Anda di halaman 1dari 3

Diskusi 1 Kriminologi

Soal :

Dalam perkembangannya ilmu tentang kriminologi tidak dapat berdiri


sendiri dan memerlukan ilmu lain salah satunya adalah sosiologi

Diskusikan:

Menurut saudara jelaskan hubungan/keterkaitan antara kriminologi


dengan sosiologi.

Jawaban :

Reaksi Sosial formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku
kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang diberi
wewenang atau oleh kekuatanhukum untuk melakukan reaksi tersebut. Instruksi yang
berwenang memberikan reaksi (formal) tersebut adalah negara dalam hal ini pemerintah,
yang pada gilirannya mendelegasikan tugasnya kepada satu lembaga resmi penegak
hukum.
Para penegak hukum itu adalah Polisi, Jaksa, Hakim serta Petugas Lembaga
Pemasyarakatan.
Secara keseluruhan, dalam pandangan integralistik, administrasi peradilan pidana ini dikenal
sebagai Sistem Peradilan Pidana,
Dalam kenyataan sehari-hari, unit-unit yang beroperasi dalam tata peradilan pidana
bukanlah merupakan kesatuan bersifat yang interrelatif dan interdependensi, tidak juga
merupakan bagian-bagian dari suatu intergrated whole. Oleh karenanya , dapat dikatakan
bahwa sistem ini sebenarnya belumlah terwujud. Kedudukan secara organisatoris dalam
struktur aparatur kenegaraan dan perbedaan dari tugas pokok masing-masing unit
merupakan salah satu sebab utama terjadinya nonsistem ini.
Dalam kasus terpidana korupsi seperti Gayus Tambunan, Setya Novanto bisa dilihat para
penegak hukumnya tidak mempunyai kesatuan yang sama, misal Polisi, Jaksa, Hakim
sudah menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, akan tetapi
untuk petugas lembaga pemasyarakatan tidak demikian, mereka memberikan fasilitas yang
khusus untuk dua terpidana ini, disini bisa kita lihat ketidakharmonisan para penegak hukum
di negara kita ini.
Pemenjaraan yang pada mulanya tidak menjadi persoalan yang rumit, setelah berganti
peranannya menjadi sanksi pidana ternyata pelaksanaannya banyak sekali menimbulkan
masalah sehingga menuntut pemikiran yang lebih rinci dan teliti. Banyaknya masdalah dan
tuntutan pemikiran ini disebabkan oleh pelaksanaan dari pidana/hukuman penjara yang
memakan waktu lama, bahkan dapat berlangsung seumur hidup. Titik berat hukuman ini
ditekankan kepada penyekapan/pengurungan sebagai cara membatasi kebebasan bergerak
dan sekaligus sebagai pengamanan sementara. Pada dasarnya hukuman penjara ini
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1. harus lama
2. harus merupakan derita
3. harus berwujud suatu beban sebagai pengganti kerugian yang diderita masyarakat.
Hukuman penjara harus berlangsung dalam waktu yang lama, hal ini terutama dimaksudkan
sebagai contoh bagi mereka yang belum melakukan tindak pidana agar takut untuk
melakukannya. Dengan demikian hukuman juga berfungsi sebagai pencegahan umum.
Pemidanaan yang lama ini juga merupakan imbalan dari kepuasan-kepuasan ataupun
kesenangan-kesenangan yang diharapkan dari perbuatan melanggar hukum atau perbuatan
jahat.

alah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah korupsi ini adalah
menerapkan sanksi biaya sosial korupsi bagi koruptor. Koruptor harus membayar seluruh
biaya sosial yang diakibatkan dari tindakannya, sampai memiskinkan koruptor. Penerapan
pembebanan biaya sosial korupsi sangat dimungkinkan alasannya karena penanganan
tindak pidana korupsi diatur melalui perundang-undangan khusus, sesuai asas lex spesialis
derogate legi generali. Menurut asas tersebut, sepanjang memenuhi syarat, ketidaklaziman
atau bahkan kekurangsesuaian dengan asas-asas umum, memungkinkan dilakukan revisi.
Dengan cara ini, tidak ada lagi pelaku korupsi yang bisa hidup mewah dari hasil
kejahatannya selepas dari penjara. Hal ini sesuai dengan asas hukum asas malis non
expediat malos esse, yaitu pelaku kejahatan tidak boleh menikmati hasil kejahatannya.
Membebankan biaya sosial korupsi kepada koruptor, tidak hanya diharapkan bisa
mengganti kerugian negara tapi juga mengembalikan rasa keadilan di tengah masyarakat.
Cara ini juga akan memberikan efek jera, sehingga tidak ada lagi orang yang berani korupsi
dan memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Sekian atas tanggapan yang saya sampaikan dalam forum diskusi ini, Wasalamualaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh.

Korupsi sepertinya sudah merupakan penyakit kronis bagi bangsa Indonesia yang sangat
sulit untuk memberantasnya karena pengadilan sebagai benteng terakhir orang mencari
keadilan, para hakim dan paniteranya juga terbelit masalah korupsi. Sebetulnya sudah sejak
zaman Orde Lama maupun Orde Baru, banyak pejabat negara, pejabat, dan pengusaha
yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi, namun kenyataannya pada masa itu tidak
terlalu banyak yang diproses sampai ke pengadilan. Para pelaku tindak pidana korupsi itu
bukanlah orang yang secara materi kekurangan, bahkan kalau boleh dikata mereka sudah
sangat berkecukupan. Demikian juga kalau dilihat pendidikannya, mereka rata-rata
berpendidikan sarjana, bahkan ada yang bergelar profesor doktor. Pada saat ini LP selain
dihuni oleh para narapidana biasa juga dihuni oleh narapidana intelektual yang
kemampuannya pasti di atas petugas LP itu sendiri. Jelas hal ini merupakan suatu dilema, di
satu sisi LP dituntut untuk dapat mengembalikan para penghuninya menjadi orang baik dan
dapat hidup di tengahtengah masyarakat secara normal, tetapi di sisi lain fungsi tersebut
tidak berjalan karena para penghuni hotel prodeo itu adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian intelektual di atas petugas LP, dan mereka pada dasarnya sudah tidak
memerlukan lagi bimbingan maupun pelatihan dari petugas LP karena mereka sudah
terbiasa menjadi bos di tempat ia bekerja. Karena ringannya hukuman penjara bagi para
koruptor yang dituntut oleh jaksa, yakni dari rata-rata 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013
menjadi 2 tahun 8 bulan pada 2014 dan kemudian 2 tahun 2 bulan pada 2015, sehingga
tidak menimbulkan efek jera. Pada saat yang sama, regulasi untuk menambah efek jera bagi
koruptor. Kemudian juga belum adanya tekad kuat dari lapisan masyarakat paling atas,
seperti eksekutif dan legislatif, serta elit ekonomi, untuk memberantas korupsi. Selain
menunda-nunda pemeriksaan dan menggunakan jasa penasihat hukum yang bertarif mahal,
hal lain yang sangat luar biasa adalah para koruptor tersebut sepertinya sudah tidak lagi
mempunyai rasa malu, rasa bersalah, apalagi rasa penyesalan. penempatan narapidana di
dalam sel LP tidak ada unsur subyektif, seperti unsur jabatan, pangkat, harta, saudara,
maupun rasa ewuh pakewuh, semuanya didasarkan pada ketentuan dan prosedur yang
ada. Namun harus diakui bahwa opini sebagian besar masyarakat berpendapat miring atau
mencurigai, khususnya terhadap narapidana koruptor, yang menganggap adanya perlakuan
istimewa terhadap mereka dalam penempatannya di sel LP. Pendapat tersebut sah-sah saja
karena secara kasat mata dalam prakteknya masih terlihat para koruptor itu sepertinya
hanya pindah tidur saja dari rumah ke LP.
Paling tidak ada dua hal pokok yang menyebabkan masih maraknya korupsi di Indonesia,
yaitu pemilihan kepala daerah atau anggota legislatif yang berbiaya mahal dan rendahnya
pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Fenomena yang muncul pada saat ini, di samping para
koruptor menggunakan jasa penasehat hukum yang bertarif mahal, ternyata mereka dalam
menjalani proses peradilan sama sekali tidak menunjukkan adanya rasa malu, rasa
bersalah, apalagi rasa penyesalan, mereka tetap sumringah, penuh senyum, penuh ketawa,
dan kepala tetap tegak, berbeda dengan pelaku tindak pidana yang lain. Hal lain yang
mengherankan, masyarakat juga kadang-kadang berbuat yang tidak sepantasnya, yaitu
dengan memberikan dukungan yang luar biasa kepada para koruptor. Demikian juga
petugas lembaga pemasyarakatan (LP) menempatkan para koruptor tersebut dalam satu sel
sendirian yang terpisah dari narapidana lain dengan fasilitas yang cukup memadai dan pada
gilirannya akan menimbulkan hubungan supply and demand. Dengan adanya narapidana
koruptor, menyebabkan fungsi LP menjadi tidak berjalan karena para narapidana koruptor
memiliki berbagai kelebihan jika dibandingkan dengan petugas LP itu sendiri. Untuk itu, ke
depan perlu diadakan perombakan agar narapidana koruptor ditempatkan dalam LP yang
juga dihuni oleh narapidana lain, sehingga di samping lebih memenuhi rasa keadilan juga
agar narapidana koruptor dapat diberdayakan untuk kemanfaatan narapidana lain maupun
petugas LP itu sendiri.
Sebuah kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat, korupsi perlu diberikan sanksi
yang tegas dan efektif untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah terjadinya
tindakan korupsi di masa depan. Sanksi tersebut dapat berupa penghukuman maupun
pembinaan yang bertujuan untuk memperbaiki perilaku dan moral pelaku korupsi.
Penghukuman dan pembinaan perlu dilakukan secara adil dan proporsional, dengan
memperhatikan hak asasi manusia dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Selain hal
tersbut dapat juga dengan melakukan hal-hal diantaranya sebagai berikut:
1. Tidak ada pemberian dan perlakuan fasilitas khusus selama dalam tahanan. Dengan
membayar sejumlah uang kepada oknum petugas, napi akan mendapatkan perlakuan
berbeda dengan napi lain.
2. Menghilangkan pemberian jasa keamanan.
3. Meniadakan pemberian izin keluar dari penjara.
4. Pemberian remisi dapat menjadi satu jalan cepat yang dapat digunakan napi agar segera
menghirup udara bebas adalah melalui pemberian remisi (pengurangan hukuman).
5. Membrantas pungutan untuk tamu atau pengunjung.
6. Penempatan narapida koruptor tidak lagi ditempatkan dalam LP tersendiri tetapi mereka
ditempatkan dalam LP yang juga dihuni oleh narapidana lain, walaupun penempatannya
dalam sel dapat dipisahkan.
7. Pendidikan kepada petugas dan pengelola LP harus lebih ditingkatkan, misalnya dengan
spesialisasi tertentu, agar mereka lebih memahami arti pembinaan dan pemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai