Anda di halaman 1dari 6

NAMA : ZULRAFLI ADITYA

STB : D10116215

LEMBAGA : BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA (BEM)

KORUPSI, REALITAS KETIDAKADILAN,


dan PENEGAKAN HUKUM DI MASA DEPAN

Pancasila dijunjung tinggi sebagai falsafah Negara Indonesia sejak para pendiri bangsa
memproklamirkan kemerdekaan dari tangan penjajah. Dalam sila kelima tertulis dengan
jelas bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memegang
peranan yang sangat penting dalam menjalankan kehidupan bernegara, termasuk
diantaranya adalah Keadilan.

Di masa pembaruan teknologi saat ini, tidak mudah untuk dapat mewujudkan
kehidupan yang seadil-adilnya dalam kehidupan bermasyarakat. Perjuangan para
founding father tentu harus dilanjutkan oleh generasi-generasi tersisa yang masih hidup
saat ini. Generasi yang kini menjalankan kehidupan bernegara, dengan spesifikasi
kemahiran dan keilmuan yang dipunyai masing-masing. Bila roh para pendiri bangsa
saat ini dapat berbicara, kita akan tahu mereka sangat mengharapkan adanya
penegakan hukum yang berkeadilan di masa kini.

Namun harus diakui terkadang harapan tidak sebanding dengan kenyataan. Misi
kehidupan berkeadilan yang diidam-idamkan para pendiri bangsa masih belum bisa
diwujudkan secara utuh. Masyarakat pada umumnya masih belum merasakan hidup
dengan adil dan nyaman. Frasa ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ yang
termaktub dalam sila kelima Pancasila masih hanya sebatas angan-angan yang
diwariskan hingga anak cucu. Masih banyak di lingkungan sekitar kita yang masih
terlunta-lunta karena hidup kadang tak adil. Penegakan hukum dipandang tak adil
karena lebih mengedepankan kuasa dan modal daripada kebenaran.
Dalam perspektif hukum, timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat dikarenakan
minimnya aturan hukum yang secara tegas dapat memberi efek jera kepada para
pelanggar hukum. Salah satu jenis kejahatan hukum yang sering menyayat hati
masyarakat adalah perilaku tindak pidana korupsi. Lebih parahnya, tindak koruptif
seperti ini lebih sering dilakukan para aparatur sipil yang berada di tingkat pusat
maupun daerah. Tindak kejahatan ini juga sering melibatkan para pemodal yang
memiliki kepentingan kuat sehingga dengan keji melakukan perbuatan itu.

Korupsi menjadi penyakit non medik yang tidak hanya menggerogoti tubuh kita sendiri,
namun lebih parahnya telah menggerogoti tubuh negara ini. Negara Indonesia yang
dibangun dan dimerdekakan dengan susah payah, namun dibalas oleh generasi terkini
dengan perilaku tak terpuji dan merugikan rakyat. Korupsi tidak hanya menjadi
penyakit karena perbuatan yang dilakukan, tetapi lebih jauh lagi kepada kerugian yang
ditimbulkan serta penegakan hukum yang dinilai masih jauh dari kata adil.

Sejak lembaga anti rasuah bernama Komisi Pemberantasan Korupsi berdiri pada tahun
2002, terdapat beberapa kasus korupsi di Indonesia yang menimbulkan kerugian
dengan nominal yang fantastis. Tentu kita masih ingat bagaimana kasus korupsi
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah bergulir sejak belasan tahun silam
dan hingga kini masih belum ada titik terang dari pengusutan kasus mega-corruption
tersebut. Padahal kerugian dari kasus ini lebih dari Rp 3,7 Triliun yang apabila dana
sebesar itu tidak dikorupsi dapat digunakan untuk mendanai pembangunan lebih dari
15.000 rumah tinggal dan diperuntukkan bagi rakyat Indonesia.

Kasus korupsi dalam skala yang lebih besar pun masih terjadi belum lama ini. Korupsi
yang dilakukan oleh seorang bupati di Kabupaten Kotawaringin Timur bernama Supian
Hadi. Perbuatan sangat keji yang dilakukan seorang pemimpin demi meraup
keuntungan pribadi, yang mana dalam kasus ini negara mengalami kerugian hingga Rp
5,8 Triliun. Dua kasus fenomenal lainnya adalah korupsi pengadaan KTP elektronik yang
melibatkan sejumlah petinggi negara termasuk Ketua DPR Setya Novanto, serta kasus
korupsi proyek pembangunan Pusat Olahraga Hambalang yang melibatkan Menteri
Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng dan Ketua Umum Partai Demokrat
Anas Urbaningrum.

