Selain itu kesehatan umum individu

dan riwayat kecemasna pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisp

osisi kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan

selanjutnya menurunkan kemampuan individu unutk mengatasi stressor.

2.1.2.5. Tingkat kecemasan

Menurut penilaian kategori kecemasan dalam kuesioner HARS dinilai dari angka

(score) 0-4 dengan 0 menunjukkan tidak ada gejala (keluhan), 1 menunjukkan

gejala ringan, 2 menunjukkan gejala sedang, 3 menunjukkan gejala berat, dan 4

menunjukkan gejala berat sekali. Masing-masing nilai angka (score) dari ke 14

kelompok gejala tersebut di jumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut

dapat diketahui derajat kecemasan pasien, yaitu dengan nilai kurang dari 14

menunjukkan tidak ada kecemasan, nilai 14 sampai 20 menunjukkan kecemasan

ringan, nilai 21 sampai 27 menunjukkan kecemasan sedang, nilai 28 sampai 41

menunjukkan kecemasan berat, dan 42 sampai 56 menunjukkan kecemasan berat

sekali/panik (Hawari, 2016).

Menurut Peplau (2016) ada empat tingkat ansietas, yaitu ringan,sedang, berat dan

panik. Pada masing-masimg tahap individu memperlihatkan perubahan perilaku,

kemampuan kognitif dan respon emosional ketika berupaya menghadapi ansietas.

Menurut Stuart (2007) kecemasan dibagi menjadi 4 tingkat kecemasan, yaitu :

a. Kecemasan Ringan

Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari- hari,

kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan

20
lapang persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan

pertumbuhan serta kreativitas.

Respon fisiologis ditandai dengan sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah

naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut, bibir bergetar. Respon kognitif

merupakan lapang persepsi luas, mampu menerima rangsangan yang kompleks,

konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif. Respon perilaku

dan emosi seperti tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara

kadang-kadang meningkat.

b. Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang

penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami

perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Respon

fisiologis: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, mulut kering,

diare, gelisah. Respon kognitif : lapang persepsi menyempit, rangsangan luar

tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya. Respon

perilaku dan emosi : meremas tangan, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur

dan perasaan tidak enak.

c. Kecemasan Berat

Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang terhadap sesuatu yang terinci dan

spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku ditujukan

untuk menghentikan ketegangan individu dengan kecemasan berat memerlukan

banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pikiran pada suatu area lain. Respon

fisiologi: nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat,

21
ketegangan dan sakit kepala. Respon kognitif: lapang persepsi, amat sempit, tidak

mampu menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi perasaan ancaman

meningkat.

d. Panik

Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. Hilangnya kontrol,

menyebabkan individu tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan

perintah. Respon fisologis : nafas pendek, rasa terkecik, sakit dada, pucat,

hipotensi, koordinasi motorik rendah. Respon kognitif: lapang persepsi sangat

sempit, tidak dapat berpikir logis. Respon perilaku dan emosi : mengamuk, marah,

ketakutan dan kehilangan kendali.

2.1.2.6. Manifestasi Kecemasan

Manifestasi respon kecemasan dapat berupa perubahan respon fisiologis, perilaku,

kognitif dan afektif antara lain (Stuart, 2007):

a. Respon fisiologi

1) Respon kardiovaskuler seperti palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah

tinggi, rasa mau pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.

2) Respon pernafasan seperti nafas cepat, nafas pendek, tekanan pada dada, nafas

dangkal, pembengkakan tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah.

3) Respon neuromuskuler seperti refleks meningkat, reaksi kejutan, mata

berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan

umum, kaki goyah, gerakan yang janggal.

4) Respon gastrointestinal seperti kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa

tidak nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung, diare.

22
5) Respon traktus urinarius seperti tidak dapat menahan kencing, sering

berkemih.

6) Respon kulit antara lain wajah kemerahan, berkeringat setempat, gatal, rasa

panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.

b. Respon perilaku seperti: gelisah, ketegangan fisik, tremor, bicara cepat kurang

koordinasi, cenderung mendapat cedera, menarik diri dari hubungan

interpersonal, melarikan diri dari masalah.

c. Respon kognitif meliputi perhatian terganggu, konsentrasi buruk, salah dalam

memberikan penilaian.

d. Respon afektif meliputi hambatan berpikir, bidang persepsi menurun,

kreatifitas dan produktifitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran

meningkat, kehilangan objektifitas, takut kehilangan control, takut pada

gambaran visual, takut cidera, mudah terganggu, tidak sabar, gelisah,

tegang, ketakutan, tremor, gugup, gelisah.

2.1.2.8. Penatalaksanaan non farmakologi menurut Wahyu (2017) :

a. Distraksi

Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan dengan cara

mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap cemas

yang dialami. Stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan pelepasan

endorphin yang bisa menghambat stimulus cemas yang mengakibatkan lebih

sedikit stimuli cemas yang ditransmisikan ke otak.

23
b. Relaksasi

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan. Teknik

relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa nyaman atau nyeri,

stress fisik dan emosi pada nyeri.

2.1.3. Pre Operasi

2.1.3.1. Definisi

Operasi atau pembedahan merupakan semua tindak pengobatan yang

menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang

akan ditangani. Tindakan operasi merupakan terapi medik yang dapat

memunculkan kecemasan karena terdapat ancaman terhadap tubuh, intregitas dan

bahkan jiwa seseorang. Manifestasi dari kecemasan bisa berupa respon fisiologis

berbagai sistem tubuh, respon perilaku, kognitif maupun afektif. Pengalaman

operatif dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu preoperatif/pra bedah, operatif/masa

sedang dibedah dan post operatif/pasca bedah (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Sari,

2016).

2.1.3.2. Pengertian Pre Operatif

Preoperatif artinya pre berarti sebelum, dan operatif/operasi berarti suatu tindakan

pembedahan. Preoperasi berarti suatu keadaan/waktu sebelum dilakukan

tindakan operasi.Preoperatif adalah fase dimulai ketika keputusan untuk

menjalani operasi atau pembedahan dibuat dan berakhir ketika pasien

dipindahkan ke meja operasi (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Sari, 2016). \

24
2.1.3.3. Gambaran Pasien Pre Operatif

Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun mental aktual pada

integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun

psikologis. Menurut Long B.C (2001 dalam sari, 2016), pasien preoperasi

akanmengalami reaksi emosional berupa kecemasan. Berbagai alasan yang dapat

menyebabkan ketakutan/kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara

lain:

a. Takut nyeri setelah pembedahan

b. Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal.

c. Takut keganasan (bila diagnose yang ditegakkan belum pasti)

d. Takut/cemas mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang

mempunyai penyakit yang sama.

e. Takut/ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas.

f. Takut mati saat dibius/tidak sadar lagi

g. Takut operasi gagal

Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat mempengaruhi

respon fisiologis tubuh yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik

seperti : meningkatkan frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan-gerakan tangan

yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah, menanyakan

pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur dan sering berkemih.Persiapan

yang baik selama periode operasi membantu menurunkan resiko operasi dan

meningkatkan pemulihan pasca bedah.

25
Tujuan tindakan keperawatan preoperasi menurut Luckman & Sorensen (1993

dalam Sari, 2016), dimaksudkan untuk kebaikan bagi pasien dan keluarganya yang

meliputi :

a. Menunjukkan rasa takut dan cemasnya hilang atau berkurang (baik


ungkapan secara verbal maupun ekspresi muka)

b. Dapat menjelaskan dan mendemonstrasikan mobilisasi yang dilakukan setelah


tindakan operasi.

c. Terpelihara keseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi.

d. Tidak terjadi vomitus karena aspirasi selama pasien dalam pengaruh anastesi.

e. Tidak ada atau berkurangnya kemungkinan terjadi infeksi setelah tindakan

operasi.

f. Mendapatkan istirahat yang cukup.

g. Menjelaskan tentang prosedur operasi , menjadawalka operasi serta

mendatangani informconsent.

h. Kondisi fisiknya dapat dideteksi selama operasi berlangsung.

2.1.3.4. Tindakan Keperawatan Preoperatrif

Tindakan keperawatan adalah setiap terapi perawatan langsung yang dilakukan

perawat untuk kepentingan klien, terapi tersebut termasuk terapi yang dilakukan

perawat berdasarkan diagnosis keperawatan, pengobatan yang dilakukan

dokter berdasarkan diagnosis medis, dan melakukan fungsi penting sehari-hari

untuk klien yang tidak dapat melakukannya (Mc. Closkey &Bulechek 1992, dalam

Barbara J. G, 2008).

Tindakan keperawatan preoperative merupakan tindakan yang dilakukan oleh

perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan

26
pembedahan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif.

Persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang serta persiapan mental sangat

diperlukan karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien berawal dari

kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan. Kesalahan yang

dilakukan pada saat tindakan preoperatif apapun bentuknya dapat berdampak pada

tahap-tahap selanjutnya, untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antara masing-

masing komponen yang berkompeten untuk menghasilkan outcome yang optimal,

yaitu kesembuhan pasien secara paripurna (Rothrock, 1999, dalam Sari, 2016).

Pengakajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan

psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi.

2.1.3.5. Persiapan Pasien Pre Operasi

a. Persiapan Fisik

Persiapan fisik pre operasi yang dialami oleh pasien dibagi dalam 2 tahapan,

yaitu persiapan di unit perawatan dan persiapan di ruang operasi. Berbagai

persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum operasi menurut

Brunner & Suddarth (2002, dalam Sari, 2016), antara lain :

1) Status kesehatan fisik secara umum

2) Status Nutrisi

3) Keseimbangan cairan dan elektrolit

4) Kebersihan Lambung dan Kolon

5) Pencukuran daerah operasi

6) Personal Hygine

7) Pengosongan kandung kemih

8) Latihan Pra Operasi


27
b. Persiapan Penunjang

1) Pemeriksaan Radiologi dan diagnostik.

2) Pemeriksaan Laboratorium, berupa pemeriksaan darah.

3) Biopsi.

4) Pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD)

c. Pemeriksaan Status Anestesi

d. Informed Consent

e. Persiapan Mental

Dengan mengetahui berbagai informasi selama operasi maka diharapkan pasien

menjadi lebih siap menghadapi operasi, meskipun demikian ada keluarga yang

tidak menghendaki pasien mengetahui tentang berbagai hal yang terkait dengan

operasi yang akan dialami pasien (Brunner & Suddarth, 2002 dalam Sari, 2016).

a. Memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum setiap tindakan persiapan

operasi sesuai dengan tingkat perkembangan. Gunakan bahasa yang

sederhana dan jelas. Misalnya : jika pasien harus puasa dan sampai kapan,

manfaatnya untuk apa, dan jika diambil darahnya, pasien peru diberikan

penjelasan tujuan dari pemeriksaan darah yang dlakukan, dan lain-lain.

Diharapkan dengan pemberian informasi yang lengkap, kecemasan yang

dialami oleh pasien akan dapat diturunkan dan mempersiapkannya dengan

baik.

b. Memberi kesempatan pada pasien dan keluarganya untuk menanyakan tentang

segala prosedur yang ada. Dan memberi kesempatan pada pasien dan keluarga

untuk berdoa bersama-sama sebelum pasien di antar ke kamar operasi.

28
c. Mengoreksi pengertian yang salah tentang tindakan pembedahan dan hal-hal

lain karena pengertian yang salah akan menimbulkan kecemasan pada pasien.

d. Kolaborasi dengan dokter terkait dengan pemberian obat pre medikasi, seperti

valium dan diazepam tablet sebelum pasien tidur untuk menurunkan

kecemasan dan pasien dapat tidur sehingga kebutuhan istirahatnya terpenuhi.

Adapun tindakan keperawatan preoperatif yang dapat dilakukan sesuai peran

perawat perioperatif menurut Brunner & Suddarth (2002 dalam Sari, 2016)

antara lain:

1) Membina hubungan terpeutik, memberi kesempatan pada klien untuk

menyatakan rasa takut dan perhatiannya terhadap rencana operasi

2) Melakukan sentuhan untuk menunjukkan adanya empati dan perhatian

3) Menjawab atau menerangkan tentang berbagai prosedur operasi

4) Meningkatkan pemenuhan nutrisi dan hidrasi

5) Mengajarkan batuk dan nafas dalam

6) Mengajarkan manajemen nyeri setelah pembedahan

7) Mengajarkan latihan lengan dan ambulasi

8) Menerangkan alat – alat yang akan digunakan oleh klien selama operasi

2.1.4 Konsep Edukasi

2.1.4.1. Definisi

a) Edukasi Pasien

Pada umumnya edukasi pasien dikonsepkan secara terpisah dalam lingkungan

rumah sakit, dimana hanya pasien, kerabat atau keluarga dan praktisi kesehatan

serta perawat yang hadir. Selama edukasi pasien ini, akan disampaikan mengenai

informasi penting tentang operasi yang akan dilakukan, rencana pengobatan,


29
kondisi pasien saat ini dan makanan yang harus sesuai dengan instruksi dari instalasi

gizi. Edukasi pasien merupakan salah satu hak dari pasien, untuk meningkatkan

kesejahteraan hidup pasien. Salah satu faktor yang mempengaruhi edukasi pasien

adalah komunikasi yang efektif antara perawat dengan pasien, perawat harus

menggunakan bahasa yang sederhana supaya pasien mudah mengerti (Pirhonen,

Silvennoinen, and Sillence 2014)

Perawat akan mengumpulkan data terlebih dahulu dari pasien dan keluarga

kemudian perawat akan berdiskusi dengan tim medis yang lain mengenai kondisi

pasien. Sesi diskusi ini dilakukan supaya pasien mendapatkan informasi yang

sesuai. Selain itu juga perawat akan berdiskusi dengan pasien saar sesi edukasi

untuk menambah wawasan dan mengembangkan edukasi dari sudut pandang pasien

(Pirhonen, Silvennoinen, and Sillence 2014).

b) Edukasi Pre Operasi

Merupakan pemberian informasi dari perawat ke pasien, keluarga pasien meliputi

biaya administrasi, tindakan operasi, persiapan sebelum operasi sampai dengan

perawatan pasca operasi operasi (Prouty, Cooper, Thomas, et.al., 2006 cit Robby,

Agustin, 2015). Menurut Achadiat 2007 hal. 35 cit (Arisandi, Sukesi, and Solechan

2014) menyatakan bahwa informed consent adalah kolaborasi antara tenaga medis

dan pasien mengenai keputusan pemberian tindakan pengobatan yang akan

diberikan kepada pasien.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Samantha et al. 2015) menyatakan bahwa

pemberian edukasi akan tergantung oleh pemberi informasi, jika perawat atau

tenaga medis memberikan informasi terkait penyakit yang dihadapi ini akan

memberikan efek positif pada perilaku pasien dalam mengatasi rasa sakit. Oleh
30
karena itu dokter mengganggap bahwa edukasi pada pasien sangat penting untuk

mendapatkan strategi dalam mengelola penyakit. Namun efektiitas pemberian

edukasi ini masih sangat kurang jika untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam

pengobatan.

