Cerita “Peni dan Nogo” merupakan sebuah kisah nyata berasal dari Kampung Lamatuka.
Sebuah kampung terpencil di Kabupaten Lembata yang di bangun dari reruntuhan “Tragedi Lepan-
Batan” (Peristiwa bencana alam; gempa dashyat (Blero lero) yang disusul tsunami besar (aru bure),
menewaskan hamper sekitar ratusan orang kala itu).
Cerita ini dimulai dengan perjuangan seorang ibu yang selamat dalam tragedi na’as itu. Dengan
darah dan keringat, dia membesarkan anak kakak-beradik, Peni dan Nogo. Kedua anak dara itu tumbuh
menjadi gadis primadona dengan lakon kharakter yang begitu berbeda. Peni yang lembut, penuh
perhatian, sopan dan suka menolong, sementara itu, Nogo yang sedikit agresif, sombong, dan agak
angkuh mewakili dua sisi kehidupan berbeda dari rahim yang sama seperti dua sisi pada satu mata uang
logam.
Konflik memanas dengan kehadiran Demon, seorang pemuda ganteng bersahaja, yang
kemudian terjebak dalam cinta segitiga. Nogo mencintai Demon, tapi Demon lebih mencintai Peni,
sedangkan Peni juga mencintai Demon. Seperti dongeng “Bawang Merah dan Bawang Putih”,
persaingan merebut hati Demon, membuat Nogo menghalalkan segala cara, termasuk menjebak dan
menuduh Peni, saudarinya sebagai seorang “Suanggi” (Suanggi: orang yang dibenci dan diharamkan
saat itu, karena memiliki kekuatan ilmu hitam. Biasanya membutuhkan tumbal seperti memakan daging
manusia untuk meningkatkan ilmunya).
Nasib Peni pun ditentukan oleh keputusan Kepala Kampung dan Tua Adat yang begitu
gampang dihasut dan diprofokasi oleh “seorang wanita”. Peni akhirnya dibuang dan dikucilkan di
sebuah tempat yang jauh dari kampung, Wade atau Berawang? (Polemik dua lokasi yang masing-masing
meninggalkan sisa jejak kehidupan Peni selama pembuangan).
Tahun demi tahun berlalu, dan Peni menghabiskan kegetiran hatinya di tempat asing itu (hutan
belantara). Ulat dan biji-biji buah lontar sisa makanan babi hutan, menjadi teman pengisi perut. Dia
juga harus berebutan air dengan binatang-binatang hutan untuk memenuhi dahaganya, kadang dia harus
mengalah karena tubuhya tak mampu menghalau binatang-binatang liar itu. Semakin hari tubuhnya
menjadi kurus kering, seperti sebuah “Torso hidup” (Rangka yang dibaluti kulit semata), dan itu
membuatnya sangat menderita. Tetapi penderitaan yang lebih hebat adalah saat dia menyaksikan sendiri
pengkhianatan yang dilakukan oleh Nogo, saudari kandungnya. Airmata, menjadi bukti kepedihanya
saat itu.
Hingga pada suatu ketika, Demon datang mencari, menemukan dan membawanya pulang ke
kampung. Demon jugalah yang nantinya membuktikan bahwa Peni tidak bersalah. Darah Nogo
mendidih karena rasa cemburu dan sakit hati. Penghianatan yang dia lakukan justru semakin
menumbuhkan cinta yang begitu besar dari Demon pada Peni. Akhirnya, Nogo bunuh diri, dan tebing
curam dekat kampung menjadi saksi penghianatanya yang berujung maut.
Cerita Ulangan Tentang Pegkhianatan Masa Lalu
Kalau ditelusuri, sebenarnya cerita “Peni dan Nogo” merupakan sebuah ulangan dari kisah
pengkhinatan beberapa ribu atau ratus tahun yang lalu, seperti cerita “Kain dan Habel” atau cerita
“Romus dan Romulus”, atau cerita-cerita lainya. Meski alur dan ending cerita sedikit berbeda, tetapi
rasa iri, cemburu dan keinginan untuk mendapatkan “sesuatu yang lebih”, menjadi latar yang sama
atas munculnya sebuah penghianatan besar. Heranya, “bumbu” pengkhianatan ini menjadi semacam
“trend” yang bisa membuat indah kisah manusia. Coba bayangkan, apakah cerita “Samson” yang
perkasa menjadi begitu hebat, tanpa pegkhianatan yang dilakukan seorang Dehlila atau apakah
hebatnya kisah “Julius Cesar” tanpa penghianatan yang dilakukan oleh seorang Cleopatra, ataukah apa
hebatnya cerita kejatuhan “Suharto” tanpa kisah dibalik pengkhianatan orang-orang dekatnya?
Kisah pengkhianatan Nogo terhadap saudarinya, menjadi cermin paling nyata akan salah satu
sisi kehidupan manusia saat ini. Ketidakmampuan untuk menahan godaan membuat kita akhinya
menjadi seorang “psikopat” murni yang gila akan harta, kuasa dan nafsu. Kasus pembunuhan Yoakim
Langodai, kasus pembunuhan Laurensius Wadu, atau berbagai kasus pembunuhan lainya yang terjadi
di Kabupaten Lembata saat ini, meskipun belum pasti benar, tapi bisa jadi, persoalan ini dimulai dengan
pengkinanatan orang-orang dekat yang memiliki wajah seorang Nogo. Apalagi, ketika persoalanya
bersentuhan dengan ranah politik. Pengkhianatan menjadi cara cerdik untuk mencapai tujuan itu.
Variabel pertemanan, persahabatan, dan persaudaraan yang dibangun sejak dalam kandungan
menjadi begitu tak berharga dan tak bernilai. Tanpa pernah bermaksut menghakimi Leluhur kita ini,
tapi cerita dibalik kematian seorang Nogo menjadi “warisan” penting bagi kita semua, untuk lebih tahu
diri, untuk lebih puas dengan apa yang kita miliki dan untuk lebih mencintai “darah” kita, ketimbang
mencintai harta, kuasa dan nafsu.
Apa “ending wajib” dari setiap pengkhianatan? Sudah pasti Penyesalan, walaupun buah dari
pengkianatan kita, bisa menciptakan sebuah era penuh kemegahan. Seorang bapa di kampung
Lamatuka pernah bilang begini, “Guru…yang paling diingat orang saat dia meninggal adalah
pengkhianat. Apalagi kalau orang yang mengkianati itu, adalah orang yang kita sayangi dan kita cintai.
Kesedihanya akan dibawah sampai mati”. Siapakah diantara kita yang mau mengingkari pernyataan
ini? Cerita dari kampung Lamatuka ini, mungkin tidak mampu menghapus “sisi kiri” kita, tapi paling
tidak kita harus tahu dan sadar bahwa setiap pengkianatan yang dilakukan selalu membutuhkan
“tumbal” orang-orang yang kita sayangi dan cintai.