Kasus korupsi tidak hanya dilakukan oleh elit-elit yang berada di tanah Jawa. Di
Sulawesi Tengah yang kita cintai ini terdapat pula beberapa kasus rasuah yang
melibatkan sejumlah pejabat penting, mulai dari kepala daerah hingga kepala desa.
Kasus korupsi yang cukup menghebohkan sejagat daerah beberapa bulan yang lalu
adalah kasus yang menjerat Bupati Banggai Kepulauan Zainal Mus. Bersama kakaknya,
ia melakukan perbuatan yang merugikan negara melalui proyek pembebasan lahan
Bandara Bobong. Zainal kini telah divonis 4 tahun kurungan penjara dan denda Rp 500
juta.

Bila ditarik ke beberapa tahun yang lalu, operasi tangkap tangan yang melibatkan
Bupati Buol Amran Batalipu juga cukup membuat mata dan telinga kita memerah.
Amran ditangkap atas perbuatan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan
menerima hadiah atau janji berupa uang sebesar Rp 3 miliar dari sebuah perusahaan
sawit yang berdiri di daerah yang ia pimpin. Hadiah yang diberi sebagai balas jasa atas
surat rekomendasi yang Amran keluarkan terkait izin usaha perkebunan bagi
perusahaan sawit tersebut di Buol.

Bila kita menyimak dengan seksama, beberapa kasus korupsi di Indonesia terjadi
dengan alasan yang variatif namun memiliki inti tujuan yang kurang lebih sama. Jack
Boulogne dalam teorinya mengungkapkan ada empat faktor yang menyebabkan
terjadinya korupsi, yang kemudian disingkat dengan GONE, yaitu Greeds
(keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan), dan Exposures
(pengungkapan).

Bila ditinjau dari teori diatas, penulis memandang bahwa salah satu faktor utama
terjadinya kasus-kasus korupsi di negeri ini lebih pada opportunities atau kesempatan.
Negara dianggap masih memberi celah yang lebar bagi para pemangku kebijakan untuk
dapat melakukan tindakan-tindakan yang merugikan negara itu sendiri. Aturan-aturan
yang berlaku memberi kemungkinan pada setiap orang yang memiliki wewenang untuk
dapat menguntungkan diri mereka. Sudah menjadi rahasia yang sangat umum bahwa
aparatur negara dapat sebebasnya memperkaya diri karena kekuasaan yang dimiliki.

Reformasi birokrasi yang diagungkan pemerintah hingga saat ini belum membuahkan
hasil. Toh, nyatanya masih marak terjadi kasus-kasus korupsi yang melibatkan para
pegawai negeri di tingkatan satuan kerja daerah maupun pusat. Perilaku koruptif para
birokrat timbul dari adanya kesempatan melalui wewenang yang mereka pegang.
Terlebih ketika terjadi kemufakatan antar birokrat maupun aparat negara lainnya.
Sedangkan pada kondisi yang sama, Negara tidak hadir untuk menindak tegas
perbuatan tersebut melalui penegakan hukum yang adil. Alih-alih keadilan yang
didapatkan, justru narasi-narasi pedih yang harus rakyat terima karena penegakan
hukum yang masih jauh dari kata adil.

Tindak pidana korupsi secara besar-besaran dilakukan oleh para pejabat tinggi negara.
Menteri, kepala daerah, anggota dewan, dan para elit partai ditangkap silih berganti.
Dan disaat yang bersamaan, aparatur-aparatur di tingkat desa pun terjerat kasus
rasuah. Hampir semua kasus korupsi yang melibatkan aparatur desa bentuknya berupa
penyalahgunaan anggaran dana desa (ADD). Dan lagi-lagi adanya kesempatan
(opportunities) membuat kepala-kepala desa beserta aparatnya tidak menggunakan
dana tersebut untuk kepentingan masyarakat setempat, melainkan untuk kepentingan
pribadi.

Kehadiran Dana Desa menjadi ladang basah bagi para pemegang kekuasaan di tingkat
desa karena adanya kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk mengelola serta
mengolah dana tersebut untuk pembangunan desa, sesuai amanat Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun pada nyatanya, adanya kesempatan
tersebut justru disalahgunakan secara masif oleh para aparat desa. Ada beberapa
contoh bentuk penyalahgunaan dana desa, seperti penyalahgunaan dana operasional
kantor desa hingga pembelian sarana dan prasarana desa yang digelembungkan dan
tidak sesuai pada pembelian yang semestinya.
Diantara serangkaian kasus korupsi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, hanya
satu korbannya, adalah rakyat yang tidak tahu apa-apa. Rakyat yang mengharapkan
adanya pelayanan publik yang lebih baik dan efisien, rakyat yang mengharapkan akses
pendidikan dan kesehatan yang murah dan terjangkau, rakyat yang berharap akan ada
senyum dari mereka karena program-program pemerintah yang pro rakyat, rakyat yang
berharap takkan ada lagi tangisan mereka karena ulah penguasa. Namun sekian banyak
kasus korupsi yang terpampang di layar kaca, membuat harapan rakyat akan adanya
kehidupan yang berkeadilan mulai pupus secara berangsur.

Realitas kehidupan yang rakyat alami saat ini adalah adanya ketidakadilan. Penegakan
hukum yang tebang pilih dan tidak mencerminkan keadilan yang hakiki. Diperparah lagi
dengan ketidakhadiran Negara untuk menutup rapat celah-celah bagi para aparatur
rakus agar tidak lagi berbuat ulah-ulah yang merugikan rakyat. Realitas berupa
ketidakadilan yang ditampilkan secara nyata tanpa ditutup-tutupi. Yang membuat posisi
hukum sebagai tempat berharap adanya keadilan, justru menjadi tempat untuk
merengkuh ketidakadilan.

Supremasi hukum tentu harus dijunjung tinggi. Penulis menilai tiada lagi tempat untuk
memperoleh keadilan selain pada hukum. Hukum menjadi tombak utama agar manusia
hidup dengan tertib dan beradab. Penegakan hukum di masa kini tentu menjadi
pekerjaan rumah yang amat besar bagi pemerintah, agar kedepannya hukum lebih
ditegakkan demi mencapai keadilan yang sesungguhnya.

Menurut penulis, langkah-langkah untuk menumpas perilaku korupsi di Indonesia dapat


dimulai dengan menciptakan regulasi-regulasi yang dapat menutup ruang celah secara
rapat agar aparatur negara tidak punya kesempatan lagi untuk melakukan tindakan
korupsi. Hukum harus hadir untuk mengunci rapat kesempatan yang ada agar Negara
tidak lagi merugi akibat dari perilaku koruptif aparatur negara yang notabene timbul
dari adanya kesempatan di tiap pos aparat.
Hukum di masa depan harus menjunjung tinggi prinsip keadilan. Hukum yang
berkeadilan tiba dari aparatur hukum yang bersih dan berwibawa. Aparat penegak
hukum yang tunduk dan patuh pada konstitusi negara, serta tidak lemah pada
intervensi para pemodal dan penguasa. Maka langkah berikutnya untuk menumpas
perilaku korupsi di Indonesia juga dapat dilanjutkan dengan me-reformasi secara penuh
penegakan hukum di Indonesia dalam perspektif penegak hukum. Hukum sulit
ditegakkan apabila para penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, dan lain
sebagainya tidak dapat berlaku adil.

Namun kedua langkah diatas tak dapat ditempuh apabila masyarakat tidak memiliki
kesadaran hukum secara baik. Maka Negara harus hadir untuk memberi edukasi kepada
masyarakat agar lebih berperilaku sesuai koridor hukum dan meninggalkan perilaku
yang bertentangan dengan hukum, termasuk dalam hal pemberantasan korupsi.
Kesadaran dari masing-masing individu juga harus ditingkatkan, setidaknya dengan
berikrar dalam diri bahwa hukum merupakan jalan terbaik untuk meraih keadilan.
Dengan demikian semua pihak memiliki peranan penting untuk mewujudkan hukum
yang berkeadilan.

Anda mungkin juga menyukai