Anda di halaman 1dari 10

Potret Perlawanan Perempuan yang Setengah Hati

dalam Malam Jahanam-nya Motinggo Busye


oleh Jack Parmin

Martabat perempuan adalah memungkinkan laki-laki menunaikan


tugasnya sebagai makhluk laki-laki (Leclerc, 2000)

Betapa geram Annie Leclerc, feminis asal Perancis, melihat ketidakberdayaan


perempuan di hadapan kaum laki-laki. Bagi Leclerc, laki-laki dalam dirinya menyimpan
sebuah prestise tindak-tanduk jantan yang merupakan jaminan bagi penindasan dengan
tujuan untuk meminggirkan perempuan pada sebuah pengorbanan dan penyerahan
dirinya. Diri perempuan, akibat rekayasa laki-laki, dipaksa untuk merendahkan
martabatnya sendiri serta menistakan kemampuan seksualitasnya. Apakah ini sebagai
hukuman atas kelalaian Hawa, hukuman kaum perempuan yang menyebabkan Adam
(dan tentu saja juga kaum Hawa) diusir dari surga, dan perlakuan tersebut sebagai
bentuk penebusan dosa kaum Hawa pada kaum laki-laki. Martabat dan hakikat diri
perempuan akan tercipta bilamana dia mampu menghantarkan laki-laki dalam
menunaikan kewajibannya sebagai makhluk laki-laki yang telah memetamorfosiskan
dirinya sebagai makhluk yang dominan (Subiyantoro, 2002: 7-8).
Martabat dan harga diri perempuan yang dinilai dari kemampuan perempuan
untuk menghantarkan laki-laki agar merasa menjadi “makhluk laki-laki” ini sebetulnya
bukan hal yang aneh. Melakukan perlawanan berarti tidak bertanggung jawab dan tidak
tahu terima kasih kepada laki-laki yang telah memberi kesempatan kaum perempuan
memperbaiki kesalahan sebagai upaya penebusan dosa masa lalu. Peristiwa penyerahan
diri tersebut dalam konteks sosial muncul dalam wajah perkawinan. Perkawinan yang
konon merupakan simbol kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah
diselewengkan oleh sebagian pihak untuk melegitimasi posisi perempuan dalam budaya
patriarkhi yang membelitnya.
Lembaga perkawinan –dalam sejumlah kisah-- menjadi ilustrasi yang
menunjukkan kuatnya superioritas laki-laki atas inferior perempuan. Sebagian
perempuan berada dalam sebuah kungkungan hegemoni laki-laki. Terdapat banyak
perempuan yang menjadi lemah dan tidak berdaya dalam perkawinannya baik secara
fisik maupun mental. Salah satu faktor penyebab lemah posisi perempuan adalah latar

1
belakang perkawinannya, di antaranya adalah bahwa perempuan dalam perkawinan
didasarkan pada tindakan untuk memperlakukan perempuan sebagai objek seks bagi
laki-laki dan penghasil keturunan.
Lebih jauh, Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis, menjuluki
perkawinan sebagai bentuk dari perbudakan. Dalam perkawinan, ambisi dan kehendak
perempuan dimatikan, ia dibiarkan tenggelam dalam rutinitas hingga masa tua baru
akhirnya perempuan sadar begitu lama waktu dihabiskan tanpa tujuan yang jelas. Ia
menyebut perempuan yang menikah sebagai pesakitan (ward), sedangkan perempuan
yang jatuh cinta dijulukinya sebagai terpenjara (jailer) dalam keinginan subjek laki-laki
(Venny, 2002: 111-112).
Mary Wollstonecraft menjuluki perkawinan sebagai prostitusi yang dilegalkan
karena semata-mata digunakan untuk mengontrol dan melindungi perempuan dari
ancaman seksualitas laki-laki.

