Anda di halaman 1dari 20

Skip to content

MY DIRT SHEET

enter Palace of Wisdom, if you are invited

Home

Movies

WWE

Awards

Books

Poems

Music

Games

About

DA 5 BLOODS Review

Posted on June 16, 2020 by Arya

“And the whole thing is that you’re treated like a step-child”

Spike Lee memang sangat vokal menyuarakan kesetaraan sosial kulit hilam. Dari Malcolm X (1992)
hingga BlacKkKlansman (2018), dia terus membangun cerita berdasarkan soal pandangan politik dan
kritikannya terhadap isu-isu tersebut. Maka tidak ada waktu yang lebih tepat lagi daripada sekarang
ini – ketika #BlackLivesMatter kembali digemakan karena pelanggaran oleh seorang polisi kulit putih
di Amerika – untuk film terbaru Spike Lee tayang. Da 5 Bloods, drama yang turns out to be a genre
action-adventure tentang para veteran perang Vietnam, dibuat oleh Spike Lee untuk membahas
nasib tentara kulit hitam selepas perang. Bahwa mereka tidak mendapat apa-apa selain trauma.
Bahkan tidak pula terima-kasih. Apalagi sebuah kata maaf.

Begini gambaran besar kondisi mereka yang pada poin tertentu diutarakan lewat karakter fiktif
dalam film ini: Kulit hitam adalah minoritas di Amerika, tapi di medan perang – di Vietnam sana –
kulit hitam mendominasi. Kebanyakan mereka dikirim memperjuangkan kebebasan bangsa asing,
padahal di negara sendiri mereka sama terkekangnya. Atas bahaya perang, kekerasan yang terpaksa
dilakukan – karena dalam perang, setiap perbuatan adalah mengerikan, para tentara ini
menanggung semua trauma sementara kebebasan bagi mereka tak kunjung datang. Perang bagi
mereka sendiri tak-pernah berakhir.

Empat dari mereka itu adalah Paul, Otis, Melvin, dan Eddie. Empat tentara yang sudah menjadi
seperti saudara karena semua yang telah mereka lalui di belantara Vietnam sana. Da 5 Bloods adalah
cerita tentang keempat orang ini, yang tadinya berlima. Satu ‘blood’ lagi, teman, sahabat, sekaligus
junjungan mereka semua, Norman, gugur di medan perang. Untuk dialah geng Bloods yang kini udah
gaek itu berkumpul kembali di kota Ho Chi Minh. Mereka akan menyusur hutan, menjemput jasad
Norman, sekaligus mengambil harta karun, like, literally emas batangan, yang tertimbun di tempat
terakhir mereka berperang. Namun tentu saja perjalanan itu tidak bakal sedamai yang mereka duga.
Sebab pencarian harta karun ini membuat mereka menapaki kembali tragedi dan kecamuk personal
di masa lalu. Sekali lagi mereka harus berperang. Orang bilang emas mampu mengubah manusia
menjadi yang terburuk. tapi itu bukan satu-satunya ‘musuh’ yang harus mereka kalahkan. For each
of them punya kepentingan personal; kebutuhan yang harus disegerakan dalam usaha berdamai
dengan masa lalu. Particularly menarik adalah dua orang tokoh; Otis yang served as protagonis
sekaligus hero, dan Paul sebagai tokoh utama. Dan masalah kedua orang ini berkaitan dengan anak,
yang bisa kita tarik garis keparalelan dengan gagasan yang ingin disampaikan oleh film dalam isu
penduduk kulit hitam yang selama ini diperlakukan seperti anak tiri oleh negara.

‘Emas hitam’ itu adalah darah persahabatan

Meskipun dimulai dengan berondongan montase video Muhammad Ali yang menolak enlist jadi
soldier dan cuplikan-cuplikan foto sejarah perang Vietnam lengkap sama nama dan tanggal-tanggal
penting (cuplikan ini bisa bikin tidak nyaman karena nampilkan mayat korban dan eksekusi real), dan
aksi-aksi protes terhadapnya, Da 5 Bloods yang sarat akan komentar politik ini tidak terasa berat
untuk dinikmati. Lee sukses mengaduk ketegangan isu ras, emosi, kemarahan di dalamnya, dengan
momen-momen menyentuh dan komedi yang akrab, dan lalu menutupnya dengan aksi brutal ala
film laga. Tidak akan susah bagi kita untuk mengikuti drama yang melatarbelakangi cerita film ini.
Simpati itu juga tidak diminta kepada kita, film tidak mengemis belas kasihan kita kepada para tokoh
kulit hitam dan ketidakadilan yang mereka terima. Instead, yang kita lihat di sini adalah karakter-
karakter yang bercela karena dampak perang. Kadang kita takut kepada mereka. Kadang kita ingin
mereka mendapat keadilan. But mainly, kita semua akan merasakan deep connection, apalagi ketika
film mulai membahas hubungan karakter dengan anaknya.

Lewat tokoh Otis yang diperankan oleh Clarke Peters, film mengangkat topik anak yang berasal dari
hubungan tentara dengan penduduk lokal selama perang. Sebelum berangkat ke hutan, Otis
mengunjungi perempuan Vietnam yang dulu pernah berhubungan dengannya. Di rumah perempuan
itu, unexpectedly Otis bertemu dengan anak gadis yang tidak-lain-tidak-bukan adalah buah
hubungannya dengan si perempuan. Namun tidak satupun dari mereka yang berani menyebutkan
hal tersebut kepada si anak. Bohong diciptakan untuk menutupi hal tersebut, dan Otis hanya bisa
diam. Dia ingin ‘menyapa’ anak kandungnya ini so bad, kita jadi peduli kepadanya, kita ingin mereka
benar-benar ‘bertemu’. Dan ini dikontraskan sekali dengan hubungan antara Paul dengan anaknya,
David, yang diam-diam menyusul ke Vietnam dan ikut serta dalam perjalanan mereka. David gak
pernah diaku anak oleh Paul, sepanjang dua jam lebih film ini kita akan melihat perlakuan Paul
kepada David – sekali waktu dia cemas ketika David nginjek ranjau, dan kali lainnya dia tidak lagi
menganggap David anaknya hanya karena David menolak untuk ikut meninggalkan kelompok. Tapi
film membiarkan kita tetap lekat kepada Paul supaya kita bisa mengerti akar dari permasalahannya
dengan David.
Dan oh boy, betapa Paul adalah tokoh yang kompleks, dan dimainkan dengan luar biasa oleh Delroy
Lindo!

This is my favorite acting performance so far this year. Lindo berhasil memaksimalkan intensitas dari
karakter Paul yang benar-benar… haunting. Paul adalah yang paling terpengaruh oleh kematian
Norman dibanding tiga rekannya yang lain. Dia yang paling terpukul oleh dampak perang. Bayangkan
amarah, takut, sakit, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, lalu hidup. Itulah Paul. Paul ini
kayak ngeliat Big Show di WWE, kadang dia baik, kadang jahat banget. Kadang kita mencemaskan
dirinya saat PTSD-nya kumat. Kadang kita bisa merasakan kebencian tulen menguar dari dirinya.
Untuk membuatnya lebih ruwet lagi, Lee menuliskan Paul sebagai seorang supporter Trump.
Menunjukkan rasa patriotnya yang tinggi, yang kontan menjadi tambahan konflik buatnya once he
realized itu tidak membuat hidup menjadi lebih mudah baginya. Malahan makin susah, bukan hanya
baginya tapi juga bagi keluarga – bagi anaknya. Transformasi karakter ini diperlakukan dengan
sangat unik. Lindo akan banyak melakukan monolog, dan pada beberapa monolog Lee membuat
Lindo secara close up bicara langsung kepada kamera. Sehingga efek yang dihasilkan menjadi luar
biasa. Yang membuat monolog itu unik adalah yang ditampilkan bukanlah tokoh yang perlahan
menjadi gila karena perbuatannya. Melainkan tokoh yang mengalami sebuah penyadaran dahsyat.
Paul menjadi a better man, sekaligus dia sadar seberapa banyak dosa-dosanya.

Paul adalah ayah, yang harusnya mengayomi anak seperti negara mengayomi warganya. Tapi Paul
membunuh ‘orang’nya sendiri. Seperti negara yang kerap membunuhi warganya sendiri, for no
reason. Arc Paul beres begitu dia meminta maaf, yang membuatku berpikir jangan-jangan inilah
seruan Lee kepada negaranya. Bahwa yang dibutuhkan adalah meminta maaf. Kemudian mengakui
warga selayaknya anak, tanpa pandang bulu, tanpa pandang warna.

Menyadari betapa pentingnya bagi kita para penonton untuk tetap berpegang kepada para tokoh,
untuk melihat mereka sebenar-benarnya diri mereka, Spike Lee enggak repot-repot mencari dua
pemain untuk memerankan dua versi karakter. Dia juga tidak menggunakan efek untuk memudakan,
yang beresiko membuat tokohnya tidak tampak alami dan melepaskan kita dari mereka. Da 5 Bloods
dari waktu ke waktu akan membawa kita ke masa lalu, masa perang saat Paul, Otis, dan teman-
teman sebagai tentara muda, dan dia menampilkan mereka benar-benar seperti mereka tidak
pernah berubah lagi setelah perang mengubah mereka terlebih dahulu. Kontras karakter versi muda
dan tua ini cuma di kekuatan fisik – in modern day kita melihat Otis harus berjalan dengan bantuan
tongkat karena pinggangnya udah gak kuat, sedangkan di masa lalu ia kuat berlarian. Lee
menghandle dua masa itu dengan sangat mulus. Dia juga menggunakan perbedaan ratio pada layar.
Adegan perang di masa lalu punya ratio yang lebih kecil sehingga menimbulkan kesan seperti
melihat rekaman masa lalu.

Perpindahan masa ini tidak pernah terasa mengganjal karena Lee tidak melakukannya dengan
berlebihan. Melainkan dia melakukannya dengan timing yang precise, dia tahu kapan untuk
ngeflashback sehingga terasa impactful. Ada satu flashback yang terus diulur, adegan sebenarnya
antara Paul dan Norman di medan perang, kita punya dugaan tentang adegan ini, kita ingin
konfirmasi, tapi film tidak melakukannya sehingga kita terus terbuild up, dan dying for the flashback.
Aku biasanya gak demen sama flashback, tapi di film ini aku jadi merasa butuh. Dan BAMM! ketika
beneran tiba, efek adegannya menjadi berkali lipat. Buatku ini adalah cara yang pintar dalam
menggunakan flashback; tidak berlebihan melainkan yakinkan dulu penonton sudah terinvest dan
buat mereka merasa butuh untuk melihat flashback.

Sisipan dalam film ini bukan hanya flashback, melainkan juga footage-footage adegan nyata, yang
seperti sudah kusinggung di atas; dapat menjadi disturbing untuk kita lihat. Korban-korban perang,
mayat wanita, balita… Ini ditampilkan oleh film bukan untuk ajang biar edgy atau menarik penonton
haus darah. Ini harus ada sebagai penekanan atas narasi yang dibentuk oleh film. Mayat-mayat
itulah yang dipikirkan para tentara, itulah oleh-oleh yang dibawa pulang kalo kita berperang. Film
menekankan bahwa mereka melakukan itu semua untuk apa. Secara konsep juga film menunjukkan
mereka tidak segan-segan untuk menampilkan aksi kekerasan. Ada banyak adegan tembak-
tembakan disebar – penggemar film perang akan enjoy main tebak-tebakan reference saat nonton
ini – dan di babak akhir ada konfrontasi gede sebagai final-fight yang buatku sedikit terlalu ngegenre,
tapi diperlukan oleh salah satu karakter sebagai full-circle arcnya.

Dalam durasi dua setengah jam, Spike Lee membawa kita mengarungi perjalanan emosi. Membuat
kita berpikir tentang keadilan dalam sudut yang baru. Mengenai makna sebenarnya dari sebuah
patriotisme. Ada banyak yang bisa kita pikirkan dari karakter-karakter di sini. Yang membuat ini
menjadi tontonan bergizi yang mengasyikkan adalah ia tidak berhenti hanya sebagai komentar soal
politik. Film ini menyentuh dunia nyata keras-keras, menjitaknya kalo boleh dibilang, tapi tidak lupa
untuk menjadi menghibur. Tanpa mengurangi bobot pesannya. Ini kemampuan yang gak semua
sutradara mampu, dan kupikir dunia sangat berterima kasih atas kehadiran film ini.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DA 5 BLOODS.

That’s all we have for now.

Para tentara itu bertanya kepada diri mereka sendiri kenapa mereka mau berperang untuk negara
yang tetap saja memperlakukan mereka seperti warga kelas-dua saat kembali nanti. Bagaimana
menurut kalian, apakah itu adalah bentuk pengabdian kepada negara?

Share with us in the comments

Remember, in life there are winners.


And there are losers.

