Bahasa Indonesia
Disusun oleh:
Jehezkiel Prayoga Benjamin Sianipar/XA6/19
Koruptor Pun Menjelma Jadi Singa
Source:
https://nasional.kompas.com/read/2012/11/16/07162151/Koruptor.Pun.Menjelma.Jadi.Singa?
page=all#page2
Mungkin sudah saatnya perumpamaan koruptor dengan tikus diganti. Selain tak tepat,
personifikasi tikus cenderung menyesatkan, terutama bila dikaitkan peristiwa-peristiwa terakhir.
Koruptor lebih tepat diibaratkan singa yang berkuasa. Tikus dipersonifikasi sebagai binatang
kecil, mencuri remah-remah dan akhirnya lari terbirit-birit saat kepergok manusia. Dengan sapu
tikus bisa diusir, dan dengan jebakan tikus bisa dimusnahkan.
Namun, koruptor di negeri ini sama sekali tak mirip dengan personifikasi tikus. Koruptor
tak mencuri sisa ikan di tempat sampah, tetapi mengambil porsi utama di meja makan, bahkan di
dapur yang belum sempat dihidangkan. Jebakan, seandainya tertangkap, toh hanya sementara.
Setelah satu atau dua tahun, koruptor tetap dipromosi menduduki posisi penting sebagai kepala
dinas, yang membawahi ratusan bahkan ribuan birokrat.
Jika tikus langsung lari ketika ada suara gerakan kaki manusia, tak demikian dengan
koruptor Indonesia. Tak seperti di negara lain, koruptor Indonesia malah menggelar konferensi
pers dengan kepala tegak, dengan jas mahal yang dibeli dari hasil korupsi. Didampingi
pengacara- pengacara top, yang membentuk tim dengan spesifikasi tugas yang rumit, koruptor
kita siap menghadapi proses hukum.
Jika koruptornya perempuan, tiba-tiba hadir dengan jilbab besar dan cadar. Cadar yang
selama ini sering dipakai penganut Islam taat di Timteng berubah jadi pakaian utama koruptor
perempuan. Lagi-lagi, tetap didampingi tim pengacara andal. Jika lari ke luar negeri, koruptor
kita pun tak malu-malu menggelar konferensi pers. Pernyataannya ditayangkan berulang-ulang
di stasiun televisi, dianggap sebagai kebenaran.
Jika koruptor yang dibidik adalah orang penting dalam institusi dengan semangat korps
kuat, perlawanannya berubah jadi institusional. Akibatnya, proses antikorupsi yang awalnya
menyasar oknum berubah jadi konflik antarinstitusi. Lagi-lagi dengan kerumitan hukum yang tak
dimengerti oleh masyarakat.
Jika Polri menuntut KPK dan katakanlah menang, tak jelas dana dari mana untuk
membayar ratusan miliar rupiah tuntutan. Baik KPK maupun Polri dibiayai oleh APBN. Lalu
apakah akan terjadi perputaran uang dari APBN di KPK ke APBN Polri? Lalu, apakah Polri
menjadi punya tambahan dana dari keberhasilannya menuntut KPK?
Jika ini benar terjadi, seluruh institusi—termasuk 530 lebih daerah otonom—akan punya
alternatif baru menambah anggaran, yaitu menuntut daerah lain. Ratusan konflik perbatasan
antardaerah dapat jadi alternatif pundi-pundi anggaran, selain pemasukan daerah dari pendapatan
asli daerah. Daerah tak perlu lagi lobi ke pusat untuk menaikkan anggaran. Semua bisa dilakukan
melalui proses hukum. Bukankah Indonesia negara hukum? Jadi, semuanya bisa dicapai dengan
hukum, termasuk menambah anggaran. Ini tentu berbahaya.
Kita jadi kehilangan semangat berbangsa dan bernegara. Indonesia raya mengerdil
menjadi institusi, institusi kita. Itulah yang sekarang dipraktikkan Polri sebagai penegak hukum
di Indonesia ketika menggugat KPK.
