Anda di halaman 1dari 7

PENGARUH FEMINISME DALAM MEMBERIKAN KESELAMATAN DAN KEAMANAN BAGI PEREMPUAN :

STUDI KASUS : ISU KEKERASAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Nabila Shafa , Vidhia Ayu Narisya, Astri Novitasari, Mega Febriyani, Lintang Monitaries

Abstract

Violence against women and children is a national issue in Indonesia. Especially girls who are more

vulnerable to sexual abuse by male adults. This requires coaching and protection of a child's rights

primarily in making for his or her social, mental and physical development. Rapid social changes in this

era of globalization have taken a toll like victims of the sheer violence on women. The incidence of

violence in women is due to economic problems, ethnic opposition, gender issues, and legal uncertainty.

This study aims to examine the phenomenon of female violence in west southeast nusa.

KeyWord : Sexual Abuse, Victim, Child Protection

Abstrak

Masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah menjadi isu nasional di Indonesia. Terutama
untuk anak-anak perempuan yang lebih rentan mengalami kekerasan seksual oleh orang dewasa laki-
laki. Hal tersebut diperlukan pembinaan dan perlindungan atas hak-hak anak terutama dalam menjalin
perkembangan sosial, mental dan fisiknya. Perubahan sosial yang sangat cepat di era globalisasi ini telah
membawa dampak negatif seperti korban tindak kekerasan khusunya pada kaum perempuan.
Munculnya permasalahan koban tindak kekerasan pada perempuan disebabkan oleh adanya masalah
ekonomi, pertentangan etnis, isu gender, dan ketidakpastian hukum. Dalam penelitian ini bertujuan
untuk mengupas fenomena kekerasan perempuan di Nusa Tenggara Barat.

Kata kunci : Kekerasan Seksual, Korban, Perlindungan Anak.


PENDAHULUAN

Kekerasan seksual pada perempuan dan anak-anak sudah menjadi isu nasional, terutama bagi anak-
anak perempuan yang rentan mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan. Data Komnas
Perempuan (2017) menunjukan bahwasannya jumlah kasus kekerasan seksual pada perempuan pada
tahun 2014 mencapai 4.475 kasus, dan meningkat pada tahun 2015 sejumlah 6.499 kasus dan pada
2016 jumlah kasus kekerasan tercatat 5.785 kasus. Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Saksi dan
korban menunjukan bahwasannya pelaku kekerasan seksual terhadap anak terutama pada perempuan
didomisili oleh orang terdekat sebesar 80.22 persen, selebihnya 19.77 dilakukan oleh orang yang tidak
dikenal. Kekerasan jenis ini memliki akar yang dalam pada factor budaya yang menempatkan
perempuan pada posisi yang timpang dalam hubungannya dengan laki-laki.

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang
sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik,
ekonomi, pribadi, dan sosial. Tujuan akhir dari gerakan pembebasan perempuan ini adalah tatanan
kehidupan yang adil dan manusiawi. Isu kekerasan ini menjadi hal yang menarik bagi feminis karena
kekerasan terhadap perempuan merupakan mekanisme subordinasi perempuan. Kekerasan terhadap
perempuan tidak hanya berdampak pada korban, tapi juga perempuan pada umumnya, yang pada
akhirnya dalam kehidupan perempuan selalu merasa terancam oleh berbagai tindakan kekerasan di
ranah publik dan privat. Berbicara tentang kekerasan, Johan Galtung seorang perintis utama disiplin
studi perdamaian dan konflik memiliki pemikiran tersendiri yang mana pemikiran tersebut sama dengan
berbagai aliran feminisme. Johan Galtung menempatkan perempuan berhadapan dengan laki-laki yang
merupakan pelaku kekerasan.

