1
belakang perkawinannya, di antaranya adalah bahwa perempuan dalam perkawinan
didasarkan pada tindakan untuk memperlakukan perempuan sebagai objek seks bagi
laki-laki dan penghasil keturunan.
Lebih jauh, Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis, menjuluki
perkawinan sebagai bentuk dari perbudakan. Dalam perkawinan, ambisi dan kehendak
perempuan dimatikan, ia dibiarkan tenggelam dalam rutinitas hingga masa tua baru
akhirnya perempuan sadar begitu lama waktu dihabiskan tanpa tujuan yang jelas. Ia
menyebut perempuan yang menikah sebagai pesakitan (ward), sedangkan perempuan
yang jatuh cinta dijulukinya sebagai terpenjara (jailer) dalam keinginan subjek laki-laki
(Venny, 2002: 111-112).
Mary Wollstonecraft menjuluki perkawinan sebagai prostitusi yang dilegalkan
karena semata-mata digunakan untuk mengontrol dan melindungi perempuan dari
ancaman seksualitas laki-laki.
2
dengan Rendra, Kirjomulyo, dan Nasjah Djamin serta bergabungnya ke Sanggar
Bambu makin mengkilapkan kemampuannya. Dan kian lengkap kemampuannya dalam
dunia drama ketika naskah drama ini (Malam Jahanam, cetakan pertama tahun 1961)
memenangkan hadiah pertama tahun 1958.
Drama satu babak ini berhasil menampilkan sisi gelap (jahanam) manusia, di
samping aspek ketulusan dan kelembutan hati. Diceritakan bahwa Mat Kontan adalah
penggila burung di samping seorang penjudi. Kegilaannya terhadap burung mampu
menenggelamkan perhatiannya kepada Kontan Kecil yang sedang sakit. Sisi lain, ia
sangat membanggakan kehadiran si Kontan Kecil, kendati ia sendiri seorang laki-laki
yang telah kehilangan salah satu ciri kelelakiannya (mandul). Melalui si Kontan Kecil
inilah drama ini mendedahkan klimaks yang amat menarik. Melalui Kontan Kecil inilah
wajah para pelakonnya (Mat Kontan, Paijah, dan Soleman) menjadi hitam-putih.
Mencermati naskah drama ini, ketiga pelakon menawarkan sisi menarik untuk
diungkapkan. Tetapi Paijah, sebagai tokoh perempuan di antara dua laki-laki, menjadi
tumpuan atas bergulirnya cerita ini mencapai klimaks-klimaks yang menarik. Paijah-lah
yang mampu mempertemukan kontra-kontra baik dari dalam dirinya maupun pada
akhirnya pada dua laki-laki (Mat Kontan dan Soleman yang adalah suami dan
tetangganya) yang berada di sekitar hidupnya.
Lakon yang mengambil setting perkampungan nelayan ini berhasil menampilkan
sisi-sisi yang paling gelap sekaligus yang halus dari pribadi-pribadi pelakonnya.
Kesetiaan, persahabatan, pengkhianatan, ketakutan (juga puncak ketakutan yang berupa
kematian), dan kesombongan berbaur dalam diri masing-masing pelakonnya. Dalam diri
tokohnya muncul keragaman (kegandaan) pribadi, yang kontra sekalipun.
Paijah, sebagaimana kebanyakan perempuan yang lain, menerima perkawinan
dalam hidupnya. Ia pula akan menerima untuk menjadi objek seks bagi laki-laki dan
sekaligus penerus generasi suami (melahirkan anak). Ia menerima menjadi perempuan-
betina atas kelelakian suaminya dan menunggu (siap) menjadi ibu dari anak-anaknya
kelak. Lalu apa yang harus dilakukan ketika peran itu (sebagai objek seks dan penerus
keturunan) tak juga kunjung diterimanya sebagai risiko perkawinannya dengan Mat
Kontan. Paijah pun berpaling kepada tetangganya, Soleman. Simak kutipan di bawah
ini.
SOLEMAN
(perlahan)
3
Saya ingat, Jah. Macam begitulah tangismu dulu mengisak meminta kepada
saya. Sekarang kau sesali pula. Buat apa kita menyesal. Saya juga tak pernah
menyesal harus menjadi jahanam kapiran begini. Ya, tidak menyesal. Karena
dalam diri manusia, betapa pun kecilnya , ada unsur jahanamnya. Cuma saja ada
yang tak sempat dan tak sanggup menjalankan. Dan kita adalah orang-orang
yang kebetulan sanggup. Mengapa kita harus menyesal, Jah? (Hal. 46)
4
kehati-hatian, ada semacam pretensi yang dipersiapkan baik-baik, untuk tidak
menyinggung seks dalam kehidupan percintaan, perkawinan dan kehidupan ibu-bapak.