Motinggo Membebaskan Perempuan Memilih


Bermula dari ilustrasi di atas, naskah drama Malam Jahaman karya Motinggo
Busye yang memenangi hadiah pertama Sayembara Penulisan Drama yang diadakan
oleh Kementerian P dan K tahun 1958 ini (mencoba) membebaskan perempuan (Paijah)
untuk menakar keperempuanannya dengan tidak sekadar menerima peran dan fungsinya
sebagai istri (dari sebuah perkawinan). Paijah, salah satu pelakon dalam drama ini,
membuka tafsir baru atas pilihan seorang istri ketika diperhadapkan harus memilih
(dalam lembaga perkawinan).
Motinggo Bustami Dating adalah nama lengkap pengarang-dramawan-pelukis
yang melahirkan tokoh Paijah yang tidak hanya menunggu keputusan suami (Mat
Kontan) untuk memilih. Pengarang ini juga menancapkan sosok perempuan (Paijah)
yang berbeda dengan kebanyakan perempuan dalam menyikapi sebuah perkawinan.
Pengarang (masih sangat muda, saat ditulis naskah drama ini) ini meninggal 18
Juni 1999 ini. Ia dilahirkan di Kupangkota, Teluk Betung, Lampung pada tanggal 21
November 1937. Setamat SMA (1953-1956) di Bukittinggi, ia kuliah di Jurusan Tata
Negara Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, namun kuliahnya terhambat oleh kegiatan
keseniannya yang makin meningkat.
Bakat seninya tampak sejak remaja. Ia mengisi siaran sandiwara radio di RRI
Bukittinggi. Sewaktu di SMP, ia menjadi pemain drama dan menyutradari. Ketika di
SMA, bakat melukisnya tumbuh. Dan ketika hijrah ke Yogyakarta serta perkenalannya

2
dengan Rendra, Kirjomulyo, dan Nasjah Djamin serta bergabungnya ke Sanggar
Bambu makin mengkilapkan kemampuannya. Dan kian lengkap kemampuannya dalam
dunia drama ketika naskah drama ini (Malam Jahanam, cetakan pertama tahun 1961)
memenangkan hadiah pertama tahun 1958.
Drama satu babak ini berhasil menampilkan sisi gelap (jahanam) manusia, di
samping aspek ketulusan dan kelembutan hati. Diceritakan bahwa Mat Kontan adalah
penggila burung di samping seorang penjudi. Kegilaannya terhadap burung mampu
menenggelamkan perhatiannya kepada Kontan Kecil yang sedang sakit. Sisi lain, ia
sangat membanggakan kehadiran si Kontan Kecil, kendati ia sendiri seorang laki-laki
yang telah kehilangan salah satu ciri kelelakiannya (mandul). Melalui si Kontan Kecil
inilah drama ini mendedahkan klimaks yang amat menarik. Melalui Kontan Kecil inilah
wajah para pelakonnya (Mat Kontan, Paijah, dan Soleman) menjadi hitam-putih.
Mencermati naskah drama ini, ketiga pelakon menawarkan sisi menarik untuk
diungkapkan. Tetapi Paijah, sebagai tokoh perempuan di antara dua laki-laki, menjadi
tumpuan atas bergulirnya cerita ini mencapai klimaks-klimaks yang menarik. Paijah-lah
yang mampu mempertemukan kontra-kontra baik dari dalam dirinya maupun pada
akhirnya pada dua laki-laki (Mat Kontan dan Soleman yang adalah suami dan
tetangganya) yang berada di sekitar hidupnya.
Lakon yang mengambil setting perkampungan nelayan ini berhasil menampilkan
sisi-sisi yang paling gelap sekaligus yang halus dari pribadi-pribadi pelakonnya.
Kesetiaan, persahabatan, pengkhianatan, ketakutan (juga puncak ketakutan yang berupa
kematian), dan kesombongan berbaur dalam diri masing-masing pelakonnya. Dalam diri
tokohnya muncul keragaman (kegandaan) pribadi, yang kontra sekalipun.
Paijah, sebagaimana kebanyakan perempuan yang lain, menerima perkawinan
dalam hidupnya. Ia pula akan menerima untuk menjadi objek seks bagi laki-laki dan
sekaligus penerus generasi suami (melahirkan anak). Ia menerima menjadi perempuan-
betina atas kelelakian suaminya dan menunggu (siap) menjadi ibu dari anak-anaknya
kelak. Lalu apa yang harus dilakukan ketika peran itu (sebagai objek seks dan penerus
keturunan) tak juga kunjung diterimanya sebagai risiko perkawinannya dengan Mat
Kontan. Paijah pun berpaling kepada tetangganya, Soleman. Simak kutipan di bawah
ini.

SOLEMAN
(perlahan)

3
Saya ingat, Jah. Macam begitulah tangismu dulu mengisak meminta kepada
saya. Sekarang kau sesali pula. Buat apa kita menyesal. Saya juga tak pernah
menyesal harus menjadi jahanam kapiran begini. Ya, tidak menyesal. Karena
dalam diri manusia, betapa pun kecilnya , ada unsur jahanamnya. Cuma saja ada
yang tak sempat dan tak sanggup menjalankan. Dan kita adalah orang-orang
yang kebetulan sanggup. Mengapa kita harus menyesal, Jah? (Hal. 46)

Simak pula pada kalimat Soleman di bawah ini.