Di sisi lain, struktur dan budaya patriarki yang ada di masyarakat juga merupakan bentuk kekerasan,
di mana struktur yang keras, dilegitimasi oleh budaya kekerasan menciptakan lingkungan yang penuh
kekerasan. Femenisme dalam hubungan internasional sendiri memiliki keterkaitan dengan keamanan.
Gerakan feminisme berkontribusi dalam upaya menumbuhkan kesadaran akan adanya kekerasan,
penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan, serta adanya tindakan sadar yang dilakukan baik
oleh laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut untuk mewujudkan perdamaian.
Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa banyak hal, misalnya kekerasan seksual. Kekerasan jenis
ini merupakan kekerasan yang berkonotasi hal-hal tidak baik seperti ajakan ataupun sentuhan dalam
bentuk apapun yang bersifat seksual. Ajakan kencan yang bernada ancaman juga termasuk ke dalam
kekerasan seksual. Akhirnya banyak perempuan yang menjadikan feminisme menjadi langkah awal
untuk memberantas kekerasan seksual.

Feminisme sendiri tidak hanya bisa terjadi pada perempuan, namun juga pria. Meski demikian, kaum
perempuan lebih rentan untuk menjadi korban jika di bandingkan dengan kaum pria. Kaum perempuan
ini sering kali mendapat kekerasaan karena jenis kelamin, tubuh, ataupun stereotype yang ada di
masyarakat. Kekerasan seksual sendiri sering di anggap sebagai kejahatan kesusilaan, sehingga pada
akhirnya para korban merasa malu untuk melaporkannya. Meski telah banyak kasus yang terjadi, namun
tidak semua perempuan sadar akan hak-hak mereka yang harus diteguhkan, masih banyak dari mereka
yang menganggap remeh hak-haknya. Padahal memang idealnya, perempuan memiliki hak dan
kesempatan yang setara dengan gender lainnya. Dan juga dalam hal ini masih banyak pelanggaran hak
dan kesenjangan kesempatan yang dialami perempuan atau merugikan banyak perempuan, seperti
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, upah lebih rendah, hingga kurangnya akses ke
pendidikan dan layanan kesehatan memadai. Selama ratusan tahun, gerakan hak perempuan
berkampanye menghapus aturan, perilaku, stigma dan tradisi yang tidak berpihak pada perempuan.

KERANGKA TEORI

Teori Feminisme Liberal

Orang-orang yang menganut teori feminisme liberal percaya bahwa ketidaksetaraan gender dalam
masyarakat terjadi karena adanya pembagian kerja yang tidak adil (seksis) dan kuatnya budaya patriarki.
Oleh karena itu, para kaum feminis liberal sepakat bahwa kesetaraan gender akan mudah tercapai jika
diadakan transformasi pembagian kerja mulai dari keluarga, pendidikan, lingkungan kerja, media, dan
area-area kehidupan yang lain.

PEMBAHASAN

Feminisme dan Isu Keamanan

Para sarjana Hubungan Internasional, terutama Realis, mendefinisikan keamanan sebagai sesuatu
yang dapat melindungi fisiknya dari batasan-batasan moral. Seperti halnya dengan para pemikir critical
security, banyak kelompok pemikir realis mendefinisikan keamanan secara luas dalm multidimensi dan
multilevel, seperti halnya pengurangan segala bentuk kekerasan, termasuk fisik, struktural, dan ekologi.
Menurut kelompok feminisme, ancaman keamanan termasuk kekerasan domestik, pemerkosaan,
kemiskinan, subordinasi gender, dan kerusakan lingkungan sebagaimana halnya perang. Feminisme
tidak hanya memperluas makna keamanan. Namun juga, memepertanyakan siapa yang menajmin
keamanan. Hamper semua analisi mengenai keamanan dimulai dari bawah, seperti individu atau
komunitas, dibandingkan dimulai dengan negara atau sistem internasional.

Pengaruh Feminisme Terhadap Kekerasan Perempuan

Masalah perempuan selalu mejadi kecemasan yang menakutkan bagi masyarakat, terutama bagi
perempuan itu sendiri. Feminism didefinisikan sebagai gerakan yang menuntut kesetaraan sempurna
antara perempuan dan laki-laki. Feminism menolak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Marry Wallstonecraff dalam bukunya yang berjudul The Right of Woman pada tahun 1972 mengartikan
Feminisme sebagai suatu gerakan emansipasi wanita, gerakan dengan lantang menyuarakan tentang
perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Feminism
sebagi sebuah gerakan yang dapat dilakukan mulai dalam kehiudpan sehari-hari, seperti mengkonsumsi
produk-produk maupun kebudayaan yang dihasilkan oleh kaum perempuan, memberikan ruang yang
luas bagi perempuan, memberikan hak-hak perempuan sebagaimanalaki-laki mendapatkan haknya, dan
tidak mendiskriminasikan perempuan.

Pentingnya pengaruh feiminisme sebagai gerakan bukan hanya sebatas teori, tetapi untuk
menciptakan masyarakat yang lebih baik, baik laki-laki maupun perempuan untuk mengetahui dan
memahami peran-perannya dalam kehidupan keluarga dan kehidupan bermasyarakat. Mengikuti
perkembangan zaman, kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan telah menjadi pusat penelitian,
dan perkembangan peran publik perempuan disertai dengan peningkatan risiko kekerasan seksual di
tempat umum. Secara tradisional, pria dan wanita memiliki peran yang berbeda. Laki-laki diasosiasikan
dengan ranah publik, sedangkan perempuan diidentifikasikan sebagai peran privat. Perlindungan
terhadap perempuan kontemporer menjadi perhatian khusus seiring dengan meningkatnya jumlah dan
bentuk kekerasan. Kekerasan berbasis gender adalah tindakan kekerasan yang dilakukan atas dasar
identitas gender dan orientasi seksual. Kekerasan ini termasuk setiap perilaku membahayakan yang
mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau mental, ancaman akan melakukan suatu perbuatan
membahayakan, pemaksaan, dan atau perilaku lain yang membatasi kebebasan seseorang terhadap
perempuan di ruang publik. Siapapun bisa menjadi korban KBG, termasuk laki-laki. Tapi, dalam konteks
ini baik fisik maupun seksual, perempuan yang paling banyak menjadi korban. Korban kekerasan seksual
seringkali dipandang sebagai perempuan muda, menarik, belum menikah atau yang telah menceraikan
pasangannya. Wanita yang berada dalam karakteristik tersebut secara seksual, menarik bagi pria untuk
dapat menjalin hubungan dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Ketertarikan pria secara seksual
terhadap wanita, dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu (drive) dorongan, (motivation) motivasi dan
keinginan (wish). Dorongan sendiri di artikan sebagai komponen biologis yang meliputi anatomi dan
neuropsikologi. Motivasi diartikan sebagai komponen psikologis yang meliputi kondisi mental seseorang.
Sedangkan keinginan diartikan sebagai komponen kultural yang meliputi arti, nilai serta aturan.
Kekerasan seksual dapat terjadi apabila salah satu atau lebih dari ketiga komponen yaitu drive,
motivation dan wish mengalami kendala. Hak pekerja perempuan telah dijamin dalam konstitusi,
undang-undang, dan beberapa peraturan pelaksananya.

Dalam konstitusi, persamaan hak perempuan untuk bekerja dan mendapat perlakuan yang layak
terdapat dalam Pasal 27 dan Pasal 33. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hak
pekerja perempuan antara lain: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Pelindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 8 Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja
Perempuan pada Malam Hari, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.
224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara
pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

Hak-Hak Perempuan

Hak perempuan antara lain: pelindungan jam kerja, pelindungan dalam masa haid (cuti haid),
pelindungan selama hamil dan melahirkan, termasuk ketika pekerja perempuan mengalami keguguran
(cuti hamil dan melahirkan), pemberian lokasi menyusui (hak menyusui dan/atau memerah ASI), hak
kompetensi kerja, hak pemeriksaan selama masa kehamilan dan pasca-melahirkan. Jaminan hak
tersebut sejalan dengan konvensi internasional yang mengatur tentang hak pekerja perempuan yang
terdapat dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW)
yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan beberapa konvensi terkait
lainnya. Dari perspektif feminis bahwa semua hak-hak perempuan selama ini belum terwujud karena
faktor internal maupun eksternal. Faktor internal terlihat dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman
pekerja perempuan tentang hak-hak yang dimilikinya. Sementara itu, faktor eksternal terlihat pada:
adanya budaya patriarki, marginalisasi di tempat kerja, stereotip perempuan, kurangnya sosialisasi. Jika
Konstitusi memberikan jaminan hukum formal atas hak-hak perempuan, maka pertanyaannya adalah
bagaimana pengaturan perlindungan hak-hak Pengaturan tersebut terdapat pula dalam Convention on
the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi CEDAW) yang telah diratifikasi
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan konvensi terkait lainnya.[1]

