Kejahatan Seksual
Oleh:
Della Reyhani Putri 1840312689
Dini Reswari 1840312682
Habifa Mulya Cita 1840312673
Nadhirah Binti Sa’an 1840312661
Preseptor :
Dr. dr. Rika Susanti, Sp. F
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Fenomena kejahatan seksual pada era globalisasi ini sangat menonjol. Bukan
hanya karena makin beratnya kasus kejahatan seksual, tapi juga karena intensitasnya
yang semakin mengkhawatirkan. Kejahatan seksual marak terjadi di tengah
masyarakat, seperti yang sering diberitakan di media cetak, media elektronik, maupun
media sosial, dan juga diperoleh dari hasil penelitian yang semakin banyak dilakukan.4
Peran dokter dalam kasus kejahatan seksual berupa pemeriksaan fisik dan
pengambilan sampel dari tubuh korban. Hal ini juga sesuai dengan Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI) yang menyatakan bahwa setelah lulus dokter umum harus
mampu membuat visum et repertum, melakukan berbagai teknik pengambilan sampel
yang dapat digunakan sebagai barang bukti medis, dengan kompetensi 4A. 7
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas dan
melaporkan kasus kejahatan seksual sebagai dasar dalam menerapkan ilmu kedokteran
forensik kedepannya.
2.2 Epidemiologi
Angka kekerasan seksual pada anak dan perempuan meningkat setiap tahun.
Catatan tahunan komnas perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan dalam
tiga ranah yaitu ranah personal/privat, ranah publik/komunitas, dan ranah negara. Di
ranah personal atau privat, catatan tahunan 2019 komnas perempuan mencatat bahwa
persentase kekerasan seksual yang terjadi sebesar 31% (2.988 kasus), dimana incest
(pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) paling banyak
dilaporkan yaitu 1.071 kasus, kedua adalah kasus perkosaan sebanyak 818 kasus,
kemudian pencabulan sebanyak 321 kasus.8
Menurut data KPAI tahun 2018, kasus Anak Berhadapan dengan Hukum
(ABH) masih menduduki urutan pertama, yaitu mencapai 1.434 kasus, didominasi
kasus kekerasan seksual yang mana laki-laki mendominasi sebagai pelaku
dibandingkan dengan anak perempuan, pelaku laki-laki berjumlah 103, sedangkan
pelaku berjenis kelamin perempuan berjumlah 58 anak. ABH sebagai korban juga
masih didominasi oleh kasus kekerasan seksual. Korban didominasi berjenis kelamin
perempuan yaitu berjumlah 107 korban dan laki-laki berjulah 75 korban.9
Ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil
pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu:4
1. Perkosaan
Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai
penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari
tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan,
ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan
kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh
paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam
sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan
diluar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan
seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh,
misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun. 4
6. Prostitusi Paksa;
Situasi di mana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun
kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa
rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk
melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan
utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa
kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan
perdagangan orang untuk tujuan seksual.4
7. Perbudakan Seksual;
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban
sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan
seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan
ini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa
menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta
berhubungan seksual dengan penyekapnya.4
9. Pemaksaan Kehamilan;
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman
kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi
ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan
pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami
menghalangi istrinya untuk menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan
itu tidak dapat mengatur jarak kehamilannya. Pemaksaan kehamilan ini
berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan
hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan
maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk
melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya. 4
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan
agama.
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai
simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan
perempuan “nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan
seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas)
perempuan. Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun
ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk
mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi
simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-baik’.
Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling
sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat
kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam
tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenistanpa ikatan
kerabat atau perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan
diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang
diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan
dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman
dalam bentuk peringatan, denda, penjara maupun hukuman badan lainnya.4
Tanda-tanda maturasi saat ini menjadi sangat penting oleh karena adanya
Undang Undang perlindungan anak, perlakuan kejahatan seksual pada anak-anak akan
mendapatkan sanksi yang berat. Pemerikaan sendiri dapat berupa pemerikaan tanda-
tanda seks sekunder, pertumbuhan gigi geligi, rontgen foto dari jari jari tangan dan
kaki.1,10
Cari tahu apakah korban pingsan, untuk mengetahui penggunaan obat bius atau
obat tidur dan lakukan pemeriksaan urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan pakaian dilakukan dengan teliti, robekan atau kancing yang copot, bercak
darah, air mani, lumpur dsb. Pemeriksaan tubuh korban meliputi pemeriksaan umu,
penampilan, tanda bekas kekerasan, memar, luka lecet, dilihat perkembangan alat
kelamin sekunder.3
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
KUHP
Pasal 89 KUHP
Pasal 76E
Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau
ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul.
Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5
b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati
akibat perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu dalah anaknya, anak tirinya,
muridnya, anak yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau
bawahannya (KUHP pasal 294).
“(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 15,16,17
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.”
