Anda di halaman 1dari 3

Peringatan Hari Ibu dan Refleksi Singkat Kehidupan Perempuan di

Indonesia
Oleh : Lilya Windi Pramesti, S.Pd
(GmnI Komisariat Universitas Negeri Malang)

Wacana revolusi industri 4.0 telah berlaku di Indonesia dan marak istilahnya untuk
dipergunakan dalam beberapa waktu terakhir ini. Sedangkan dalam skala nasional peta
jalan revolusi industri 4.0 di Indonesia akan fokus pada pengembangan lima bidang,
yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, dan
elektronika. Kelima fokus tersebut diharapkan oleh pemerintah dapat berkontribusi
hingga 60% terhadap PDB nasional, serta memenuhi target sebagai ‘future of
leadership digital economy’ di Asia Tenggara pada 2020.

Revolusi industri 4.0 yang dewasa ini populer dibicarakan dalam


berbagai forum dan pemberitaan media massa ditandai dengan kecerdasan
buatan (artificial intellegence), era super komputer, rekayasa genetika, inovasi,
dan perubahan yang serba cepat berdampak terhadap pertumbuhan laju
ekonomi, industri, pemerintahan, dan politik. Gejala yang paling mudah diamati
adalah munculnya sumber informasi melalui media sosial, seperti facebook,
twitter, instagram, youtube, dan lain sebagainya. Hadirnya revolusi industri 4.0
menuntut iklim yang lebih kompetitif, sehingga perlu adanya ‘usaha yang
matang’ untuk memperhitungkan peluang dan tantangan yang harus dihadapi
oleh masyarakat.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak


yang signifikan terhadap peradaban manusia. Perkembangan teknologi dan
informasi mempermudah proses pengambilan, penyebaran, dan penyajian
informasi dapat dilakukan secara cepat dan akurat. Menariknya, kesetaraan
akses dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi agenda
Sustainable Development Goal’s (SDG’s) sebagai upaya untuk pemberdayaan
perempuan secara masif. Bahkan, konsep kesetaraan ini juga menjadi perhatian
global sejak Deklarasi Beijing 1995.

Konsep ‘kesetaraan’ antara perempuan dan laki-laki memang semakin


digaungkan. Pada forum-forum diskusi, mimbar-mimbar bebas masa kini
memberikan kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk menuangkan
gagasan serta memperjuangkan hak-haknya. Kesadaran perempuan pada
‘kesetaraan’ meningkat seraya pemahaman bahwa ‘kesetaraan’ ialah salah satu
bagian dari hak asasi manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari
ketakutan, dan bebas menentukan pilihan hidup yang tidak seharusnya hanya
diperuntukkan pada laki-laki.
Kesadaran pada pentingnya ‘kesetaraan’ di Indonesia dewasa ini
rupanya telah berhasil menarik perhatian laki-laki untuk berpartisipasi di
dalamnya. Artinya, tidak ada sekat antara perjuangan antara laki-laki dan
perempuan selagi berbagai permasalahan masih dianggap milik bersama.
Manisnya, konsep kesetaraan gender tidak hanya menjadi milik perempuan,
namun menjadi milik bersama.

Kendati demikian, kita tidak dapat mengabaikan bahwa keleluasaan


aktivisme perempuan di Indonesia menunjukkan suatu kondisi yang ‘masih tidak
aman’. Hal ini nampak dari berbagai kasus-kasus di lingkungan sosial bertemakan
perempuan. Menurut laporan Komnas Perempuan RI (2019), kasus kekerasan
terhadap perempuan meningkat hingga 406.178 kasus, naik 18% dari tahun
sebelumnya. Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan RI pada tahun
2019 menemukan fakta baru tentang kekerasan terhadap perempuan, yakni
perkosaan dalam pernikahan (marital rape), incest, kekerasan dalam pacaran
(KDP), cybercrime, kekerasan seksual pada perempuan penyandang disabilitas,
revenge porn, pemaksaan melakukan aborsi, perkosaan, dan lain sebagainya.

Selain itu, Tirto.id (7/7/2019) mencatat bahwa “35,9% perempuan di


Jakarta mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum
konvensional dan 9,4% mengaku pernah mengalami pelecehan seksual saat
menggunakan jasa transportasi online, angka-angka tersebut belum termasuk
penyalahgunaan identitas pribadi seperti nomor telepon yang berujung pada
kekerasan verbal dan ancaman persekusi.”

Pada intinya semua kekerasan terhadap perempuan bersumber pada


ketimpangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang kemudian
diperkuat oleh nilai-nilai patriarki yang dianut secara luas. Sosialisasi tentang ciri-
ciri yang dianggap baik pada laki-laki (maskulinitas) yang mengunggulkan sifat-
sifat berani, tegas dalam bertindak, dan menempatkan laki-laki dalam posisi lebih
tinggi dari perempuan, merupakan hal yang ikut melanggengkan kekerasan
terhadap perempuan. Kenyataan ini akan semakin lengkap dengan munculnya
steorotip laki-laki untuk melihat perempuan sekedar objek pelengkap, tidak
penting, dan dapat diperlakukan sekenanya.

Kenyataan di atas, tentunya dapat menjadi refleksi bagi perempuan


utamanya untuk mempertanyakan lebih mendalam ‘bagaimana ia seharusnya’
dan ‘peran apa yang harus ia lakukan’. Ketika Kartini membuka suratnya
bertanggal 25 Mei 1899 dengan, “Aku rindu berkenalan dengan seorang gadis
modern, gadis yang bangga dan independen, yang menarik simpatiku. Ia yang
bahagia dan mandiri, melangkah dengan riang dan sigap dalam perjalannya
melintas hidup, penuh dengan antusiasme dan kehangatan; bekerja tidak hanya
untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya sendiri, melainkan untuk kemanusiaan
yang lebih besar secara keseluruhan.”

Kalimat-kalimat itu tentunya dapat menggugah nurani bersama,


peringatan hari ibu di era revolusi industri 4.0 ini setidaknya bukan hanya
menjadi santapan yang begitu saja hilang, namun menjadi pengingat bahwa
perempuan perlu adanya mengaktulisasikan dirinya. Berperan dalam kehidupan
bermasyarakat, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, berani bersikap, saling
menghargai, adaptif, dan visioner.

Anda mungkin juga menyukai