Usaha persamaan peran gender di dalam pergerakannya dilakukan melalui beragam cara, salah
satunya dengan menggunakan jalur legislasi dan kekerasan seksual termasuk salah satu jenis kekerasan
berbasis gender, kekerasan seksual adalah penyerangan terhadap seksualitas seseorang tanpa
persetujuan orang tersebut. Kekerasan seksual menimbulkan rasa tidak nyaman dengan memposisikan
korban sebagai objek, bukan manusia dengan kehendak atas tubuh, pikiran dan tindakan mereka sendiri
beragam jenis kegiatan dilakukan untuk merealisasikan persamaan peran gender di ruang publik.
Persamaan peran gender yang telah menjadi isu internasional secara serempak juga turut mengundang
perhatian dari negara-negara yang memiliki kultur patriaki yang kuat lambat laun beragam kegiatan,
kesepakatan hingga peraturan yang telah menjadi konsensus internasional diadaptasikan dengan
kebijakan di suatu negara. Konsensus internasional terkait pengentasan diskriminasi gender pada masa
kini diwadahi dengan penetapan kebijakan oleh PBB Pada awal tahun 2000, PBB menetapkan satu
konsensus yaitu MDGs (Millenium Development Goals) yang salah satu isinya adalah mempromosikan
persamaan gender dan memberdayakan wanita.

Potret Kekerasan Seksual pada Anak Perempuan di Kabupaten Sumbawa

Kabupaten Sumbawa merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Nusa Tenggara Barat
yang letaknya di Pulau Sumbawa. Badan Pusat Statistik kabupaten Sumbawa (2018) menunjukan bahwa
30% penduduk kanupaten Sumbawa adalah anak-anak atau sekitar 165.532 jiwa. Kabupaten Sumbawa
adalah salah satu kabupaten atau kota di provinsi NTB yang memiliki angka kekerasan anak tertinggi
terutama kekerasan seksual pada anak perempuan. Menurut Susfita, tidak terbentuknya pola dan
bentuk peran serta tanggung jawab orang tua kepada anak-anaknya secara maksimal, akan berdampak
pada perilaku anak secara psikologis maupun sosial sehingga anak akan mengalami masalah dan
perilaku yang menyimpang termasuk penyimpangan seksual.

Pada tahun 2017 jumlah kasus kekerasan seksual mencapai 31 kasus yaitu 13 kasus merupakan
pelecehan seksual, kasus persetubuhan mecapai 9 kasus, dan kasus pemerkosaan berjumlah 9 kasus.
Sementara pada tahun 2018, angka kasus kekerasan seksual meningkat hinggan 34 kasus. Sementara itu
berdasarkan data, kasus kekerasan seksual tertinggi di kabupaten Sumbawa adalah di kecamatan
Sumbawa dengan jumlah kasus pada tahun 2017 berjumlah 6 kasus kekerasan seksual. Disusul oleh
kecamatan Tarano dan kecamatan Maronge masing-masing berjumlah 3 kasus dan urutan terakhir yaitu
di kecamatan Utan, kecamatan Plampang, kecamatan Empang, dan kecamatan Batulanteh yaitu masing-
masing kecamatan mencapai jumlah 2 kasus kekerasan seksual.

