Anda di halaman 1dari 18

PERMASALAHAN PENANGANAN KORUPSI DAN SOLUSINYA

Disusun oleh:

Chandra Luqman Wijaya

1502620101

Tugas Pertemuan 15

Pancasila

PENDIDIKAN VOKASIONAL TEKNIK MESIN

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila
sebagai landasan falsafah Negara. Indonesia terdiri dari berbagai macam Agama yaitu
Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Islam dan Konghuchu sehingga setiap orang
kebanyakan menilai orang dari segi sosial dan Agamanya. Pada masa ORLA dan ORBA
penduduk Indonesia dikatakan sebagai penduduk yang bersifat ketimur-timuran karena
sifatnya memang seperti orang-orang timur, maksudnya adalah sikap orang Indonesia
pada saat itu bersikap sopan, santun, baik, ramah tamah dan jujur serta rasa sosialis yang
tinggi. Tapi, pada awal era Reformasi sekitar tahun 2000-an penduduk Indonesia seketika
berubah tapi bukan tidak melalui proses. Penduduk Indonesia telah terkena
demonstration effect sehingga sebutan Indonesia sebagai Negara yang ketimur-timuran
kini berubah menjadi Negara yang kebarat-baratan. Disebut Negara kebarat-baratan
karena sikap moral dari pada penduduk Indonesia ini sudah mulai menurun dan ini
termasuk sebagai salah satu permasalahaan sosial yang akan menyebabkan generasi
muda sebagai generasi penerus mempunyai watak yang tidak baik, jika seperti itu maka
kelanjutan dari pada Negara ini tidak akan bisa dibayangkan, betapa koprol nya nanti
Negara ini jika dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai watak dan moral yang kurang
baik. Terlepas dari hal itu, nampaknya kini sudah ada hasilnya, dari mulai ORBA sampai
Era Reformasi Pancasila yang bersifat demokratis seperti saat ini Indonesia sudah
menerima hasilnya berupa pemerintahan yang koprol. Koprol dalam artian adalah para
pemimpin dan ahli politik saling membenarkan persepsi sendiri dan mementingkan diri
sendiri atau golongan sehingga rakyat kecil menjadi bingung dan terjadi KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme) yang semakin lama semakin marak dan semakin sulit untuk
menumpasnya. Permasalahan ini memang bukan merupakan masalah yang baru, tapi
sungguh sangat berbahaya bagi kelangsungan Negara ini, jika pemerintah dan para ahli
politik 2 saling bertentangan dalam persepsi mereka serta rasa egois untuk balik modal
dalam kampanye yang dilakukan dan bukan semata-mata karena rakyat, sikap ini sangat
amat bahaya sekali. Penyakit ini jika penulis samakan dalam penyakit manusia adalah
sama halnya dengan penyakit HIV/AIDS yang karakteristik dari penyakit ini adalah
gejala yang terjadi akan terasa setelah terkena selama maksimal 2 sampai 5 tahun yang
melemahkan sistem kekebalan tubuh. Begitupun dengan penyakit Negara kita saat ini
yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dampaknya akan kelihatan dalam selang
waktu yang cukup lama. Bahkan Singapura pernah mengecap Indonesia sebagai the
envelope country, jika diterjemahkan secara bebas artinya adalah sebuah Negara
Amplop. Menurut penulis wajar Singapura mengecap Indonesia dengan sebutan itu dan
seharusnya para Aparatur Negara tanpa terkecuali seharusnya berkaca dari ucapan itu dan
bukan malah menuntut Singapura. Mengapa demikian?, jelas karena fakta yang ada di
Indonesia saat ini adalah segala hal bisa dibeli mulai dari hukum, lisensi, tender,
Wartawan, Hakim, Jaksa, petugas pajak dan dari lembaga Independen sekalipun bisa
dibeli. Title atau julukan sebagai Negara terkorup tentunya sangat memanaskan telinga
untuk didengar karena pasalnya Indonesia telah kalah dengan China, karena China kini
sudah bisa untuk memperbaiki diri. Bahkan China mengambil langkah yang tegas dengan
menghukum mati bagi yang melakukan tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan
kekuasaan. Jika terdapat pertanyaan, mengapa Indonesia tidak melakukan tindakan
seperti itu?, jawabannya adalah tentu saja Indonesia tidak akan mengambil tindakan
setegas itu karena merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia dan menurut Dr. Iyus
Akhmad Haris, M.Pd,. menjelaskan bahwa permasalahan sosial yang terjadi di lain
daerah walaupun pokok permasalahannya sama tapi belum tentu solusinya sama. Lantas,
apa yang harus dilakukan pemerintah ? pertanyaan ini menjadi tanda tanya besar bagi
Indonesia karena sampai saat ini pun Indonesia belum mampu menuntaskan
permasalahan korupsi ini, seperti contoh kasus Bank Century. Masalah korupsi memang
merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut
jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang
majemuk dalam kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosial-budaya.
Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis
kejahatan korupsi. Karena dalam Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi
memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini
melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini
merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum untuk tetap konsisten dengan
penuh rasa tanggung jawab. Jika mantan presiden Alm. Presiden Abdurrahman Wahid
menyatakan cara pemberantasan korupsi adalah dengan cara pembuktian terbalik
terhadap tindak pidana korupsi.
Korupsi bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Tanpa disadari, korupsi muncul
dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi
hadiah kepada pejabat/pegawai Negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah
pelayanan (KPK, 2006: 1).
Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai prosedur”.
Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil
korupsinya secara demonstratif.Politisi tidak lagi mengabdi kepada konstituennya. Partai
Politik bukannya dijadikan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak,
melainkan menjadi ajang untuk mengeruk harta dan ambisi pribadi. Padahal tindak
pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi
dapat membahayakan stabilitas dan keamanan Negara dan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan dapat pula merusak Nilai-
nilai Demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak
pidana korupsi tersebut. Sehingga harus disadari meningkatnya tindak pidana korupsi
yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian Negara
dan perekonomian Nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak
hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan
sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa
(extra-ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan “secara biasa”,tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary
crimes).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi
dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbedabeda dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti
penjualan narkotika, pencucian uang dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat
penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Tergantung dari
negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau
tidak. Sebagai contoh, pendanaan Partai Politik ada yang legal di satu tempat namun ada
juga yang tidak legal di tempat lain.
Korupsi ternyata dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi. Rasanya sungguh
tidak pantas, seseorang yang berpendidikan melakukan hal yang seharusnya tidak boleh
dilakukan. Korupsi tidak boleh dilakukan karena akan menimbulkan kerugian bagi pihak
lain dan hanya memberikan keuntungan kepada pihak yang korupsi atau biasa disebut
dengan koruptor. Faktanya korupsi dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuasaan.
Misalnya dalam pemerintahan, mereka menyalahgunakan kekuasaan hanya untuk
kepentingan pribadi. Bisa dilihat dari kasus korupsi wisma atlet yang menjerat Angelina
Sondakh, yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai wakil rakyat
seharusnya mengemban baik-baik tugas dan amanah yang telah dipercayakan oleh
rakyat. Namun pada kenyataannya mereka mementingkan keinginan mereka sendiri,
melupakan tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat.
Dengan maraknya korupsi yang ada di Indonesia, maka dibentuklah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga
yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu 5 KPK juga merupakan lembaga yang
independen dan bebas dari pengaruh dalam melaksanakan tugasnya, seperti yang
tercantum pada Pasal 3 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002.
Mereka para koruptor bisa dikatakan pemberani, karena tidak takut dengan sanksi yang
akan mereka dapatkan. Sanksi dibuat agar memberikan efek jera dan tidak akan
mengulangi korupsi lagi. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2001 telah dijelaskan mengenai sanksi-sanksi dalam berbagai macam tindak korupsi.
Pada kenyataannya masih saja banyak ditemukan kasus korupsi, seakan-akan mereka
tidak takut dengan hukuman atau sanksi yang akan mereka dapat setelah terbukti sebagai
koruptor nantinya. Hukuman dan sanksi yang telah dirumuskan untuk para pelaku
korupsi rasanya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Karena hal tersebut muncul
gagasan mengenai hukuman mati bagi koruptor untuk memberikan efek jera, namun
gagasan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Kondisi Negara yang menderita kerugian
akibat kasus korupsi sangat memprihatinkan. Ketika upaya pemberantasan korupsi
dengan membebankan sanksi yang berat kepada koruptor belum juga mampu membuat
korupsi lenyap, maka upaya pencegahan mulai dipertimbangkan. Karena mencegah lebih
baik dari pada mengobati. Selain itu bila hanya menekankan pada hukuman yang
diberikan pada koruptor tidak akan ada habisnya. Kasus korupsi akan selalu muncul, dari
generasi ke generasi.
Generasi. Korupsi sangat berkaitan dengan kesadaran, kesadaran akan hukum tiaptiap
orang tentu saja berbeda. Tetapi bila dilihat dari banyaknya kasus korupsi yang ada, bisa
disimpulkan bahwa kesadaran hukum warga Indonesia cukup rendah. Perlu adanya
penanaman kesadaran serta nilai-nilai positif lain sejak dini, agar generasi muda nantinya
akan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik.
Banyak faktor pendorong terjadinya korupsi di Indonesia, yakni diantaranya :
Konsentrasi kekuasan dipengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung
kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratis; Gaji
yang masih rendah; kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi
yang lamban; Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram,
tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan 6 yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah; Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan
pemerintah; Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar
dari pendanaan politik yang normal; Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah
besar.; Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”;
Lemahnya ketertiban hukum; Lemahnya profesi hukum; Gaji pegawai pemerintah yang
sangat kecil; Rakyat yang apatis, masa bodoh, tidak tertarik, atau mudah dibohongi;
Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan.
Korupsi memberikan dampak buruk bagi Negara. Korupsi menunjukan tantangan
serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses
formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan
perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan
ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan
dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari
pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat
atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan
ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga
karena kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan
pejabat korup dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan
mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa
ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan
hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga
mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari
persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak
efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih
banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan
bangunan, lingkungan hidup, atau aturanaturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas
pelayanan pemerintahan dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap
anggaran pemerintah.
Indonesia, sebagai salah satu Negara yang telah merasakan dampak dari tindakan
korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang
sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan – peraturan,
antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti korupsi,
diantaranya UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian yang paling monumental dan
strategis, Indonesia memiliki UU Nomor 30 Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum
pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan demikian pemberantasan dan
pencegahan korupsi telah menjadi gerakan Nasional. Seharusnya dengan sederet
peraturan dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap dan
pikiran kita dari tindak korupsi.
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam
mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui,
bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa
prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan
pencegahan korupsi di Indonesia.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi, pada umumnya masyarakat masih dinilai
belum menggambarkan upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih
belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih
ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
1. Ruang Lingkup Penulisan
Bertolak dari latar belakang diatas, maka yang menjadi ruang lingkup
penulisan yang akan dibahas yaitu persoalan korupsi, dampak dan solusinya.
2. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui persoalan korupsi yang timbul di Negara ini serta
dampaknya bagi Negara dan masyarakat.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku korup di
kalangan pelaku birokrasi dan kalangan usaha.
c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai solusi
pemecahan masalah dalam pemberantasan korupsi.
BAB II

