Anda di halaman 1dari 42

Case Report Session

Kejahatan Seksual

Oleh:
Della Reyhani Putri 1840312689
Dini Reswari 1840312682
Habifa Mulya Cita 1840312673
Nadhirah Binti Sa’an 1840312661

Preseptor :
Dr. dr. Rika Susanti, Sp. F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RSUP DR M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah


SWT dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas case report dengan judul “Kejahatan
Seksual” yang merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M.
Djamil Padang.
Dalam usaha penyelesaian tugas case report ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Dr. dr. Rika Susanti, Sp.F selaku
pembimbing dalam penyusunan tugas ini.
Kami menyadari bahwa di dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan kritik
yang membangun guna penyempurnaan tugas case report ini. Akhir kata, semoga case
report ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 9 Desember 2020

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yag dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan mengganggu
kehormatan orang lain.1 Kejahatan seksual merupakan bentuk pelanggaran atas
kesusilaan yang bukan hanya merupakan masalah hukum nasional melainkan
merupakan masalah hukum global.2 Kejahatan seksual dapat terjadi dimana saja, di
berbagai latar belakang kebudayaan, di setiap lapisan masyarakat dan negara di dunia.
Sebagian besar korban kejahatan seksual adalah perempuan, tapi tidak menutup
kemungkinan laki-laki atau anak-anak pernah menjadi korban kejahatan seksual. Oleh
karena itu, kejahatan seksual telah menjadi salah satu masalah global.3

Fenomena kejahatan seksual pada era globalisasi ini sangat menonjol. Bukan
hanya karena makin beratnya kasus kejahatan seksual, tapi juga karena intensitasnya
yang semakin mengkhawatirkan. Kejahatan seksual marak terjadi di tengah
masyarakat, seperti yang sering diberitakan di media cetak, media elektronik, maupun
media sosial, dan juga diperoleh dari hasil penelitian yang semakin banyak dilakukan.4

Menurut data World Health Organization (WHO) mengenai kasus kejahatan


seksual terhadap perempuan yang terjadi di 80 negara menyatakan bahwa hampir 30%
dari semua perempuan pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun seksual.
Prevalensi kejahatan ini menurut WHO sebesar 23,2% pada negara dengan pendapatan
per kapita yang tinggi dan sebesar 24,2% terjadi pada negara Pasifik Timur dan sebesar
37,7% terjadi di Asia Tenggara.5

Di Indonesia, menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap


Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2 tahun 2019, laporan mengenai kasus
kejahatan seksual di ranah personal adalah sebesar 31% (2.988 kasus) dengan posisi di
bawah kekerasan fisik yang kejadiannya sebesar 41% (3.951 kasus). Kasus kejahatan
seksual yang paling banyak dilaporkan adalah incest (pelaku merupakan orang terdekat
yang masih memiliki hubungan keluarga), yaitu sebanyak 1.071 kasus, kemudian
diikuti dengan perkosaan (818 kasus), dan pencabulan (321 kasus). Pelaku kejahatan
seksual tersering adalah pacar (1.670 kasus), kemudian diikuti dengan ayah kandung
(365 kasus), dan paman (306 kasus). Sedangkan di ranah publik, kejahatan seksual
merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan yaitu sebesar 64% (2.521 kasus),
dengan pencabulan sebagai jenis kejahatan seksual yang paling banyak dilaporkan
(1.136 kasus), kemudian diikuti dengan perkosaan (762 kasus), dan pelecehan seksual
(394 kasus).6

Peran dokter dalam kasus kejahatan seksual berupa pemeriksaan fisik dan
pengambilan sampel dari tubuh korban. Hal ini juga sesuai dengan Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI) yang menyatakan bahwa setelah lulus dokter umum harus
mampu membuat visum et repertum, melakukan berbagai teknik pengambilan sampel
yang dapat digunakan sebagai barang bukti medis, dengan kompetensi 4A. 7

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas dan
melaporkan kasus kejahatan seksual sebagai dasar dalam menerapkan ilmu kedokteran
forensik kedepannya.

1.2 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam makalah ini antara lain membahas ilustrasi kasus, definisi,
klasifikasi, aspek hukum kejahatan seksual, pemeriksaan luar, dan pemeriksaan dalam.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang ilustrasi
kasus, definisi, klasifikasi, aspek hukum kejahatan seksual, pemeriksaan luar, dan
pemeriksaan dalam.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini disusun berdasarkan studi kepustakaan yang merujuk pada berbagai
literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Kejahatan seksual merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan seksual,


komentar yang tidak diinginkan, perdagangan seks, dengan menggunakan paksaan
hubungan seksual, secara tidak wajar dan atau tidak disukai, untuk tujuan komersial
dan atau tujuan tertentu yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan
mengganggu kehormatan orang lain tanpa memandang hubungan dengan korban,
dalam situasi apa saja, termasuk tapi tidak terbatas pada rumah dan pekerjaan.1,2

2.2 Epidemiologi
Angka kekerasan seksual pada anak dan perempuan meningkat setiap tahun.
Catatan tahunan komnas perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan dalam
tiga ranah yaitu ranah personal/privat, ranah publik/komunitas, dan ranah negara. Di
ranah personal atau privat, catatan tahunan 2019 komnas perempuan mencatat bahwa
persentase kekerasan seksual yang terjadi sebesar 31% (2.988 kasus), dimana incest
(pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) paling banyak
dilaporkan yaitu 1.071 kasus, kedua adalah kasus perkosaan sebanyak 818 kasus,
kemudian pencabulan sebanyak 321 kasus.8

Gambar 2.2.1 Bentuk kekerasan seksual di ranah privat 1


Pelaku kekerasan seksual di ranah privat/pesonal tertinggi adalah pacar sebanyak
1.670 orang, diikuti oleh ayah kandung sebanyak 365 orang, kemudian di peringkat
ketiga dalah paman sebanyak 306 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung dan paman
selaras dengan meningkatnya kasus incest.8

Gambar 2.2.2 Pelaku kekerasan seksual ranah privat/personal8

Pada ranah publik/ komunitas kasus kekerasan seksual menempati peringkat


pertama diantara kekerasan yang terjadi yaitu sebanyak 2.521 kasus (64%), dimana
kekerasan seksual yang banyak terjadi adalah pencabulan 1.136 kasus, perkosaan 765
kasus, dan pelecehan seksual 394 kasus.8

Gambar 2.2.3 Kekerasan seksual di ranah publik/komunitas8


Pelaku kekerasan seksual diranah komunitas paling banyak dilakukan oleh tetangga,
teman dan orang lain (orang yang bukan keluarga atau bukan yang terdekat tetapi masih
bertemu dalam sebuah lingkungan). Pada ranah negara dari sebanyak 16 kasus
kekerasan , 8 diantaranya kasus pelecehan seksual oleh satpol PP. 8

Gambar 2.2.3 pelaku kekerasan seksual ranah komunitas8

Menurut data KPAI tahun 2018, kasus Anak Berhadapan dengan Hukum
(ABH) masih menduduki urutan pertama, yaitu mencapai 1.434 kasus, didominasi
kasus kekerasan seksual yang mana laki-laki mendominasi sebagai pelaku
dibandingkan dengan anak perempuan, pelaku laki-laki berjumlah 103, sedangkan
pelaku berjenis kelamin perempuan berjumlah 58 anak. ABH sebagai korban juga
masih didominasi oleh kasus kekerasan seksual. Korban didominasi berjenis kelamin
perempuan yaitu berjumlah 107 korban dan laki-laki berjulah 75 korban.9

2.3 Kategori Kejahatan Seksual

Kejahatan seksual dapat dalam berbagai bentuk termasuk perkosaan,


perbudakan seks, dan atau perdagangan seks, kehamilan paksa, kekerasan seksual,
eksploitasi seksual dan atau penyalahgunaan seks dan aborsi. Kejahatan seksual dengan
unsur pemaksaan fisik akan menimbulkan perlukaan dan berakibat trauma psikologis
yang dalam bagi perempuan, sedangkan pelanggaran seksual tanpa pemaksaan fisik,
meskipun tidak mengakibatkan trauma fisik namun tetap dapat mengakibatkan dampak
psikologis di kemudian hari, terutama bila dilakukan terhadap anak perempuan.3
a. Kejahatan seksual tanpa unsur pemaksaan.

Kejahatan seksual tanpa unsur pemaksaan dilakukan dengan bujukan atau


tindakan lain dengan cara mengakali korban yang umumnya terjadi pada anak-
anak yang terjadi karena segala keterbatasan pengalaman dan penalarannya belum
dapat memberikan keputusan atau persetujuannya secara sempurna, sehingga
dianggap persetujuan yang diberikan oleh anak dengan usia tertentu tidak dianggap
persetujuan yang sah. Kemungkinan terjadinya tindakan ini telah lama disadari
oleh para ahli hukum sehingga delik-deliknya telah diatur dalam kitab undang-
undang hukum pidana (KUHP). Seorang anak yang berusia belum cukup 15 tahun
dianggap belum dapat memberikan persetujuannya yang sempurna sehingga
dijadikan delik aduan, sedangkan seorang anak yang berusia belum 12 tahun
dianggap belum bisa memberikan persetujuannya sehingga dijadikan delik biasa.
KUHP juga mengancam perbuatan seksual yang dilakukan oleh sesama jenis yang
dilakukan dengan paksa atau melibatkan anak di bawah umur. Namun pada
perempuan dewasa yang belum terikat perkawinan melakukan perbuatan seksual
tanpa paksaan dengan seorang laki-laki tidak mengakibatkan ancaman pidana bagi
si laki-laki.3

b. Kejahatan seksual dengan unsur pemaksaan

Kejahatan seksual dengan unsur pemaksaan ini diberi terminologi khusus


yaitu perkosaan. Delik ini telah diatur dalam pasal 285 KUHP yang antara lain
harus memenuhi unsur adanya kekerasan/ ancaman kekerasan, adanya
persetubuhan, dan korban adalah perempuan yang bukan istrinya. Ketiga unsur
tersebut harus terbukti secara kumulatif. Perbuatan pemaksaan persetubuhan oral
atau anal, atau perbuatan paksa memasukkan sesuatu yang bukan penis ke dalam
vagina atau anal, ataupun pemaksaan persetubuhan terhadap istrinya sendiri tidak
termasuk ke dalam terminologi perkosaan. Meskipun demikian KUHP mengenal
adanya perbuatan cabul dengan paksa yang diancam dengan pasal 289 yang dapat
diterapkan pada kasus-kasus di atas, kecuali pada marital rape. Pemaksaan atau
kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga telah diatur pada UU
Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) nomor 23 tahun 2004.8

Ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil
pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu:4

1. Perkosaan
Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai
penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari
tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan,
ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan
kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh
paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam
sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan
diluar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan
seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh,
misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun. 4

2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan.


Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut
atau penderitaan psikis pada korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan
secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-
lain. Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.4
3. Pelecehan Seksual;
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran
organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main
mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan
keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau
isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman,
tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai
menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatn.4
4. Eksploitasi Seksual;
Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang, atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh
keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi
seksual yang sering ditemui adalah menggunakan kemiskinan sehingga ia
masuk dalam prostitusi atau pornografi. Praktik lainnya adalah tindakan
mengimingimingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari
perempuan, lalu ditelantarkankan. Situasi ini kerap disebut juga sebagai kasus
“ingkar janji”. Imingiming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat,
yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya. Perempuan
menjadi merasa tak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak
pelaku, agar ia dinikahi.4

5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;


Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan,
atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atas posisi rentan, penjeratan hutang atau pemberian bayaran atau manfaat
terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya,
untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan
perempuan dapat terjadi di dalam negeri maupun antar negeri.4

6. Prostitusi Paksa;
Situasi di mana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun
kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa
rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk
melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan
utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa
kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan
perdagangan orang untuk tujuan seksual.4
7. Perbudakan Seksual;
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban
sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan
seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan
ini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa
menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta
berhubungan seksual dengan penyekapnya.4

8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;


Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual
karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari
perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa
praktik di mana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri.
Pertama, ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali
mengikuti kehendak orang tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan dengan
orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak dia kenali.
Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaksa korban
perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat
perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan
dipaksa untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai.
Namun, gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan
baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Keempat, praktik “Kawin
Cinta Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk menikah dengan orang lain
untuk satu malam dengan tujuan rujuk dengan mantan suaminya setelah talak
tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam). Praktik ini dilarang oleh
ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai daerah. 4

9. Pemaksaan Kehamilan;
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman
kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi
ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan
pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami
menghalangi istrinya untuk menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan
itu tidak dapat mengatur jarak kehamilannya. Pemaksaan kehamilan ini
berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan
hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan
maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk
melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya. 4

10. Pemaksaan Aborsi;


Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan,
ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.4

11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;


Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau
pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak
mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak mengerti hukum
untuk dapat memberikan persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini
dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, sebagai salah satu
indikator keberhasilan pembangunan. Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan
kontrasepsi/ sterilisasi biasa terjadi pada perempuan dengan HIV/AIDS
dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan HIV/AIDS. Pemaksaan ini
juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya tuna grahita, yang
dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri, rentan
perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus
kehamilannya.4

12. Penyiksaan Seksual;


Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan
hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk
menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan
olehnya ataupun oleh orang ketiga. Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan
untuk mengancam atau memaksanya, atau orang ketiga, berdasarkan pada
diskriminasi atas alasan apapun. Termasuk bentuk ini apabila rasa sakit dan
penderitaan tersebut ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan, atau
sepengetahuan pejabat publik atau aparat penegak hukum. 4

13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;


Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan,
atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam
penyiksaan. Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang
mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh
melanggar norma- norma kesusilaan.4

14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi


perempuan;
Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau
budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik,
psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula
dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang
merendahkan perempuan. Sunat perempuan adalah salah satu contohnya. 4

15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan
agama.
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai
simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan
perempuan “nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan
seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas)
perempuan. Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun
ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk
mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi
simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-baik’.
Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling
sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat
kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam
tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenistanpa ikatan
kerabat atau perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan
diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang
diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan
dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman
dalam bentuk peringatan, denda, penjara maupun hukuman badan lainnya.4

2.4 Pemeriksaan Korban Kejahatan Seksual


Hal yang perlu diperhatikan Sebelum Pemeriksaan 5

1. Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis


dari penyidik yang berwenang
2. Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda
bukti. Kalau korban dating sendiri dengan membawa surat permintaan dari
polisi, jangan diperiksa, suruh korban kembali kepada polisi
3. Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatlan
pda tubuh lorban pada waktu permintaan Visum et Repertum
4. Izin tertulis untuk pemeriksaan ini dapat diminta pada korban sendiri atau
jika korban adalah seorang anak, dan orang tua atau walinya, jelaskan
terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan pada korban dan hasil
pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan.
5. Seorang perawat atau bidan harus mendampingi dokter pada waktu
memeriksa korban
6. Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin jangan ditunda terlampau lama
7. Visum et Repertum diselesaikan secepatr mungkin. Dengan adanya Visum
et Repertum perkara cepat dapat diselesaikan 3
2.4.1 Anamnesis
Data yang perlu dicantumkan dalam bagian pendahuluan Visum et Repertum
delik kesusilaan adalah instalasi polisi yang meminta pemeriksaan, nama dan pangkat
polisi yang mengantar korban, nama, umur, alamat dan pekerjaan korban seperti
tertulis dalam surat permintaan, nama dokter yang memeriksa, tempat, tanggal dan jam
pemeriksaan dilakukan serta nama perawat yang menyaksikan pemeriksaan.3
Anamnesis meliputi pengumpulan data tentang umur, tanggal dan tempat
lahir, status perkawinan, siklus haid, untuk anak yang tidak diketahui umurnya,
penyakit kelamin dan penyakit kandungan serta adanya penyakit lain seperti epilepsy,
katalepsi, syncope. Cari tahu pula apakah pernah bersetubuh? Persetubuhan yang
terakhir? Apakah menggunakan kondom?
Hal khusus yang perlu diketahui dalah waktu kejadian, tanggal dan jam/ bila
waktu antara kejadian dan pelaporan kepada yang berwajib berselang beberapa hari
atau minggu, dapat diperkirakan bahwa peristiwa itu bukan peristiwa perkosaan, tetapi
persetubuhan yang pada dasarnya tidak disetujui oleh wanita yang bersangkutan.
Tetapi pada saat telatnya pelaporan bisa disebabkan karena korban diancam. Tanyakan
pula dimana tempat terjadinya, sebagai petunjuk trace evidence yang berasal dari
tempat kejadian, misalnya rumput, tanah dan sebagainya. 3
Perlu diketauhi apakah korban melawan. Jika korban melawan maka pada
pakaian mungkin ditemukan robekan, pada tubuh korban mungkin ditemukan tanda-
tanda bekas kekerasan dan pada alat kelamin mungkin didapat bekas perlawanan.
Kerokan kuku mungkin menunjukkan adanya sel-sel epitel kulit dan darah yang berasal
dari pemerkosa atau penyerang.3

2.4.2 Pemeriksaan Luar

Tanda-tanda maturasi saat ini menjadi sangat penting oleh karena adanya
Undang Undang perlindungan anak, perlakuan kejahatan seksual pada anak-anak akan
mendapatkan sanksi yang berat. Pemerikaan sendiri dapat berupa pemerikaan tanda-
tanda seks sekunder, pertumbuhan gigi geligi, rontgen foto dari jari jari tangan dan
kaki.1,10

Tanda-tanda kekerasan adalah perlukaan yang dialami korban berupa


pemukulan, gigitan ataupun pemaksaan pemaksaan lain yang bisanya berupa memar
dan lecet. Perlu diingat bahwa tidak ada-nya tanda tanda kekerasan bukan berarti bahwa
korban tiak diperkosa, oleh karena penggunaan obat-obatan menyebabkan korban tidak
apat melawan atau adanya ancaman yang luar biasa sehingga korban tidak dapat
melawan. 1,10
Tanda-tanda persetubuhan ditujukan untuk memeriksa alat kelamin yaitu
berupa adanya tanda-tanda kekerasan akibat masuknya alat kelamin pelaku kedalam
alat kelamin korban, tanda-tanda tersebut adalah :
1. Ada tidak memar dan lecet pada bagian luar dan dalam alat kelamin
Pada kasus kekajahatan seksual pada anak anak balita tidak jarang terjadi robekan
sampai ke anus.
2. Robekan selaput dara, adanya robekan selaput dara harus ditentukan hal hal
sebagai berikut :
 Lokasi robekan – ditentukan sesuai dengan arah jam
 Robekan yang ditemukan baru atau lama
 Robekan sampai dasar atau tidak sampai dasar
Hal diatas penting untuk memperkirakan apakah robekan tersebut karena alat
kelamin pelaku atau oleh karena benda lain, interpretasi robekan selaput dara harus
dilakukan secara berhati –hati. Pada kasus sodomi, pemeriksaan ditujukan pada
daerah anus, hampir sama dengan perkosaan ditentukan ada tidaknya luka lecet,
jaringan parut (sering mengalami sodomi) dan tonus otot lingkar anus. 7,8
Adapun tanda-tanda persetubuhan lainnya adalah :
1. Tanda-Tanda Penetrasi
a. Robekan selaput dara
b. Perlukaan pada mulut vagina atau liang vagina
2. Tanda-Tanda Ejakulasi
a. Adanya sel sperma
b. Ada cairan sperma
3. Tanda-Tanda Akibat Persetubuhan .
a. Kehamilan
b. Penyakit menular seksual