Menurut Fathiatun Rahman (2019) bahwas data laporan kekerasan terhadap anak di kecamatan
Sumbawa seperti fenomena gunung es. Disebabkan oleh banyaknya tindakan kekerasan di desa maupun
dusun yang tidak dilaporkan dan diselesaikan secara kekeluargaan. Banyak kasus kekerasan disana yang
disembunyikan oleh keluarganya karena mereka menganggap bahwasannya hal tersebut merupakan aib
bagi keluarga, serta korban mendapatkan ancaman dari pelaku. Sementara, kasus pemerkosaan
mecapai 7 kasus dari 9 kasus yang terdata di kabupaten Sumbawa.
Adapun hasil dari data kasus kekerasan pada tahun 2018, anak perempuan berusia balita (0-5 tahun)
sangat rentan mengalami kasus pelecehan seksual, dari 8 kasus pelecehan seksual 2 kasus yang menjadi
korban adalah anak perempuan usia balita. Kasus ini dapat terjadi karena ketidakpedulian dan
kurangnya pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasan sehingga kekerasan seksual terhadap anak
sering terjadi tanpa disadari oleh korban ataupun keluarga.

Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan di NTB

KESIMPULAN

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan
yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup
politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. . Isu kekerasan ini menjadi hal yang menarik bagi feminis karena
kekerasan terhadap perempuan merupakan mekanisme subordinasi perempuan. Kekerasan terhadap
perempuan tidak hanya berdampak pada korban, tapi juga perempuan pada umumnya, yang pada
akhirnya dalam kehidupan perempuan selalu merasa terancam oleh berbagai tindakan kekerasan di
ranah publik dan privat. Femenisme dalam hubungan internasional sendiri memiliki keterkaitan dengan
keamanan. Gerakan feminisme berkontribusi dalam upaya menumbuhkan kesadaran akan adanya
kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan, serta adanya tindakan sadar yang
dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut untuk mewujudkan
perdamaian. Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa banyak hal, misalnya kekerasan seksual.
Kekerasan jenis ini merupakan kekerasan yang berkonotasi hal-hal tidak baik seperti ajakan ataupun
sentuhan dalam bentuk apapun yang bersifat seksual.

Tingginya angka kekerasan seksual pada anak perempuan dan perempuan di kabupaten Sumbawa
seharusnya pemerintah kabupaten Sumbawa mewujudkan program atau perlindungan anak serta
sebagai pemenuhan hak-hak anak terutama pada anak korban kekerasan dan kekerasan seksual.
Perlindungan terhadap perempuan kontemporer menjadi perhatian khusus seiring dengan
meningkatnya jumlah dan bentuk kekerasan. Kekerasan berbasis gender adalah tindakan kekerasan
yang dilakukan atas dasar identitas gender dan orientasi seksual. Kekerasan ini termasuk setiap perilaku
membahayakan yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau mental, ancaman akan melakukan
suatu perbuatan membahayakan, pemaksaan, dan atau perilaku lain yang membatasi kebebasan
seseorang terhadap perempuan di ruang publik.
DAFTAR PUSTAKA

Kosassy, S., O. (2018). Peran P2TP2A Dalam Pendampingan Anak-Anak Korban Kekerasan Seksual
Bermasalah Sosial di Sijunjung. Jurnal Pelita Bangsa Pelestari Pancasila, 13(1), 116-128

Utami, P., N. (2015). Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual di Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Hak Asasi Manusia, 6(2), 105-118.

Linda Dwi Eriyanti, Pemikiran Johan Galtung tentang Kekerasan dalam Perspektif Feminisme, Jurnal
Hubungan Internasional, 06(April-September.), 2017, hal 28.

Sali Susiana, PELINDUNGAN HAK PEKERJA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF FEMINISME, Desember,
2017 hal 1-5

Sali Susiana, PELINDUNGAN HAK PEKERJA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF FEMINISME, Desember,
2017 hal

Yusuf Efendi, URGENSI INFRASTRUKTUR RAMAH GENDER DALAM USAHA PENCEGAHAN KEKERASAN
SEKSUAL DI RUANG PUBLIK hal Qawwam Vol. 14, No. 2 (2020) 11

Anda mungkin juga menyukai