PERMASALAHAN

Korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial, fenomena


budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula upaya
penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau pendekatan
Negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan
pengertian, korupsi di Indonesia dipahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi
(Negara) yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma-norma atau
peraturan-peraturan yang ada. Korupsi dipahami sebagai kejahatan Negara (state corruption).
Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah
adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi
sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter
atau sifat negara, sehingga negara=Kekuasaan=Korupsi.

Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor
produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari
konglomerat sampai tokoh Agama. Kwik Kian Gie, Ketua Bappenas, menyebut lebih dari
300 Triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil
sumber daya alam, menguap ke kantong para koruptor. Korupsi bisa diiringi dengan kolusi,
membuat keputusan yang diambil oleh pejabat Negara menjadi titik optimal. Heboh
privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU energi, juga
RUU SDA, import gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak kebijakan yang
sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi. Bentuk korupsi terhadap uang
Negara tidak hanya terhadap utang luar Negeri. Namun, juga utang domestik dalam bentuk
obligasi rekap bank-bank sebesar 650 Triliun. Skandal BLBI yang tak kunjung usai
setidaknya menunjukkan terjadinya korupsi tingkat tinggi di kalangan pejabat keuangan,
konglomerat serta banker.

Kasus yang masih belum cukup lama adalah skandal Bank Century pun telah
menyebabkan uang lenyap, namun pelakunya tak ada yang ditangkap. Kasus korupsi BNI
dengan nilai 1,7 Triliun yang ternyata kemudian juga diikuti dengan Bank plat merah yaitu
BRI dalam kasus jual-beli quota haji di wilayah kewenangan Kementerian Agama dan kasus
“tarif” untuk calon legislatif untuk nomor-nomor jadi yang bernilai hingga ratusan juta
rupiah. Tidak hanya itu, korupsi pun terjadi di daerah-daerah setingkat provinsi dan kota.
Dalam harian Jurnal Bogor di bulan Juni 2009 memberitakan bahwa sekitar 90 persen
bantuan sosial (bansos) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dipastikan diselewengkan.
Menurut Kepala Kejaksaan tinggi (Kejati) Drs. H.M. Amari, SH. MH, dari total dana yang
disalurkan ke semua daerah di Jabar termasuk Bogor itu, hanya 10% saja yang sampai ke
masyarakat. Sementara yang 90% nya tidak tersalurkan oleh penerima bansos, seperti
pengurus politik, yayasan, panitia pembangunan rumah ibadah dan lembaga pendidikan.
Kejadian yang sangat mencoreng lembaga pemerintahan adalah, kejadian penyelewengan
atau penggelapan uang pajak oleh Gayus dan rekan-rekannya yang ber triliuntriliun besarnya
dan hingga sampai saat ini kasus ini belum selesai juga. Tentu saja tindakan korupsi
sangatlah merugikan berbagai pihak. Korupsi juga membuat semakin bertambahnya
kesenjangan akibat buruknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan
miskin sudah demikian menjauh, maka korupsi juga makin melebarkan kesenjangan itu
karena uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi
sebagaimana mestinya). Koruptor makin kaya, dan yang miskin makin miskin. Akibatnya
lainnya, karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada
dorongan ke pola produktif, sehingga timbul in-efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya
ekonomi.

Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor


pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada
tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan
yang paling kecil di daerah.

Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek


korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan
perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu,
pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek
korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-
masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam
instansi) yang berupa Inspektorat. Fungsi Inspektorat mengawasi dan memeriksa
penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan
keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis
sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga
internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam
melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang
dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan
melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah
Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat
Tranparansi Indonesia (MTI).

Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas


sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-
undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan
keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi bukannya berkurang malah
meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling
terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei di kalangan para
pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy
(PERC).

Hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan
bahwa Indonesia merupakan Negara yang paling korup di antara 12 Negara Asia. Predikat
negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan
skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia
masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah
Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67),
Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih.
Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang
(3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan. Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor
nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk.
Indonesia berada pada peringkat teratas dalam IPK (Indeks Persepsi Korupsi) di kawasan
Asia. Kenyataan pahit yang harus kita terima sebagai rakyat Indonesia. Apakah kita harus
menerima IPK ini, dan apakah kita harus menerima kelakuan para pemimpin kita yang
seharusnya mempunyai kepercayaan untuk membangun bangsa dan Negeri ini menjadi lebih
baik dan bukan menjadi terpuruk dan hancur ?. Jika di tingkat Asia prestasi kita dalam
korupsi bisa dibilang buruk, Begitu pula dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 NLegara. Sebelumnya, pada
tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2 tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Hal ini
menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum
mampu membuat jera para koruptor.

PEMBAHASAN

Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu Negara ingin mencapai
tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi
subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang
mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu
ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penanggulangan
korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan
pandangan.

Menurut pendapat H. Ismail Susanto, terdapat enam langkah yang harus dilakukan
agar korupsi tidak hilang dan tidak dilakukan oleh masyarakat. Didalam sebuah essay-nya
yang dimuat di Harian Republika mengatakan bahwa berdasarkan kajian terhadap berbagai
sumber, didapatkan sejumlah cara sebagaimana ditunjukkan oleh Syariat Islam. Pertama,
sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan
itu sulit berjalan dengan baik apabila gaji mereka tidak mencukupi, karena para birokrat juga
manusia biasa. Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan
kepada aparatur pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa seseorang
memberikan sesuatu kalau tidak ada maksud tertentu. Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang
yang melakukan korupsi tentu kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu
orang yang cepat kaya itu melakukan tindakan korupsi. Bisa saja dia mendapatkan kekayaan
itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau dengan cara lain yang halal. Keempat, teladan
pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan bisa dilakukan jika para pemimpin, terlebih
pemimpin tertinggi, dalam sebuah Negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang
pemimpin melakukan tugasnya dangan penuh amanah.

Karena dengan taqwa pula ia takut untuk melakukan penyimpangan, karena meski ia
bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti
melihat semuanya dan di akhirat nanti pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Kelima,
hukuman yang setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut menerima resiko yang akan
mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal bagi para koruptor.
Berfungsi sebagai pencegah, hukuman setimpal atas koruptor membuat orang jera dan kapok
melakukan korupsi. Keenam, Pengawasan Masyarakat. Masyarakat dapat berperan
menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Dari point-point tersebut dapat dieksplisitkan
bahwa pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat
adalah manusia (individu), budaya (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan
kolektif), dan sistem aturan yang berlaku. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas
bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu. Bahwa ada individu
yang memang bejat, ingin kaya secara instant, atau setidaknya dengan harta dengan jalan
pintas, itu memang kenyataan di dunia ini. Tapi, individu yang baik sebenarnya banyak.
Andaikan di dunia ini lebih banyak yang tidak baik, tentu kehidupan tidak bisa lagi berjalan
dengan normal. Orang selalu dalam ketakutan karena tidak ingin ditipu, atau semangat untuk
menipu. Kalau sudah begitu tidak ada lagi hubungan dengan manusia, baik berdagang
maupun menikah.

Jadi kita harus meyakini bahwa sebagian besar individu pada dasarnya adalah baik,
karena Allah telah meniupkan sifat-sifat agungnya dalam diri manusia sejak masih didalam
rahim. Didalam surat Qs. 15- al hijr; 29, yang artinya, maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka
tunduk kamu kepadanya dengan bersujud. Dapat disimpulkan bahwa pada awalnya manusia
semuanya memiliki sifat yang baik, akan tetapi sebagian orang yang menjadi koruptor itu
tentu karena pengaruh eksternal yang telah mengaburkan sifat-sifat baik tersebut. Yang
paling utama adalah pendidikan, kedua lingkungan dan ketiga media. Tiga hal ini akan
membangun suatu budaya, yakni suatu persepsi kolektif dalam masyarakat, apakah suatu hal
itu akan dianggap normal atau tidak.

Pada masyarakat yang budaya “uang pelicin” sudah dianggap wajar, maka orang tidak
akan lagi peka dan merasa itu adalah korupsi. Demikian juga budaya “titip saudara” agar
lolos ujian sekolah atau dapat pekerjaan. Andaikata dua hal ini dicoba pada masyarakat yang
memilki persepsi sebaliknya, bahwa uang pelicin itu haram, dan nepotisme itu awal
kehancuran, tentu akan terjadi sasuatu yang berbeda. Budaya adalah sesuatu yang dapat
dibentuk peran pendidikan sangat besar. Para guru itulah yang menanamkan nilai-nilai sejak
dini. Tentu saja mereka pula yang berhak memberikan sikap keteladanan yang baik. Kalau
sang guru sendiri dulu mendapatkan pekerjaan dengan menggunakan uang pelicin atau lulus
ujian guru dengan mencontek, ya susah. Mereka merupakan bagian dari masalah dan bukan
merupakan sebuah solusi. Budaya anti korupsi akan menghasilkan individuindividu anti-
korupsi, yang akhirnya akan menjadi aktor-aktor pencegahan atau pemberantasan korupsi.
Pada masyarakat yang sarat dengan korupsi, tentu saja sulit untuk mendapatkan individu-
individu semacam ini. Namun dalam level mikro, seperti pada suatu sekolah, kantor atau
suatu organisasi, budaya ini bisa ditumbuhkan melalui pendidikan, keteladanan pemimpin
dan lewat kampanya yang massif, misalnya dengan pemasangan poster-poster yang akan
mengingatkan orang akan dampak mengerikan dari korupsi, atau azab Allah yang dijanjikan
pada koruptor. Namun juga strategi individual dan kultural terkadang masih belum cukup
juga. Korupsi juga terjadi dengan adanya aturan-aturan main yang salah. Sebagai contoh;
aturan biaya mutasi kendaraan yang lumayan tinggi (10% harga kendaraan), membuat
sebagian orang enggan untuk melakukan balik nama setelah membeli kendaraan bekas.
Hasilnya, di beberapa daerah cukup sulit menemukan mobil dengan nama pemilik sebenarnya
pada STNK. Ketika ada PNS untuk datang ke daerah itu dan akan menyewa mobil, yang ada
hanyalah mobil seperti itu. Padahal di aturan sewa kendaraan dalam pekerjaan pemerintah,
diwajibkan nama pemilik mobil seperti dalam KTP harus sama dalam nama STNK. Lalu
solusinya apa? Solusi jangka pendeknya adalah bisa menggunakan fotocopy STNK palsu
atau menyuap agar petugas kantor kas Negara dan auditor pura-pura tidak melihat. Cara yang
lebih elegan adalah dengan membuat klausul tambahan pada aturan yang formal berlaku,
yang kalau tetap dalam bentuk sekarang ini, akan menimbulkan akses yang rumit di
lapangan.

Perubahan aturan-aturan ini dapat berupa aturan sewanya atau aturan balik nama
kendaraannya. Misalnya biayanya diturunkan, agar pemilik kendaraan tertarik untuk balik
nama. Contoh lainnya adalah hubungan kerja yang kabur, sehingga tidak jelas apakah
seorang direktur BUMN/BUMD itu perlu dibayar tinggi meskipun perusahaan merugi atau
dia sebenarnya hanya perlu digaji secukupnya, sedang penghasilan yang tinggi tergantung
prestasinya. Dari beberapa contoh diatas adalah contoh untuk merubah aturan dalam
mencegah korupsi. Contoh yang lain adalah aturan yang dapat memberantas korupsi setelah
terjadi. Perhitungan kekayaan pejabat setelah menjabat untuk dibandingkan dengan
sebelumnya adalah salah satu ide yang baik. Kalau ada peningkatan yang tidak wajar dan
tidak bisa dijelaskan, harta itu dapat disita untuk Negara, atau yang bersangkutan dipidana.

Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi


korupsi sebagai berikut :

1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah


pembayaran tertentu.
2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan
dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang
saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan
penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan
untuk mengurangi kesempatan korupsi.

Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang
semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan
resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera
ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan
korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan
tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya. Selanjutnya, Myrdal
(dalam Lubis, 1987) memberi saran penanggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan
prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan
perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras,
kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin,
gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki,
lebih terjamin, satuan-satuan 17 pengamanan termasuk Polisi harus diperkuat, hukum pidana
dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang
menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam cara
melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak
cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinjau dari segi induktifnya yaitu
mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang
menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi
sebagai berikut :

1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi Nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan
Nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak
korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum
tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah Kementerian beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan Pegawai Negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis
tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi.
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan atas pembahasan di atas dan dari rumusan masalah, maka dapat
disimpulkan bahwa korupsi merupakan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan kekuasaannya guna mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok dan sangat merugikan
kepentingan umum dan sangat bertentangan dengan normanorma yang berlaku. Bentuk-
bentuk korupsi yang terjadi adalah penyelewengan dana-dana atau keuangan Negara sehingga
dapat merugikan rakyat seperti skandal Bank Century, korupsi BNI dan BRI yang temasuk
juga didalamnya Kementerian Agama serta korupsi-korupsi terjadi pada tingkat daerah yaitu
provinsi, yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah faktor kekayaan atau faktor motif
pelaku yang mempunyai motif serakah dan tidak puas, serta lemahnya control Negara,
perlakuan hukum yang berbeda, dan ringannya sanksi hukum. Dari berbagai kejadian korupsi
tersebut maka tingkat korupsi di Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini termasuk
Negara yang paling tinggi korupsinya di dunia. Meskipun berbagai macam upaya yang
dilakukan oleh pemerintah namun, semua itu belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Padahal upaya pemberantasan korupsi ini dimulai sejak era Bung Karno sampai sekarang,
tetapi seakan-akan korupsi ini bagaikan penyakit dan virus HIV/AID yang menyerang
kekebalan tubuh manusia. Dalam hal ini adalah korupsi yang akan melemahkan
pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara tuntas
menurut H. Ismail Yusanto menyatakan bahwa terdapat enam langkah dalam pemberantasan
korupsi yaitu; pertama: sistem penggajian yang layak; kedua: larangan menerima suap dan
hadiah; ketiga: perhitungan kekayaan; keempat: teladan pemimpin; kelima: hukuman
setimpal; keenam: Pengawasan masyarakat. Selain enam poin tersebut, pemberantasan
korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Karena itu, korupsi akan lebih efektif
diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu

Anda mungkin juga menyukai