2.4.3 Barang Bukti 3

Cari tahu apakah korban pingsan, untuk mengetahui penggunaan obat bius atau
obat tidur dan lakukan pemeriksaan urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan pakaian dilakukan dengan teliti, robekan atau kancing yang copot, bercak
darah, air mani, lumpur dsb. Pemeriksaan tubuh korban meliputi pemeriksaan umu,
penampilan, tanda bekas kekerasan, memar, luka lecet, dilihat perkembangan alat
kelamin sekunder.3

Lakukan pula pemeriksaan genitalia seperti rambut kemaluan yang menumpuk,


air mani mengering, pada vulva periksa tanda bekas kekerasan seperti hiperemia,
edema, luka memar. Periksa jenis selaput dara apakah ada ruptur atau tidak, jika ada
periksa rupture baru atau lama.3

Pengumpulan barang bukti menjadi sangat penting karena selain dapat


membuktikan adanya perkosaan dan membantu memastikan pelakunya, barang bukti
yang dikumpulkan ada berupa :
1. Swab dan bilas vagina
2. Urine
3. Darah
Barang bukti yang lain adalah :

1. Swab dan foto bekas gigitan


2. Pengambilan jaringa bawah kuku ( bila ada riwayat korban mencakar )
3. Sisiran rambut kemaluan
4. Celana dalam korban
5. Pakain korban dan lain – lain yan ada pada tubuh dan pakaian korban
3
2.4.4 Pemeriksaan Laboratorium
2.4.4.1 Pemeriksaan untuk menentukan adanya sperma dan cairan mani :
Untuk menentukan adanya cairan mani dalam vagina guna membuktikan
adanya suatu persetubuhan, perlu diambil bahan dari forniks posterior vagina dan
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut
a) Tanpa pewarnaan .
 Menurut Voight, sperma masih bergerak kira-kira 4 jam pasca persetubuhan.
 Menurut Gonzales, sperma masih bergerak 30-60 menit pasca persetubuhan.
 Menurut Ponzold, kurang dari 5 jam pasca persetubuhan, tetapi kadang-kadang
bila ovulasi atau terdapat sekret serviks, dapat bertahan sampai 20 jam.
 Menurut Nickols, sperma masih dapat ditemukan 5-6 hari pascapersetubuhan
walaupun setelah 3 hari hanya tinggal beberapa saja. Menurut Voight, 66 jam
pascapersetubuhan, sedangkan menurut Davies dan Wilson 30 jam.
 Pada orang yang mati setelah persetubuhan, sperma masih dapat ditemukan
sampai 2 minggu pascapersetubuhan, bahkan mungkin lebih lama. 5
Kesimpulan dari pendapat-pendapat tersebut yaitu bahwa spermatozoa masih
dapat ditemukan sampai 3 hari (72 jam) pasca persetubuhan, kadang-kadang sampai 6
hari pasca persetubuhan. Bila sperma tidak ditemukan, belum tentu dalam vagina tidak
ada ejakulat mengingat kemungkinan azoospermia atau pascavasektomi sehingga perlu
dilakukan penentuan cairan mani dalam cairan vagina. 3
b) Dengan pewarnaan
Cara pewarnaan yang mudah dan baik untuk kepentingan forensik adalah
dengan pulasan Malachite green. Keuntungan pulasan ini adalah inti sel epitel dan
leukosit tidak terdiferensiasi, sel epitel berwarna merah muda merata dan leukosit tidak
terwarnai. Kepala sperma tampak merah dan lehernya merah muda, ekornya bewarna
hijau.
c) Reaksi fosfatase asam
Cara pemeriksaan : bahan yang dicurigai ditempelkan pada kertas saring yang
telah terlebih dahulu dibasahi dengan akuades selama beberapa menit. Kemudian
kertas saring diangkat dan disemprot dengan reagens. Ditentukan waktu reaksi dari saat
penyemprotan sampai timbul warna ungu.
b) Cara elektro-imunodifusi (baxter)
Cara ini adalah satu-satunya cara untuk menentukan dengan pasti adanya mani
manusia pada keadaan azoospermia. Dengan cara ini, Baxter dapat menentukan adanya
semen di dalam vagina sampai 4 hari pasca persetubuhan. 3,1
c) Elektroforetik (Adam & Wraxall)
Cara ini menggunakan lempeng akrilamid dan dikembangkan dengan bufer
(pH3), dilihat di bawah sinar ultra violet. Hasil : fosfatase asam seminal bergerak
sejauh 4 cm, sedangkan fosfatase asam vaginal bergerak sejauh 3 cm.3,1
d) Reaksi florence
Reaksi ini dilakukan bila terdapat azoospermi dan cara lain untuk menentukan
semen tidak dapat dilakukan. Bila terdapat mani, tampak kristal kholin-peryodida
berwarna coklat, berbentuk jarum dengan ujung sering terbelah. 3,1
e) Reaksi Berberio
Dasar reaksi adalah untuk menentukan adanya spermin dalam semen. Reagen
adalah larutan asam pikrat jenuh. Cara pemeriksaan reaksi ini sama seperti reaksi
Florence. Hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang kekuning-
kuningan berbentuk jarum dengan ujung tumpul, dan kadang-kadang terdapat garis
refraksi yang terletak longitudinal. Kristal mungkin pula berbentuk ovoid. Reaksi
tersebut mempunyai arti bila mikroskopik tidak ditemukan spermatozoa. 3,1
2.4.4.2 Pemeriksaan Golongan Darah ABO
Penentuan golongan darah ABO pada semen golongan sekretor dilakukan
dengan cara absorpsi inhibisi. Hanya untuk golongan sekretor saja dapat
ditentukan golongan darah dalam semen. 3,1
2.4.4.3 Pemeriksaan bercak mani pada pakaian3,1
a. Visual
b. Perabaan
c. Pewarnaan Baechii
2.5 Dasar Hukum Kekerasan Seksual

1. Persetubuhan dalam perkawinan1 Pasal 288 KUHP

1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita


yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
2) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua
belas tahun

2. Persetubuhan di luar perkawinan1

a. Dengan persetujuan wanita

 Umur >15 tahun Pasal 284 KUHP


(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak
(overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku
baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak,
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
(2) a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah
kawin;

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta


melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya
bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27
BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan
suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka
berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan
diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan
ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam


sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak


diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena
perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja
dan tempat tidur menjadi tetap.

 Umur <15 tahun Pasal 287 KUHP

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar


perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak
jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur
wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal
berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
(3) Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita
yang menurut undang- undang belum cukup umur. Jika umur
korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun,
penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang
bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu persetubuhan tersebut
merupakan delik aduan, bila tidak ada pengaduan, tidak ada
penuntutan.
Tetapi keadaan akan berbeda jika:

a. Umur korban belum sampai 12 tahun


b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat
atau mati akibat perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu dalah anaknya, anak
tirinya, muridnya, anak yang berada di bawah
pengawasannya, bujangnya atau bawahannya (KUHP pasal
294).

Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun


tidak ada pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan.
Pada pemeriksaan akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte
kelahiran maka umur korban yang pasti tidak diketahui. Dokter
perlu memperkirakan umur korban baik dengan menyimpulkan
apakah wajah dan bentuk tubuh korban sesuai dengan umur yang
dikatakannya, melihat perkembangan payudara dan pertumbuhan
rambut kemaluan, melalui pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan molar
ke-3), serta dengan mengetahui apakah menstruasi telah terjadi. 1
Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat:
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
wanita itu umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang
belum pernah mengalami menstruasi dianggap belum patut untuk
dikawin.1
b. Tanpa persetujuan wanita
 Dengan kekerasan/ ancaman kekerasan Pasal 285 KUHP

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan


memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

 Perempuan dalam keadaan pingsan/ tidak berdaya Pasal 286

KUHP

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar


perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa
korban berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu
persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita korban
yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan
atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi
pingsan, maka perlu diketahui bagaimana terjadinya pingsan
itu, apakah terjadi setelah korban diberi minuman atau
makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah
korban menunjukkan tanda- tanda bekas kehilangan
kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh
obat-obatan. Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah
sengaja membuat korban pingsan atau tidak berdaya, ia dapat
dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena
dengan membuat korban pingsan atau tidak berdaya ia telah
melakukan kekerasan.1

 Pasal 89 KUHP

Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan


dengan menggunakan kekerasan.
2. Perbuatan Cabul1

 Pasal 289 KUHP


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan
dilakukannya perbuatan cabul, diancam karena melakukan
perbuatan yang menyerang kesusilaan, dengan pidana penjara
paling lama 9 tahun.
 Pasal 290 KUHP

Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum:

1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan


seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu
pingsan atau tidak berdaya.
2. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan
seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus
disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15
tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa
orang itu belum masanya buat dikawin.
3. Barangsiapa membujuk (menggoda) seseorang, yang
diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa
umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau
tidak nyata berapanumurnya, bahwa ia belum
masanya buat kawin, akan melakukan atau
membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul,
atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada
kawin
 Pasal 293 KUHP
Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang
atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari
hubungan keadaan, atau dengan menyesatkan sengaja
menggerakkan seseorang belum cukup umur dan baik tingkah-
lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya
perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup
umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.Penuntutan
hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kekerasan itu. Tenggang tersebut dalam pasal 74,
bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 bulan dan 12
bulan.

 Pasal 294 KUHP

“Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan


anaknya, anak tirinya atau anak piaraannya, anak yang di
bawah pengawasannya, orang di bawah umur yang
diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau
dijaganya, atau bujangnya atau orang yang di bawah
umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.”

Dengan itu maka dihukum juga:

1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul


dengan orang yang di bawahnya / orang yang
dipercayakan / diserahkan kepadanya untuk dijaga.
2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang
di penjara, di tempat bekerja kepunyaan negeri, tempat
pendidikan,
rumah piatu, RS jiwa atau lembaga semua yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimaksudkan di situ.

5. Kekerasan Seksual pada Anak1 UU No. 35 Tahun 2014


 Pasal 76D
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya
atau orang lain;
 Pasal 81
(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
& paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh
anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

 Pasal 76E
Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau
ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul.
 Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan


denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah);

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak,
pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat


(2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga
dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang,
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa
rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)


diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan
memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Di negara-negara pada umumnya, kekerasan terhadap wanita seringkali


tidak dianggap sebagai masalah besar karena beberapa alasan. Pertama, ketiadaan
statistik yang akurat. Hal ini karena wanita korban kekerasan tersebut
berangggapan bahwa yang menimpa dirinya sebagai tradisi, sesuatu yang sudah
selayaknya mereka (wanita) terima sehingga tidak ada alasan bagi wanita untuk
melaporkan kekerasan tersebut. Kedua, kebanyakan wanita menganggap bahwa
kekerasan tersebut (kekerasan seksual) adalah masalah tempat tidur yang sangat
pribadi dan berkaitan dengan kesucian rumah (sanctity of the home). Ketiga,
berkaitan dengan budaya atau tradisi yang berlaku di negara-negara di dunia
seperti telah diuraikan di atas. Keempat, karena adanya ketakutan terhadap
suami, baik katakutan akan mendapat kekerasan yang lebih menyakitkan maupun
ketakutan bila dicerai. Seringkali faktor-faktor atau alasan-alasan tersebut terpadu
satu sama lain.
Di Indonesia kekerasan terhadap wanita misalnya tindak pidana
kesusilaan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan dll. Disamping itu ada
kekerasan terhadap isteri yang diatur dalam Pasal 351 dan Pasal 356 (1) KUHP.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila penganiayaan dilakukan
terhadap keluarga dekat atau orang yang seharusnya dilindungi, maka
hukumannya ditambah sepertiga dari jumlah hukuman apabila penganiayaan
dilakukan terhadap orang lain. Selain itu, dalam hal isteri (wanita) di bawah
umur (16 tahun), maka apabila laki-laki (suaminya) menyebabkan luka-luka
dalam proses hubungan seksual, maka si suami dapat didakwa melanggar Pasal
288 KUHP.
Bentuk lain kekerasan terhadap wanita adalah pelecehan seksual. Dalam hal
ini tidak ada perundangan yang khusus mengatur mengenai pelecehan seksual.
Namun dalam KUHP terdapat ketentuan mengenai “perbuatan cabul”, yang
pengertiannya adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan keji yang terjadi di lingkungan nafsu birahi. Pasal-pasal tersebut antara
lain Pasal 281 dan Pasal 294 KUHP. Pasal 281 KUHP berbunyi :
1. Barangsiapa dngan sengaja merusak kesopanan di muka umum.
2. Barangsiapa dengan sengaja merusak kesopanan di muka orang lain yang
kehadirannya di sana tidak dengan kemauannya sendiri.
Pengertian “kesopanan” pada pasal ini adalah dalam arti kata “kesusilaan”,
perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya bersetubuh,
meraba buah dada, meraba kemaluan, memperlihatkan anggota kemaluan,
mencium dan lain sebagainya. Pasal 294 KUHP berbunyi :
1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa,
anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya atau dengan seorang
yang belum dewasa yang dipercayakan kepadanya untuk ditanggung,
dididikatau dijaga atau dengan bujang atau dengan orang sebawahnya yang
belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun;
2. Dengan hukuman yang serupa dihukum :
(1) Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan
padanya untuk dijaga;
(2) Pengurus, tabib, guru, pegawai, mandor (opzichter) atau bujang dalam
panjara, rumah tempat melakukan pekerjaan untuk negeri
(landswerkinrichting), rumah pendidikan, rumah piatu, rumah sakit jiwa atau
balai derma, yang melakukan pencabulan dengan orang yang di tempatkan
di situ.
Bardasar pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu hubungan dimana
korbannya mempunyai ketergantungan dengan si pelaku. Pasal ini menghukum
orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa,
anak tiri atau anak pungut, anak peliharaannya atau dengan seorang yang belum
dewasa yang dipercayakan kepadanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau
dengan bujang bawahnya yang belum dewasa. Hukumannya adalah penjara
selama-lamanya tujuh tahun. Selanjutnya pasal ini menghukum pegawai negeri
yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di bawah perintahnya atau
dengan orang yang dipercayakan kepadanya untuk dijaga. Demikian pula
pengurus, tabib, guru, pegawai, mandor (opzichter) atau bujang dalam penjara,
rumah tempat melakukan pekerjaan untuk negara (landswerkinrichting), rumah
pendidikan, rumah piatu, rumah sakit ingatan atau balai derma, yang melakukan
perbuatan cabul terhadap orang yang ditempatkan di situ.
Selain tindak kekerasan terhadap wanita tersebut di atas, dalam Undang
Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pasal 5 disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga meliputi :
1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat.
2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
dan penderitaan psikis berat pada seseorang.

