Anda di halaman 1dari 4

Akar bawah dari korupsi

fikalhak@gmail.com

Jangan pernah menganggap korupsi adalah suatu hal yang lumrah dilakukan, pikiran atau stigma
seperti ini yang perlu kita tutup. Kata kata yang perlahan-lahan melumrahkan perbuatan korupsi.
Apakah yang mendorong untuk melakukan tindakan korupsi? Tidak perlu terlampau jauh
jawabanya, membicarakan pejabat yang ada diatas sana, ujung-ujung melumrahkan tindakan itu.
Bagaimana kita coba menilik dari yang terbawah, bisa kita lihat secara langsung. Bagi kalian
yang mahasiswa cobalah melihat kemungkinan korupsi disekitar kelembagaan kampus. Dan
kalian sebagai rakyat desa, cobalah melihat dalam kelurahan atau desa.

Menggali akar politik korupsi desa sejak abad ke-17, sejarawan Ong Hok Ham mencatat, raja
meminjamkan tanah lungguh (duduk, akar kata kedudukan), tetapi tanpa kepastian gaji aparat.
Kepala desa menggalang rakyat bekerja bakti mengolah lahan. Buah pemanenan menjadi upeti
raja, adapun kelebihan panen halal dikuasai kepala desa. Semakin tinggi keuntungannya, kepala
desa dinilai piawai mengapitalisasi kedudukannya. Namun, interpretasi kehalalan runtuh sejak
gaji bulanan birokrasi diterapkan Deandels pada 1808. Kelebihan hasil bumi di luar gaji menjadi
haram dan jatuh sebagai kasus korupsi.

Dalam masa lalu pun sudah ada praktek penjarahan dana, Muara dari persoalan korupsi adalah
hilangnya nilai-nilai antikorupsi (jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung- jawab, kerja keras,
sederhana, berani, adil) dari dalam diri individu. Ketika hari-hari ini kita menyaksikan kasus-
kasus korupsi kian marak, meluas dan beragam, serta perilaku saling tidak percaya, saling
menyalahkan, lepas tanggung jawab, mencari jalan pintas, arogan, inkonsisten, dan rupa-rupa
perilaku tak pantas lainnya kian menyesakkan dada, kita sadar penanaman antikorupsi kita
menghilang. Kemanakah penanaman antikorupsi kita?

Pendidikan yang diharapkan menjadi penguat budaya antikorupsi makin dirasakan tidak
konsisten dalam menjalankan fungsinya. Proses pendidikan seperti mementingkan penguasaan
pengeta- huan semata ketimbang membiasakan perilaku baik. Sekalipun sekolah
mengimplementasikan berbagai kegiatan sejenis, akan tetapi hal tersebut dilaksanakan seolah
terpisah dari proses pembelajaran yang utuh. Oleh karena itu, inilah saatnya untuk
mengembalikan sekolah sebagai lokomotif penguatan budaya antikorupsi untuk jangka panjang.
Kita awali dengan melakukan Pendidikan Antikorupsi yang dimotori oleh satuan pendidikan.

Lembaga-lembaga disemua lini perlu menanamkan pendidikan Antikorupsi, namun korupsi saat
ini sudah menjadi trend dimana-mana, yang melakukan korupsi sudah dari ajar aras hingga
bawah, mulai dari level menteri, sampai kepada level kepala desa, korupsi pun kini sudah mulai
menjalar sampai ke penegak hukum dan swasta.

Perilaku korup memang sudah menggurita dan sudah menjadi kanker ganas stadium empat yang
susah disembuhkan dan yang lebih parah lagi terduga korupsi pun sudah tidak mempunyai rasa
malu lagi tampil di depan publik. Lihat saja ketika mereka diwawancarai oleh awak media (cetak
maupun elektonik) mereka tidak menampakkan wajah penyesalan apalagi perasaan bersalah dan
dengan enteng mereka menjawab "kan ini baru dugaan belum tentu kami bersalah dan kita harus
menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah".

