Anda di halaman 1dari 4

Korupsi diambil dari bahasa Latin yakni corruptio dari kata kerja corrumpere

yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut


Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya
diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur perbuatan melawan hokum, penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
dan merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Selain itu terdapat
beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya memberi atau
menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan,
pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan bagi pegawai negeri atau
penyelenggara Negara, menerima gratifikasi bagi pegawai negeri atau
penyelenggara Negara. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi
berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi,
yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Banyak factor yang menyebabkan
tindakan korupsi masih dan terus terjadi diantaranya adalah karena system
pemerintahan yang saling berkaitan, hukum yang kurang tegas, aparat penegak
hukum yang korup, dan mental para pemimpin yang buruk. Keempat hal
tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus di benahi seluruhnya bila ingin
mengurangi dan menghilangkan tindak korupsi di Indonesia.

Sistem pemerintahan demokrasi yang dianut Indonesia memang sangat rentan


terhadap terjadinya korupsi karena banyak pihak yang dapat mempengaruhi
pemerintahan, contohnya hak prerogratif presiden dalam membentuk kabinet,
presiden dapat memilih orang-orang yang mau mendukungnya secara materiil
sebagai menteri padahal orang tersebut belum tentu mampu menjalankan
tugasnya dan bahkan akan mencari keuntungan dari jabatanya untuk
mengembalikan dana yang telah ia sumbangkan kepada presiden saat pemilihan
presiden, lalu lembaga pengawas pemerintahan yaitu DPR juga sangat mungkin
melakukan korupsi saat merumuskan atau merubah suatu undang-undang. Dan
pengawasan DPR terhadap pemerintah juga sangat lemah sehingga pemerintah
masih sangat mungkin melakukan korupsi. Hukum pidana tentang tindak
pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dinilai masih sangat lemah. Memang
tidak perlu sampai diberlakukan hukuman mati bagi koruptor seperti yang di
berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak pidana korupsi yang merugikan
negara dalam jumlah besar seharusnya diberi hukuman seumur hidup dan tanpa
remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera dan juga sebagai pelajaran bagi
pejabat-pejabat baru.

Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia juga didukung
dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga
Pengadilan. Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan bila koruptor mampu
menyuapnya. Dan apabila tidak, Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat
Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3) bila ada uang suap dari koruptor.

Apabila masih berlanjut ke Pengadilan vonis yang jatuh pasti akan ringan
bahkan bebas bila hakim berhasil disuap . Hal ini menyebabkan mudahnya para
pejabat yang terjerat kasus korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum
dengan jalan menyuap dari hasil uang korupsi. Sehingga sebanyak apapun
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan kasus korupsi ke pihak
kepolisian akan menjadi percuma. Bahkan beberapa waktu lalu ada upaya
pelemahan KPK oleh institusi hukum lain yang takut diselidiki mengenai kasus
korupsi di dalamnya. Mental para pemimpin dan pejabat yang ada di Indonesia
sebenarnya merupakan faktor terpenting yang menyebabkan korupsi masih
terjadi hingga saat ini. Kebanyakan pemimpin dan pejabat yang memimpin saat
ini adalah hasil didikan pada masa orde baru yang sangat korup sehingga
mental mereka masihlah mental korup. Dan sepertinya korupsi masih akan terus
terjadi apabila para pemimpin masih berasal dari generasi pemimpin saat ini.

Pelajaran yang didapat dari uraian diatas sebenarnya korupsi yang terjadi di
Indonesia disebabkan mental pemimpin yang buruk. Jadi walaupun sebaik
apapun sistem pemerintahan, setegas apapun hukum, dan sebersih apapun
aparat akan percuma bila mental pemimpin dan pejabat negeri ini masih buruk
dan korupsi pasti masih akan terus lestari. Untuk itu sekarang kita harus
menyadarkan para pemimpin untuk memperbaiki mentalnya, dan apabila sudah
tidak dapat diperbaiki maka sebaiknya untuk diganti dengan pemimpin yang
amanah dan bermental baik serta siap susah demi rakyat. Kita sebagai generasi
muda calon pemimpin bangsa sudah seharusnya menjaga hati dan mental agar
tetap jujur dan tidak berubah menjadi mental koruptor.

Korupsi di Indonesia tidak mungkin dapat disikat habis, karena masih lemahnya
infrastruktur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibanding dengan aparat
penegak hukum lainnya.
KPK hanya terdiri dari 700 orang dengan tenaga penyidik 185 orang.
Sedangkan laporan terjadinya tindak pidana korupsi yang masuk ke meja KPK
rata-rata ada sekitar 50 kasus per hari. Melihat persentasi jumlah personel KPK
dan jumlah kasus korupsi yang terjadi, maka hampir dipastikan KPK akan
tertatih-tatih atau tidak dapat maksimal dalam mengemban tugas memberantas
korupsi di negeri ini, Lebih lanjut KPK mengungkapkan, bahwa korupsi di
Indonesia sudah berevolusi dari cara-cara yang sangat sederhana, konservatif,
orthodox, menjadi sistematis, canggih atau extra ordinary crime. Penyidik
sangat sulit menemukan bukti-bukti korupsi yang sudah tersistem. Sebab itu,
KPK butuh tenaga profesional, mumpuni, bersih serta tahan terhadap segala
godaan. Untuk mengidentifikasi terjadinya tindak pidana korupsi, petugas KPK
wajib mengenali penyebab-penyebabnya.

Ada banyak penyebab terjadinya korupsi, mulai dari bentuk sederhana yang
terjadi hampir setiap saat di sektor-sektor pelayanan publik di tengah-tengah
masyarakat, seperti pungli pengurusan KTP, SIM, segala macam perizinan,
perpajakan dan seterusnya. Korupsi yang berkembang semakin sistematis dan
canggih misalnya money laundry, dan white collar crime lainnya. Korupsi di
Indonesia begitu masif dan sulit diberantas. Ini karena sifat permisif dari warga
masyarakat itu sendiri Karenanya korupsi kemudian seolah merupakan tindakan
yang biasa dan bersifat umum, karena hampir semua orang melakukannya.
Hampir tidak ada tempat-tempat kosong yang luput dari kejahatan korupsi.
Tempat-tempat yang tadinya imun terhadap korupsi, misalnmya di lembaga
agama dan keagamaan, malah tidak imun lagi dan sangat mungkin menjadi
sarang korupsi.

Sikap masyarakat yang permisif, skeptis, dan apatis terhadap korupsi itu
menjadi faktor utama, karena masyarakat sudah merasakannya bahwa korupsi
di negeri ini memiliki benang merah dengan proses penegakkan hukum (law
enforcement) yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, Penegakkan hukum
itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena institusi penegakkan hukum di
Indonesia sudah terjangkiti virus-virus korupsi yang disebut mafia peradilan
(judicial corruptions). Kita lihat misalnya, bahwa keadilan di negeri kita, bisa
diperjualbelikan. Orang yang bersalah, korupsi puluhan hingga ratusan miliar,
bisa bebas di pengadilan. Begitu pula sebaliknya, banyak orang yang tidak
bersalah atau kalaupun bersalah itu sangat ringan, malah bisa dihukum oleh
pengadilan satu hingga dua tahun.

Oleh sebab itu, kasus-kasus korupsi di Indonesia akan sangat mungkin terus
berkembang selama keadilan masih bisa diperdagangkan, efek jera dari
penghukuman itu sendiri menjadi mandul karena para koruptor hanya dihukum
sangat ringan. Fungsi efek jera yang
seharusnya dijatuhkan melalui vonis pengadilan itu tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya, sehingga kasus-kasus korupsi menjadi imun terhadap
penegakkan hukum itu sendiri, utamanya kasus korupsi bernilai puluhan hingga
ratusan miliar terlebih lagi yang triliunan. Orang menjadi tidak surut melakukan
korupsi karena penegakkan hukum tidak berjalan.Sanksi yang ringan
mendorong orang-orang yang berjiwa korup menjadi tidak takut, sebab setelah
menjalani hukuman ringan dan atau divonis bebas, sehingga mereka masih
dapat menikmati kemewahan dari hasil korupsinya. Kalau pun telanjur
dihukum karena menjadi sorotan tajam masyarakat luas, maka terpidana
koruptor bisa membeli berbagai fasilitas untuk menyulap kamar tahanan
menjadi kamar bak hotel berbintang. Yang lebih konyol, banyak narapidana
koruptor yang hanya siang hari berada di rumah tahanan maupun lembaga
pemasyarakatan, namun menjelang magrib justru sudah pindah ke rumah
mewahnya. Baru menjelang paginya, mereka kembali lagi untuk mengikuti apel
rutin. Karenanya, KPK berkewajiban untuk meluruskan kembali penegakkan
hukum di Indonesia, termasuk ngototnya KPK mengusulkan pembangunan
rumah tahanan (Rutan) sendiri agar dapat memberikan efek jera bagi koruptor.
Sistem penegakkan hukum yang buruk yang dibangun di Indonesia justru
melahirkan para koruptor besar.

Banyak perilaku korup yang dilakukan bupati, wali kota dan gubernur dengan
hidup serba mewah, hedonisme dengan mengambil berbagai fasilitas
berlebihan. Padahal dana itu diperoleh dari pungutan dari pajak yang
dibayarkan oleh rakyat. Sebesar 78 persen dana APBN kita diperoleh dari
pungutan pajak. Korupsi berdampak melahirkan kemiskinan, melahirkan
pengangguran, menaikkan hutang luar negeri semakin membengkak karena
APBN dan APBD mengalami kebocoran-kebocortan yang sangat deras. Banyak
pemimpin kita yang tidak mampu menjadi suri tauladan yang baik bagi
rakyatnya, karena tolok ukur keberhasilan hidupnya diukur dari seberapa besar
kekayaan (material finansial) yang ditimbunnya. Seharusnya, pemimpin berani
berkorban untuk rakyat, bukan mengkorup sumbangan rakyat lewat pungutan
pajak.

HARAPAN
Saya harap hukum dinegara ini tidak akan lagi tumpul keatas dan tajam
kebawah, namun selalu mengutamakan kebenaran cukup sudah banyak uang
rakyat habis dimakan para tikus berdasi yang tak memiliki moral, etika dan
sama sekali tidak bertanggung jawab. Rakyat melarat sedangkan mereka hidup
dengan enaknya didalam ruangan ber AC menikmati kerja keras rakyat. Yang
seharusnya mereka melindungi rakyat mengayomi masyarakat malah menjadi
musuh dalam selimut demi kepentingan pribadi. Untuk itu tanamkan lah jiwa
kejujuran dalam diri seorang pemimpin yang berkuasa itu sehingga tidak aka
nada lagi korupsi dinegara ini.

Anda mungkin juga menyukai