Anda di halaman 1dari 17

Tugas Menganalisis Teks Artikel

Bahasa Indonesia

Disusun oleh:
Jehezkiel Prayoga Benjamin Sianipar/XA6/19
Koruptor Pun Menjelma Jadi Singa
Source:
https://nasional.kompas.com/read/2012/11/16/07162151/Koruptor.Pun.Menjelma.Jadi.Singa?
page=all#page2

Mungkin sudah saatnya perumpamaan koruptor dengan tikus diganti. Selain tak tepat,
personifikasi tikus cenderung menyesatkan, terutama bila dikaitkan peristiwa-peristiwa terakhir.
Koruptor lebih tepat diibaratkan singa yang berkuasa. Tikus dipersonifikasi sebagai binatang
kecil, mencuri remah-remah dan akhirnya lari terbirit-birit saat kepergok manusia. Dengan sapu
tikus bisa diusir, dan dengan jebakan tikus bisa dimusnahkan.
Namun, koruptor di negeri ini sama sekali tak mirip dengan personifikasi tikus. Koruptor
tak mencuri sisa ikan di tempat sampah, tetapi mengambil porsi utama di meja makan, bahkan di
dapur yang belum sempat dihidangkan. Jebakan, seandainya tertangkap, toh hanya sementara.
Setelah satu atau dua tahun, koruptor tetap dipromosi menduduki posisi penting sebagai kepala
dinas, yang membawahi ratusan bahkan ribuan birokrat.
Jika tikus langsung lari ketika ada suara gerakan kaki manusia, tak demikian dengan
koruptor Indonesia. Tak seperti di negara lain, koruptor Indonesia malah menggelar konferensi
pers dengan kepala tegak, dengan jas mahal yang dibeli dari hasil korupsi. Didampingi
pengacara- pengacara top, yang membentuk tim dengan spesifikasi tugas yang rumit, koruptor
kita siap menghadapi proses hukum.
Jika koruptornya perempuan, tiba-tiba hadir dengan jilbab besar dan cadar. Cadar yang
selama ini sering dipakai penganut Islam taat di Timteng berubah jadi pakaian utama koruptor
perempuan. Lagi-lagi, tetap didampingi tim pengacara andal. Jika lari ke luar negeri, koruptor
kita pun tak malu-malu menggelar konferensi pers. Pernyataannya ditayangkan berulang-ulang
di stasiun televisi, dianggap sebagai kebenaran.
Jika koruptor yang dibidik adalah orang penting dalam institusi dengan semangat korps
kuat, perlawanannya berubah jadi institusional. Akibatnya, proses antikorupsi yang awalnya
menyasar oknum berubah jadi konflik antarinstitusi. Lagi-lagi dengan kerumitan hukum yang tak
dimengerti oleh masyarakat.
Jika Polri menuntut KPK dan katakanlah menang, tak jelas dana dari mana untuk
membayar ratusan miliar rupiah tuntutan. Baik KPK maupun Polri dibiayai oleh APBN. Lalu
apakah akan terjadi perputaran uang dari APBN di KPK ke APBN Polri? Lalu, apakah Polri
menjadi punya tambahan dana dari keberhasilannya menuntut KPK?
Jika ini benar terjadi, seluruh institusi—termasuk 530 lebih daerah otonom—akan punya
alternatif baru menambah anggaran, yaitu menuntut daerah lain. Ratusan konflik perbatasan
antardaerah dapat jadi alternatif pundi-pundi anggaran, selain pemasukan daerah dari pendapatan
asli daerah. Daerah tak perlu lagi lobi ke pusat untuk menaikkan anggaran. Semua bisa dilakukan
melalui proses hukum. Bukankah Indonesia negara hukum? Jadi, semuanya bisa dicapai dengan
hukum, termasuk menambah anggaran. Ini tentu berbahaya.
Kita jadi kehilangan semangat berbangsa dan bernegara. Indonesia raya mengerdil
menjadi institusi, institusi kita. Itulah yang sekarang dipraktikkan Polri sebagai penegak hukum
di Indonesia ketika menggugat KPK.

Rasional dan Institusional

Rasional dan institusional Koruptor di negeri ini sudah menjelma kuasa. Terlalu lama
tikus-tikus itu dibiarkan sehingga tak hanya menguasai keranjang sampah dan sisa remah-remah,
tetapi dia sudah menguasai seluruh rumah. Koruptor itu jadi tuan di rumah Indonesia setelah
setahap demi setahap menguasai dapur, meja makan, ruang keluarga, kamar, dan ruang tamu.
Koruptor berpikir dengan sangat rasional. Mereka mengalkulasi untung-rugi melakukan korupsi.
Jika risiko korupsi (jika tertangkap) lebih kecil dibandingkan keuntungan yang didapat, korupsi
terus terjadi. Biaya modal yang diperhitungkan koruptor adalah biaya pengacara, kepala rutan
agar bisa izin berobat, hakim, dan jaksa. Beda ceritanya jika hukuman koruptor adalah hukuman
mati. Berapa pun keuntungan korupsi, tak ada gunanya jika toh akhirnya mati. Institusi-institusi
telah dikuasai koruptor yang menciptakan pola kerja institusional yang mendukung korupsi.
Mereka yang tak terlibat akan terlihat aneh dan unik dan menyalahi norma korupsi yang telah
menjadi norma institusi. Masyarakat antikorupsi kemudian tersingkir dan terus coba merebut
kembali rumah Indonesia yang telah dikuasai tikus-tikus pemimpin yang menjelma singa kuasa.
Usaha ini tidak mudah, tetapi akan terus dikenang sejarah. Indonesia pernah punya cerita indah
pemimpin yang tak mengeruk keuntungan pribadi. Bung Hatta tak memberi tahu Bu Rahmi
tentang kebijakan sanering sehingga uang yang dikumpulkan jadi tak cukup membeli mesin
jahit. Bung Karno, ketika di luar negeri, pernah berurusan dengan ongkos taksi yang jumlahnya
tak besar. Sudah saatnya kita singkirkan tikus-tikus kuasa dari rumah Indonesia. Bayu Dardias
Ketua Klaster Penelitian Governance dan Korupsi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol
UGM

Hasil Analisis:

1.Apa permasalahan yang dibahas?