Menurut (Bosse et al. 2015) dalam penelitiannya mengenai perawatan perioperatif

dan pentingnnya peningkatan kualitas perawatan menyatakan bahwa selama fase

pre operasi kunjungan dari tim bedah hampir tidak pernah dilakukan. Seharusnya

pada fase ini pasien seharusnya mendapatkan informasi mengenai kondisi

kesehatannya, teknik anastesi yang akan dilakukan kemudian komplikasi yang

mungkin akan terjadi. Pada fase ini edukasi sangat dibutuhkan oleh pasien, karena

edukasi tersebut bisa mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien (Guo Ping

2017).

c) Edukasi post operasi

Merupakan tindakan keperawatan oleh perawat kepada pasien dengan memberikan

informasi setelah proses pembedahan yang bertujuan agar fungsi fisiologis dari

tubuh pasien kembali normal (Muttaqin and Kumala 2019).

Menurut (Bosse et al. 2015) dalam penelitannya mengenai perawatan perioperatif

dan pentingnnya peningkatan kualitas perawatan menyatakan bahwa pada tahun

2009 sekelompok tim yang dibentuk menyatakan bahwa fase post operatif

perawatan pada area luka jarang dilakukan sehingga akan meningkatkan komplikasi

infeksi. Kemudian dari hasil diskusi tim membuat desain mengenai perawatan post

operatif yaitu mengenai aplikasi pemberian obat anti nyeri, manajemen perawatan

luka, pemberian intake dan output pada pasien dan dokumentasi post operatif sesuai

dengan kondisi pasien.

31
2.1.4.2. Pengkajian

Sebelum dilakukan tindakan keperawatan perlu dilakukan pengkajian terlebih

dahulu pada pasien, berikut pengkajian yang harus dilakukan pada pasien pre

operasi dan post operasi menurut (Muttaqin and Kumala 2009) :

Pre Operasi

1) Mengkaji riwayat kesehatan agar terhindar dari komplikasai

2) Adanya nyeri saat BAK dan merasa tidak puas saat berkemih

3) Merasa cemas karena gangguan saat berkemih

4) Adanya rencana tindakan operasi

5) Pemeriksaan fisik

6) Pemeriksaan laboratorium

7) Post Operasi

8) Pemeriksaa fungsi fisiologis pada seluruh sistem

9) Meminimalisir adanya komplikasi setelah tindakan pembedahan

10) Mengkaji istirahat tidur dan tingkat kenyamanan pasien

11) Respon psikologis pasien

12) Konsep diri pasien

2.1.4.3. Tujuan Edukasi

Menurut (Potter A. Patricia 2010) tujuan dari edukasi adalah untuk membantu

suatu individu, keluarga, taupun masyarakat dalam memelihara kesehatannya,

memahami kondisi kesehatan, dan menurunkan kecemasan pada individu atas

kondisi penyakitnya.

32
2.1.4.4. Manfaat Edukasi

a. Untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang informasi yang relevan

mengenai tersedianya pelayanan kesehatan, mekanisme koping, dukungan

psikososial sebelum tindakan pembedahan (Wahyu, 2015).

b. Untuk mendapatkan hasil pasca operasi yang lebih baik dengan berbagai

jenis pasien pembedahan (Shuldham, 1999a, Shuldham, 1999b, cit (Guo

Ping 2015).

c. Pasien pre operasi membutuhkan informasi mengenai tindakan yang akan

dilakukan karena itu merupakan salah satu hak dari pasien. Sebelum

informed consent ditanda tangani pasien harus mendapatkan penjelasan

tentang proses pembedahan, efek samping dari pembedahan serta

komplikasi dari pembedahan (Baradero, dkk, 2008 cit (Arisandi, Sukesi,

and Solechan 2014).

d. Untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien (Patricia 2015)

e. Mempercepat proses penyembuhan pasien (Patricia 2015)

f. Untuk menurunkan penggunaan obat anti nyeri setelah pembedahan dan

pasien bisa mentaati prosedur setelah tindakan pembedahan (Patricia 2015)

2.1.4.5. Waktu Edukasi

Pemberian Edukasi dilakukan maksimal 1 hari sebelum operasi dan minimal 2

jam sebelum operasi, pasien mendapatkan penjelasan tentang penyakit yang

diderita, prosedur operasi yang akan dilakukan, ditambahkan dengan diskusi

tanya jawab singkat tetang apa saja yang menjadi kekhawatiran pasien dan

bagaimana cara pasien untuk mengatasi kecemasan.

33
2.2. Kerangka Teori

Obstruksi benda asing, infeksi bakteri, dan parasit

Appendixcitis
citis

Persiapan Pre
Operasi

Faktor Eksternal Kecemasan Faktor Internal Kecemasan

1. Pandangan Psikoanalisa 1. Nyeri Setelah Pembedahan


2. Pandangan Interpersonal 2. Perubahan Fisik
3. Pandangan Prilaku 3. Takut Keganasan
4. Kajian Keluarga 4. Ngeri Menghadapi Ruang
5. Kajian Biologis Operasi
5. Takut Mati Saat Dibius
6. Takut Gagal Operasi
Edukasi

Ceramah & Tanya Jawab

Informed Consent

Edukasi Kecemasan Pasien Pre


Keperawatan Operasi

Stuart (2017)
2.1 Skema Kerangka Teori

34
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

Pada bab ini diuraikan mengenai kerangka konsep penelitian yang dilakukan,
hipotesis dan definisi operasional.

3.1 Kerangka Konsep

Konsep adalah abstrak yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus,
konsep hanya dapat diamati melalui konstruksi atau yang lebih dikenal dengan
nama variabel. Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka
hubungan dan ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan
(Notoatmodjo, 2012).

Kerangka konsep penelitian ini menggunakan variabel tunggal yaitu tingkat


kecemasan pre-operasi appendicitis yang dalam penelitian ini menggunakan
teknik Quasy Experiment yaitu dengan memberikan perlakuan pada kelas
experiment dan kelas kontrol kemudian mengamati perbedaan signifikan dari
keduanya.

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan,


maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

35
3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah uraian peneliti terkait batasan variabel yang diteliti,
penjelasan cara atau metode yang akan digunakan peneliti untuk mengukur
variabel tersebut, menentukan hasil ukur atau katagorinya serta skala
pengukuran yang digunakan (Notoatmodjo, 2012). Definisi operasional dari
masing – masing variabel pada penelitian dijelaskan dalam tabel berikut ini :

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Skala
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur
Ukur

1. Edukasi Proses pemberian Leaflet, Memberikan 1. Tidak Ordinal


informasi yang tepat dan Kuisioner penjelasan Mengerti
jelas untuk meningkatkan tentang materi 2. Cukup
Mengerti
pengetahuan pasien edukasi dan
3. Mengerti
menanyakan
kembali feedback
dari pasien.