3. Kekerasan seksual, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan


terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain dengan tujuan komersial dan tujuan tertentu.
4. Penelantaran rumah tangga,penelantaran dari kehidupan ,perwatan atau
pemeliharaan dan penelantaran yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi
/melarang bekerja.
Tetapi keadaan akan berbeda jika:
a. Umur korban belum sampai 12 tahun

b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati
akibat perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu dalah anaknya, anak tirinya,
muridnya, anak yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau
bawahannya (KUHP pasal 294).

Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada


pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan. Pada pemeriksaan
akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran maka umur
korban yang pasti tidak diketahui. Dokter perlu memperkirakan umur
korban baik dengan menyimpulkan apakah wajah dan bentuk tubuh
korban sesuai dengan umur yang dikatakannya, melihat perkembangan
payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan, melalui pertumbuhan gigi
(molar ke-2 dan molar ke-3), serta dengan mengetahui apakah menstruasi
telah terjadi.1

Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal diketahuinya


atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk
dikawin. Perempuan yang belum pernah mengalami menstruasi dianggap
belum patut untuk dikawin.1

Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan Anak (UUPA)
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
ada dua pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan
seksual terhadap anak di bawah umur yaitu Pasal 81 dan Pasal 82. 15,16,17
Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:

“(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 15,16,17

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.”

Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:


“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
15,16,17

Dari rumusan Pasal 82 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini
untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap
anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan
tersebut merupakan delik biasa, bukan delik aduan, maka seharusnya perkara
pencabulan tersebut tetap diproses, walaupun sudah ada pencabutan laporan
dari keluarga korban.
BAB 3
LAPORAN KASUS

PROJUSTITIA
Padang, 26 Februari 2020

VISUM ET REPERTUM SEMENTARA


No. _________________

Yang bertanda tangan di bawah ini, Citra Manela, dokter spesialis forensik pada Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, berdasarkan Surat Permintaan Visum et
Repertum dari Kepala Kepolisian Resor Kota Padang, dengan surat nomor VER/ 33/
B / II /2020/ Resta tertanggal 26 Februari 2020 , maka dengan ini menerangkan bahwa
pada tanggal dua puluh enam Februari dua ribu dua puluh, pukul nol satu titik tiga nol
Waktu Indonesia bagian Barat, bertempat di Bagian Forensik Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. M. Djamil Padang, telah dilakukan pemeriksaan korban yang menurut Surat
Permintaan Visum et Repertum tersebut adalah:----------------------------------------------
Nama : Vanny Dwi Yani------------------------------------------------------
Jenis Kelamin : Perempuan-------------------------------------------------------------
Tempat/ Tgl. Lahir: Padang / 19 Agustus 1995-------------------------------------------
Pekerjaan : Mahasiswa-------------------------------------------------------------
Kewarganegaraan : WNI---------------------------------------------------------------------
Agama : Islam--------------------------------------------------------------------
Alamat :Jl. DPR Raya Blok B 38 RT 02/07, Kelurahan Dadok, Tunggul
Hitam, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang -------------------

HASIL PEMERIKSAAN------------------------------------------------------------------------
1. Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum sedang, pasien tampak
banyak diam dengan tatapan kosong---------------------------------------------------
2. Penampilan bersih, pakaian sudah diganti--------------------------------------------
3. Menurut pengakuan korban dan keluarga korban, awalnya korban sedang
tertidur didalam kamarnya. Kemudian sekitar pukul nol satu titik tiga nol
Waktu Indonesia Bagian Barat pelaku masuk ke dalam kamar korban, lalu
pelaku menghimpit kaki korban dan memasukkan tangan serta meremas
payudara korban. Korban terbangun dengan pisau sudah menempel di leher
korban, pelaku mengancam dan memaksa korban untuk membuka baju, lalu
pelaku membuka paksa baju korban. pelaku memasukkan penisnya ke dalam
mulut korban serta jari pelaku ke vagina korban. Kemudian korban menemukan
balok kayu di dekat kasur dan memukulkannya ke pelaku. Pelaku jatuh dan
kabur keluar. Lalu korban mengunci kamar dan menelpon tantenya. Tante
korban datang ke rumah namun pelaku sudah tidak ada ditempat, lalu sekitar
pukul nol tiga titik nol nol Waktu Indonesia Bagian Barat tante korban
membawa korban ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk dilakukan
pemeriksaan-------------------------------------------------------------------------------
4. Riwayat haid : sudah, mulai umur dua belas tahun HPHT -------------------------
5. Perkembangan seks sekunder : sesuai dengan umur, payudara sudah tumbuh,
rambut pubis sudah tumbuh dan rambut aksila sudah tumbuh---------------------
6. Pada korban ditemukan :
a. pada dada kanan sebelas sentimeter dari garis pertengahan depan dan
dua sentimeter dari lipat ketiak ditemukan luka memar berwarna merah
dengan ukuran dua sentimeter kali dua sentimeter----------------------
7. Pada pemeriksaan genitalia-------------------------------------------------------------
a. Bagian luar : pada bibir kecil kemaluan arah jam tiga tampak memar
warna merah berukuran nol koma lima sentimeter kali nol koma lima
sentimeter------------------------------------------------------------------------
b. Selaput dara : tampak robekan, tidak mencapai dasar arah jam tiga ----
c. Bagian dalam : tidak diperiksa-------------------------------------------------
8. Pemeriksaan laboratorium : tidak dilakukan swab vagina--------------------------
9. Pada korban telah dilakukan pemeriksaan psikiatri----------------------------------