LIHAT KE HALAMAN ASLI

Priscilla Aurelia Xena

Mahasiswa

Mahasiswa

FOLLOW

“Da 5 Bloods” (2020) Menguak Ketidakadilan Terhadap Pahlawan Kulit Hitam

11 November 2020 19:33 |Diperbarui: 11 November 2020 21:16

Sumber: newindianexpress.com

Dimainkan oleh Chadwick Boseman (Stormin), Delroy Lindo (Paul), Clark Peters (Otis), Norm Lewis
(Eddie) serta aktor kondang lainnya, film “Da 5 Bloods” (2020) sukses melawan diskriminasi yang
menyinggung isu rasisme terhadap kaum kulit hitam selama kurang lebih 2,5 jam. Film tersebut
bercerita mengenai 5 veteran perang Vietnam yakni Paul, Eddie, Otis, dan Melvin sekawan kulit
hitam yang pada tahun 2019 memutuskan ingin kembali ke Vietnam sebagai penyelesaian misi
mereka. Sekawan tersebut harus mengambil emas batangan yang berada di lokasi perang serta
mengambil jasad sahabat perang mereka yakni Stormin.

Disutradarai oleh Spike Lee, dimana ia selalu menghadirkan sebuah kritik dalam filmnya. Film Da 5
Bloods tersebut menyinggung konteks isu rasisme dan ketidakadilan dimana terjadi perbudakaan,
trauma mendalam pada kaum Afro-Amerika. Latar cerita dengan nuansa era 60 hingga alur maju
mundur menambah kesan dramatis dalam film ini.

Orang kulit hitam dijadikan tumbal oleh Amerika Serikat sebagai perlawanan pada garis terdepan di
Vietnam. Selain itu diselipkan juga video mengenai perempuan yang menyiarkan radio mengenai
masalah yang dihadapi beberapa dari mereka, orang Vietnam kebingungan mengapa sekitar 30%
orang kulit hitam harus menjadi tentara perang yang membela Amerika Serikat, padahal di negrinya
tersebut mereka seringkali ditindas oleh beberapa orang kulit putih.
Pria Afro-Amerika banyak diikutkan dalam sebuah perang, walaupun mereka turut serta hingga
bertaruh nyawa untuk Amerika Serikat tetap saja nasib saudara mereka yang tak berada dalam
medan perang justru tambah dipersulit oleh pemerintah AS.

Sistem perbudakan pada abad 18-19 di Amerika, merupakan sistem awal terbentuk penindasan
rasisme yang meyakini bahwa ras, kelompok, suku atau warga kulit hitam memiliki atau berada di
tingkat sosial yang lebih rendah dibandingkan orang kulit putih di Amerika (Marger, 1994, p.29).
Terlihat dalam film tersebut adalah penggambaran karakter, di dalam film ini kaum kulit hitam
digambarkan tidak mendapatkan kesetaraan di dalam aspek kehidupan sosial, seperti mereka
diikutkan dalam medan perang, kaum kulit hitam digambarkan seperti semena-mena, suka
membuat onar seperti cuplikan yang dilakukan dalam pasar apung, sekaligus suka mabok. Berbeda
dengan kaum kulit putih memiliki tingkat sosial tinggi sehingga lebih mudah diterima masyarakat.

Kaum kulit hitam tidak memiliki kuasa atas apa yang dimiliki sementara kulit putihlah yang lebih
unggul, diprioritaskan dalam segala aspek. Kaum kulit hitam diperlihatkan sebagai manusia yang
dijadikan budak oleh kaum kulit putih. Secara implisit, film tersebut merepresentasikan bahwa kaum
kulit hitam berharap diakui sebagai pahlawan Amerika yang turun dalam perang. Namun dibalik hal
tersebut, kaum kulit putih ingin mendapatkan keuntungan dari kaum kulit hitam mereka
menganggap kaum kulit hitam sebagai barang yang diperjualbelikan dan diperbudak untuk meraup
keuntungan. Hal tersebut terlihat dalam film dimana Amerika menggunakan kulit hitam sebagai
tumbal dalam perang di Vietnam.

Dalam film tersebut terdapat potongan video pidato mengenai protes Dr. Martin Luther King serta
aktivis kulit hitam lain yang diselipkan dalam film sehingga memunculkan nuansa yang terbilang
nyata. Dibalut dengan nilai-nilai anti-rasisme, hingga trauma mental yang didapatkan oleh para kaum
marginal. Mereka mengharapkan hak yang sama dengan ras kuit putih di Amerika Serikat.