Dari rumusan Pasal 82 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini
untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap
anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan
tersebut merupakan delik biasa, bukan delik aduan, maka seharusnya perkara
pencabulan tersebut tetap diproses, walaupun sudah ada pencabutan laporan
dari keluarga korban.
BAB 3
LAPORAN KASUS
PROJUSTITIA
Padang, 26 Februari 2020
Yang bertanda tangan di bawah ini, Citra Manela, dokter spesialis forensik pada Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, berdasarkan Surat Permintaan Visum et
Repertum dari Kepala Kepolisian Resor Kota Padang, dengan surat nomor VER/ 33/
B / II /2020/ Resta tertanggal 26 Februari 2020 , maka dengan ini menerangkan bahwa
pada tanggal dua puluh enam Februari dua ribu dua puluh, pukul nol satu titik tiga nol
Waktu Indonesia bagian Barat, bertempat di Bagian Forensik Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. M. Djamil Padang, telah dilakukan pemeriksaan korban yang menurut Surat
Permintaan Visum et Repertum tersebut adalah:----------------------------------------------
Nama : Vanny Dwi Yani------------------------------------------------------
Jenis Kelamin : Perempuan-------------------------------------------------------------
Tempat/ Tgl. Lahir: Padang / 19 Agustus 1995-------------------------------------------
Pekerjaan : Mahasiswa-------------------------------------------------------------
Kewarganegaraan : WNI---------------------------------------------------------------------
Agama : Islam--------------------------------------------------------------------
Alamat :Jl. DPR Raya Blok B 38 RT 02/07, Kelurahan Dadok, Tunggul
Hitam, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang -------------------
HASIL PEMERIKSAAN------------------------------------------------------------------------
1. Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum sedang, pasien tampak
banyak diam dengan tatapan kosong---------------------------------------------------
2. Penampilan bersih, pakaian sudah diganti--------------------------------------------
3. Menurut pengakuan korban dan keluarga korban, awalnya korban sedang
tertidur didalam kamarnya. Kemudian sekitar pukul nol satu titik tiga nol
Waktu Indonesia Bagian Barat pelaku masuk ke dalam kamar korban, lalu
pelaku menghimpit kaki korban dan memasukkan tangan serta meremas
payudara korban. Korban terbangun dengan pisau sudah menempel di leher
korban, pelaku mengancam dan memaksa korban untuk membuka baju, lalu
pelaku membuka paksa baju korban. pelaku memasukkan penisnya ke dalam
mulut korban serta jari pelaku ke vagina korban. Kemudian korban menemukan
balok kayu di dekat kasur dan memukulkannya ke pelaku. Pelaku jatuh dan
kabur keluar. Lalu korban mengunci kamar dan menelpon tantenya. Tante
korban datang ke rumah namun pelaku sudah tidak ada ditempat, lalu sekitar
pukul nol tiga titik nol nol Waktu Indonesia Bagian Barat tante korban
membawa korban ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk dilakukan
pemeriksaan-------------------------------------------------------------------------------
4. Riwayat haid : sudah, mulai umur dua belas tahun HPHT -------------------------
5. Perkembangan seks sekunder : sesuai dengan umur, payudara sudah tumbuh,
rambut pubis sudah tumbuh dan rambut aksila sudah tumbuh---------------------
6. Pada korban ditemukan :
a. pada dada kanan sebelas sentimeter dari garis pertengahan depan dan
dua sentimeter dari lipat ketiak ditemukan luka memar berwarna merah
dengan ukuran dua sentimeter kali dua sentimeter----------------------
7. Pada pemeriksaan genitalia-------------------------------------------------------------
a. Bagian luar : pada bibir kecil kemaluan arah jam tiga tampak memar
warna merah berukuran nol koma lima sentimeter kali nol koma lima
sentimeter------------------------------------------------------------------------
b. Selaput dara : tampak robekan, tidak mencapai dasar arah jam tiga ----
c. Bagian dalam : tidak diperiksa-------------------------------------------------
8. Pemeriksaan laboratorium : tidak dilakukan swab vagina--------------------------
9. Pada korban telah dilakukan pemeriksaan psikiatri----------------------------------
KESIMPULAN-----------------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan seorang korban perempuan yang menurut surat permintaan visum et
repertum yang berusia dua puluh lima tahun ditemukan robekan pada selaput dara yang
tidak mencapai dasar arah jam tiga dan memar pada bibir kecil kemaluan akibat
kekerasan tumpul yang melewati liang senggama. Ditemukan luka memar warna merah
pada dada kanan akibat kekerasan tumpul.----------------------------------------------------
4.1 Diskusi
Pada tanggal dua puluh enam Februari dua ribu dua puluh, pukul nol satu titik
tiga nol Waktu Indonesia bagian Barat, bertempat di Bagian Forensik Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, telah dilakukan pemeriksaan korban berumur 24
tahun. Dasar dilakukan pemeriksaan adalah Surat Permintaan Visum et Repertum dari
Kepala Kepolisian Resor Kota Padang, dengan surat nomor VER/ 33/ B / II /2020/
Resta tertanggal 26 Februari 2020.