Korupsi yang terjadi di Indonesia sudahlah bukan lagi bisa diibaratkan bagaikan tikus.
Pada masa kini, korupsi sudah menjelma luas sehingga personafikasi tikus harus digantikan
dengan singa. Banyak institusi sudah dikuasai oleh koruptor sehingga pola kerja diatur
sebagaimana dapat mendukung norma korupsi dan mereka yang berusaha untuk menyingkirkan
koruptor akan terbalik disingkirkan oleh koruptor sendiri. Selain itu, Polri juga tidak dapat
menuntut KPK karena dana yang tidak mencukupi dan apabilai dana dapat cukup untuk Polri
dapat menuntut KPK maka hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan uang yang
dikeluarkan. Koruptor sudah benar-benar menguasai Indonesia.

2.Apa penyebab dari permasalahan yang dibahas?


Hukuman yang didapatkan oleh Koruptor tidak akan setara dengan hasil yang
didapatkannya. Koruptor paham dengan benar bahwa mereka bisa mendapatkan hasil yang
banyak dengan kerugian yang kecil. Mereka mungkin saja tertangkap melakukan korupsi namun
koruptor sudah dapat mempersiapkan hal ini dengan membiayai pengacara yang terbaik, dan
juga membayar hakim dan jaksa dengan uang hasil korupsi sehingga hukuman penjaranya hanya
beberapa tahun bahkan lebih kecil. Setelah dipenjara, koruptor masih bisa dipromosikan menjadi
posisi mereka yang sebelumnya sehingga mereka tidak akan kehilangan karier mereka. Mereka
juga dapat mencegah ancaman-ancaman dengan berbagai cara seperti berlari ke luar negeri.

3.Apa akibat dari permasalahan tersebut?


Koruptor akan menguasai Indonesia dan membuat masyarakat menganggap bahwa
korupsi merupakan hal lazim untuk dilakukan. Koruptor tak akan malu-malunya melakukan
konferensi pers serta pernyataan-pernyataannya ditayangkan di stasiun televise. Masyarakat
terutama masyarakat yang masih minim dalam pendidikan sosial dan kewarganegaraan akan
tertanam pemahaman bahwa korupsi adalah hal benar untuk dilakukan akibat stasiun-stasiun
televise yang mungkin kontennya tidak direstriksi. Oleh karena ini serta kerugian yang
dibandingkan dengan keuntungan lebih kecil, kegiatan korupsi di Indonesia akan semakin
membesar dan merugikan Indonesia sendiri.

4.Apa pendapat anda terhadap solusi penulis?


Disini salah satu solusi penulis adalah hukuman yang diberikan koruptor adalah hukuman
mati (“Beda ceritanya jika hukuman koruptor adalah hukuman mati. Berapa pun keuntungan
korupsi, tak ada gunanya jika toh akhirnya mati.”) dan saya cukup setuju dengan apa yang ditulis
penulis. Menurut saya hukuman yang diberikan kepada koruptor harus sebandingkan dengan
keuntungan yang diambil oleh koruptor. Apabila korupsi yang dilakukan hanya berjumlah kecil
maka hukuman yang diberikan adalah penjara beberapa tahun namun apabila korupsi yang
dilakukan berjumlah besar-besaran atau hasil korupsi sudah digunakan untuk mencuci duit dan
sebagainya maka hukuman yang diberikan haruslah hukuman mati karena koruptor akan sadar
bahwa kerugian yang mereka dapatkan jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang mereka
dapatkan.
Mengatasi Permasalahan Merokok di Indonesia
Source: https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/06/095506965/mengatasi-permasalahan-
merokok-di-indonesia