Film “Da 5 Bloods” sudah bisa ditonton oleh masyarakat melalui siaran streaming berbayar yakni
Netflix dimana diliris ketika gerakan #BlackLivesMatter mulai berkembang di masyarakat, demi
membela kaum kulit hitam di Amerika Serikat. Film tersebut juga menampilkan diskriminasi yang
terjadi pada kaum kulit hitam hingga masa kini.

Daftar Pustaka

Marger, Martin N. (1994). Race and Ethic Relations: 3rd ed Belmount. California: Wadswouth
Publishing Company
Tulis Tanggapan Anda ...

Lihat Konten Film Selengkapnya

KONTEN TERKAIT

Payung Hitam

5 Cara Merawat Kulit untuk Kesehatan Mental

Menguak Misteri Taman Langsat

Awan Hitam

Maroko si Kuda Hitam paling Hitam dari Benua Hitam

Rekomendasi 5 Hybrid Sunscreen Untuk Kulit Berminyak

Video Pilihan

TERPOPULER

Kandasnya Peluang Manchester City di Liga Inggris, Rodri: Saya Tidak Setuju dengan Pep Guardiola

India Open: Tiga Wakil Indonesia Menang di Hari Pertama

Link Baca Chainsaw Man Chapter 118: Denji Beri Ancaman Mengerikan pada Asa

India Open: Drawing dan Prediksi Lengkap 9 Wakil Indonesia

Tujuh Fasilitas Mewah bagi Calon Guru Penggerak

NILAI TERTINGGI

Bertanya: Terkadang Dianjurkan, Terkadang Diharamkan

Seberapa Sehat Berkeringat di Sauna?

Sang Lelaki Ingin Berlayar di Air yang Tenang

Banyak Teman? Sebaiknya Menginap di Hotel

Relokasi Pasar Kue Subuh Senen, Pelanggannya Reseller dan Katering

FEATURE ARTICLE

Tips Menjaga Hubungan Persahabatan Tetap Langgeng dan Awet

TERBARU

Aplikasi dan Praktek Ijarah

Rekonsiliasi Laporan Keuangan Upaya Kemenkumham Jateng Wujudkan Transparansi &


Akuntabilitas
Koperasi Digital Tonggak Bangkitnya Ekonomi Indonesia di Era Digital

Langit

Orang Miskin Dilarang Kuliah

HEADLINE

Harga Gabah Melambung Tinggi, Apakah Kabar Baik bagi Petani?

Adu Kuat Disrupsi Digital dan Kultur Patrimonialisme dalam Dunia Politik

Mendesak Skema Pesangon PHK dalam Perppu Cipta Kerja

Kelemahan Partai Politik Jadi Perubahan Sistem yang Tak Efektif

Revolusi Sepak Bola Butuh Pemimpin Superman

Copyright by

 FILM
 TV
 MUSIC
 ENTERTAINMENT
 CULTURE
 LIFESTYLE
 CULTURA LISTS
 CURRENT ISSUE
CONNECT WITH US


 


 


 


 


 


Cultura
Netflix

FILM
Da 5 Bloods Review: Kompleksitas Pergerakan Kulit Hitam
Dibalut Dalam Film Perang
Sebuah film peperangan dengan intrik politik dan masalah sosial yang dapat
membawa tangis dan tawa.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

By
Lathifah Indah

on
July 20, 2020

Berdurasi dua setengah jam, Da 5 Bloods tidak memberi ampun untuk para
penontonnya. Dengan gaya tipikal seorang Spike Lee, film dibuka oleh potongan-
potongan video dari kejadian nyata yang menunjukkan pondasi dari nilai-nilai yang
diusung dalam film ini.

Seperti jangkar, penonton harus selalu mengingat pidato-pidato anti-rasis, anti-


kapitalis, dan anti-kolonial yang dipilih oleh sang sutradara untuk memulai filmnya.

Pada saat Perang Vietnam, Amerika Serikat mengirimkan tentaranya ke wilayah


Indochina dengan alih melawan bibit komunisme yang mulai tumbuh di sana. Dari
begitu banyak tentara yang dikirimkan, 30% adalah para tentara kulit hitam yang
berharap mereka akan mendapatkan hak-hak yang setara dengan orang kulit putih
setelah masa berbakti kepada negaranya telah usai.
Di antaranya, terdapat lima tentara kulit hitam yang menamakan diri mereka sebagai
Da 5 Bloods. Pada salah satu misi, mereka menemukan sekotak emas batangan
milik Amerika Serikat yang akhirnya disepakati akan dikubur dan akan mereka ambil
kembali setelah perang berakhir.