Kenapa jadi menangis, hah? Saya hanya akan mengabulkan apa yang kau
minta dulu dan telah saya berikan. Anak itu telah lahir. Kalau saya mati karena
lahirnya dia, berarti saya akan bernasib sama dengan bapak saya. Tetapi semoga
cucu Bapak akan dapat meneruskan perjuangan kakeknya yang belum selesai.
(Hal. 47)

Itulah pilihan yang diambil Paijah. Pilihan berselingkuh dengan Soleman,


tetangganya yang masih lajang, bagi Paijah merupakan akibat sekaligus sebab. Tidak
memilih, Paijah pun kehilangan. Pertama, ia kehilangan peran sebagai objek seks bagi
laki-laki yang sudah terlanjur ia siap menerimanya. Toh, sebagai perempuan, Paijah,
telah menerima peran sebagai objek seks dari suaminya. Kedua, sekaligus kehilangan
peran sebagai perempuan yang harus melahirkan (karena rahim pun terlanjur
dimilikinya). Berharap kepada Mat Kontan untuk membuahi rahimnya adalah mimpi,
karena suaminya telah kehilangan salah satu ciri kelelakiannya. Maka ketika ia memilih
Soleman, ia berharap mendapatkan keduanya: menjadi objek seks sekaligus dapat
segera mengandung sebagai bukti kepada suaminya bahwa dirinya seorang perempuan
normal dan subur, terlepas dari bahwa pilihannya itu justru menjadi sebab bagi akibat
yang jauh lebih mengerikan dari yang (tidak) dibayangkan bagi lembaga yang bernama
perkawinan.
Di sinilah kelihaian dan sekaligus kelebihan Motinggo Busye muda menggarap
persoalan, yang barangkali baru di zamannya: perselingkuhan seorang istri. Tokoh-
tokoh dalam naskah drama ini hadir dengan karakter logis atas pilihan perilakunya.
Setiap tokoh diberi ruang pilihan yang sangat logis. Motinggo memberikan ruang pilih
bagi Paijah, dan Paijah telah dihadapkan pada pilihan untuk berselingkuh atau tidak
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Dan ketika pilihan selingkuh itu diambil,
pilihan itu logis untuk terjadi.

Paijah, Simbol Perlawanan Perempuan dalam Perkawinan


Seks adalah suatu resiko dalam kesusastraan Indonesia modern, begitu kata
Gunawan Mohamad dalam bukunya Seks, Sastra, dan Kita (1981). Ada semacam sikap

4
kehati-hatian, ada semacam pretensi yang dipersiapkan baik-baik, untuk tidak
menyinggung seks dalam kehidupan percintaan, perkawinan dan kehidupan ibu-bapak.
Itulah kecenderungan yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia modern, papar
Gunawan Mohamad selanjutnya.
Tidak bisa tidak, naskah drama Malam Jahanam karya Motinggo Busye telah
mampu mengangkat persoalan seks menjadi ‘menggemaskan’ sekaligus mengasyikkan.
Seks yang ditampilkan Motinggo Busye dalam naskah drama ini tidak vulgar. Persoalan
seks digarap dengan pendekatan yang cukup jeli dan tepat dengan mempertimbangkan
sebab-akibatnya. Seks tidak semata-mata seks, tetapi telah menjadi pilihan matang bagi
pelakunya, baik Paijah yang dengan argumentasinya maupun bagi Soleman yang ingin
secara naluriah merasakan apa yang pernah dilakukan ayahnya almarhum sekaligus
keinginan untuk mengalahkan kesombongan sabahatnya, Mat Kontan, yang tidak dapat
dipunyainya kecuali dengan perselingkuhan itu. Pilihan Paijah berselingkuh terhadap
Soleman adalah simbol perlawanan perempuan-menikah, seorang istri yang berani
mengambil keputusan selingkuh dengan tetangganya. Pilihan selingkuh ini menarik
diungkap dengan berbagai kemungkinan tafsir.
Pertama, ia adalah legitimasi bahwa perempuan sebagai objek seks bagi laki-
laki dan penghasil keturunan. Kondisi Mat Kontan yang kehilangan salah satu ciri
kelelakiannya (mandul) telah menghapus kepercayadiriannya untuk berhubungan seks
dengan istrinya ditambah kebiasaan buruk (penggila burung dan suka ke luar rumah,
dua hal yang dapat saja dikatakan sebagai akibat atas ketidakberdayaannya sebagai laki-
laki untuk memberi keturunan pada istrinya) memberi peluang Paijah untuk memilih
dan mengambil keputusan.
Kedua, posisi lemah perempuan dalam perkawinan ketika tidak segera hadir
keturunan. Dalam banyak kasus, kecenderungan kesalahan ditimpakan pada perempuan.
Pilihan selingkuh Paijah, dalam hal ini sebagai bukti bahwa perempuan tidak dalam
posisi serba salah. Kehadiran anak adalah jawaban yang diharapkan menyelesaikan
persoalan perkawinannya.
Ketiga, perselingkuhan yang dilakukan seorang istri menjadi serba boleh dan
berlaku sama seperti bagi seorang suami. Meski tidak sepenuhnya motifnya sama
seperti perselingkuhan yang dilakukan para suami, setidak-tidaknya Paijah telah
menjadi simbol perlawanan: perempuan boleh berselingkuh.
Sampai dengan pilihan Paijah untuk selingkuh ini, setidak-tidaknya ia telah
mewakili sedikit perempuan yang (mencoba) menghancurkan tesis-tesis (awal tulisan