ROKOK sudah lama membudaya di dalam masyarakat Indonesia yang turut


memengaruhi perilaku masyarakat. Kebiasaan merokok dianggap wajar di kalangan masyarakat
dapat dilihat dari kemudahan mengakses rokok, yang telah menjadi kebutuhan bahkan gaya
hidup. Rokok yang terbuat dari tembakau yang dibudidayakan di Indonesia juga telah menjadi
bagian dari tradisi dalam menjalin keakraban sosial, misalnya rokok kretek. Akan tetapi,
kebiasaan merokok ternyata juga berbanding lurus dengan jumlah perokok di Indonesia yang
terus meningkat.
Dalam asap rokok, zat yang paling membahayakan bagi perokok adalah TAR yang
dihasilkan dari proses pembakaran. Ada lebih dari 7.000 macam senyawa kimia dalam TAR,
sebagian di antaranya berbahaya terhadap kesehatan. Kita tentu sudah tahu bahaya merokok
yang juga ditulis pada setiap bungkus rokok, mulai dari kanker, jantung, kolesterol, komplikasi
diabetes, gigi menguning, keguguran, gangguan mata, dan lainnya. Namun, yang menjadi
pertanyaan mendasar mengapa larangan sudah dicantumkan di bungkus rokok, bahkan melalui
pamflet di pinggir jalan secara besar-besaran tetapi tidak memberikan dampak secara efektif?
Apakah ada yang salah dengan cara seperti itu? Efektifitas komunikasi simbol yang disampaikan
melalui gambar atau bahkan narasi sangat tergantung dari sisi budaya, pendidikan maupun adat
istiadat. Budaya masyarakat kita kurang gemar membaca, lebih patuh pada bahasan lisan
langsung oleh seorang tokoh atau bahkan langsung diperlihatkan dampak negatifnya pada
penderita. Kurang efektifnya larangan rokok ini terlihat dari tren masih terus meningkatnya
jumlah perokok di Indonesia dan prevalensi merokok yang masih tinggi. Selain komunikasi
simbol, pemerintah Indonesia juga telah melakukan upaya-upaya lain, yaitu mengenakan cukai
pada rokok dan produk tembakau lainnya, menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok, penyuluhan
kesehatan kepada masyarakat dan klinik berhenti merokok, pembatasan iklan dan promosi rokok,
hingga penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (Seatca) berjudul The
Tobacco Control Atlas tahun 2019, jumlah perokok di Indonesia sebanyak 65,19 juta orang
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asia Tenggara.
Selain itu, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, jumlah perokok di atas 15
tahun sebanyak 33,8 persen dari jumlah tersebut 62,9 persen merupakan perokok laki-laki dan
4,8 persen perokok perempuan. Data tersebut juga menunjukkan peningkatan prevalensi
merokok menjadi 9,1 persen dibandingkan 7,2 persen pada tahun 2013. Kenaikan prevalensi
merokok ini dapat menjadi momok bagi pemerintah karena menimbulkan beban kesehatan dan
hilangnya kesempatan bonus demografi. Dengan jumlah yang sangat besar itu sungguh bisa
menjadi beban pemerintah. Jika 10 persen saja berakibat pada penyakit kronis, akan ada sekitar
6,5 juta orang yang menggunakan BPJS dengan biaya pengobatan yang sangat besar.
Untuk mencari solusinya, kita harus memahami akar permasalahan penyebab tingginya
jumlah perokok dan prevalensi merokok di Indonesia, yakni tradisi dan budaya merokok yang
melekat di masyarakat. Tradisi dan budaya merokok harus diubah untuk mengurangi dampak
negatif dari rokok dan mengutamakan kemaslahatan masyarakat. Jika dilihat dari karakteristik
dan perilakunya, upaya untuk mengatasi masalah rokok di Indonesia harus dilakukan berbagai
pendekatan (pendekatan holistik) secara budaya, kesehatan, ekonomi, regulasi dan komunikasi.
Pendekatan holistik ini diperlukan agar dalam penanganannya, dapat dipetakan bagaimana aspek
tradisi dan budaya merokok mempengaruhi gaya hidup seseorang. Oleh karena itu, upaya
mengatasi permasalahan merokok harus melibatkan semua pemangku kepentingan terkait, mulai
dari pemerintah, masyarakat, praktisi kesehatan, akademisi, pelaku industri dan juga para
perokok itu sendiri.
Saat ini, berbagai negara sudah mengadopsi konsep pengurangan bahaya tembakau untuk
melengkapi pendekatan lainnya yang sudah diterapkan. Sebagai contoh, Selandia Baru telah
menerapkan konsep pengurangan bahaya tembakau (tobacco harm reduction) sebagai bagian dari
strategi untuk mengurangi jumlah perokok dan mencapai program "New Zealand Smoke Free
2025". Selain itu, Inggris melalui Public Health England (PHE), lembaga penasihat di bawah
Kementerian Kesehatan dan Kepedulian Sosial, mendorong perokok Inggris yang sulit berhenti
merokok untuk beralih ke produk alternatif seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang
dipanaskan sebagai upaya mengurangi risiko kesehatan penggunanya maupun mengurangi
dampak negatif pada lingkungan sekitar. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, PHE
menyimpulkan bahwa rokok elektrik 95 persen lebih rendah risiko daripada merokok dan
merupakan alat yang efektif untuk membantu menghentikan kebiasaan merokok. Adapun Jepang
telah mengalami penurunan besar dalam jumlah perokok, bersamaan dengan semakin banyaknya
perokok yang beralih ke konsumsi produk tembakau yang dipanaskan.
Konsep pengurangan bahaya tembakau merupakan upaya untuk mengurangi dampak
berbahaya yang disebabkan oleh rokok. Konsep ini meliputi berbagai macam strategi dan upaya
mengganti produk atau perilaku berisiko tinggi dengan yang lebih rendah risiko. Salah satu
strategi yang dilakukan ialah memberikan pilihan kepada perokok untuk beralih ke produk
tembakau yang memiliki risiko kesehatan jauh lebih rendah daripada rokok, seperti produk terapi
sulih nikotin (nicotine replacement therapy) serta produk tembakau alternatif lainnya, misalnya
produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik. Perlu diingat, bahwa pilihan terbaik bagi
perokok adalah berhenti merokok. Konsep pengurangan bahaya tembakau dan peralihan perokok
ke produk tembakau alternatif berperan penting dalam mempercepat proses pengendalian
tembakau. Hal ini dibuktikan oleh penelitian di Amerika Serikat bertajuk Potential Deaths
Averted in USA by Replacing Cigarettes with E-Cigarette yang dilakukan oleh Levy dan tim.
Hasilnya mengejutkan, sekitar 6,6 juta orang perokok Amerika dapat terhindar dari kematian dini
jika perokok beralih ke rokok elektrik. Sekali lagi yang perlu ditekankan adalah berhenti
merokok akan lebih baik daripada berpindah ke rokok elektrik. Namun, adanya alternatif yang
dapat membantu perokok ini patut untuk dikaji lebih lanjut.
Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa berhenti merokok secara tiba-tiba (cold
turkey) memiliki angka keberhasilan yang sangat rendah. Dr J Taylor Hays, MD, Direktur
Nicotine Dependence Center Mayo Clinic menjelaskan bahwa penelitian selama 25 tahun
terakhir menunjukkan, dari 100 orang yang menerapkan cold turkey, hanya sekitar tiga hingga
lima dari mereka yang akan berhasil selama lebih dari enam bulan. Dengan kata lain, hanya
sedikit yang bisa berhenti merokok dengan cara cold turkey, sedangkan 95 persen lainnya tidak
berhasil. Cold turkey memiliki tingkat keberhasilan yang rendah karena banyak faktor, di
samping terbentur sifat kecanduan perokok pada nikotin, juga aspek gaya hidup yang tidak
mudah di rubah secara sesaat. Banyak orang yang sadar akan bahaya rokok tetapi karena
pergaulan dan gaya hidup sulit menghentikannya. Oleh karena itu, perlu media untuk membantu
berhenti merokok atau beralih seperti terapi sulih nikotin dan produk tembakau alternatif.
Pendekatan menyeluruh atau holistik untuk mengatasi permasalahan merokok perlu dilakukan.
Kebijakan pengendalian tembakau yang sudah dilakukan pemerintah masih belum berhasil
karena belum melibatkan semua pemangku kepentingan, yakni perokok aktif selaku konsumen
sehingga upaya pengendalian tembakau tidak komprehensif, serta belum dilakukan secara
menyeluruh dan komperehensif. Oleh karena itu, perlu juga menangkap aspirasi masyarakat
dengan baik, terutama para perokok aktif maupun perokok pasif yang ingin terhindar dari
dampak negatif rokok. Kebijakan pengendalian tembakau sebetulnya dapat menjadi efektif jika
disertai dengan pendukung lainnya, yakni edukasi terhadap konsep pengurangan bahaya
tembakau. Agar masyarakat Indonesia, khususnya perokok, turut berperan mengatasi
permasalahan rokok di Indonesia, risk awareness pada masyarakat perlu ditingkatkan. Di sinilah
perlunya social engineering untuk mengubah budaya dan tradisi merokok di masyarakat, dan
berhenti merokok. Caranya ialah memberikan informasi yang akurat bagi perokok serta
menawarkan layanan untuk membantu mereka berhenti merokok. Namun, bagi perokok yang
merasa sulit berhenti total, perlu diberikan informasi mengenai produk-produk yang risiko
kesehatannya jauh lebih rendah daripada terus merokok, seperti terapi sulih nikotin dan produk
tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan maupun lainnya. Paling tidak, ada
tiga hal yang penting dalam social engineering yaitu edukasi maupun sosialisasi, penelitian, serta
pendekatan regulasi.
Agar social engineering efektif menurunkan jumlah perokok dan prevalensi merokok di
Indonesia, maka diperlukan beberapa hal berikut ini.
1.Peran aktif para pemangku kepentingan untuk memberikan edukasi dan sosialisasi informasi
yang akurat berdasarkan hasil-hasil penelitian kepada masyarakat, khususnya kepada para
perokok agar terjadi perubahan perilaku. Sehingga, mereka bisa berhenti atau minimal beralih ke
produk-produk tembakau alternatif dengan risiko bahaya yang lebih rendah bagi diri mereka
sendiri maupun orang-orang dan lingkungan di sekitarnya.
2.Memperbanyak penelitian mengenai pengurangan bahaya tembakau dari berbagai disiplin
ilmu, baik dari aspek kesehatan, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Penelitian harus obyektif,
bebas kepentingan, tidak bersifat politis, dan berdasarkan fakta empiris. Penelitian lokal harus
digiatkan, mengingat penelitian tentang pengurangan bahaya tembakau saat ini sebagian besar
dilakukan di negara lain. Oleh sebab itu, penelitian tentang perokok di Indonesia yang sesuai
dengan kondisi obyektif masyarakat Indonesia sangat diperlukan sehingga rekomendasi untuk
kebijakan strategis sesuai dengan budaya Indonesia.
3.Regulasi dan dukungan dari pemerintah yang dirumuskan berdasarkan hasil-hasil penelitian
serta memberikan akses kepada perokok untuk mendapatkan informasi akurat terhadap bahaya
merokok dan produk-produk tembakau alternatif untuk membantu mereka berhenti atau minimal
beralih dari rokok.

Hasil Analisis:

1.Apa permasalahan yang dibahas?


Permasalahan yang diangkat dari artikel tersebut adalah mengenai kebiasaan merokok
yang sudah membudaya di Indonesia. Dengan adanya kebiasaan merokok yang sudah dianggap
wajar maka itu juga mempengaruhi perilaku masyarakat sekitar. Kebiasaan merokok ini akan
menarik masyarakat-masyarakat sekitar untuk mengikuti gaya hidup tersebut (seorang remaja
melihat bapak-bapak minum kopi sambil merokok dapat membuat sang remaja tertarik dengan
kebiasaan hidup tersebut) yang menyebabkan peningkatan jumlah perokok yang ada di
Indonesia.

2. Apa penyebab dan akibat dari masalah tersebut?


Penyebab utama dari permasalahan merokok ini terdapat pada masyarakat itu sendiri yang
masih belum sadar akan dampak-dampak merokok bagi mereka. Meskipun pemerintah sudah
berupaya menghentikan kebiasaan merokok seperti menaikkan harga eceran rokok, pembatasan
promosi rokok, illustrasi dampak-dampak rokok yang terdapat pada poster bahkan bungkus
rokok tersebut namun karena budaya masyarakat yang jarang mau memahami simbol-simbol
tersebut sehingga larangan-larangan yang diberikan pemerintah mereka tidak terlintas pada otak
mereka. Penyebab sampingan kebiasaan merokok yang semakin meningkat juga pada
kemudahan masyarakat dalam mengakses rokok dan juga dikarenakan kebiasaan merokok sudah
dianggap wajar di dalam kehidupan masyarakat mendorong mereka untuk ikut-ikutan dalam
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat
Dampak dari permasalahan ini adalah akan semakin banyak masyarakat yang memiliki
gangguan kesehatan disebabkan oleh rokok. Kenaikan jumlah perokok yang naik (dari 7,2 pada
tahun 2013 menjadi 9,1) berarti sudah menjadi harus tanggungan Negara. Ini akan merugikan
Negara karena perokok yang akan menggunakan BPJS akan menanggungkan kepada Negara
semua biaya-biaya penyakit kronis yang diderita oleh korban rokok. Dengan semakin
meningkatnya peningkatan jumlah perokok maka kerugian yang dialami oleh Negara akan juga
semakin besar.

3.Apa solusi yang diberikan oleh penulis?


Penulis dari artikel tersebut menyampaikan 3 gagasan solusinya yaitu memberikan edukasi
dan sosialisasi kepada masyarakat, memperbanyak penelitian mengenai pengurangan bahaya
tembakau, dan regulasi serta dukungan pemerintah kepada perokok. Dalam pemberian edukasi
dan sosialisasi kepada masyarakat, berarti pemerintah akan memberika informasi tentang data-
data yang sudah diteliti mengenai rokok, dampak rokok, data-data korban rokok, dll. Dengan
membagikan informasi ini terutama kepada masyarakat yang memiliki kebiasaan untuk merokok
maka akan diharapkan masyarakat tersebut dapat menghentikan kebiasaan merokok atau
minimal dapat mengubah rokok tembakau yang berbahaya dengan alternatif lain.
Dalam memperbanyak penelitian mengenai pengurangan bahaya tembakau, menandakan
bahwa pemerintah akan mengadakan studi penelitian dalam upaya pengurangan bahaya
tembakau. Dalam memperbanyak penelitian ini juga harus ada ketentuan-ketentuan yang dibuat
agar hasil penelitian dapat lebih meningkatkan kemungkinan hasil yang konkret. Sifat tersebut
berupa bersifat obyektif dan sesuai fakta yang artinya bahwa opini peneliti tidak boleh
dicantumkan dalam penelitian dan juga data-data yang diperoleh harus diutamakan bersifat
kuantitatif dibanding kualitatif dengan adanya sumber yang terpercaya. Penelitian yang
dilakukan juga harus bebas kepentingan dan bebas politik yang artinya tujuan pembuatan
penelitian ini adalah untuk mengurangi bahaya tembakau tanpa adanya tujuan-tujuan lain yang
bersifat politis maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Penelitian yang dilakukan juga harus
bersifat local yang dikarenakan sebagian besar penelitian mengenai bahaya tembakau pada rokok
lebih sering dilakukan diluar negeri dan dengan dilakukannya secara local maka akan lebih
relevan dengan permasalahan rokok di Indonesia.
Dalam regulasi dan dukungan pemerintah kepada rokok, pemerintah memberikan
bantuan kepada para perokok yang berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan
sebelumnya dan juga memberikan kepada para rokok mengenai informasi-informasi berkaitan
dengan rokok dengan harapan perokok tersebut dapat menghentikan kebiasaan merokok atau
minimal mengganti dengan menggunakan alternatif yang lain.

4.Apa pendapat saya mengenai solusi penulis?


Dari sini saya melihat 3 gagasan solusi yang diberikan penulis maka saya akan memberikan
pendapat saya terhadap ketiga-tiganya:
1.Saya kurang setuju dengan gagasan solusi penulis yang pertama. Alasan utama saya kurang
setuju adalah karena dalam solusi ini saya hanya melihat upaya yang diberikan hanya
memberikan pendidikan dan sosialisasi yang menurut saya masih kurang efektif. Hal ini masih
kurang efektif dikarenakan kebudayaan masyarakat Indonesia yang saat ini memang masih
kurang dalam menyadari permasalahan-permasalahan yang ada dan apabila upaya yang
diberikan masih hanya dalam bentuk informasi data-data akan menyebabkan informasi-informasi
yang diberikan akan terlewatkan sebagaimana informasi-informasi larangan yang terdapat pada
bungkus rokok yang terlewat. Alasan lain saya kurang setuju karena sudah ada gagasan solusi
penulis yang menurut saya mirip dengan gagasan ini namun jauh lebih efektif (gagasan solusi
yang ketiga)
2.Saya setuju dengan gagasan solusi penulis yang kedua. Saya setuju dengan solusi ini karena
solusi ini berusaha untuk mengurangi dampak dari sumber permasalahan itu sendiri yaitu rokok
yang apabila penelitian tersebut berhasil maka akan pengurang drastis yang konkret pada
dampak rokok. Salah satu hal yang sudah mendukung solusi ini adalah di Inggris sudah ada
penerapan dari solusi ini yang juga berhasil dengan pengurangan dampak rokok hingga 95%.
Apabila penelitian yang dilakukan dapat sesuai dengan ketentuan sifat-sifat penelitian dan juga
sumber-sumber penelitian berasal dari sumber yang terpercaya maka tentunya solusi ini bagi
saya adalah solusi yang paling realistis dan paling baik untuk diterapkan.
3.Saya setuju dengan gagasan solusi penulis yang ketiga. Menurut saya ini adalah bentuk solusi
yang dalam konsep mirip dengan solusi pertama namun jauh lebih efektif dibandingkan dengan
gagasan solusi yang pertama. Dalam solusi pertama upaya yang diberikan hanya lebih pada
penyampaian informasi namun dalam solusi ini dalam bentuk bantuan konkret yang tidak hanya
dalam bentuk informasi data-data. Bantuan atau regulasi yang diberikan pemerintah juga
berdasarkan hasil penelitian konkret yang sudah pernah dilaksanakan sehingga dengan mengikuti
hasil penelitian tersebut akan mampu memberikan bantuan yang sesuai dengan kondisi
masyarakat.

Disabilitas: Manusia atau Objek Hiburan


Source: https://www.kompasiana.com/riandryrr/5f210bb8d541df363a3b50b2/disabilitas-
manusia-atau-objek-hiburan?page=all#section1

Penyandang disabilitas yang dalam percakapan sehari-hari disebut sebagai orang cacat,
sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan. Indonesia merupakan Negara yang
memiliki berbagai resiko untuk kecacatan.

Riset menunjukkan keterkaitan erat antara pemahaman publik tentang disabilitas dan
penyandang disabilitas dengan perilaku diskriminatif yang mereka alami dalam kehidupan
sehari-hari. Pemahaman umum masyarakat di dunia, termasuk Indonesia, tentang penyandang
disabilitas masih cenderung negatif.

Pemahaman negatif itu karena masyarakat umumnya mendefinisikan dan memperlakukan


penyandang disabilitas berdasarkan pada pola pikir yang didominasi oleh konsep kenormalan
yang berimplikasi pada stigmatisasi dan diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Hal
itu, termasuk di Indonesia terutama disebabkan masih terbatasnya diseminasi informasi dan
edukasi resmi dari pemerintahan atau otoritas terkait serta hasil kajian ilmiah tentang disabilitas
dan penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas berkaitan erat denganperilaku diskriminatif yang mereka alami


dalam kehidupan sehari-harinya telah disampaikan oleh beragam tulisan, riset dan laporan di
berbagai tempat di dunia ini. Beberapa diantaranya yang dokumentasinya mencapai ke tingkat
publikasi ilmiah tingkat internasional misalnya di riset di Uganda (Katsui, 2008; Katsui &
Kumpuyuori. Selain itu riset atau laporan yang disampaikan di komunitas akademik tingkat
internasional tentang disabilitas dan penyandang disabilitas Indonesia (Byrne,J.,2002;
Widinarsih 2012; Suharto, S.,P. Kuiper,dan P. Dorset, 2016; Widinarsih,2017).

Pemahaman negatif tentang disabilitas dan penyandang disabilitas antara lain berakar dari
pola pikir pada masyarakat yang didominasi oleh konsep normalitas. Sejarah telah
memperlihatkan bahwa orang-orang yang penampilan atau tubuhnya kelihatan atau dipandang
sebagai 'berbeda' dari yang dianggap oleh masyarakat sebagai normatif, sebagai normalitas, akan
dianggap sebagai yang tidak diinginkan not desirable dan tidak dapat diterima not acceptable
sebagai bagian dari komunitas, Pelabelan negatif sebagai 'berbeda dari yang diterima sebagai
normalitas' adalah suatu proses stigmatisasi.

Sikap dan perilaku diskriminatif akan muncul bila stigmatisasi atau pelabelan negatif
tersebut berlanjut dengan pembedaan lebih lanjut antara lain berupa pemisahan secara paksa dan
bersifat membatasi segregation, atau pengeluaran karena dianggap bukan bagian integral dan
atau setara social exclusion, atau dinilai kurangtidak bernilai secara sosial atau socially devalued.

Sikap dan perilaku diskriminasi berbasis atas dasar disabilitas bertentangan dengan hak-
hak asasi manusia yang diakui secara universal diseluruh dunia. Juga bertentangan dengan
aspirasi hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial yang menjadi komitmen dalam disiplin
pekerjaan sosial.
Sikap dan perilaku diskriminasi berbasis disabilitas itu kontradiktif dengan disiplin ilmu
Kesejahteraan Sosial yang bertujuan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak (asasi),
pada peningkatan keberfungsian sosial Semua anggota masyarakat, serta pada pemberdayaan
individu-individu, kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, organisasi-organisasi, dan
komunitas-komunitas guna meningkatkan kondisi keberadaan mereka, serta mengakhiri segala
bentuk diskriminasi dan penindasan oppression (Zastrow. 2004, pp.4-5).

Sikap dan perilaku masyarakat merefleksikansekaligus dibentuk oleh kata-kata atau


istilah-Istilah yang dipilihnya serta bahasa yang digunakannya. Bahasa dan kata/istilah yang
menstigmatisasi umumnya diakibatkan olehkurangnya pengetahuan dan pemahaman. Sementara
itu, mayoritas anggota masyarakat masih acapkali tidak menyadari adanya dan perlunya
pemahaman baku yang berdasarkan istilah yang didefinisi resmi dan terkini dari institusi formal
berbasis hukum semisalPerserikatan Bangsa-Bangsa di tingkat dunia, pemerintah di tingkat
negara.

Tentunya dari kita sendiri yang jarang bersinggungan dengan mereka karena akses ke
fasilitas umum seperti mall atau sekolah hal-hal yang kita anggap biasa adalah kemewahan bagi
mereka, mereka tidak difasilitasi untuk itu dan banyak rintangan nya. Seringkali mereka akhirnya
berdiam diri di rumah jauh dari pandangan umum.

Akhirnya bagi banyak dari kita pengalaman berkenalan dengan disabilitas jadi terbatas,
salah satu cara paling mudah adalah lewat media. Sayangnya, representasi di media punya
banyak masalah. Meskipun penyandanga disabilitas merupakan 10% dari populasi indonesia
sangat jarang kita melihat karakter atau isu disabilitas di media baik dalam acara fiksi ataupun
berita mereka cenderung diabaikan, isu disabilitas sering dianggap tidak penting atau bahkan
tidak menarik untuk dibahas.

Artinya media tidak memberi porsi representasi yang layak bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, media menampilkan disabilitas sering mendapat representasi yang keliru, penyandang
disabilitas secara tidak adil dikotak-kotakan pada berbagai streotip yang menentukan pandangan
masyarakat umum tentang mereka.

Dalam penelitiannya Paul Hunt menemukan berbagai streotip disabilitas di media.


Diantaranya, menyedihkan dan perlu dikasihani, objek rasa penasaran, jahat atau licik, objek
inspirasi, objek tertawaan, beban masyarakat, atau sebagai makhlul aseksual. Streotip media ini
mempengaruhi cara pandang kita dan merugikan penyandang disabilitas.

Contohnya, pada riset tahun 2010 Erin Pritchard mengklaim banyak orang bertubuh
kecil, atau menyandang dwarfisme merasa dirugikan citra mereka di media. Media cenderung
menggambarkan mereka sebagai orang yang periang dan mempunyai selera humor tinggi. Salah
satu akibatnya adalah masyarakat kerap memperlakukan mereka sebagai lelucon, ketika mereka
menolak perlakuan itu mereka dianggap kaku dan terlalu serius ini semua karena streotip media
tadi membentuk ekspetasi masyarakat dan mereka malah dianggap aneh jika tidak sesuai
ekspetasi itu.

Penyandang disabilitas juga kerap ditampilkan dalam narasi inspiratif di media. Biasanya,
acara jenis ini mengagungkan pencapaian-pencapaian penyandang disabilitas dan kemampuan
mereka menghadapi rintangan,wajar kalau narasi sejenis ini muncul. Tapi, meski terkesan positif
bingkai ini bisa bermasalah jika dilakukan secara terus menerus. Saking menjengkelkannya,
narasi ini sering disebut sebagai Inspiration Porn.