Berpuluh tahun silam berlalu dan keempat tentara dari grup tersebut akhirnya datang
kembali ke Vietnam untuk mengambil emas dan membawa pulang salah satu
kawannya yang sudah gugur semasa perang.

Netflix
Apabila biasanya standar film barat selalu membuat nada warna memiliki saturasi
tinggi ketika berlatar belakang di negara tropis, Da 5 Bloods memilih untuk lebih
meningkatkan kontras kecerahannya. Namun untuk membedakan antara alur utama
cerita dan latar belakang kisah flashback, adegannya tidak menggunakan wide
screen ratio dan memiliki tingkat saturasi yang lebih tinggi.

Bukan hanya itu, teknik sound mixing dan editing serta sinematografinya juga sangat
tepat untuk menunjukkan perbedaan alur utama dengan adegan flashback. Spike
Lee juga terlihat menggunakan teknik pengambilan gambar ala film dokumenter
ketika menunjukkan masa lalu di tengah peperangan yang membuatnya
mendapatkan aura peristiwa yang lebih tegas.

Karakter-karakter dan aktor-aktor dalam Da 5 Bloods tidak perlu ditanyakan lagi


kualitasnya. Akan tetapi, salah satu aktor dalam film ini sangat menonjol, dan dia
bukan karakter sang “pemimpin” kelompoknya. Delroy Lindo yang berperan sebagai
Paul sangat menguasai pertengahan hingga akhir film dengan performanya.

Karakternya sangat menonjol dengan segala trauma, PTSD, dan beban yang dia
tanggung dan yang dia bebankan kembali ke anaknya. Perkembangan karakternya
sangat tidak stabil, pada satu titik rasanya Paul menjadi lebih baik, tetapi kemudian
dia kembali menjadi sosok Ayah yang buruk, dan berbalik lagi selanjutnya.

Netflix
(Warning: spoiler)
Pada beberapa adegan, Delroy Lindo harus berjalan sendiri sambil melakukan
monolog panjang yang menunjukkan betapa berantakan isi kepala sang karakter.
Hingga akhirnya, alasan mengapa Paul mengalami PTSD yang lebih parah
dibandingkan teman-temannya terungkap. Lalu seperti bayi yang baru saja dibaptis,
Paul merelakan jiwanya untuk mengikuti Norm yang dia anggap sebagai pemberi
cahaya di tengah ketidakpastian.

Film Da 5 Bloods menyentuh begitu banyak isu yang memang saling berkaitan dan
begitu rumit untuk dijabarkan. Mulai dari masalah komunisme yang selalu dibingkai
sebagai ideologi yang jahat, walaupun pihak mereka selalu memakan korban
terbanyak. Sedangkan kapitalisme yang begitu melekat dalam jiwa orang Amerika
Serikat dan begitu diagungkan justru selalu menjadi sumber peperangan yang tidak
mengenal rasa kasih.

Tentu saja masakah rasial juga tidak luput dari sorotan Spike Lee. Pada zaman
Perang Vietnam, bahkan orang Vietnam pun kebingungan kenapa orang kulit hitam
ikut menjadi tentara yang membela kepentingan Amerika Serikat, padahal di
tanahnya sendiri mereka masih ditindas oleh orang kulit putih.

Seakan memang divide et impera adalah taktik penjajah kulit putih yang akan terus
digunakan untuk menjaga para jajahannya tetap sibuk melawan satu sama lain.
Masalah tentara kulit hitam juga bukan hal yang sederhana.
Bukan hanya mengenai membela negara, tetapi tindakan mereka justru meminta hak
mereka diberikan oleh negara. Akan tetapi, yang didapatkan pada akhirnya hanyalah
trauma mendalam tanpa pemulihan yang seharusnya dilakukan oleh negara atas
kesehatan mental mereka.

Da 5 Bloods adalah tribut terhadap pergerakan Black Lives Matter yang masih terus


diperjuangkan hingga sekarang. Berbeda dengan film sebelumnya, BlacKkKlansman
(2018), Spike Lee lebih tegas dan berani untuk menyatakan bahwa pergerakan orang
kulit hitam harus melawan rasisme dan harus melawan kapitalisme yang terus
diproduksi oleh negara.
Bahwa ketika orang kulit putih terus menerus menjebak mereka, pada satu titik
mereka yang terjajah harus bergerak bersama untuk mengambil paksa hak-haknya.
Kehebatan Spike Lee dalam menyampaikan kisah di Da 5 Bloods dapat disaksikan
di Netflix sekarang.