Rasional dan institusional Koruptor di negeri ini sudah menjelma kuasa. Terlalu lama
tikus-tikus itu dibiarkan sehingga tak hanya menguasai keranjang sampah dan sisa remah-remah,
tetapi dia sudah menguasai seluruh rumah. Koruptor itu jadi tuan di rumah Indonesia setelah
setahap demi setahap menguasai dapur, meja makan, ruang keluarga, kamar, dan ruang tamu.
Koruptor berpikir dengan sangat rasional. Mereka mengalkulasi untung-rugi melakukan korupsi.
Jika risiko korupsi (jika tertangkap) lebih kecil dibandingkan keuntungan yang didapat, korupsi
terus terjadi. Biaya modal yang diperhitungkan koruptor adalah biaya pengacara, kepala rutan
agar bisa izin berobat, hakim, dan jaksa. Beda ceritanya jika hukuman koruptor adalah hukuman
mati. Berapa pun keuntungan korupsi, tak ada gunanya jika toh akhirnya mati. Institusi-institusi
telah dikuasai koruptor yang menciptakan pola kerja institusional yang mendukung korupsi.
Mereka yang tak terlibat akan terlihat aneh dan unik dan menyalahi norma korupsi yang telah
menjadi norma institusi. Masyarakat antikorupsi kemudian tersingkir dan terus coba merebut
kembali rumah Indonesia yang telah dikuasai tikus-tikus pemimpin yang menjelma singa kuasa.
Usaha ini tidak mudah, tetapi akan terus dikenang sejarah. Indonesia pernah punya cerita indah
pemimpin yang tak mengeruk keuntungan pribadi. Bung Hatta tak memberi tahu Bu Rahmi
tentang kebijakan sanering sehingga uang yang dikumpulkan jadi tak cukup membeli mesin
jahit. Bung Karno, ketika di luar negeri, pernah berurusan dengan ongkos taksi yang jumlahnya
tak besar. Sudah saatnya kita singkirkan tikus-tikus kuasa dari rumah Indonesia. Bayu Dardias
Ketua Klaster Penelitian Governance dan Korupsi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol
UGM
Hasil Analisis:
Hasil Analisis:
Penyandang disabilitas yang dalam percakapan sehari-hari disebut sebagai orang cacat,
sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan. Indonesia merupakan Negara yang
memiliki berbagai resiko untuk kecacatan.
Riset menunjukkan keterkaitan erat antara pemahaman publik tentang disabilitas dan
penyandang disabilitas dengan perilaku diskriminatif yang mereka alami dalam kehidupan
sehari-hari. Pemahaman umum masyarakat di dunia, termasuk Indonesia, tentang penyandang
disabilitas masih cenderung negatif.
Pemahaman negatif tentang disabilitas dan penyandang disabilitas antara lain berakar dari
pola pikir pada masyarakat yang didominasi oleh konsep normalitas. Sejarah telah
memperlihatkan bahwa orang-orang yang penampilan atau tubuhnya kelihatan atau dipandang
sebagai 'berbeda' dari yang dianggap oleh masyarakat sebagai normatif, sebagai normalitas, akan
dianggap sebagai yang tidak diinginkan not desirable dan tidak dapat diterima not acceptable
sebagai bagian dari komunitas, Pelabelan negatif sebagai 'berbeda dari yang diterima sebagai
normalitas' adalah suatu proses stigmatisasi.
Sikap dan perilaku diskriminatif akan muncul bila stigmatisasi atau pelabelan negatif
tersebut berlanjut dengan pembedaan lebih lanjut antara lain berupa pemisahan secara paksa dan
bersifat membatasi segregation, atau pengeluaran karena dianggap bukan bagian integral dan
atau setara social exclusion, atau dinilai kurangtidak bernilai secara sosial atau socially devalued.
Sikap dan perilaku diskriminasi berbasis atas dasar disabilitas bertentangan dengan hak-
hak asasi manusia yang diakui secara universal diseluruh dunia. Juga bertentangan dengan
aspirasi hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial yang menjadi komitmen dalam disiplin
pekerjaan sosial.