Banyak orang yang bertanya, apakah korupsi yang sudah mengakar dimana-mana masih bisa
diberantas sampai ke akar-akarnya, sehingga korupsi tidak ada lagi di muka bumi ini, terutama di
negeri tercinta Indonesia? Jika kita realistis tentu jawabannya "TIDAK" tetapi yang bisa
dilakukan adalah bagaimana mengurangi perilaku korupsi dengan cara mencabut akar-akar
korupsi tersebut, yang akarnya adalah kebodohan dan kemiskinan, karena dari kebodohanlah
yang melahirkan kemiskinan dan kemiskinan yang bisa membuat orang berperilaku korupsi.

Coba kita kerucutkan lebih dalam lagi, bagaimana akar korupsi berasal dari biokrasi yang cacat.
Dengan adanya Tingginya animo menjadi PNS menunjukkan bahwa mereka lemah menghadapi
tantangan. Menjadi pegawai negeri menjadi pilihan enak karena tidak mungkin terkena PHK, kecuali
melakukan kesalahan berat. Bahkan yang korupsi tingkat tinggi pun masih mendapat remisi penahanan
dan tidak dimiskinkan.

Akibatnya, birokrasi yang mestinya efisien dan efektif di ujungnya malahan jadi lamban dan kini
lebih parah lagi berbau politis. Kelambanan birokrasi tidak hanya pada pelayanan rutin dan
ringan, seperti pengurusan surat-surat tapi juga persoalan mendesak seperti pelayanan
menghadapi bencana. Ini bisa dilihat dari banyaknya bantuan menumpuk di satu tempat tidak
dapat diambil gara-gara ada aturan birokratis.
Sejak Max Weber memperkenalkan konsep birokrasi, para ahli lain setuju bahwa birokrasi
merupakan bagian tak terpisahkan dari modernisasi. Studi dari Sjoberg, Brymer, Taube, dan
Hunt menunjukkan bahwa organisasi birokrasi sering melalaikan kewajibannya untuk
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat miskin.

Cita-cita birokrasi ideal yang dikemukakan Max Weber, ibarat jauh panggang dari api. Kata dia,
birokrasi itu idealnya rasional, apolitis, netral, dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat.
Idealnya, orang yang duduk dalam birokrasi antara lain loyal terhadap peraturan bagi
kepentingan umum dan siap hidup dari gaji.

Karenanya, momentum membeludaknya pelamar CPNS mestinya dimanfaatkan betul oleh


pemerintah untuk menjaring calon pegawai bermutu. Mereka tidak saja harus menjalani tes
kecerdasan intelektual, namun yang lebih penting adalah kecerdasan emosional dan spiritual.
Dua yang disebut terakhir itu tidak kalah penting. Apa gunanya PNS pintar secara akademis
namun mudah menyerah, mudah terprovokasi untuk korupsi, lemah disiplin, dan semena-mena
terhadap rakyat yang seharusnya mereka layani.

Dengan rusaknya dalam biokrasi dengan sudah adanya kecurangan untuk masuk jajaran pegawai,
bukan lagi dilihat dari privilege namun seberapa besar uang yang bisa kamu berikan. Ketika
masuk saja sudah melakukan praktek suap, maka sudah sewajarnya ada uang untuk menutup
modal yang telah dikeluarkan.

Daftar Pustaka

Effendi, S., 2000. Re-Reformasi Kepegawaian? Makalah tidak dipublikasikan. Yogyakarta, 30

Desember.

Ivanovich Agusta, 2021” Suap Penjabat Kepala Desa”: Kompas, 27 September (hlm. 7)

Heady, F., 1991. Bureaucracies. In Encyclopedia of Government and Politics, Vol.I, edited

by Mary Hawkesworth and Maurice Kogan.London: Routledge, p.304-315.

Hummel, Ralph P., 2000. Bureaucracy. In Defining Public Administration: Selections from the
Jaques, Elliott, 1990. In Praise of Hierarchy, Harvard Business Review, January-February,1-8.

Marx, F. M., 1957. The Administrative State. Chicago: Chicago University Press.

Adelina, F. (2019). Bentuk-Bentuk Korupsi Politik. Jurnal Legislasi Indonesia 16 (1): 59-75.

Alam, A. S. (2018). Kriminologi Suatu Pengantar. Pernada Media. Jakarta.

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Pemilihan Umum, Klientelisme,
dan Negara di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai