Disusun oleh:
1502620101
Tugas Pertemuan 15
Pancasila
PENDAHULUAN
PERMASALAHAN
Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor
produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari
konglomerat sampai tokoh Agama. Kwik Kian Gie, Ketua Bappenas, menyebut lebih dari
300 Triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil
sumber daya alam, menguap ke kantong para koruptor. Korupsi bisa diiringi dengan kolusi,
membuat keputusan yang diambil oleh pejabat Negara menjadi titik optimal. Heboh
privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU energi, juga
RUU SDA, import gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak kebijakan yang
sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi. Bentuk korupsi terhadap uang
Negara tidak hanya terhadap utang luar Negeri. Namun, juga utang domestik dalam bentuk
obligasi rekap bank-bank sebesar 650 Triliun. Skandal BLBI yang tak kunjung usai
setidaknya menunjukkan terjadinya korupsi tingkat tinggi di kalangan pejabat keuangan,
konglomerat serta banker.
Kasus yang masih belum cukup lama adalah skandal Bank Century pun telah
menyebabkan uang lenyap, namun pelakunya tak ada yang ditangkap. Kasus korupsi BNI
dengan nilai 1,7 Triliun yang ternyata kemudian juga diikuti dengan Bank plat merah yaitu
BRI dalam kasus jual-beli quota haji di wilayah kewenangan Kementerian Agama dan kasus
“tarif” untuk calon legislatif untuk nomor-nomor jadi yang bernilai hingga ratusan juta
rupiah. Tidak hanya itu, korupsi pun terjadi di daerah-daerah setingkat provinsi dan kota.
Dalam harian Jurnal Bogor di bulan Juni 2009 memberitakan bahwa sekitar 90 persen
bantuan sosial (bansos) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dipastikan diselewengkan.
Menurut Kepala Kejaksaan tinggi (Kejati) Drs. H.M. Amari, SH. MH, dari total dana yang
disalurkan ke semua daerah di Jabar termasuk Bogor itu, hanya 10% saja yang sampai ke
masyarakat. Sementara yang 90% nya tidak tersalurkan oleh penerima bansos, seperti
pengurus politik, yayasan, panitia pembangunan rumah ibadah dan lembaga pendidikan.
Kejadian yang sangat mencoreng lembaga pemerintahan adalah, kejadian penyelewengan
atau penggelapan uang pajak oleh Gayus dan rekan-rekannya yang ber triliuntriliun besarnya
dan hingga sampai saat ini kasus ini belum selesai juga. Tentu saja tindakan korupsi
sangatlah merugikan berbagai pihak. Korupsi juga membuat semakin bertambahnya
kesenjangan akibat buruknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan
miskin sudah demikian menjauh, maka korupsi juga makin melebarkan kesenjangan itu
karena uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi
sebagaimana mestinya). Koruptor makin kaya, dan yang miskin makin miskin. Akibatnya
lainnya, karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada
dorongan ke pola produktif, sehingga timbul in-efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya
ekonomi.
Hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan
bahwa Indonesia merupakan Negara yang paling korup di antara 12 Negara Asia. Predikat
negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan
skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia
masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah
Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67),
Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih.
Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang
(3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan. Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor
nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk.
Indonesia berada pada peringkat teratas dalam IPK (Indeks Persepsi Korupsi) di kawasan
Asia. Kenyataan pahit yang harus kita terima sebagai rakyat Indonesia. Apakah kita harus
menerima IPK ini, dan apakah kita harus menerima kelakuan para pemimpin kita yang
seharusnya mempunyai kepercayaan untuk membangun bangsa dan Negeri ini menjadi lebih
baik dan bukan menjadi terpuruk dan hancur ?. Jika di tingkat Asia prestasi kita dalam
korupsi bisa dibilang buruk, Begitu pula dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 NLegara. Sebelumnya, pada
tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2 tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Hal ini
menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum
mampu membuat jera para koruptor.
PEMBAHASAN
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu Negara ingin mencapai
tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi
subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang
mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu
ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penanggulangan
korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan
pandangan.