KESIMPULAN-----------------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan seorang korban perempuan yang menurut surat permintaan visum et
repertum yang berusia dua puluh lima tahun ditemukan robekan pada selaput dara yang
tidak mencapai dasar arah jam tiga dan memar pada bibir kecil kemaluan akibat
kekerasan tumpul yang melewati liang senggama. Ditemukan luka memar warna merah
pada dada kanan akibat kekerasan tumpul.----------------------------------------------------

Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan


keilmuan sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.----------------------------------------------------------------------------

Padang, 26 Februari 2020


Dokter yang memeriksa,

dr. Rika Susanti, Sp.F


NIP: 198403112010122006
BAB 4
DISKUSI DAN KESIMPULAN

4.1 Diskusi
Pada tanggal dua puluh enam Februari dua ribu dua puluh, pukul nol satu titik
tiga nol Waktu Indonesia bagian Barat, bertempat di Bagian Forensik Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, telah dilakukan pemeriksaan korban berumur 24
tahun. Dasar dilakukan pemeriksaan adalah Surat Permintaan Visum et Repertum dari
Kepala Kepolisian Resor Kota Padang, dengan surat nomor VER/ 33/ B / II /2020/
Resta tertanggal 26 Februari 2020.
Menurut pengakuan korban dan keluarga korban, awalnya korban sedang
tertidur didalam kamarnya. Kemudian sekitar pukul nol satu titik tiga nol Waktu
Indonesia Bagian Barat pelaku masuk ke dalam kamar korban, lalu pelaku menghimpit
kaki korban dan memasukkan tangan serta meremas payudara korban. Korban
terbangun dengan pisau sudah menempel di leher korban, pelaku mengancam dan
memaksa korban untuk membuka baju, lalu pelaku membuka paksa baju korban.
pelaku memasukkan penisnya ke dalam mulut korban serta jari pelaku ke vagina
korban. Kemudian korban menemukan balok kayu di dekat kasur dan memukulkannya
ke pelaku. Pelaku jatuh dan kabur keluar. Lalu korban mengunci kamar dan menelpon
tantenya. Tante korban datang ke rumah namun pelaku sudah tidak ada ditempat, lalu
sekitar pukul nol tiga titik nol nol Waktu Indonesia Bagian Barat tante korban
membawa korban ke RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk dilakukan pemeriksaan.

4.2 Pemeriksaan
Korban usia 24 tahun datang dalam keadaan sadar, keadaan umum sedang,
pasien tampak banyak diam dengan tatapan kosong, penampilan bersih, pakaian sudah
diganti. Korban sudah mengalami haid mulai umur dua belas tahun. Perkembangan
seks sekunder sesuai dengan umur. Pada korban, terdapat di dada kanan sebelas
sentimeter dari garis pertengahan depan dan dua sentimeter dari lipat ketiak ditemukan
luka memar berwarna merah. Pada pemeriksaan genitalia bagian luar, pada bibir kecil
kemaluan arah jam tiga tampak memar warna merah berukuran nol koma lima
sentimeter kali nol koma lima sentimeter. Pada selaput dara, tampak robekan, tidak
mencapai dasar arah jam tiga. Pemeriksaan bagian dalam tidak dilakukan.

Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum sedang, pasien tampak
banyak diam dengan tatapan kosong, penampilan bersih, pakaian sudah diganti. Hal ini
penting dinilai untuk mengetahui apakah korban mengalami gangguan psikologis.
Tindak kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban baik fisik, psikis, dan
sosial. Trauma psikis korban berupa berbagai gangguan diantaranya:11
 Gangguan psikologis akibat dari kekerasan seksual atau trauma post sexual abuse,
antaranya tidak mampu mempercayai orang lain, takut atau khawatir dalam
berhubungan seksual, depresi, ingin bunuh diri, perilaku merusak diri sendiri,
harga diri rendah, merasa berdosa, marah, menyendiri, tidak mau bergaul dengan
orang lain, dan makan tidak teratur.
 Secara medis, anak hasil hubungan inses berpotensi besar mengalami kecatatan,
baik secara fisik ataupun mental.

 Akibat lain yang cukup meresahkan korban adalah mereka sering disalahkan dan
mendapat stigma (label) yang buruk, padahal kejadian yang mereka alami bukan
karena kehendaknya, melainkan sebagai korban kekerasan seksual. Orang yang
semestinya disalahkan adalah pelaku kejahatan seksual tersebut.

 Berbagai studi memperlihatkan, hingga dewasa anak-anak korban kekerasan


seksual seperti inses biasanya akan memiliki self-esteem (rasa harga diri) rendah,
depresi, memendam perasaan bersalah, sulit mempercayai orang lain, kesepian,
sulit menjaga membangun hubungan dengan orang lain, dan tidak memiliki minat
terhadap seks.

Pada korban, terdapat di dada kanan ditemukan luka memar berwarna merah.
Hal ini penting ditanyakan untuk mencari adanya tanda-tanda kekerasan. Kekerasan
tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari penampang benda, daerah
yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Tindakan membius
juga termasuk kekerasan, maka perlu dicari juga adanya racun dan gejala akibat obat
bius/racun pada korban. Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka
bukan berarti tidak ada kekerasan. Pemeriksaan pasien dibagi dalam beberapa kategori
yaitu; keadaan umum dan tingkah laku pasien, keadaan tubuh secara keseluruhan,
genitalia externa, vagina dan servix, dan anus serta rektum. Peneliti forensik harus
banyak mengetahui tentang pola trauma yang terjadi karena kekerasan seksual, untuk
dapat menanyakan pertanyaan yang tepat dan lokasi trauma berdasarkan cerita korban.
Tempat yang paling sering mengalami trauma pada korban kekerasan seksual,
termasuk:12
 Memar pada leher karena cekikan

 Memar pukulan pada lengan atas

 Memar karena postur bertahan pada sisi lengan luar

Juga yang sering adalah:12

 Trauma menyerupai cambuk atau tali pada punggung korban

 Trauma pukulan atau gigitan pada payudara dan puting susu

 Trauma pukulan pada abdomen

 Trauma pukulan dan tendangan pada paha

 Memar, lecet, dan laserasi pada wajah.