Masalahnya, narasi ini sering membuat kita fokus pada heroisme penyandang disabilitas
dalam menghadapi tantangan. Namun, dengan fokusnya terhadap heroisme individu, ia luput
membahas siapa penjahatnya. Penjahatnya adalah lingkungan fisik dan sosial yang mempersulit
hidup mereka. Kita bisa lupa, bahwa rintangan-rintangan itu seharusnya dari awal tidak ada.
Idealnya, bukanlah sesuatu yang istimewa bagi penyandang disabilitas untuk bisa sekolah, bisa
jalan-jalan di seantero perkotaan dan memiliki pencapaian-pencapaian pribadi.

Tapi, karena kita secara sosial tidak memperjuangkan fasilitas yang ramah disabilitas
pencapaian ini jadi sesuatu yang spesial. Pada akhirnya, narasi inspirasi ini tetap mendifinisikan
penyandang disabilitas sebagai "lain" berbeda, bukan sebagai manusia yang setara.
Penggambaran seperti ini tidak ditunjukan untuk menguntungkan penggambaran kelompok
disabilitas tapi untuk hiburan khalayak.

Streotip ini membuat kita gagal memahami isu disabilitas secara adil dan menyeluruh.
Media tidak memandang mereka setara dengan manusia yang non-disabilitas, manusia yang
kompleks dan punya banyak dimensi. Penyandang disabilitas tidak butuh dikasihani atau
diagung-agungkan yang mereka butuhkan adalah kesempatan.

Kita perlu mendorong representasi penyandang disabilitas yang didasari kesadaran atas
hak-hak mereka bukan didasari rasa kasihan. Namun sulit untuk mendorong perspektif yang adil
ini selama media belum menampilkan mereka sebagai manusia yang utuh.

Hasil Analisis

1.Apa permasalahan yang dibahas?

Penyandang Disabilitas sering kali dijumpai dengan berbagai stereotype, stigmatisasi,


dan diskriminatif. Di dalam Indonesia, Penyandang Disabilitas kerap kali dianggap sebagai
orang cacat yang tidak mampu melakukan apa. Pola pikir seperti ini tertanam pada masyarakat
Indonesia. Masyarakat Indonesia sering melihat cara hidup yang normal sehingga ketimbang
melihat orang-orang cacat, mereka menganggap bahwa mereka (Penyandang Disabilitas) sebagai
orang yang tidak normal dan tidak berguna. Selain dalam dunia nyata, kita sering kali melihat
representasi orang-orang disabilitas di dalam media baik media sosial maupun media stasium
televise. Namun, masih juga terdapat permasalahan stereotype terdapat dalam media-media
tersebut. Berdasarkan penelitiannya Paul Hunt, streotipe yang ditemukan dalam media sosial
adalah bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai bahan kasihani, candaan, licik atau
bahkan bahan seksual. Media televisi pun juga terdapat stereotype dimana keberhasilan suatu
Penyandang Disabilitas dipuji-puji. Meskipun terlihat positif, ini juga menganggap bahwa
manusia Penyandang Disabilitas adalah manusia yang tidak sebanding dengan manusia normal.
Streotip media ini mempengaruhi cara pandang kita dan merugikan penyandang disabilitas
secara langsung maupun tidak langsung.

2.Apa penyebab dari permasalahan tersebut?

Penyebab diskriminasi dan stereotype yang ada dikarenakan karena adanya stigmatisasi.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih memiliki stigma yang tinggi terhadap penyandang
disabilitas. Masyarakat Indonesia terlalu sering terbiasa dengan konsep normal sehingga bertemu
dengan sesuatu yang berbeda menyebabkan munculnya respon-respon negatif. Selain itu, ada
kurangnya pemahaman terhadap disabilitas juga mungkin secara tidak langsung menggunakan
istilah-istilah diskriminatif atau stereotipe.

3.Apa akibat dari permasalahan tersebut?

Akibat dari diskriminasi dan stereotipe ini menyebabkan orang-orang penyandang


disabilitas dipaksa dalam suatu kelompok stereotipe. Berdasarkan riset Erin Pritchard pada tahun
2010, banyak orang bertubuh kecil atau sering disebut dwarfisme merasa didiskriminasi didalam
media karena stereotipe menganggap bahwa orang bertubuh kecil memiliki humor tinggi
sehingga sering menjad bahan tertawaan. Ketika orang tersebut pada kenyataannya tidak sesuai
ekspektasi maka pendapat orang akan menganggap mereka sebagai orang yang menganggap
candaan sebagai hal yang serius dan dimasukkan kembali pada stereotipe lainnya.

4.Apa pendapatmu terhadap solusi penulis?

Saya setuju dengan pendapat penulis karena dengan mendorong representasi penyandang
disabilitas yang didasari atas hak dan bukan belas kasihan akan mematahkan stereotipe yang
tertanam pada mereka. Belas kasihan meskipun terlihat positif, terkadang dapat menimbulkan
hasil yang negatif karena mendorong perhatian pada disibilitasi mereka sehingga menganggap
mereka berbeda standar dengan orang-orang normal. Pada konteks tertentu itu benar namun pada
hal lain itu juga merugikan karena suatu pencapaian mereka hanya dianggap bagus apabila
mereka disabilitas dan bukan karena pencapaian mereka sendiri.

New Normal dan Segala ‘Huru-Hara’ nya


Source: https://www.kompasiana.com/elokroh/5f14e097097f360b051c2883/new-normal-dan-
segala-huru-hara-nya?page=all#section1

Saya hampir tidak paham bagaimana ketidakjelasan situasi saat ini. Rasanya terlalu hina
ketika saya selaku hamba yang sudah menerima segala bentuk karunia-Nya memilih tuk
mengeluh, tapi sayangnya kurang pas juga jika saya selaku manusia biasa yang hidup dalam
tatanan realita nyata tapi harus bersikap sok tegar.

New Normal, begitu orang-orang bilang termasuk saya sendiri menyebut situasi saat ini.
Namun, dari sekian banyak orang (termasuk saya:red) tak bisa menangkap dengan gamblang
maksud New Normal itu sendiri.

Banyak yang berpendapat bahwa New Normal berarti situasi baru dimana kita harus bisa
bersahabat dengan segala bentuk serangan dan dampak corona yang tengah mewabah. Namun
sayangnya, ada juga yang mengira bahwa New Normal ini berarti situasi dimana serangan
pandemi sudah mulai surut, sehingga aktifitas sehari-hari bisa dilakukan kembali dengan runtut,
padahal, tidak demikian !

Istilah New Normal dalam konteks pandemi covid-19, mulai diperdengarkan dan
dikonsumsi oleh publik Indonesia pada pertengahan Mei lalu. Hal itu pertama kali disuarakan
oleh tim dokter di University of Kansas Health System. Mereka menyatakan pandemi yang
sudah menewaskan lebih dari 350.000 jiwa di seluruh dunia per 27 Mei 2020 akan mengubah
tatanan hidup keseharian manusia.

Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku
Adisasmita, seperti yang dilansir Kompas.com, new normal adalah perubahan perilaku untuk
tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan
guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Menurut Wiku, prinsip utama dari new normal
itu sendiri adalah dapat menyesuaikan dengan pola hidup.

Nge-trend nya istilah New Normal disusul dengan banyak dibukanya sarana, fasilitas dan
tempat umum, mulai dari pusat perbelanjaan (Mall), destinasi wisata, hingga tempat peribadatan
yang sebelumnya hanya diperuntukkan untuk beberapa orang saja.

Hal itu mendapat respon beragam dari masyarakat luas. Bak burung yang dibukakan
pintu oleh pemiliknya, masyarakat langsung berbondong-bondong keluar rumah untuk sejenak
merefresh pikiran atau pergi berbelanja menikmati diskon besar-besaran yang digelar oleh
beberapa brand produk, yang tentu saja sudah empat bulan terakhir ini tak bisa dirasakan
lantaran adanya aturan untuk #dirumahsaja dan rasa takut terhadap corona yang masih tinggi,
kala itu.

Di sisi lain, respon berbeda juga datang dari jajaran civitas akademika atau para pelaku
pendidikan. Jika mall dan destinasi wisata dibuka, bagaimana dengan sekolah ? Ketiganya sama-
sama fasilitas umum, bukan ?

Jika di mall dan wisata bisa menggunakan sistem protokol kesehatan, saya rasa di sekolah
hal tersebut lebih mungkin untuk diterapkan. Daripada terus menerus membiarkan anak didik
larut dalam tugas-tugas yang membingungkan dan bejibun selama belajar online, lebih baik
anak-anak diberikan edukasi secara mendalam tentang apa itu corona, dampak, dan pengenalan
istilah new normal ini.

Hemat penulis, New Normal ini berarti zona adaptasi terhadap lingkungan, namun
dengan penyikapan yang pastinya berbeda dengan situasi sebelum pandemi muncul. Pada zona
ini pula kita sudah waktunya untuk survive dan keluar dari zona ketakutan.

Edukasi dan informasi mendetail mengenai masa New Normal ini haruslah menjangkau
dan bisa diterima dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Mengapa
demikian ? Karena hal ini penting, dan teramat penting. Jangan sampai setiap fase yang akan
dilalui menimbulkan trauma tersendiri. Cukuplah istilah rapid tes yang pada awal bulan lalu
sempat menjadi momok bagi masyarakat, jangan dengan istilah New Normal atau 'Normal baru'
ini.

Hal ini mutlak tugas dan tanggungjawab bersama. Mulai dari jajaran pemerintahan pusat,
anggota legislatif, tokoh agama, hingga masyarakat itu sendiri. Tak terkecuali yakni media massa
yang tentu saja memiliki peranan sentral dalam proses peng-edukasian ini. Sesuai dengan salah
satu fungsinya yakni memberikan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan
malah membagikan informasi hoaks yang dampaknya malah memperburuk situasi krisis.

Hasil Analisis

1.Apa penyebab dari permasalahan tersebut?

Dengan adanya pandemic virus corona, terdapat istilah-istilah baru yang digunakan untuk
menyebutkan suatu hal tertentu berkaitan dengan pandemic yang sedang terjadi seperti rapid test,
quarantine, PDP, ODP, dan lain-lain. Salah satu istilah yang sering digunakan adalah ‘New
Normal’ yang terkadang istilah aslinya sering belum dipahami dengan benar. New Normal
berarti adalah pola hidup sehari-hari yang masih berdasarkan dengan protocol kesehatan namun
terkadang orang mensalahartikan ini sebagai pertanda bahwa virus corona sudah hilang atau
sudah redap yang adalah salah. Oleh karena itu, beberapa orang sudah melakukan pergi-pergian
tanpa melakukan protokol kesehatan yang benar.
2.Apa penyebab dan akibat dari permasalahan tersebut?
Istilah ‘New Normal’ pada awalnya mulai beredar pada pertengahan bulan Mei. Berawal
dari pernyataan suatu dokter bahwa virus corona ini akan mengubah tantanan hidup manusia
maka diambil pengertian bahwa virus corona ini menciptakan pola hidup yang baru. Apabila
belum memahami pengertian aslinya, menyebabkan tempat publik yang dikelola suatu orang
dibuka. Akan lebih mending apabila tempat publik tersebut masih mengikuti protokol kesehatan
namun apabila menganggap bahwa pandemi ini sudah hilang akan ada beberapa tempat public
yang tidak mengikuti protokol kesehatan sehingga menyebabkan terjadi penyebaran pandemi
virus corona yang lebih besar lagi.

3.Apa pendapatmu terhadap solusi penulis?

Saya setuju dengan pendapat penulis, edukasi dan informasi mendetail sangat dibutuhkan
di dalam pandemic ini agar masyarakat dapat memahami dengan benar cara menghandalkan
pandemi virus corona ini secara individu. Dengan memahami istilah-istilah yang digunakan
maka juga bisa menghilang ketidakpahaman masayarakat sehingga tidak menyebabkan hal-hal
yang malah merugikan masyarakat sendiri.

Anda mungkin juga menyukai