5
ini) Annie Leclerc, Subiyantoro, Simone de Beauvoir, Mary Wollstonecraft di atas!
Perkawinan bukan sesuatu yang selalu menyudutkan perempuan pada posisi yang sulit,
lemah dan kalah (dan tak lagi memiliki peluang untuk memilih sesuatu tanpa
sepengetahuan suaminya). Paijah “menerjang” mitos tabu bagi perempuan beristri
berselingkuh (Tentu tidak berarti sebaliknya, laki-laki menjadi tidak tabu ketika
berselingkuh). Paijah menjadi simbol perempuan yang aktif (dipertentangkan dengan
sifat pasif yang sering dialamatkan kepada perempuan), yang tidak menunggu. Paijah-
lah yang (mula-mula) meminta kepada Soleman untuk perselingkuhan itu. Dan
mengandung (dari benih Soleman) adalah harapan Paijah. Memang benar, sampai
sebelum semuanya terbongkar (pada malam jahanam), Mat Kontan masih
membanggakan istrinya yang cantik dan anaknya (tentu saja membanggakan istrinya
ketika sedang mengandung), dan itu artinya Paijah mampu menampilkan sosok
perempuan yang dengan “jantan” memilih berselingkuh.
Sisi lain, Mat Kontan mempunyai alasan untuk lebih mencintai burung
piaraannya dan sering berada di luar rumah. Rumah tangga adalah kebanggaannya (istri
yang cantik), tetapi kebanggaan itu belum lengkap manakala anak belum ada. Dan
keadaan dirinya yang mandul telah menyebabkan ia memilih: memelihara burung dan
suka ke luar rumah.

Paijah, Potret Perlawanan Perempuan Yang Setengah Hati


Manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat: memiliki
penis, memiliki jakal (Jawa: kala menjing) dan memproduksi sperma. Perempuan
memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi
telur, memilki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat yang secara biologis
menempel pada laki-laki dan perempuan tersebut tidak dapat saling dipertukarkan, ia
permanen sebagai sebuah ketentuan Tuhan atau kodrat.
Konsep gender (mau tidak mau hadir dalam pembicaraan tentang perempuan),
menurut Faqih (2001: 8), adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan
dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat di atas sebenarnya dapat saling
dipertukarkan: ada laki-laki yang emosional, lemah-lembut, keibuan; ada perempuan
yang kuat, rasional, dan perkasa.