Menurut pengakuan korban dan keluarga korban, awalnya korban sedang
tertidur didalam kamarnya. Kemudian sekitar pukul nol satu titik tiga nol Waktu
Indonesia Bagian Barat pelaku masuk ke dalam kamar korban, lalu pelaku menghimpit
kaki korban dan memasukkan tangan serta meremas payudara korban. Korban
terbangun dengan pisau sudah menempel di leher korban, pelaku mengancam dan
memaksa korban untuk membuka baju, lalu pelaku membuka paksa baju korban.
pelaku memasukkan penisnya ke dalam mulut korban serta jari pelaku ke vagina
korban. Kemudian korban menemukan balok kayu di dekat kasur dan memukulkannya
ke pelaku. Pelaku jatuh dan kabur keluar. Lalu korban mengunci kamar dan menelpon
tantenya. Tante korban datang ke rumah namun pelaku sudah tidak ada ditempat, lalu
sekitar pukul nol tiga titik nol nol Waktu Indonesia Bagian Barat tante korban
membawa korban ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk dilakukan pemeriksaan.
4.2 Pemeriksaan
Korban usia 24 tahun datang dalam keadaan sadar, keadaan umum sedang,
pasien tampak banyak diam dengan tatapan kosong, penampilan bersih, pakaian sudah
diganti. Korban sudah mengalami haid mulai umur dua belas tahun. Perkembangan
seks sekunder sesuai dengan umur. Pada korban, terdapat di dada kanan sebelas
sentimeter dari garis pertengahan depan dan dua sentimeter dari lipat ketiak ditemukan
luka memar berwarna merah. Pada pemeriksaan genitalia bagian luar, pada bibir kecil
kemaluan arah jam tiga tampak memar warna merah berukuran nol koma lima
sentimeter kali nol koma lima sentimeter. Pada selaput dara, tampak robekan, tidak
mencapai dasar arah jam tiga. Pemeriksaan bagian dalam tidak dilakukan.
Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum sedang, pasien tampak
banyak diam dengan tatapan kosong, penampilan bersih, pakaian sudah diganti. Hal ini
penting dinilai untuk mengetahui apakah korban mengalami gangguan psikologis.
Tindak kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban baik fisik, psikis, dan
sosial. Trauma psikis korban berupa berbagai gangguan diantaranya:11
Gangguan psikologis akibat dari kekerasan seksual atau trauma post sexual abuse,
antaranya tidak mampu mempercayai orang lain, takut atau khawatir dalam
berhubungan seksual, depresi, ingin bunuh diri, perilaku merusak diri sendiri,
harga diri rendah, merasa berdosa, marah, menyendiri, tidak mau bergaul dengan
orang lain, dan makan tidak teratur.
Secara medis, anak hasil hubungan inses berpotensi besar mengalami kecatatan,
baik secara fisik ataupun mental.
Akibat lain yang cukup meresahkan korban adalah mereka sering disalahkan dan
mendapat stigma (label) yang buruk, padahal kejadian yang mereka alami bukan
karena kehendaknya, melainkan sebagai korban kekerasan seksual. Orang yang
semestinya disalahkan adalah pelaku kejahatan seksual tersebut.
Pada korban, terdapat di dada kanan ditemukan luka memar berwarna merah.
Hal ini penting ditanyakan untuk mencari adanya tanda-tanda kekerasan. Kekerasan
tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari penampang benda, daerah
yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Tindakan membius
juga termasuk kekerasan, maka perlu dicari juga adanya racun dan gejala akibat obat
bius/racun pada korban. Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka
bukan berarti tidak ada kekerasan. Pemeriksaan pasien dibagi dalam beberapa kategori
yaitu; keadaan umum dan tingkah laku pasien, keadaan tubuh secara keseluruhan,
genitalia externa, vagina dan servix, dan anus serta rektum. Peneliti forensik harus
banyak mengetahui tentang pola trauma yang terjadi karena kekerasan seksual, untuk
dapat menanyakan pertanyaan yang tepat dan lokasi trauma berdasarkan cerita korban.
Tempat yang paling sering mengalami trauma pada korban kekerasan seksual,
termasuk:12
Memar pada leher karena cekikan
Pada pemeriksaan genitalia bagian luar, pada bibir kecil kemaluan arah jam tiga
tampak memar warna merah berukuran nol koma lima sentimeter kali nol koma lima
sentimeter. Pada selaput dara, tampak robekan, tidak mencapai dasar arah jam tiga.
Trauma genital menunjukkan adanya kontak seksual dan kekerasan. Trauma genital
paling banyak terlihat setelah kekerasan seksual. Akan tetapi, pada kasus kekerasan
seksual seringkali tidak ditemukan bukti trauma genital. Dengan demikian, tidak
adanya trauma genital tidak dapat diinterpretasikan bahwa hubungan seks yang terjadi
atas persetujuan.12