2. Tingkat Tingkat emosional / Lembar Wawancara dan 1= tidak ada Ordinal


Kecemasan takut yang pasien penilaian observasi
Pre-Operasi (score <14)
rasakan tentang operasi Anxiety
Rating
Scale. 2 = ringan

(Score: 15-

20)

3= sedang

(Score:21-27)

4= berat

(Score: 28-

41)

5= panik
(score: 42-
46)

36
3.3 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan


penelitian. Hipotesis disusun sebelum penelitian dilaksanakan karena hipotesis
akan bisa memberikan petunjuk pada tahap pengumpulan, analisis, dan
interpretasi data (Nursalam, 2017). Adapun yang menjadi hipotesis dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ha : Ada pengaruh edukasi keperawatan terhadap kecemasan pasien Pre


Operasi.
Ho : Tidak Ada pengaruh edukasi keperawatan terhadap kecemasan pasien
Pre Operasi.

37
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen semu (quasy

experiment). Penelitian eksperimen semu dilakukan untuk menguji hipotesis

tentang ada tidaknya pengaruh suatu tindakan bila dibanding dengan tindakan

lain dengan pengontrolan variabelnya sesuai dengan kondisi yang ada.

Pengontrolan variabel hanya dilakukan terhadap satu variabel saja, yaitu variabel

yang dipandang paling dominan. Penelitian yang dilaksanakan adalah pengaruh

edukasi keperawatan terhadap kecemasan pasein pre operasi Appendicitis.

4.2 Desain Penelitian

Menurut Arifin (2011), desain eksperimen atau desain penelitian adalah suatu

rancangan yang berisi langkah dan tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan

penelitian eksperimen, sehingga informasi yang diperlukan tentang masalah

yang diteliti dapat dikumpulkan secara faktual. Arifin menjelaskan lebih lanjut

bahwa desain eksperimen menggambarkan langkah-langkah lengkap yang perlu

diambil sebelum penelitian dilakukan agar data dapat diperoleh dengan baik,

dapat dianalisis secara objektif, dan dapat ditarik kesimpulan yang tepat, sesuai

dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini menggunakan desain eksperimen

semu Quasy Experiment atau pretest-posttest control group design. Struktur

desainnya adalah sebagai berikut

38
Tabel 4. Pretest-Posttest Control Group Design

Kelas Pretest Tingkat Edukasi Posttest Tingkat


Kecemasan Kecemasan

Kelas Eksperimen O1 X O2

Kelas Control O1 O2

(Arifin, 2011)

Keterangan:

O1 = Pretest kelas eksperimen dan kelas control sebelum diberikan


perlakuan

O2 = Posttest kelas eksperimen dan kelas control setelah diberikan


perlakuan

X = Edukasi tentang pre operasi appendicitis

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RS Mitra Keluarga Cibubur di Ruang Pre Operasi

pada Tanggal 27 Juli 2020 – 26 Agustus 2020.

4.4 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi adalah merupakan keseluruhan obyek/subyek yang akan diteliti

(Setiawan, 2017). Adapun jumlah populasi yang diambil adalah beberapa

pasien Pre Operasi Appendix, Penelitian ini dilakukan di RS Mitra Keluarga

Cibubur yaitu pada sebanyak 38 Pasien Pre Operasi

39
4.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian kecil dari jumlah dan karakteristik yang ada pada

populasi yang dianggap dapat merepresentasikan populasi (Omega

Setiawan, 2017). Teknik penelitian yang dilakukan menggunakan metode

purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel

berdasarkan ciri-ciri khusus yang sudah ditentukan peneliti (Arikunto,

2017).

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek penelitian dari

populasi target dari terjangkau yang akan diteliti.

 Pasien di ruang operasi RS. Mitra Keluarga Cibubur

 Pasien pre operasi Appendicitis

 Dapat membaca, menulis, dan mendengarkan

 Bersedian menjadi responden


Type your text
2. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi merupakan kriteria yang menghilangkan atau

mengeluarkann subjek yang tidak memenuhi kriteria inklusi dari studi

karena berbagi sebab atau alasan misalnya:

1. Bukan Pasien di ruang operasi RS. Mitra Keluarga Cibubur

2. Bukan Pasien pre operasi Appendicitis

3. Tidak bersedia menjadi responden.

4. tidak dapat membaca, menulis, dan tidak dapat mendengar.

40
4.4 Etika Penelitian

6. Mengajukan judul dan permohonan untuk membuat penelitian.

7. Meminta surat izin penelitian dari Universitas Respati Indonesia

8. Surat izin penelitian diberikan kepada pihak yang terkait, dalam hal ini

diajukan kepada Direktur RS Mitra Keluarga Cibubur.

9. Menjelaskan maksud dan tujuan penulis serta menunggu perizinan

disetujui, serta mampu menjaga kerahasiaan data yang diperoleh.

10. Meminta izin pada pihak yang bersangkutan untuk memint data sekunder

dari RS Mitra Keluarga Cibubur.

11. Setelah perizinan disetujui secara tertulis lalu memulai melakukan

penelitian sesuai dengan langkah-langkah penelitian.

4.5 Metode Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data penelitian menggunakan data primer dengan lembar

observasi dan wawancara kepada seluruh responden di RS Mitra Keluarga

Cibubur.

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data instrument pengumpulan data (Notoadmodjo. 2015).

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

kuisioner Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/SRAS) dan juga selain itu

instrument lembar edukasi yang berisi materi tentang prosedur operasi dan

penyakit yang di derita dengan tujuan agar cemas pasien berkurang.

41
Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/SRAS) penilaian kecemasan yang

dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders (DSM-II), Zung Self-Rating Anxiety Scale

memiliki 20 pertanyaan yang terdiri dari 15 pertanyaan Unfavourable dan 5

pertanyaan Favourable, Setiap pertanyaan favourable dan unfavourable

memiliki penilaian/ penskoran yang berbeda, Selanjutnya skor yang di capai

dari semua item pertanyaan di jumlahkan, kemudian skor yang di dapat

dikategorikan menjadi 4 kriteria tingkat kecemasan (Hadiati, 2020) yaitu:

1. Normal/tidak cemas : Skor 20-44


2. Kecemasan ringan : Skor 45-59

3. Kecemasan sedang : Skor 60-74


4. Kecemasan berat : Skor 75-80

4.6.1. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji Validitas

Uji Validitas merupakan cara untuk mengukur keakuratan sebuah instrumen

penelitian. Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/SRAS) merupakan

kuesioner baku dalam bahasa inggris yang dirancang oleh William WK

Zung. Kemudian kuesioner ini telah dialih bahasakan ke dalam bahasa

indonesia dan dijadikan sebagai alat pengukur kecemasan yang sudah teruji

validitas dan reliabilitasnya (Nursalam, 2013). Hasil uji validitas tiap

pertanyaan kuesioner dengan nilai terendah 0,663 dan tertinggi adalah 0,918

(Nasution, et al., 2013) Suatu pertanyaan dikatakan valid jika r hitung > r

42
tabel sedangkan jika r hitung < r tabel artinya pertanyaan tidak valid.

Tingkat signifikansi yang digunakan 5% atau 0,05 (Hadiati, 2020).

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas merupakan cara untuk mengukur kosistensi sebuah

instrumen penelitian. Instrumen dikatakan reliabel jika alat ukur yang

digunakan tersebut menunjukan hasil yang konsisten. Instrument yang

reliabel menghasilkan data yang di percaya. Pertanyaan dikatakan reliabel

apabila didapatkan nilai Alpha Cronbach lebih dari konstanta (>0,6). Hasil

uji reliabilitas menunjukan angka 0,829 sehingga kuesioner dikatakan

reliabel (Titis Hadiati, 2020). Peneliti tidak melakukan uji validitas dan

reliabilitas karena kuesioner yang di adobsi merupakan kuesioner baku dan

di jadikan sebagai alat pengukur kecemasan yang valid dan reliabel dalam

penelitian yang dilakukan oleh Titis Hadiati (2020) dalam penelitiannya

yang berjudul Perbedaan Tingkat Kecemasan dan Depresi pada Mahasiswa

Sistem Perkuliahan Tradisional dengan Sistem Perkuliahan Terintegrasi.

Nilai validitas terendah 0,663 dan tertinggi adalah 0,918 sedangkan hasil uji

reliabilitas diperoleh nilai alpha sebesar 0,829 (Hadiati, 2020).

4.7. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah suatu upaya untuk mengartikan data-data lapangan

sesuai dengan tujuan, rancangan, dan sifat penelitian.yang dilakukan

dengan bantuan aplikasi perangkat lunak berupa program SPSS akan melewati

43
tahap-tahap pengolahan data sebagai berikut:

4.7.1. Editing

Dengan cara memasukan data hasil kuesioner dalam SPSS dikolom variabel

view dan data view. Selanjutnya setiap variabel baik dependen dan

independen di-edit berdasarkan hasil data yang di

dapat (Tahun, 2017).

4.7.2. Coding

Data yang telah di-edit kemudian diberikan kode (koding) berdasarkan

penentuan di definisi operasional (Tahun, 2017).

4.7.3. Processing

Selanjutnya adalah proses analisis, yaitu dilakukan dengan cara memasukan

data atau entry data hasil coding ke dataview untuk diproses berdasarkan

kebutuhan peneliti (Tahun, 2017).

4.7.4. Cleaning

Cleaning atau pengecekan dilakukan dengan mengeluarkan distribusi

frekuensi tiap-tiap variabel untuk kemudian dinilai kesesuaian antara

jumlah total frekuensi dengan jumlah total responden, proses

pengecekannya dapat dilihat dibagian output data (Tahun, 2017).

4.7.5. Analisis

Tahapan ini merupakan proses analisa untuk mengetahui nilai probabilitas

(p value) yang dapat diproses sesuai kebutuhan peneliti. Pada tahap ini,

peneliti akan melakukan pemilihan variabel mana saja

44
yang ingin dianalisis, yang tujuannya untuk mengetahui

hubungan/pengaruh/perbedaan diantara kedua variabel. Ada 2 tahapan

analisis data yang dapat dilakukan, yaitu analisis univariat, bivariat (Tahun,

2017).

4.8. Analisis Data

Hasil data yang telah diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan

dianalisis secara univariat dan bivariat.

4.8.1. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang digunakan pada satu variabel

dengan tujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi karakteristik dari

variabel tersebut. Analisis ini merupakan teknik analisis paling dasar yang

sering digunakan dalam berbagai jenis penelitian.

4.8.2. Analisis Bivariat

Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan atau berkorelasi Setelah data terkumpul, selanjutnya

data dianalisa menggunakan Uji Paired T-Test

Uji Normalitas Data

Tahap analisa bivariate sebelum dilakukan uji paired sample T- test maka

akan dilakukan uji normalitas terlebih dahulu untuk mengetahui normalitas

sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.

45
Rumus :

2
(O − E )𝟐
𝑋 =∑
𝐸
Keterangan : 𝑋 2 = Nilai Chi Square.

∑ = Penjumlahan.
O = Nilai pengamatan atau nilai observasi.
E = Nilai dilakukan diharapkan atau nilai expected.

4.8.2.2. Uji Paired T-test

Uji paired sample T test dilakukan untuk mengetahui analisa

perbandingan selisih dua sampel yang berpasangan dengan asumsi data

berdistribusi normal. Sampel berpasangan berasal dari subjek yang sama,

setiap variabel diambil dari keadaan yang berbeda

46
BAB V

HASIL PENELITIAN

1.1. Hasil Data

1.1.1. Univariat

Hasil analisis univarit akan digambarkan dalam tabel distribusi frekuensi

yaitu variabel tingkat kecemasan pasien pre operasi appendixtomy sebelum dan

sesudah diberikan edukasi terhadap 19 responden dengan kelompok experiment

dan 19 responden dengan kelompok kontrol didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi


Tabel 5.1

Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RS. Mitra


Keluarga Cibubur 27 Juli 2020 – 26 Agustus 2020

Kelompok Responden F %
Experiment 19 50%
Kontrol 19 50%
Total 38 100

Berdasarkan Tabel 5.1. dapat diketahui bahwa dari total 38

responden yang dilakukan pemeriksaan tingkat kecemasan sebanyak 19

responden (50%) adalah kelompok experiment sedangkan ada 19 responden

(50%) yang masuk dalam kelompok kontrol.

47
1. kelompok experiment

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Sebelum Diberikan Edukasi Pada
Kelompok Experiment Di RS. Mitra Keluarga Cibubur
27 Juli – 26 Agustus 2020
Variabel F % Ket FT %T
Tidak
≤14 0 0 Ada 0 0
15 0 0
16 0 0
17 0 0
18 0 0
19 0 0 Cemas
20 1 5,3 Ringan 1 5
21 1 5,3
22 1 5,3
23 0 0
24 0 0
25 1 5,3
26 1 5,3 Cemas
27 3 15,8 Sedang 7 37
28 2 10,5
29 1 5,3
30 2 10,5
31 0 0
32 0 0
33 0 0
34 0 0
35 0 0
36 0 0
37 0 0
38 1 5,3
39 0 0
40 1 5,3 Cemas
41 1 5,3 Berat 8 42
42 1 5,3
43 0 0
44 1 5,3
45 0 0
46 1 5,3 Panik 3 16
Total 19 100 19 100

Berdasarkan Tabel 5.2. dapat diketahui bahwa dari 19 responden

yang belum dilakukan pemberian edukasi pre-operasi pada kelompok

“experiment” ditemukan terbanyak responden mengalami kecemasan

kategori berat yaitu sebanyak 8 responden (42%), sedangkan responden

yang mengalami kecemasan sedang sebanyak 7 responden (37%),

kemudian responden yang mengalami panik ada 3 orang (16%) dan yang

terakhir hanya ada 1 responden (5%) yang mengalami kecemasan ringan.

48
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Sesudah Diberikan Edukasi Pada
Kelompok Experiment Di RS. Mitra Keluarga Cibubur
27 Juli 2020 – 26 Agustus 2020
Variabel F % Ket FT %T
Tidak
≤14 3 15,8 Ada 3 16
15 2 10,5
16 2 10,5
17 3 15,8
18 1 5,3
19 4 21,1 Cemas
20 1 5,3 Ringan 13 84
21 1 5,3
22 0 0
23 0 0
24 0 0
25 1 5,3
26 1 5,3 Cemas
27 1 5,3 Sadang 3 16
28 0 0
29 0 0
30 0 0
31 0 0
32 0 0
33 0 0
34 0 0
35 0 0
36 0 0
37 0 0
38 0 0
39 0 0
40 0 0 Cemas
41 0 0 Berat 0 0
42 0 0
43 0 0
44 0 0
45 0 0
46 0 0 Panik 0 0
Total 19 100 19 100

Berdasarkan Tabel 5.3. dapat diketahui bahwa dari 19 responden

yang sudah dilakukan pemberian edukasi pre-operasi pada kelompok

“experiment” ditemukan terbanyak responden mengalami kecemasan

kategori ringan yaitu sebanyak 13 responden (68%), sedangkan yang

merasa tidak cemas sama sekali ada 3 responden (16%) dan yang masuk

dalam kategori kecemasan sedang hanya ada 3 responden (16%).

49
2. Kelompok Kontrol

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Yang Tidak Diberikan Intervensi
Pada Kelompok Kontrol Di RS. Mitra Keluarga
Cibubur 27 Juli 2020 – 26 Agustus 2020
Variabel F % Ket FT %T
Tidak
≤14 0 0 Ada 0 0
15 0 0
16 0 0
17 0 0
18 0 0
19 1 5,3 Cemas
20 1 5,3 Ringan 2 10
21 0 0
22 1 5,3
23 0 0
24 0 0
25 0 0
26 0 0 Cemas
27 2 10,5 Sadang 3 16
28 1 5,3
29 2 10,5
30 2 10,5
31 0 0
32 0 0
33 0 0
34 0 0
35 1 5,3
36 0 0
37 1 5,3
38 2 10,5
39 1 5,3
40 2 10,5 Cemas
41 1 5,3 Berat 13 69
42 0 0
43 1 5,3
44 0 0
45 0 0
46 0 0 Panik 1 5
Total 19 100 19 100

Berdasarkan Tabel 5.4. dapat diketahui bahwa dari 19 responden


yang belum dilakukan intervensi pada kelompok “pretest kontrol”
ditemukan terbanyak responden mengalami kecemasan kategori berat yaitu
sebanyak 13 responden (69%), sedangkan yang mengalami kecemasan
kategori sedang ada 3 responden (16%), dan hanya ada 2 responden (10%)
yang mengalami kecemasan kategori ringan dan ada 1 responden yang
mengalami panik (5%).

50
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Sesudah Tidak Diberikan Intervensi Pada
Kelompok Kontrol Di RS. Mitra Keluarga Cibubur
27 Juli 2020 – 26 Agustus 2020
Variabel F % Ket FT %T
Tidak
≤14 0 0 Ada 0 0
15 0 0
16 0 0
17 0 0
18 0 0
19 2 10,5 Cemas
20 1 5,3 Ringan 3 16
21 0 0
22 1 5,3
23 0 0
24 0 0
25 0 0
26 0 0 Cemas
27 1 5,3 Sedang 2 10
28 0 0
29 2 10,5
30 1 5,3
31 0 0
32 1 5,3
33 0 0
34 0 0
35 0 0
36 1 5,3
37 1 5,3
38 1 5,3
39 1 5,3
40 2 10,5 Cemas
41 2 10,5 Berat 12 64
42 1 5,3
43 1 5,3
44 0 0
45 0 0
46 0 0 Panik 2 10
Total 19 100 19 100

Berdasarkan Tabel 5.5. dapat diketahui bahwa dari 19 responden yang

tidak dilakukan intervensi pada kelompok “post kontrol” post test ditemukan

terbanyak responden mengalami kecemasan kategori berat yaitu sebanyak 12

(64%), kemudian responden yang mengalami panik ada 3 responden (16%) dan

responden yang mengalami kecemasan kategori sedang ada 2 orang (10%) dan

yang masuk dalam kategori cemas ringan hanya ada 2 responden (10%).

51
1.1.2. Bivariat

Uji paired simple t test

Uji paired sample T test dilakukan untuk mengetahui perbandingan selisih

dua sampel yang berpasangan dengan asumsi data berdistribusi normal. Sampel

berpasangan berasal dari subjek yang sama, setiap variabel diambil dari siatuasi

dan keadaan yang berbeda.

Tabel 5.6

Perbandingan Kelompok Experiment Dan Kontrol Dilakukan Sebelum Dan

Sesudah Dilakukan Pemberian Edukasi Pada Pasien Pre Operasi

di RS. Mitra Keluarga Cibubur 27 Juli 2020 – 26 Agustus 2020

Variabel Mean N R- R- P-
Tabel Hitung Value
Tingkat kecemasan 31,45 38 (1,687) 7.954 0.000
pre-operasi sebelum
dan sesudah
dilakukan
pemberian Edukasi
experiment.
Tingkat kecemasan 25,26 38 (1,687) 0,680 0.501
pre-operasi sebelum
dan sesudah tidak
dilakukan
intervensi pada
kelompok Kontrol

Berdasarkan hasil Bivariat dengan paired T-test :

4.1 Perbandingan pemberian sebelum dan sesudah pemberian edukasi

pasien pre operasi pada kelompok experiment dengan jumlah sampel 38

responden nilai df = 37 dan nilai mean (31,45) di dapatkan data R hitung

(7,954)> R Tabel (1,687) dengan nilai P-Value 0,000 yang berarti ada

52
pengaruh antara sebelum dan sesudah dilakukan pemberian edukasi

pada kelompok experiment.

4.2 Perbandingan pemberian sebelum dan sesudah tidak dilakukan intervensi

apapun pada pasien pre operasi pada kelompok kontrol dengan jumlah sampel

38 responden nilai df = 37 dan nilai mean (31,45) di dapatkan data R hitung

(0,680) < R Tabel (1,687) dengan nilai P-Value 0,501 yang berarti ada tidak

ada pengaruh antara sebelum dan sesudah dilakukan pemberian edukasi pada

kelompok kontrol.

53
BAB VI

PEMBAHASAN

11.1. Pengantar BAB

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan ada bab sebelumnya,

maka pada bab ini diuraikan tentang pembahasan mengenai pengaruh

pemberian edukasi sebelum dan sesudah di RS. Mitra Keluarga Cibubur 27

Juli 2020 – 26 Agustus 2020

11.2. Interprestasi dan diskusi hasil

11.2.1. Univariat

Tingkat kecemasan sebelum diberikan edukasi pada kelompok Experiment

Dan Kontrol di RS. Mitra Keluarga Cibubur 27 Juli - 26 Agustus 2020

a) Berdasarkan data dapat diketahui bahwa dari total 38 responden

yang dilakukan pemeriksaan tingkat kecemasan sebanyak 19

responden (50%) adalah kelompok experiment sedangkan ada 19

responden (50%) yang masuk dalam kelompok kontrol.

b) Berdasarkan data dapat diketahui bahwa dari 19 responden yang

belum dilakukan pemberian edukasi pre-operasi pada kelompok

“experiment” ditemukan terbanyak responden mengalami

kecemasan kategori berat yaitu sebanyak 8 responden (42%),

sedangkan responden yang mengalami kecemasan sedang sebanyak

7 responden (37%), kemudian responden yang mengalam i panik

ada 3 orang (16%) dan yang terakhir hanya ada 1 responden (5%)

yang mengalami kecemasan ringan.

54
c) Berdasarkan data dapat diketahui bahwa dari 19 responden yang

sudah dilakukan pemberian edukasi pre-operasi pada kelompok

“experiment” ditemukan terbanyak responden mengalami

kecemasan kategori ringan yaitu sebanyak 13 responden (68%),

sedangkan yang merasa tidak cemas sama sekali ada 3 responden

(16%) dan yang masuk dalam kategori kecemasan sedang hanya ada

3 responden (16%).

d) Berdasarkan data dapat diketahui bahwa dari 19 responden yang

belum dilakukan pemberian edukasi pre-operasi pada kelompok

“kontrol” ditemukan terbanyak responden mengalami kecemasan

kategori berat yaitu sebanyak 13 responden (69%), sedangkan yang

mengalami kecemasan kategori sedang ada 3 responden (16%), dan

hanya ada 2 responden (10%) yang mengalami kecemasan kategori

ringan.

11.2.2. Bivariat

Uji Paired T-test

Uji paired sample T test dilakukan untuk mengetahui perbandingan

selisih dua sampel yang berpasangan dengan asumsi data berdistribusi

normal. Sampel berpasangan berasal dari subjek yang sama, setiap variabel

diambil dari siatuasi dan keadaan yang berbeda. Berdasarkan hasil Bivariat

dengan paired T-test :

Perbandingan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian

edukasi pasien pre operasi pada kelompok experiment dengan jumlah

sampel 38 responden nilai df = 37 dan nilai mean (31,45) di dapatkan data


55
R hitung (7,954)> R Tabel (1,687) dengan nilai P-Value 0,000 yang berarti

ada pengaruh antara sebelum dan sesudah dilakukan pemberian edukasi

pada kelompok experiment.

Dari hasil diatas peneliti ingin menunjukan bahwa secara tidak

langsung pemberian edukasi sangat mempengaruhi tingkat kecemasan

pasien pre operasi walaupun sebenarnya edukasi akan meningkatkan

pengetahuan dari pasien dan pengetahuan tersebut berdampak mengurangi

kecemasan pasien yang tadinya tidak mengetahui apa-apa tentang penyakit,

prosedur operasi.

Pendapat peneliti tentu berdasarkan penelitian sebelumnnya yaitu

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada pasien pre

operasi Apendisitis di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum daerah Siti

Aisyah Kota Lubuk Linggau tahun 2017 yaitu di dapatkan hasil bahwa

pengetahuan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingat kecemasan

dengan P-Value (0,002).

Menurut pendapat Rohana (2018) ada pengaruh pendidikan

kesehatan terhadap tingkat pengetahuan pasien tentang perawatan pasca

operasi dengan P-Value (0,009) < 0,05 dari nilai tersebut kita dapat

menghubungkan bahwa pendidikan/ edukasi kesehatan secara tidak

langsung dapat mempengaruhi kecemasan pasien.

Hal ini sependapat dengan Jurnal yang di susun oleh Fadli (2019)

dengan judul pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat kecemasan

pada pasien pre operasi mayor di RS. Nene Mallomo kabupaten sidenreng

rappang dengan hasil terdapat pengaruh pengaruh pendidikan kesehatan

56
terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi mayor di RS. Nene

Mallomo kabupaten sidenreng rappang dengan (P-Value :0,001 < 0,05).

Peneliti lain yang juga sependapat dengan penelitian ini adalah

penelitian yag dilakukan oleh Warouw (2018) dalam peneltiannya terdapat

dampak edukasi terhadap kecemasan pasien pre operasi katarak di rumah

sakit mata provinsi sulawesi utara dengan P-Value (0,000) dan dalam

penelitiannya dia menemukan bahwa kebanyakan pasien mengalami

kecemasan pre operasi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan pasien

terhadap prosedur operasi dan dampak setelah dilakukannnya operasi hal

inilah yang sering membuat pasien mengalami keraguan dan cemas pra

operasi

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sukarni (2020) di dapatkan

hasil bahwa ada pengaruh pemberian edukasi pre operas terhadap pasien pre

operasi di bangsal cendrawasih 2 RSUP DR. Sardjito Yogykarta dengan P-

Value (0,000) < 0,05.

Berdasarkan data-data tersebut yang menguatkan maka peneliti

mengambil kesimpulan bahwa ada pengaruh pemberian edukasi terhadap

pasien pre operasi di RS. Mitra Keluarga Cibubur 27 Juli 2020 – 26 Agustus

2020 terutama pada kelompok experiment yang telah diberikan edukasi.

Sedangkan sebagai perbandingan pada kelompok kontrol, kelompok yang

sebanyak 38 responden dengan tampa diberikan intervensi apapun di

dapatkan data R hitung (0,680) < R Tabel (1,687) dengan nilai P-Value

0,501 yang berarti ada tidak ada pengaruh antara sebelum dan sesudah

dilakukan tampa dilakukan pemberian edukasi pada kelompok kontrol.

57
Berdasarkan data-data tersebut yang menguatkan maka peneliti mengambil

kesimpulan bahwa tidak ada perubahan tingkat kecemasan pada kelompok

pasien kontrol atau pasien yang tidak diberikan intervensi pemberian

edukasi pre operasi.

58
BAB VI

PENUTUP

7.1. Kesimpulan

Setelah peneliti melakukan penelitian mengenai perbandingan

tingkat kecemasan pada sebelum dan sesudah pemberian edukasi pada

pasien pre operasi di RS. Mitra Keluarga Cibubur 27 Juli 2020 – 26 Agustus

2020

7.1.1. Ada pengaruh pemberian eduksi terhadap tingkat kecemasan pre-operasi

pada kelompok experiment dengan R hitung (7,954)> R Tabel (1,687)

dengan nilai P-Value 0,000

7.12. Tidak ada pengaruh pemberian eduksi terhadap tingkat kecemasan pada

kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi apapun dengan R hitung

(0,680) < R Tabel (1,687) dengan nilai P-Value 0,501

7.2. Saran

7.2.1 Bagi Tempat Penelitian

Setelah dilakukan penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan

bagi RS. Mitra Keluarga Cibubur untuk membuat Standar operasional

prosedur yang tepat dalam management kecemasan pre operasi.

59
7.2.2 Bagi Peneliti

Diharapkan dengan penelitian ini dapat menjadikan pedoman untuk

menambah ilmu pengetahuan mengenai pengaruh pemberian edukasi

terhadap tingkat kecemasan pre-operasi serta dapat melanjutkan penelitian

ini dengan variabel yang belum diteliti oleh peneliti sebelumnya.

7.2.3. Bagi Pendidikan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai penelitian

yang lebih lanjut lagi dan diharapkan agar dapat dijadikan daftar referensi

diperpustakaan dan dapat menjadi pedoman dalam memberikan edukasi

pada mahasiswa tentang pengaruh pemberian edukasi terhadap tingkat

kecemasan pre operasi

7.2.3. Bagi Mahasiswa S1 Keperawatan

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran dan

referensi untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan

yang akan melakukan penelitian, dan sebagai penyempurnaan bagi

penelitian-penelitian sebelumnya.

60
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2015). Keperawatan Medikal Bedah:


Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba
Medika.

Burkitt, HG, Quick, CRG, and Reed, JB. (2017). Appendicitis In :Essensial
Surgery Problems, Diagnosis & Management Fourth Edition London
Elsevier, 389-398.

Craven, RF & Hirnle, CJ. (2017). Fundamental of Nursing. Jakarta : EGC.

Departemen Kesehatan. (2018). Jakarta

Faridah, V.N. (2015). Penurunan Tingkat Nyeri Post Op Apendisitis Dengan


Tehnik Distraksi Nafas Ritmik. Jurnal Kesehatan Vol.7 Nomor 2.

Grace, Pierce A, Borley, & Neil R. (2017). At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta :
Erlangga.

Lubis, C.P., dkk. (2018). Intestinal parasitic infestation in Indonesia. Jakarta


: EGC

Majid A, Judha M & Istianah U. (2015). Keperawatan Perioperatif.


Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Mansjoer, A. (2010). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media


Aesculapsius. Monahan FD, et al. (2017). Phipps Medical-Surgical
Nursing : Health and Illnes Perspectivess. 8th ed. Philadelphia : Mosby
Inc.

Mubarak, WI. (2007). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC.

Muttaqin A, Kumala S. (2018). Gangguan Gasrtointestinal Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah Jilid 1. Jakarta : Salemba Medika.

Nurafif, HA & Kusuma, Hardi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperwatan


Berdasarkan Diagnosa Medis Nanda NIC –NOC. Yogyakarta: Media
Action Publishing.

Nanda. (2015). Nanda International Diagnosa Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi. Jakarta EGC.

61
Potter & Perry. (2015). Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Konsep,
Proses, dan Praktik). Jakarta : EGC.

Price, SA & Wilson, LM. (2017). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- proses
Penyakit, Edisi : 6. Jakarta : EGC.

Pristahayuningtyas, Murtaqib, Siswoyono. (2015). Pengaruh Mobilisasi


Dini terhadap Perubahan Tingkat Nyeri Klien Post Operasi
Apendiktomi. Jurnal, Vol 4 No.1.

Riskesdas. (2019). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Sjamsuhidajat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, SC & Bare, BG. (2019). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Edisi Volume 1. Jakarta : EGC.
Smith. (2017). Terapi Pernafasan untuk Penderita Asma. Prestasi Pustaka.
Sugiyono. (2017). MetodePenelitian Pendidikan Pendekatan
Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tamsuri, A. (2018). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta :EGC.

Yusrizal. (2016). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Masase


Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pasien Pasca Apendiktomi di Ruang
Bedah RSUD Dr. M. Zein Painan. Jurnal. Diakses
http://repository.unand.ac.id/17872/pukul 19.30 tanggal 8 Januari
2018.
Wijaya, A.S & Putri, Y.M. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta :
Nuha Medika.

Wijaya, P.A. (2016). Analisis Fakto-faktor yang Mempengaruhi Intensitas


Nyeri Pasien Pasca Bedah Abdomen dalam Konteks Asuhan
Keperawatan di RSUD Badung Bali. Jurnal Dunia Kesehatan, Vol.5,
Nomor1.
Wilkinson, J.M & Ahern. (2017). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi
9.Jakarta : EGC
Zees, R. F. (2015). Pengaruh Tehnik Relaksasi Terhadap Respon Adaptasi
Nyeri pada Pasien Apendektomi di Ruang G2 Lantai II Kelas III
BLUD RSU Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Jurnal Health
and Sport, Vol 5, No. 3.

62
Lampiran

63
Lampiran

64
Lampiran

65
Lampiran

66
Lampiran SPSS
Frequencies

Statistics
Tingkat Tingkat
kecemasan kecemasan Tingkat Tingkat
kelompok kelompok kecemasan kecemasan
experiment Experiment kelompok kelompok
Sebelum Setelah kontrol sebelum kontrol sesudah
diberikan diberikan tampa diberikan tampa diberikan
edukasi edukasi edukasi edukasi
N Valid 19 19 19 19
Missing 0 0 0 0
Mean 31.11 17.79 32.21 32.84
Std. Deviation 8.096 3.614 7.413 8.342

Frequency Table

Tingkat kecemasan kelompok experiment Sebelum


diberikan edukasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 20 1 5.3 5.3 5.3
21 1 5.3 5.3 10.5
22 1 5.3 5.3 15.8
25 1 5.3 5.3 21.1
26 1 5.3 5.3 26.3
27 3 15.8 15.8 42.1
28 2 10.5 10.5 52.6
29 1 5.3 5.3 57.9
30 2 10.5 10.5 68.4
38 1 5.3 5.3 73.7
40 1 5.3 5.3 78.9
41 1 5.3 5.3 84.2
42 1 5.3 5.3 89.5
44 1 5.3 5.3 94.7
46 1 5.3 5.3 100.0

67
Total 19 100.0 100.0

Tingkat kecemasan kelompok Experiment Setelah


diberikan edukasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 12 1 5.3 5.3 5.3
13 1 5.3 5.3 10.5
14 1 5.3 5.3 15.8
15 2 10.5 10.5 26.3
16 2 10.5 10.5 36.8
17 3 15.8 15.8 52.6
18 1 5.3 5.3 57.9
19 4 21.1 21.1 78.9
20 1 5.3 5.3 84.2
21 1 5.3 5.3 89.5
25 1 5.3 5.3 94.7
26 1 5.3 5.3 100.0
Total 19 100.0 100.0

Tingkat kecemasan kelompok kontrol sebelum tampa


diberikan edukasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 19 1 5.3 5.3 5.3
20 1 5.3 5.3 10.5
22 1 5.3 5.3 15.8
27 2 10.5 10.5 26.3
28 1 5.3 5.3 31.6
29 2 10.5 10.5 42.1
30 2 10.5 10.5 52.6
35 1 5.3 5.3 57.9
37 1 5.3 5.3 63.2
38 2 10.5 10.5 73.7
39 1 5.3 5.3 78.9
40 2 10.5 10.5 89.5
41 1 5.3 5.3 94.7
43 1 5.3 5.3 100.0
Total 19 100.0 100.0

68
Tingkat kecemasan kelompok kontrol sesudah tampa
diberikan edukasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 19 2 10.5 10.5 10.5
20 1 5.3 5.3 15.8
22 1 5.3 5.3 21.1
27 1 5.3 5.3 26.3
29 2 10.5 10.5 36.8
30 1 5.3 5.3 42.1
32 1 5.3 5.3 47.4
36 1 5.3 5.3 52.6
37 1 5.3 5.3 57.9
38 1 5.3 5.3 63.2
39 1 5.3 5.3 68.4
40 2 10.5 10.5 78.9
41 2 10.5 10.5 89.5
42 1 5.3 5.3 94.7
43 1 5.3 5.3 100.0
Total 19 100.0 100.0

Bar Chart

69
70
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 38
Normal Parametersa,b Mean .0000000
Std. Deviation 8.16116804
Most Extreme Differences Absolute .126
Positive .084
Negative -.126
Test Statistic .126
Asymp. Sig. (2-tailed) .133c
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
b. Lilliefors Significance Correction.

T-Test

Paired Samples Correlations


N Correlation Sig.
Pair 1 Tingkat kecemasan 19 7.583 .009
kelompok experiment
Sebelum diberikan edukasi &
Tingkat kecemasan
kelompok Experiment
Setelah diberikan edukasi
Pair 2 Tingkat kecemasan 19 .807 .000
kelompok kontrol sebelum
tampa diberikan edukasi &
Tingkat kecemasan
kelompok kontrol sesudah
tampa diberikan edukasi

71
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence
Std. Std. Interval of the
Deviatio Error Difference Sig. (2-
Mean n Mean Lower Upper t df tailed)
Pair 1 Tingkat 1.368 .684 .157 1.039 1.698 7,954 18 0.000
kecemasan
kelompok
experiment
Sebelum
diberikan
edukasi -
Tingkat
kecemasan
kelompok
Experiment
Setelah
diberikan
edukasi
Pair 2 Tingkat -.158 .501 .115 -.400 .084 0,680 18 0.187
kecemasan
kelompok
kontrol
sebelum
tampa
diberikan
edukasi -
Tingkat
kecemasan
kelompok
kontrol
sesudah
tampa
diberikan
edukasi

72

Anda mungkin juga menyukai