In this article:Film, Movie Reviews, Netflix

The Makanai: Cooking For The Maiko House Review – Mengenal Kebudayaan Maiko
Di Kyoto
TV

Best Of Martin Scorsese & Where To Stream


CULTURA LISTS

A Man Called Otto Review: Mengharukan Meski Generic


FILM

More Than Blue: Kesedihan Yang Bertumpu Pada Cinta Dan Kehilangan
FILM
Photo via Geektyrant.com

CULTURA LISTS
Best Of Martin Scorsese & Where To Stream
Sederet film terbaik Martin Scorsese yang tersedia di streaming platform.

By
Bernadetta Yucki

on
January 17, 2023

Siapa yang tak kenal pamor Martin Scorsese, Sutradara senior Hollywood ini telah
menyutradarai berbagai film terbaik. Kebanyakan koleksi Scorsese adalah film
tentang mafia dan film bergenre neo noir yang kelam.
Selain menghadirkan cerita dengan plot yang memikat, kekuatan utama yang sering
menonjol dalam film-film Scorsese adalah presentasi protagonis dalam naskah.
Kebanyakan bukan karakter-karakter yang flashy, hanya pria ‘biasa’ dalam skenario
yang dramatis.
2023 ini Martin Scorsese bersiap untuk merilis film terbarunya, “Killers of the Flower
Moon” yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio, Brendan Fraser, dan Robert De Niro.
Sambil menanti film tersebut kita bisa streaming dulu film terbaik Martin Scorsese
yang sudah ada di  streaming platform.
THE IRISHMAN (2019)
Film bergenre drama kriminal ini diangkat dari buku karya Charles Brandt berjudul “I
Heard You Paint Houses”. Bercerita tentang seorang supir truk yang menjadi
pembunuh bayaran bernama Frank Sheeran. Ia bekerja untuk keluarga Bufalino,
keluarga mafia terkuat di Amerika Serikat pada jamannya.

Berbeda dengan film-film mafia pada umumnya yang membuat kita bergidik dan
melihat pelakunya sebagai pembunuh berdarah dingin, “The Irishman” memiliki gaya
penyajian cerita yang hangat dan menyentuh sisi kemanusian kita juga bahkan untuk
seorang pembunuh bayaran.
Where to stream: Netflix
THE WOLF OF WALL STREET (2013)
“The Wolf of Wall Street” merupakan film berdasarkan kisah nyata sepak terjang
Jordan Belfort di Wall Street. Ia adalah seorang stock-broker yang mencurangi
permainan saham demi mendongkrak karirnya sendiri. Film Martin Scorsese satu ini
menjadi salah satu yang kontroversial.

Selain mengangkat kisah dari seorang kriminal kerah putih, ada banyak adegan gaya
hidup hedonis yang tidak sehat. Mulai dari penggunaan obat terlarang, penggunaan
bahasa kasar, serta konten seksual. Meski demikian, film yang dibintangi oleh
Leonardo DiCaprio ini sebetulnya tetap menarik sebagai sajian dark comedy.

Where to stream: Netflix
PRETEND IT’S A CITY (2021)
Fran Lebowitz adalah adalah seorang penulis asal Amerika yang menghabiskan
sebagian besar masa karirnya di New York. Sementara Martin Scorsese telah
berdomisili di New York sepanjang hidupnya. Dalam “Pretend It’s a City”, kita akan
menyimak kedua bersahabat dengan profesi berkelas ini berbincang-bincang
seputar kota New York.
Sekalipun kita tidak tinggal di New York, fakta-fakta yang dijabarkan dalam
dokumenter ini akan tetap menghibur, relevan, dan menambah wawasan. Mungkin
beberapa dari kita belum familiar dengan sosok Fran Lebowitz. Meski tak kenal,
dijamin bakal sayang setelah menonton suguhan dari Netflix ini.