6
Masih menurut Faqih, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan
oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisaikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi
secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan dan negara. Melalui proses
panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan
(kodrat), sehingga seperti bersifat biologis dan tidak dapat diubah.
Maka yang terjadi adalah bahwa perempuan harus lemah-lembut, dan sejak bayi
proses sosialisasi tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta
ideologi kaum perempuan, juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis
selanjutnya.
Mencoba membaca ke belakang terhadap naskah Malam Jahanan ini,
tampaklah bahwa perempuan Paijah adalah sedikit perempuan yang “berani” menentang
arus dengan mengambil pilihan selingkuh bukan sebagai tindakan balas-dendam
terhadap suaminya (Mat Kontan) yang selingkuh. Paijah memilih berselingkuh tidak
dengan pertimbangan emosional (sebagaimana) prototype sebagian besar perempuan.
Paijah mencoba rasional (kriteria yang lebih banyak ditempelkan pada laki-laki). Laki-
lakinya mandul, sering keluar rumah, menyebabkan Paijah mengambil kesimpulan
bahwa ia sering kehilangan kesempatan untuk menjadi objek seks laki-laki sekaligus
hilangnya peluang bagi dirinya untuk mengandung dan menjadi ibu. Sangat rasional
jika kemudian ia memilih berselingkuh. Juga sangat rasional ketika ia memilih
Soleman, tetangganya yang masih lajang dan (barangkali) lebih muda dari suaminya.
SOLEMAN
Jahanam betul mereka!
Paijah duduk di ambinnya.
Soleman memandangi Paijah saja, tetapi Paijah menghindari pandang
itu dengan melihat ke arah kekelaman.
Suara kereta api dari jauh semakin dekat, lalu melintas derunya dari
balik rumah Soleman.
Di sini pandangan mereka bertemu. (Hal. 16)

Mat Kontan yang sering ke luar rumah telah menciptakan kondisi seperti pada kutipan
di atas. Maka bukan tanpa alasan ketika yang memulai adalah Paijah, bukan Soleman.
Paijah adalah seorang istri (dari seorang suami yang pernah memperlakukan sebagai
perempuan-betina), Soleman adalah laki-laki bujangan. Seandainya Soleman yang
memulai perselingkuhan pun, hal itu logis. Demikian juga jika sebaliknya.
Menjadi sayang, ketika pilihan Paijah berselingkuh yang rasional itu kemudian
dikaburkan kembali menjadi emosional. Ketidakkonsistenan (atau ketakutan karena

7
kelemahan secara kodrati) menghantui diri Paijah, hingga kepanikannya menyebabkan
ia menyesal atas pilihan untuk berselingkuh: menyesali keputusan yang telah ditimbang
dengan rasio (hal yang sering dilekatkan pada laki-laki), logika perempuan (Paijah)
kembali dipentalkan, untuk kemudian mengakui bahwa perempuan memang harus
emosional (kalau tidak cengeng). Lihat kutipan ini.
PAIJAH
Menyesal karena begini jadinya. Nanti akan terbuka juga rahasia kita.
Tapi tak apa! Saya kepingin punya anak, dan anak itu telah saya dapatkan. (Hal.
45)

PAIJAH
Cukup kita saja yang jadi jahanan terkutuk.
SOLEMAN
Ya, karena sekarang kau sudah menyesal, sih.
PAIJAH
(Setelah memikir sesuatu, tiba-tiba ia tersentak)
Man!
SOLEMAN
Apa?
PAIJAH
Sebentar lagi tentu mereka datang, Man. Saya takut, Man! (Hal 47-48)

Penyesalan dan perasaan takut atas akibat dari perbuatan (sebab) memang milik hampir
setiap manusia, juga Paijah. Ia menyesal telah berselingkuh, ia juga takut akan akibat
dari perbuatan selingkuhnya.

SUARA MAT KONTAN


Eh, jangan ngotot! Jawab dulu siapa yang bunuh!
Kemudian terdengar tangis Paijah, tangis bayi, dan suara Mat Kontan
yang tidak berketentuan!
SUARA PAIJAH
Kalau tidak bunuh saja, nih, pakai golok! (Hal 54)

PAIJAH
(memandang Soleman)
Hai lelaki pengecut! Bukankah kau bilang, berjanji akan melindungi
saya, ha? Kau diam saja sekarang persis tunggul! (Hal. 63)

Menangis menjadi pilihan atas kebingungan hati Paijah. Dalam keadaan jiwa goyah
yang seperti itu, kecenderungan kontrol kata-kata menjadi lemah sehingga kalimat yang
keluar adalah ucapan (ungkapan) spontanitas, emosional. Dan dalam situasi seperti itu
laki-laki semakin tampak berkuasa dan kuat (perkasa), juga dengan kalimat Paijah di
bawah ini.

8
PAIJAH
(heran)
Tan! Jangan bunuh kami, Tan!
MAT KONTAN
(menggeleng)
Bodoh kalau saya membunuh kau dan anak ini (didekapnya bininya).
Jah! (Ia menangis), Kau tahu, Jah? Kau tahu si Utai patah batang lehernya? (Hal.
74)

Ketika Paijah memilih untuk selingkuh, bukan tidak mungkin akibat (dari
perselingkuhan) yang akan diterima sudah dipertimbangkan. Pilihan Paijah yang
rasional untuk selingkuh dihancurkan oleh sikap-perilaku sesudahnya. Ia menjadi
setengah hati dalam menjalani pilihannya. Ia menjadi tidak konsisten atas pilihan logis
yang (mestinya) telah dipertimbangkan akibat-akibatnya.

Belajar Memilih dari Motinggo


Paijah telah memilih berselingkuh dengan Soleman. Soleman menerima
perselingkuhan itu dengan pertimbangan-pertimbangan: ingin terlibat dan menjadi
seperti ayahnya (almarhun), juga sekaligus menghancurkan kesombongan Mat Kontan,
sahabatnya, yang selalu membangga-banggakan istrinya yang cantik. Mat Kontan, ia
dalam posisi ‘sulit’ karena terlalu mencintai istrinya dan mempunyai hutang budi
(nyawa, ketika dirinya hampir tenggelam di pantai pasir boblos dan Solemanlah yang
menyelamatkannya) pada Soleman.

SOLEMAN
Saya percaya, kau sendiri belum yakin selama ini bahwa ia itu anakmu. Kau sering
menyebarkan berita ke mana saja setelah anakmu lahir untuk menutupi hal itu. Ha,
bahwa sebenarnya kau bukan lelaki (membalikkan badan dengan cepat). Dan itu
menyakitkan hati saya. Sebab kesombongan yang satu inibukan kaupunyaidengan
sah.Dan saya juga tidak bisa mempunyainya dengan sah, sebab surat nikah ada di
tangan kau, Kontan.
Lalu Soleman duduk di ambin Mat Kontan. Ia menepuk-nepuk ambin itu.
Ambin ini juga jahanam! Karena Paijah sering duduk di sini terkadang sampai
malam! Dan saya duduk di sana (menunjuk ambin kepunyaannya). Kami saling
memandang. (Kepada Mat Kontan) Kenapa kau sering tak di rumah, Tan? Itu juga
perbuatan jahanam! (Hal. 66)

Apa yang terjadi pada manusia (individu) ketika satu rahasia besarnya dibuka.
Dapat dibayangkan bahwa pada saat dialog di atas disampaikan Soleman, ketiga
pelakon dalam naskah ini mengalami keterkejutan jiwa.

9
Jika hal di atas merupakan pengakuan manusia (Soleman) atas kesalahan masa
lalu, maka pengakuan Soleman di atas adalah cermin bagi pilihan yang harus diambil
oleh masing-masing pelakon dalam naskah drama ini. Tak ada yang dapat menghindar,
juga ketiga pelakon dalam naskah ini. Masing-masing telah menemukan jati dirinya
yang terbelah, tidak utuh lagi. Juga, mereka telah dapat membuka wajah orang-orang
yang sangat dekat dengan dirinya ternyata berbalikan dengan persangkaannya.
Jika kepercayaan itu telah dibangun begitu lama, maka dalam sekejab bangunan
itu telah dihancurkan. Pilihan (ketiga pelakon) itu telah mengelupas wajah lain dari
orang-orang yang sangat dikenalnya untuk menjadi asing. Adakah dalam setiap wajah
yang dikenal menyimpan wajah lain yang asing, bahkan menakutkan?

Jombang, Juli 2002

Daftar Rujukan
Busye, Motinggo
1995. Malam Jahanam. Jakarta: Pustaka Jaya.
1999. Dua Tengkorak Kepala. Yogyakarta: Bentang.
el Saadawi, Nawal
2001. Perempuan dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour.
2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Leclerc, Annie.
2000. Kalau Perempuan Angkat Bicara. Yogyakarta: Kanisius.
Mohamad, Goenawan.
1981. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Subiyantoro, Eko Bambang
2002. “Perempuan dan Perkawinan: Sebuah Pertarungan Eksistensi Diri”.
Dalam Jurnal Perempuan No. 22. Hal. 7 – 18.
Venny, Adriana
2002. “Perkawinan, Perangkap Bagi Perempuan”. Dalam Jurnal Perempuan
Nomor 22. Hal. 111 –125.

10

Anda mungkin juga menyukai