Itulah kecenderungan yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia modern, papar
Gunawan Mohamad selanjutnya.
Tidak bisa tidak, naskah drama Malam Jahanam karya Motinggo Busye telah
mampu mengangkat persoalan seks menjadi ‘menggemaskan’ sekaligus mengasyikkan.
Seks yang ditampilkan Motinggo Busye dalam naskah drama ini tidak vulgar. Persoalan
seks digarap dengan pendekatan yang cukup jeli dan tepat dengan mempertimbangkan
sebab-akibatnya. Seks tidak semata-mata seks, tetapi telah menjadi pilihan matang bagi
pelakunya, baik Paijah yang dengan argumentasinya maupun bagi Soleman yang ingin
secara naluriah merasakan apa yang pernah dilakukan ayahnya almarhum sekaligus
keinginan untuk mengalahkan kesombongan sabahatnya, Mat Kontan, yang tidak dapat
dipunyainya kecuali dengan perselingkuhan itu. Pilihan Paijah berselingkuh terhadap
Soleman adalah simbol perlawanan perempuan-menikah, seorang istri yang berani
mengambil keputusan selingkuh dengan tetangganya. Pilihan selingkuh ini menarik
diungkap dengan berbagai kemungkinan tafsir.
Pertama, ia adalah legitimasi bahwa perempuan sebagai objek seks bagi laki-
laki dan penghasil keturunan. Kondisi Mat Kontan yang kehilangan salah satu ciri
kelelakiannya (mandul) telah menghapus kepercayadiriannya untuk berhubungan seks
dengan istrinya ditambah kebiasaan buruk (penggila burung dan suka ke luar rumah,
dua hal yang dapat saja dikatakan sebagai akibat atas ketidakberdayaannya sebagai laki-
laki untuk memberi keturunan pada istrinya) memberi peluang Paijah untuk memilih
dan mengambil keputusan.
Kedua, posisi lemah perempuan dalam perkawinan ketika tidak segera hadir
keturunan. Dalam banyak kasus, kecenderungan kesalahan ditimpakan pada perempuan.
Pilihan selingkuh Paijah, dalam hal ini sebagai bukti bahwa perempuan tidak dalam
posisi serba salah. Kehadiran anak adalah jawaban yang diharapkan menyelesaikan
persoalan perkawinannya.
Ketiga, perselingkuhan yang dilakukan seorang istri menjadi serba boleh dan
berlaku sama seperti bagi seorang suami. Meski tidak sepenuhnya motifnya sama
seperti perselingkuhan yang dilakukan para suami, setidak-tidaknya Paijah telah
menjadi simbol perlawanan: perempuan boleh berselingkuh.
Sampai dengan pilihan Paijah untuk selingkuh ini, setidak-tidaknya ia telah
mewakili sedikit perempuan yang (mencoba) menghancurkan tesis-tesis (awal tulisan
5
ini) Annie Leclerc, Subiyantoro, Simone de Beauvoir, Mary Wollstonecraft di atas!
Perkawinan bukan sesuatu yang selalu menyudutkan perempuan pada posisi yang sulit,
lemah dan kalah (dan tak lagi memiliki peluang untuk memilih sesuatu tanpa
sepengetahuan suaminya). Paijah “menerjang” mitos tabu bagi perempuan beristri
berselingkuh (Tentu tidak berarti sebaliknya, laki-laki menjadi tidak tabu ketika
berselingkuh). Paijah menjadi simbol perempuan yang aktif (dipertentangkan dengan
sifat pasif yang sering dialamatkan kepada perempuan), yang tidak menunggu. Paijah-
lah yang (mula-mula) meminta kepada Soleman untuk perselingkuhan itu. Dan
mengandung (dari benih Soleman) adalah harapan Paijah. Memang benar, sampai
sebelum semuanya terbongkar (pada malam jahanam), Mat Kontan masih
membanggakan istrinya yang cantik dan anaknya (tentu saja membanggakan istrinya
ketika sedang mengandung), dan itu artinya Paijah mampu menampilkan sosok
perempuan yang dengan “jantan” memilih berselingkuh.
Sisi lain, Mat Kontan mempunyai alasan untuk lebih mencintai burung
piaraannya dan sering berada di luar rumah. Rumah tangga adalah kebanggaannya (istri
yang cantik), tetapi kebanggaan itu belum lengkap manakala anak belum ada. Dan
keadaan dirinya yang mandul telah menyebabkan ia memilih: memelihara burung dan
suka ke luar rumah.
6
Masih menurut Faqih, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan
oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisaikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi
secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan dan negara. Melalui proses
panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan
(kodrat), sehingga seperti bersifat biologis dan tidak dapat diubah.
Maka yang terjadi adalah bahwa perempuan harus lemah-lembut, dan sejak bayi
proses sosialisasi tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta
ideologi kaum perempuan, juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis
selanjutnya.
Mencoba membaca ke belakang terhadap naskah Malam Jahanan ini,
tampaklah bahwa perempuan Paijah adalah sedikit perempuan yang “berani” menentang
arus dengan mengambil pilihan selingkuh bukan sebagai tindakan balas-dendam
terhadap suaminya (Mat Kontan) yang selingkuh. Paijah memilih berselingkuh tidak
dengan pertimbangan emosional (sebagaimana) prototype sebagian besar perempuan.
Paijah mencoba rasional (kriteria yang lebih banyak ditempelkan pada laki-laki). Laki-
lakinya mandul, sering keluar rumah, menyebabkan Paijah mengambil kesimpulan
bahwa ia sering kehilangan kesempatan untuk menjadi objek seks laki-laki sekaligus
hilangnya peluang bagi dirinya untuk mengandung dan menjadi ibu. Sangat rasional
jika kemudian ia memilih berselingkuh. Juga sangat rasional ketika ia memilih
Soleman, tetangganya yang masih lajang dan (barangkali) lebih muda dari suaminya.
SOLEMAN
Jahanam betul mereka!
Paijah duduk di ambinnya.
Soleman memandangi Paijah saja, tetapi Paijah menghindari pandang
itu dengan melihat ke arah kekelaman.
Suara kereta api dari jauh semakin dekat, lalu melintas derunya dari
balik rumah Soleman.
Di sini pandangan mereka bertemu. (Hal. 16)
Mat Kontan yang sering ke luar rumah telah menciptakan kondisi seperti pada kutipan
di atas. Maka bukan tanpa alasan ketika yang memulai adalah Paijah, bukan Soleman.
Paijah adalah seorang istri (dari seorang suami yang pernah memperlakukan sebagai
perempuan-betina), Soleman adalah laki-laki bujangan. Seandainya Soleman yang
memulai perselingkuhan pun, hal itu logis. Demikian juga jika sebaliknya.
Menjadi sayang, ketika pilihan Paijah berselingkuh yang rasional itu kemudian
dikaburkan kembali menjadi emosional. Ketidakkonsistenan (atau ketakutan karena
7
kelemahan secara kodrati) menghantui diri Paijah, hingga kepanikannya menyebabkan
ia menyesal atas pilihan untuk berselingkuh: menyesali keputusan yang telah ditimbang
dengan rasio (hal yang sering dilekatkan pada laki-laki), logika perempuan (Paijah)
kembali dipentalkan, untuk kemudian mengakui bahwa perempuan memang harus
emosional (kalau tidak cengeng). Lihat kutipan ini.
PAIJAH
Menyesal karena begini jadinya. Nanti akan terbuka juga rahasia kita.
Tapi tak apa! Saya kepingin punya anak, dan anak itu telah saya dapatkan. (Hal.
45)
PAIJAH
Cukup kita saja yang jadi jahanan terkutuk.
SOLEMAN
Ya, karena sekarang kau sudah menyesal, sih.
PAIJAH
(Setelah memikir sesuatu, tiba-tiba ia tersentak)
Man!
SOLEMAN
Apa?
PAIJAH
Sebentar lagi tentu mereka datang, Man. Saya takut, Man! (Hal 47-48)
Penyesalan dan perasaan takut atas akibat dari perbuatan (sebab) memang milik hampir
setiap manusia, juga Paijah. Ia menyesal telah berselingkuh, ia juga takut akan akibat
dari perbuatan selingkuhnya.
PAIJAH
(memandang Soleman)
Hai lelaki pengecut! Bukankah kau bilang, berjanji akan melindungi
saya, ha? Kau diam saja sekarang persis tunggul! (Hal. 63)
Menangis menjadi pilihan atas kebingungan hati Paijah. Dalam keadaan jiwa goyah
yang seperti itu, kecenderungan kontrol kata-kata menjadi lemah sehingga kalimat yang
keluar adalah ucapan (ungkapan) spontanitas, emosional. Dan dalam situasi seperti itu
laki-laki semakin tampak berkuasa dan kuat (perkasa), juga dengan kalimat Paijah di
bawah ini.
8
PAIJAH
(heran)
Tan! Jangan bunuh kami, Tan!
MAT KONTAN
(menggeleng)
Bodoh kalau saya membunuh kau dan anak ini (didekapnya bininya).
Jah! (Ia menangis), Kau tahu, Jah? Kau tahu si Utai patah batang lehernya? (Hal.
74)
Ketika Paijah memilih untuk selingkuh, bukan tidak mungkin akibat (dari
perselingkuhan) yang akan diterima sudah dipertimbangkan. Pilihan Paijah yang
rasional untuk selingkuh dihancurkan oleh sikap-perilaku sesudahnya. Ia menjadi
setengah hati dalam menjalani pilihannya. Ia menjadi tidak konsisten atas pilihan logis
yang (mestinya) telah dipertimbangkan akibat-akibatnya.
SOLEMAN
Saya percaya, kau sendiri belum yakin selama ini bahwa ia itu anakmu. Kau sering
menyebarkan berita ke mana saja setelah anakmu lahir untuk menutupi hal itu. Ha,
bahwa sebenarnya kau bukan lelaki (membalikkan badan dengan cepat). Dan itu
menyakitkan hati saya. Sebab kesombongan yang satu inibukan kaupunyaidengan
sah.Dan saya juga tidak bisa mempunyainya dengan sah, sebab surat nikah ada di
tangan kau, Kontan.
Lalu Soleman duduk di ambin Mat Kontan. Ia menepuk-nepuk ambin itu.
Ambin ini juga jahanam! Karena Paijah sering duduk di sini terkadang sampai
malam! Dan saya duduk di sana (menunjuk ambin kepunyaannya). Kami saling
memandang. (Kepada Mat Kontan) Kenapa kau sering tak di rumah, Tan? Itu juga
perbuatan jahanam! (Hal. 66)
Apa yang terjadi pada manusia (individu) ketika satu rahasia besarnya dibuka.
Dapat dibayangkan bahwa pada saat dialog di atas disampaikan Soleman, ketiga
pelakon dalam naskah ini mengalami keterkejutan jiwa.
9
Jika hal di atas merupakan pengakuan manusia (Soleman) atas kesalahan masa
lalu, maka pengakuan Soleman di atas adalah cermin bagi pilihan yang harus diambil
oleh masing-masing pelakon dalam naskah drama ini. Tak ada yang dapat menghindar,
juga ketiga pelakon dalam naskah ini. Masing-masing telah menemukan jati dirinya
yang terbelah, tidak utuh lagi. Juga, mereka telah dapat membuka wajah orang-orang
yang sangat dekat dengan dirinya ternyata berbalikan dengan persangkaannya.
Jika kepercayaan itu telah dibangun begitu lama, maka dalam sekejab bangunan
itu telah dihancurkan. Pilihan (ketiga pelakon) itu telah mengelupas wajah lain dari
orang-orang yang sangat dikenalnya untuk menjadi asing. Adakah dalam setiap wajah
yang dikenal menyimpan wajah lain yang asing, bahkan menakutkan?
Daftar Rujukan
Busye, Motinggo
1995. Malam Jahanam. Jakarta: Pustaka Jaya.
1999. Dua Tengkorak Kepala. Yogyakarta: Bentang.
el Saadawi, Nawal
2001. Perempuan dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour.
2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Leclerc, Annie.
2000. Kalau Perempuan Angkat Bicara. Yogyakarta: Kanisius.
Mohamad, Goenawan.
1981. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Subiyantoro, Eko Bambang
2002. “Perempuan dan Perkawinan: Sebuah Pertarungan Eksistensi Diri”.
Dalam Jurnal Perempuan No. 22. Hal. 7 – 18.
Venny, Adriana
2002. “Perkawinan, Perangkap Bagi Perempuan”. Dalam Jurnal Perempuan
Nomor 22. Hal. 111 –125.
10