Pada pemeriksaan genitalia bagian luar, pada bibir kecil kemaluan arah jam tiga
tampak memar warna merah berukuran nol koma lima sentimeter kali nol koma lima
sentimeter. Pada selaput dara, tampak robekan, tidak mencapai dasar arah jam tiga.
Trauma genital menunjukkan adanya kontak seksual dan kekerasan. Trauma genital
paling banyak terlihat setelah kekerasan seksual. Akan tetapi, pada kasus kekerasan
seksual seringkali tidak ditemukan bukti trauma genital. Dengan demikian, tidak
adanya trauma genital tidak dapat diinterpretasikan bahwa hubungan seks yang terjadi
atas persetujuan.12

Pembuktian persetubuhan dilakukan dengan dua cara yaitu membuktikan


adanya penetrasi (penis) kedalam vagina dan atau anus/oral dan membuktikan adanya
ejakulasi atau adanya air mani didalam vagina/anus. Pembuktian ini memerlukan
waktu yang sangat singkat antara kejadian dengan pemeriksaan/pengambilan barang
bukti. Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara atau
bila dilakukan dengan kasar dapat merusak selaput lendir daerah vulva dan vagina
ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette. Robekan selaput dara akan
bermakna jika masih baru, masih menunjukan adanya tanda kemerahan disekitar
robekan. Pada beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang elastis sehingga
tidak mudah robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala jika : korban
dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa sudah lama,
korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap. Pembuktian
persetubuhan yang lain adalah dengan memeriksa cairan mani di dalam liang vagina
korban. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel spermatozoa dan cairan mani
sendiri. Namun kendala dalam pemeriksaan cairan mani adalah korban yang
sebelumnya berhubungan seksual dengan orang lain, korban yang terlambat diperiksa,
koitus interuptus, pelaku memakai kondom. Sehingga untuk pembuktian korban tindak
pidana kejahatan seksual sangat diperlukan waktu yang singkat antara kejadian dan
pemeriksaan, sehingga pengumpulan barang bukti bisa dikumpulkan dengan baik. 13

a. Pola trauma genital


 posterior fourchette (70%)
 vagina (11%)
 labia minora (53%)
 perineum (11%)
 hymen (29%)
 area periuretral (9%)
 fossa navicularis (25%)
 labia majora (7%)
 anus (15%)
 rektum (4%)
 servix (13%
b. Hubungan antara trauma non-genital dan trauma genital
Korban trauma non-genital juga mengalami trauma genital. Pada studi lain dari
304 korban kekerasan seksual, 79% mereka dengan trauma non-genital juga
memperlihatkan bukti adanya trauma genital.
c. Bukti dari kolposkopi
Diduga bahwa pemeriksaan kolposkopi untuk memperjelas jaringan genital
adalah aset penting untuk identifikasi trauma genital.
d. Toluidin blue
Toluidine blue adalah nuclear stain yang biasa digunakan dalam pemeriksaan
kekerasan seksual untuk mendekteksi adanya mikrotrauma.
e. Deskripsi trauma genital
Trauma biasanya ditemukan dalam pemerkosaan yang disebabkan oleh tidak
adanya respon human, yaitu:
 Tidak adanya kemiringan pelvik untuk mempersiapkan penetrasi
 Tidak adanya bantuan pasangan dengan memasukkan penis atau objek lain.
 Tidak adanya lubrikasi
 Tidak adanya relaksasi
 Peningkatan kekuatan dari penetrasi
 Disfungsi seksual pria

4.3 Dasar Hukum pembuatan Visum et Repertum


Dasar hukum pembuatan visum et repertum adalah pasal 133 KUHAP, yaitu
bila yang diperiksa adalah manusia sebagai korban atau diduga sebagai korban suatu
tindak pidana, baik masih hidup ataupun sudah mati. Pasal 133 KUHAP. Dasar hukum
pemeriksaan kedua korban telah memenuhi pasal 133 KUHAP ayat 1 dan 2 dengan
adanya surat permintaan visum dari Kepala Kepolisian Resor Kota Padang.
Ketentuan tentang bantuan dokter untuk kepentingan peradilan didalam
KUHAP tercantum didalam pasal 133 dan 179 dan 180. Seorang dokter jika dimintakan
kepadanya untuk membuatkan visum et repertum, maka secara hukum dokter wajib
melakukan dan tidak ada alasan untuk menolak.Pasien yang termasuk kedalam lingkup
pelayanan forensik klinik adalah pasien datang dengan surat permintaan visum, pasien
korban tindak pidana penganiayaan, pasien korban kecelakaan lalu lintas, pasien
dengan luka yang tidak jelas penyebabnya, pasien korban kekerasan seksual, pasien
korban kecarunan/peracunan, pasien datang dengan surat permintaan visum. Jika
pasien yang diperiksa termasuk ke dalam salah satu kriteria diatas, maka dokter
mestinya sudah siap dengan pencatatan luka/cedera yang lengkap. Dokter baru akan
mengelurkan hasil visum et repertum jika ada permintaan tertulis dari penyidik yaitu
berupa surat permintaan visum (SPV).13
Daftar Pustaka
1. WHO. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual
violence.Geneva: World Health Organization; 2003.
2. Triwijati NKE. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis; 2007.
3. Bagian Kedokteran Forensik FKUI.Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:
Forensik FKUI.
4. Komnas Perempuan. Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani;
2013.308227012-Buku-Ilmu-Kedokteran-Forensik.
5. Herrmann B, Banaschak S, Csorba R, Navratil F, Dettmeyer R. Physical
Examination in Child Sexual Abuse Approaches and Current Evidence.
2014;692–703.
6. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. p215-41.
7. Noviana I. Kekerasan Seksual Terhadap Anak : Dampak Dan
Penanganannya. Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Kementrian Sosial RI. 2015.
8. Komnas Perempuan. Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018.
https://www.komnasperempuan.go.id/file/Catatan%20Tahunan%20Keker
asan%20Terhadap%20Perempuan%202019.pdf- diakses 9 Desember 2020
9. KPAI. KPAI Sebut Pelanggaran Hak Anak Terus Meningkat.
https://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-pelanggaran-hak-anak-terus-
meningkat- diakses 9 Desember 2020.
10. Sumera M. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual terhadap Perempuan.
Lex Et Societatis. 2013;1(2):39-49

11. Tursilarini TY. Dampak Kekerasan Seksual di Ranah Domestik Terhadap


Keberlangsungan Hidup Anak. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan
Sosial, Vol. 41, No. 1, April 2017, 77-92.

12. Kalangit A, Mallo J, Tomuka d. Peran Ilmu Kedokteran Forensik dalam


Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan
Seksual. Universitas Sam Ratulangi Manado. 2013.
13. Susanti R. Paradigma Baru Peran Dokter dalam Pelayanan Kedokteran
Forensik

Anda mungkin juga menyukai