Sikap dan perilaku diskriminasi berbasis disabilitas itu kontradiktif dengan disiplin ilmu
Kesejahteraan Sosial yang bertujuan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak (asasi),
pada peningkatan keberfungsian sosial Semua anggota masyarakat, serta pada pemberdayaan
individu-individu, kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, organisasi-organisasi, dan
komunitas-komunitas guna meningkatkan kondisi keberadaan mereka, serta mengakhiri segala
bentuk diskriminasi dan penindasan oppression (Zastrow. 2004, pp.4-5).
Tentunya dari kita sendiri yang jarang bersinggungan dengan mereka karena akses ke
fasilitas umum seperti mall atau sekolah hal-hal yang kita anggap biasa adalah kemewahan bagi
mereka, mereka tidak difasilitasi untuk itu dan banyak rintangan nya. Seringkali mereka akhirnya
berdiam diri di rumah jauh dari pandangan umum.
Akhirnya bagi banyak dari kita pengalaman berkenalan dengan disabilitas jadi terbatas,
salah satu cara paling mudah adalah lewat media. Sayangnya, representasi di media punya
banyak masalah. Meskipun penyandanga disabilitas merupakan 10% dari populasi indonesia
sangat jarang kita melihat karakter atau isu disabilitas di media baik dalam acara fiksi ataupun
berita mereka cenderung diabaikan, isu disabilitas sering dianggap tidak penting atau bahkan
tidak menarik untuk dibahas.
Artinya media tidak memberi porsi representasi yang layak bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, media menampilkan disabilitas sering mendapat representasi yang keliru, penyandang
disabilitas secara tidak adil dikotak-kotakan pada berbagai streotip yang menentukan pandangan
masyarakat umum tentang mereka.
Contohnya, pada riset tahun 2010 Erin Pritchard mengklaim banyak orang bertubuh
kecil, atau menyandang dwarfisme merasa dirugikan citra mereka di media. Media cenderung
menggambarkan mereka sebagai orang yang periang dan mempunyai selera humor tinggi. Salah
satu akibatnya adalah masyarakat kerap memperlakukan mereka sebagai lelucon, ketika mereka
menolak perlakuan itu mereka dianggap kaku dan terlalu serius ini semua karena streotip media
tadi membentuk ekspetasi masyarakat dan mereka malah dianggap aneh jika tidak sesuai
ekspetasi itu.
Penyandang disabilitas juga kerap ditampilkan dalam narasi inspiratif di media. Biasanya,
acara jenis ini mengagungkan pencapaian-pencapaian penyandang disabilitas dan kemampuan
mereka menghadapi rintangan,wajar kalau narasi sejenis ini muncul. Tapi, meski terkesan positif
bingkai ini bisa bermasalah jika dilakukan secara terus menerus. Saking menjengkelkannya,
narasi ini sering disebut sebagai Inspiration Porn.
Masalahnya, narasi ini sering membuat kita fokus pada heroisme penyandang disabilitas
dalam menghadapi tantangan. Namun, dengan fokusnya terhadap heroisme individu, ia luput
membahas siapa penjahatnya. Penjahatnya adalah lingkungan fisik dan sosial yang mempersulit
hidup mereka. Kita bisa lupa, bahwa rintangan-rintangan itu seharusnya dari awal tidak ada.
Idealnya, bukanlah sesuatu yang istimewa bagi penyandang disabilitas untuk bisa sekolah, bisa
jalan-jalan di seantero perkotaan dan memiliki pencapaian-pencapaian pribadi.
Tapi, karena kita secara sosial tidak memperjuangkan fasilitas yang ramah disabilitas
pencapaian ini jadi sesuatu yang spesial. Pada akhirnya, narasi inspirasi ini tetap mendifinisikan
penyandang disabilitas sebagai "lain" berbeda, bukan sebagai manusia yang setara.
Penggambaran seperti ini tidak ditunjukan untuk menguntungkan penggambaran kelompok
disabilitas tapi untuk hiburan khalayak.
Streotip ini membuat kita gagal memahami isu disabilitas secara adil dan menyeluruh.