Where to stream: Netflix
THE KING OF COMEDY (1982)
“The King of Comedy” merupakan film Martin Scorsese yang dibintangi oleh Robert
De Niro sebagai komedian amatir, Rupert Pupkin. Film memiliki pengaruh besar
dalam film terbaik Todd Phillips sejauh ini, “Joker” (2019). Jika dibandingkan,
keduanya hampir memiliki banyak elemen yang sama dalam penokohan protagonis
hingga perkembangan plotnya.
Namun, “The King of Comedy” merupakan karya sumber dengan tema yang lebih
ringan dan sangat minim kekerasan. Rupert memiliki angan dan ambisi yang besar
untuk bisa tampil di acara talkshow yang dibawakan oleh Jerry Langford. Ketika
perjuangannya dikhianati oleh ketatnya aturan dunia showbiz, Ia nekat melampaui
batas untuk mewujudkan mimpinya tampil di televisi nasional.

Where to stream: Disney+ Hotstar


GOODFELLAS (1990)
“Goodfellas” menjadi film bertema mafia karya martin Scorsese, salah satu yang
ikonik juga dalam katalog klasik. Naskah film ini diangkat dari kisah nyata Henry Hill,
sesuai yang ditulis dalam novel “Wiseguy” oleh Pileggi. Dimana fokus pada kisah
jatuh bangun Henry Hill dalam membangun sindikat mafia di New York pada 1955
hingga 1980.
Tidak sendirian, Henry Hill juga mengajak anggota keluarga dan teman-temannya.
Film ini dibintangi oleh Robert De Niro, mendian Ray Liotta, dan Joe Pesci.

Where to stream: Apple TV
TAXI DRIVER (1976)
Lagi-lagi dibintangi oleh Robert De Niro, dalam “Taxi Driver” ia berperan sebagai
Travis Bickle. Travis adalah seorang sopir taksi yang beroperasi di New York. Ia juga
seorang veteran dari angkatan laut yang sempat membela negara di Vietnam. Suatu
hari, kehidupan biasanya sebagai supir taksi kembali menemukan adrenalin ketika
Travis memutuskan untuk menyelamatkan perempuan prostitusi di bawah umur.

“Taxi Driver” juga sempat jadi film yang kontroversial ketika rilis. Karena motif peran
John Hinckley Jr. yang hendak membunuh Presiden Ronald Reagan. Namun hal
tersebut tak mengurangi kepopuleran film ini sebagai salah satu film neo noir
terbaik.

Where to stream: Apple TV
SHUTTER ISLAND (2010)
“Shutter Island” menjadi film terbaik Martin Scorsese yang underrated. Film ini
dibintangi oleh Leonardo DiCaprio, Mark Ruffalo, dan Ben Kingsley. Bercerita tentang
dua investigator kepolisian, mereka ditugaskan untuk menemukan pasien berbahaya
yang menghilang di institusi mental di pulau terpencil. Namun, secara perlahan plot
menyajikan kejutan dan twist yang mempermainkan pemahaman kita akan kisah
sesungguhnya.

Meski beberapa dari kita sudah menonton, mengingat film ini sudah cukup sering
diputar di stasiun televisi lokal, “Shutter Island” merupakan salah satu jenis film yang
memiliki keseruannya sendiri setiap kali ditonton ulang. Ada banyak detail yang
menarik untuk dieksplorasi dari protagonis. Bagaimana interaksinya dengan latar
dan karakter-karakter lainnya.

Where to stream: Prime Video, Vidio


RAGING BULL (1980)
“Raging Bull” merupakan film biografi sosok petinju Jake LaMotta, berdasarkan kisah
hidupnya yang ditulis dalam “Raging Bull: My Story” pada 1970. Film ini dibintangi
oleh Robert De Niro sebagai Jake LaMotta, bersama Joe Pesci, Cathay Moriarty, dan
Nicholas Colasanto.

Jake LaMotta adalah seorang petinju berdarah Italia-Amerika, ia memiliki ambisi


besar untuk menjadi yang terbaik. Namun, ia memiliki kualitas pribadi yang
menghancurkan diri sendiri, penuh rasa iri, serta mudah marah dan berujung pada
kekerasan. Menghancurkan kehidupan pribadinya, hubungannya dengan orang-
orang tercinta, serta terutama karirnya sebagai petinju.
Where to stream: Prime Video

In this article:Cultura Lists, Film, Movie

A Man Called Otto Review: Mengharukan Meski Generic


FILM

More Than Blue: Kesedihan Yang Bertumpu Pada Cinta Dan Kehilangan
FILM

10 Rekomendasi Film Anti Perang Terbaik


CULTURA LISTS
Noktah Merah Perkawinan Review: Refleksi Menjalin Pernikahan
FILM

Anda mungkin juga menyukai