Menurut pendapat H. Ismail Susanto, terdapat enam langkah yang harus dilakukan
agar korupsi tidak hilang dan tidak dilakukan oleh masyarakat. Didalam sebuah essay-nya
yang dimuat di Harian Republika mengatakan bahwa berdasarkan kajian terhadap berbagai
sumber, didapatkan sejumlah cara sebagaimana ditunjukkan oleh Syariat Islam. Pertama,
sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan
itu sulit berjalan dengan baik apabila gaji mereka tidak mencukupi, karena para birokrat juga
manusia biasa. Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan
kepada aparatur pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa seseorang
memberikan sesuatu kalau tidak ada maksud tertentu. Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang
yang melakukan korupsi tentu kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu
orang yang cepat kaya itu melakukan tindakan korupsi. Bisa saja dia mendapatkan kekayaan
itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau dengan cara lain yang halal. Keempat, teladan
pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan bisa dilakukan jika para pemimpin, terlebih
pemimpin tertinggi, dalam sebuah Negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang
pemimpin melakukan tugasnya dangan penuh amanah.
Karena dengan taqwa pula ia takut untuk melakukan penyimpangan, karena meski ia
bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti
melihat semuanya dan di akhirat nanti pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Kelima,
hukuman yang setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut menerima resiko yang akan
mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal bagi para koruptor.
Berfungsi sebagai pencegah, hukuman setimpal atas koruptor membuat orang jera dan kapok
melakukan korupsi. Keenam, Pengawasan Masyarakat. Masyarakat dapat berperan
menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Dari point-point tersebut dapat dieksplisitkan
bahwa pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat
adalah manusia (individu), budaya (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan
kolektif), dan sistem aturan yang berlaku. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas
bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu. Bahwa ada individu
yang memang bejat, ingin kaya secara instant, atau setidaknya dengan harta dengan jalan
pintas, itu memang kenyataan di dunia ini. Tapi, individu yang baik sebenarnya banyak.
Andaikan di dunia ini lebih banyak yang tidak baik, tentu kehidupan tidak bisa lagi berjalan
dengan normal. Orang selalu dalam ketakutan karena tidak ingin ditipu, atau semangat untuk
menipu. Kalau sudah begitu tidak ada lagi hubungan dengan manusia, baik berdagang
maupun menikah.
Jadi kita harus meyakini bahwa sebagian besar individu pada dasarnya adalah baik,
karena Allah telah meniupkan sifat-sifat agungnya dalam diri manusia sejak masih didalam
rahim. Didalam surat Qs. 15- al hijr; 29, yang artinya, maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka
tunduk kamu kepadanya dengan bersujud. Dapat disimpulkan bahwa pada awalnya manusia
semuanya memiliki sifat yang baik, akan tetapi sebagian orang yang menjadi koruptor itu
tentu karena pengaruh eksternal yang telah mengaburkan sifat-sifat baik tersebut. Yang
paling utama adalah pendidikan, kedua lingkungan dan ketiga media. Tiga hal ini akan
membangun suatu budaya, yakni suatu persepsi kolektif dalam masyarakat, apakah suatu hal
itu akan dianggap normal atau tidak.
Pada masyarakat yang budaya “uang pelicin” sudah dianggap wajar, maka orang tidak
akan lagi peka dan merasa itu adalah korupsi. Demikian juga budaya “titip saudara” agar
lolos ujian sekolah atau dapat pekerjaan. Andaikata dua hal ini dicoba pada masyarakat yang
memilki persepsi sebaliknya, bahwa uang pelicin itu haram, dan nepotisme itu awal
kehancuran, tentu akan terjadi sasuatu yang berbeda. Budaya adalah sesuatu yang dapat
dibentuk peran pendidikan sangat besar. Para guru itulah yang menanamkan nilai-nilai sejak
dini. Tentu saja mereka pula yang berhak memberikan sikap keteladanan yang baik. Kalau
sang guru sendiri dulu mendapatkan pekerjaan dengan menggunakan uang pelicin atau lulus
ujian guru dengan mencontek, ya susah. Mereka merupakan bagian dari masalah dan bukan
merupakan sebuah solusi. Budaya anti korupsi akan menghasilkan individuindividu anti-
korupsi, yang akhirnya akan menjadi aktor-aktor pencegahan atau pemberantasan korupsi.
Pada masyarakat yang sarat dengan korupsi, tentu saja sulit untuk mendapatkan individu-
individu semacam ini. Namun dalam level mikro, seperti pada suatu sekolah, kantor atau
suatu organisasi, budaya ini bisa ditumbuhkan melalui pendidikan, keteladanan pemimpin
dan lewat kampanya yang massif, misalnya dengan pemasangan poster-poster yang akan
mengingatkan orang akan dampak mengerikan dari korupsi, atau azab Allah yang dijanjikan
pada koruptor. Namun juga strategi individual dan kultural terkadang masih belum cukup
juga. Korupsi juga terjadi dengan adanya aturan-aturan main yang salah. Sebagai contoh;
aturan biaya mutasi kendaraan yang lumayan tinggi (10% harga kendaraan), membuat
sebagian orang enggan untuk melakukan balik nama setelah membeli kendaraan bekas.