Media tidak memandang mereka setara dengan manusia yang non-disabilitas, manusia yang
kompleks dan punya banyak dimensi. Penyandang disabilitas tidak butuh dikasihani atau
diagung-agungkan yang mereka butuhkan adalah kesempatan.
Kita perlu mendorong representasi penyandang disabilitas yang didasari kesadaran atas
hak-hak mereka bukan didasari rasa kasihan. Namun sulit untuk mendorong perspektif yang adil
ini selama media belum menampilkan mereka sebagai manusia yang utuh.
Hasil Analisis
Penyebab diskriminasi dan stereotype yang ada dikarenakan karena adanya stigmatisasi.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih memiliki stigma yang tinggi terhadap penyandang
disabilitas. Masyarakat Indonesia terlalu sering terbiasa dengan konsep normal sehingga bertemu
dengan sesuatu yang berbeda menyebabkan munculnya respon-respon negatif. Selain itu, ada
kurangnya pemahaman terhadap disabilitas juga mungkin secara tidak langsung menggunakan
istilah-istilah diskriminatif atau stereotipe.
Saya setuju dengan pendapat penulis karena dengan mendorong representasi penyandang
disabilitas yang didasari atas hak dan bukan belas kasihan akan mematahkan stereotipe yang
tertanam pada mereka. Belas kasihan meskipun terlihat positif, terkadang dapat menimbulkan
hasil yang negatif karena mendorong perhatian pada disibilitasi mereka sehingga menganggap
mereka berbeda standar dengan orang-orang normal. Pada konteks tertentu itu benar namun pada
hal lain itu juga merugikan karena suatu pencapaian mereka hanya dianggap bagus apabila
mereka disabilitas dan bukan karena pencapaian mereka sendiri.
Saya hampir tidak paham bagaimana ketidakjelasan situasi saat ini. Rasanya terlalu hina
ketika saya selaku hamba yang sudah menerima segala bentuk karunia-Nya memilih tuk
mengeluh, tapi sayangnya kurang pas juga jika saya selaku manusia biasa yang hidup dalam
tatanan realita nyata tapi harus bersikap sok tegar.
New Normal, begitu orang-orang bilang termasuk saya sendiri menyebut situasi saat ini.
Namun, dari sekian banyak orang (termasuk saya:red) tak bisa menangkap dengan gamblang
maksud New Normal itu sendiri.
Banyak yang berpendapat bahwa New Normal berarti situasi baru dimana kita harus bisa
bersahabat dengan segala bentuk serangan dan dampak corona yang tengah mewabah. Namun
sayangnya, ada juga yang mengira bahwa New Normal ini berarti situasi dimana serangan
pandemi sudah mulai surut, sehingga aktifitas sehari-hari bisa dilakukan kembali dengan runtut,
padahal, tidak demikian !
Istilah New Normal dalam konteks pandemi covid-19, mulai diperdengarkan dan
dikonsumsi oleh publik Indonesia pada pertengahan Mei lalu. Hal itu pertama kali disuarakan
oleh tim dokter di University of Kansas Health System. Mereka menyatakan pandemi yang
sudah menewaskan lebih dari 350.000 jiwa di seluruh dunia per 27 Mei 2020 akan mengubah
tatanan hidup keseharian manusia.
Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku
Adisasmita, seperti yang dilansir Kompas.com, new normal adalah perubahan perilaku untuk
tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan
guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Menurut Wiku, prinsip utama dari new normal
itu sendiri adalah dapat menyesuaikan dengan pola hidup.
Nge-trend nya istilah New Normal disusul dengan banyak dibukanya sarana, fasilitas dan
tempat umum, mulai dari pusat perbelanjaan (Mall), destinasi wisata, hingga tempat peribadatan
yang sebelumnya hanya diperuntukkan untuk beberapa orang saja.
Hal itu mendapat respon beragam dari masyarakat luas. Bak burung yang dibukakan
pintu oleh pemiliknya, masyarakat langsung berbondong-bondong keluar rumah untuk sejenak
merefresh pikiran atau pergi berbelanja menikmati diskon besar-besaran yang digelar oleh
beberapa brand produk, yang tentu saja sudah empat bulan terakhir ini tak bisa dirasakan
lantaran adanya aturan untuk #dirumahsaja dan rasa takut terhadap corona yang masih tinggi,
kala itu.
Di sisi lain, respon berbeda juga datang dari jajaran civitas akademika atau para pelaku
pendidikan. Jika mall dan destinasi wisata dibuka, bagaimana dengan sekolah ? Ketiganya sama-
sama fasilitas umum, bukan ?
Jika di mall dan wisata bisa menggunakan sistem protokol kesehatan, saya rasa di sekolah
hal tersebut lebih mungkin untuk diterapkan. Daripada terus menerus membiarkan anak didik
larut dalam tugas-tugas yang membingungkan dan bejibun selama belajar online, lebih baik
anak-anak diberikan edukasi secara mendalam tentang apa itu corona, dampak, dan pengenalan
istilah new normal ini.
Hemat penulis, New Normal ini berarti zona adaptasi terhadap lingkungan, namun
dengan penyikapan yang pastinya berbeda dengan situasi sebelum pandemi muncul. Pada zona
ini pula kita sudah waktunya untuk survive dan keluar dari zona ketakutan.
Edukasi dan informasi mendetail mengenai masa New Normal ini haruslah menjangkau
dan bisa diterima dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Mengapa
demikian ? Karena hal ini penting, dan teramat penting. Jangan sampai setiap fase yang akan
dilalui menimbulkan trauma tersendiri. Cukuplah istilah rapid tes yang pada awal bulan lalu
sempat menjadi momok bagi masyarakat, jangan dengan istilah New Normal atau 'Normal baru'
ini.
Hal ini mutlak tugas dan tanggungjawab bersama. Mulai dari jajaran pemerintahan pusat,
anggota legislatif, tokoh agama, hingga masyarakat itu sendiri. Tak terkecuali yakni media massa
yang tentu saja memiliki peranan sentral dalam proses peng-edukasian ini. Sesuai dengan salah
satu fungsinya yakni memberikan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan
malah membagikan informasi hoaks yang dampaknya malah memperburuk situasi krisis.
Hasil Analisis
Dengan adanya pandemic virus corona, terdapat istilah-istilah baru yang digunakan untuk
menyebutkan suatu hal tertentu berkaitan dengan pandemic yang sedang terjadi seperti rapid test,
quarantine, PDP, ODP, dan lain-lain. Salah satu istilah yang sering digunakan adalah ‘New
Normal’ yang terkadang istilah aslinya sering belum dipahami dengan benar. New Normal
berarti adalah pola hidup sehari-hari yang masih berdasarkan dengan protocol kesehatan namun
terkadang orang mensalahartikan ini sebagai pertanda bahwa virus corona sudah hilang atau
sudah redap yang adalah salah. Oleh karena itu, beberapa orang sudah melakukan pergi-pergian
tanpa melakukan protokol kesehatan yang benar.
2.Apa penyebab dan akibat dari permasalahan tersebut?
Istilah ‘New Normal’ pada awalnya mulai beredar pada pertengahan bulan Mei. Berawal
dari pernyataan suatu dokter bahwa virus corona ini akan mengubah tantanan hidup manusia
maka diambil pengertian bahwa virus corona ini menciptakan pola hidup yang baru. Apabila
belum memahami pengertian aslinya, menyebabkan tempat publik yang dikelola suatu orang
dibuka. Akan lebih mending apabila tempat publik tersebut masih mengikuti protokol kesehatan
namun apabila menganggap bahwa pandemi ini sudah hilang akan ada beberapa tempat public
yang tidak mengikuti protokol kesehatan sehingga menyebabkan terjadi penyebaran pandemi
virus corona yang lebih besar lagi.
Saya setuju dengan pendapat penulis, edukasi dan informasi mendetail sangat dibutuhkan
di dalam pandemic ini agar masyarakat dapat memahami dengan benar cara menghandalkan
pandemi virus corona ini secara individu. Dengan memahami istilah-istilah yang digunakan
maka juga bisa menghilang ketidakpahaman masayarakat sehingga tidak menyebabkan hal-hal
yang malah merugikan masyarakat sendiri.