Hasilnya, di beberapa daerah cukup sulit menemukan mobil dengan nama pemilik sebenarnya
pada STNK. Ketika ada PNS untuk datang ke daerah itu dan akan menyewa mobil, yang ada
hanyalah mobil seperti itu. Padahal di aturan sewa kendaraan dalam pekerjaan pemerintah,
diwajibkan nama pemilik mobil seperti dalam KTP harus sama dalam nama STNK. Lalu
solusinya apa? Solusi jangka pendeknya adalah bisa menggunakan fotocopy STNK palsu
atau menyuap agar petugas kantor kas Negara dan auditor pura-pura tidak melihat. Cara yang
lebih elegan adalah dengan membuat klausul tambahan pada aturan yang formal berlaku,
yang kalau tetap dalam bentuk sekarang ini, akan menimbulkan akses yang rumit di
lapangan.
Perubahan aturan-aturan ini dapat berupa aturan sewanya atau aturan balik nama
kendaraannya. Misalnya biayanya diturunkan, agar pemilik kendaraan tertarik untuk balik
nama. Contoh lainnya adalah hubungan kerja yang kabur, sehingga tidak jelas apakah
seorang direktur BUMN/BUMD itu perlu dibayar tinggi meskipun perusahaan merugi atau
dia sebenarnya hanya perlu digaji secukupnya, sedang penghasilan yang tinggi tergantung
prestasinya. Dari beberapa contoh diatas adalah contoh untuk merubah aturan dalam
mencegah korupsi. Contoh yang lain adalah aturan yang dapat memberantas korupsi setelah
terjadi. Perhitungan kekayaan pejabat setelah menjabat untuk dibandingkan dengan
sebelumnya adalah salah satu ide yang baik. Kalau ada peningkatan yang tidak wajar dan
tidak bisa dijelaskan, harta itu dapat disita untuk Negara, atau yang bersangkutan dipidana.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang
semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan
resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera
ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan
korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan
tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya. Selanjutnya, Myrdal
(dalam Lubis, 1987) memberi saran penanggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan
prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan
perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras,
kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin,
gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki,
lebih terjamin, satuan-satuan 17 pengamanan termasuk Polisi harus diperkuat, hukum pidana
dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang
menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam cara
melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak
cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinjau dari segi induktifnya yaitu
mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang
menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi
sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi Nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan
Nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak
korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum
tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah Kementerian beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan Pegawai Negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis
tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan atas pembahasan di atas dan dari rumusan masalah, maka dapat
disimpulkan bahwa korupsi merupakan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan kekuasaannya guna mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok dan sangat merugikan
kepentingan umum dan sangat bertentangan dengan normanorma yang berlaku. Bentuk-
bentuk korupsi yang terjadi adalah penyelewengan dana-dana atau keuangan Negara sehingga
dapat merugikan rakyat seperti skandal Bank Century, korupsi BNI dan BRI yang temasuk
juga didalamnya Kementerian Agama serta korupsi-korupsi terjadi pada tingkat daerah yaitu
provinsi, yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah faktor kekayaan atau faktor motif
pelaku yang mempunyai motif serakah dan tidak puas, serta lemahnya control Negara,
perlakuan hukum yang berbeda, dan ringannya sanksi hukum. Dari berbagai kejadian korupsi
tersebut maka tingkat korupsi di Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini termasuk
Negara yang paling tinggi korupsinya di dunia. Meskipun berbagai macam upaya yang
dilakukan oleh pemerintah namun, semua itu belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Padahal upaya pemberantasan korupsi ini dimulai sejak era Bung Karno sampai sekarang,
tetapi seakan-akan korupsi ini bagaikan penyakit dan virus HIV/AID yang menyerang
kekebalan tubuh manusia. Dalam hal ini adalah korupsi yang akan melemahkan
pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara tuntas
menurut H. Ismail Yusanto menyatakan bahwa terdapat enam langkah dalam pemberantasan
korupsi yaitu; pertama: sistem penggajian yang layak; kedua: larangan menerima suap dan
hadiah; ketiga: perhitungan kekayaan; keempat: teladan pemimpin; kelima: hukuman
setimpal; keenam: Pengawasan masyarakat. Selain enam poin tersebut, pemberantasan
korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Karena itu, korupsi akan lebih efektif
diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu