Anda di halaman 1dari 5

Analisis Hermeneutika dan Kehidupan Perempuan Indonesia di Masa Penjajahan

Jepang Dalam Novel Jugun Ianfu : Jangan Panggil Aku Miyako

Karya Enang Rokajat Asura

Choirul Imsa Hastuti (18201241034)

“Tulisan ini merupakan tulisan saya sendiri, bukan jiplakan atau dibuatkan orang lain.”

Novel Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako menceritakan tentang nasib
perempuan Indonesia saat masa penjajahan Jepang. Diceritakan dalam novel ini seorang
perempuan bernama Lasmirah yang dalam panggilan Jepang diberi nama Sakura. Ia
merupakan sosok perempuan kelas bawah yang berasal dari Suryotarunan. Saat itu, Lasmirah
dijanjikan oleh Zus Mer akan menjadi seorang penyanyi terkenal apabila Ia mau ikut ke
Borneo. Impian itu seketika sirna, berganti dengan penderitaan dan kepedihan yang panjang.
Di Borneo, Lasmirah tidak dijadikan seorang penyanyi seperti yang di janjikan oleh Zus
Mer. Lasmirah dan 23 perempuan lainnya yang datang dari Jawa di bawa ke kota Telawang.
Mereka ditempatkan di Asrama Telawang. Di tempat inilah mimpi buruk Lasmirah dan
perempuan-perempuan lain dimulai, begitu datang mereka langsung dipaksa untuk melayani
nafsu-nafsu budak tentara Jepang. Begitu pedih penderitaan Lasmirah yang masih berusia
belasan tahun dan harus menerima keberingasan dari para tentara Jepang yang ingin
melampiaskan nafsunya.

Dalam novel ini, diceritakan pula kisah cinta segitiga Lasmirah. Ia menemukan dua
orang pria yang mencintainya. Cinta pertama diperoleh dari seorang perwira menengah
angkatan darat Jepang bernama Yamada. Sosok Yamada memberikan kenyamanan dan
harapan keluar dari Asrama Telawang. Yamada meberikan janji untuk menikah dengan
Lasmirah dan hidup di Jepang ataupun di Jawa. Cinta kedua berasal dari seorang tentara
PETA bernama Pram yang tinggal bersama keluarga pemusik Sahilatua di sebelah barat
Asrama Telawang. Pram berjanji akan mengeluarkan Lasmirah dari Asrama Telawang.

Pada saat Jepang kalah perang tahun 1945, Lasmirah mencapai babak hidup baru.
Saat Amat Mangun meninggal dunia di tahun 1991, Lasmirah mulai bangkit dan mencari
keadilan. Lasmirah mencari teman-teman senasibnya untuk berjuang bersama melawan
Jepang. Saat itu Lasmirah dibantu oleh Pram agar bisa keluar dari Asrama Telawang. Namun
di akhir kisahnya, Lasmirah tidak mendapatkan kebahagian bersama Pram, seorang yang
sangat ia sayangi. Yamada akhirnya mengetahui bahwa hati Lasmirah bukan untuknya. Ia
merasa cemburu dan menembak mati Pram di depan mata Lasmirah. Namun beberapa saat
setelah Yamada menembak Pram, ia juga tertembak dari belakang oleh seorang prajurit tak
dikenal. Begitu pedih kisah kehidupan Lasmirah di dalam novel ini.

Novel Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako ditulis oleh Enang Rokajat Asura.
Dalam menulis novel ini, Enang Rokajat Asura tentunya telah melakukan sebuah riset secara
besar-besaran untuk menerbitkan sebuah karya klasik seperti novel ini. Enang Rokajat Asura
berhasil memadukan unsur sejarah dengan cerita romance dengan sangat baik hingga
pembaca akan takjub dengan cerita yang ada di dalam novel ini. Dalam dunia kesusastraan
Indonesia novel ini termasuk novel sejarah dan feminisme. Dimana di dalam novel ini
terdapat ketidaksetaraan gender tokoh perempuan Indonesia pada masa penjajahan Jepang
tahun 1942-1945. Perempuan Indonesia diperlakukan secara kejam, mereka mengalami
konflik lahir dan batin. Perempuan Indonesia telah ditipu dan dijadikan seorang jugun ianfu.
Hingga pada akhirnya tokoh Lasmirah berani memperjuangkan haknya bersama para wanita
lain yang senasib dengannya.
Istilah jugun ianfu memiliki arti perempuan penghibur. Dalam novel ini jugun ianfu
berarti seorang wanita yang menjadi budak nafsu para tentara Jepang saat menjajah
Indonesia. Para tentara Jepang memperlakukan perempuan Indonesia sebagai budak nafsunya
untuk menjaga stamina dan tetap bersemangat saat perang. Lasmirah merupakan tokoh utama
dalam novel ini yang berperan sebagai jugun ianfu di Asrama Telawang. Dalam novel ini
terdapat sebuah Prespektif gender atau ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender
merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban
dari sistem tersebut. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender
telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, baik kaum laki-laki dan terutama terhadap
kaum perempuan, Fakih, (2013:12).

Bila dilihat dari judul novel Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako, pada kata
Jangan Panggil Aku Miyako bermakna bahwa tokoh Lasmirah tidak ingin dipanggil Miyako.
Dimana panggilan “Miyako” merupakan nama panggilan para ransum Nippon kepada
Lasmirah. Dari judul novel tersebut sudah tergambarkan bagaimana feminisme mendominasi
cerita novel ini.

Dalam novel Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako ditemukan juga istilah
“Perempuan Ransum Nippon” Dalam kalimat diatas ditemukan sebuah majas
personifikasi,yaitu kata ransum. Kata ransum berarti makanan , namun dalam novel Jugun
Ianfu : JanganPanggil Aku Miyako karya E. Rokajat Asura perempuan diibaratkan sebagai
makanan para tentara Jepang. Hal tersebut membuat seolah-olah wanita menjadi santapan
bagi para tentara Jepang. Dalam novel ini, Lasmirah dan perempuan lainnya harus bekerja
sebagai ransum Nippon. Lasmirah tidak lebih dari boneka hidup yang siap digilir sesuka hati
tamu.Miyako dipaksa melayani nafsu seks tentara Jepang yang tingkah lakunya seperti
binatang. Dari cerita tersebut tersirat sebuah ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.
Menurut Fakih, (2013:12- 13) Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik, stereotype atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan, beban kerja. Berikut ini merupakan bentuk ketidakadilan gender yang ditemukan
dalam novel Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako.

“Miyako tersenyum getir. Betapa singkatnya kegiatan rutin yang harus dilalui. Dari
siang sampai pagi hari, menghadapi kegiatan yang sama terus menerus di tempat tidur,
diselingi libur sehari semalam pada tanggal 8 setiap bulan”. (Jugun Ianfu : 2015: 65)
Cuplikan diatas merupakan sebuah bukti adanya ketidakadilan gender berupa marginalisasi
pada masa penjajahan Jepang. Perempuan Indonesia menjadi korban eksploitasi kerja paksa
seks di masa Jepang dengan cara melayani para tentara Jepang dari siang sampai pagi hari
tanpa henti.

“Rasa nyeri dan perih menjalar di sekujur tubuh. Air mata masih juga
berjejal.Berderai tak usai. Padahal ia mengira air mata telah habis ketika tangan-tangan
kekar para lelaki biadab tadi menginjak dan mencabik tubuhnya”. (Jugun Ianfu: 2015: 11) .
Cuplikan tersebut bila dalam prespektif gender masuk ke dalam ketidakadilan yang berbentuk
kekerasan. Kekerasan yang terjadi pada tokoh Lasmirah yang menjadi budak nafsu para
tentra Jepang.

“Sakitnya itu di sini, Dik Las,” gumamnya kemudian setelah merasa tertipu oleh
Carik yang memaksanya berangkat ke Borneo.Ia menekan dadanya.” Cuplikan tersebut
bermakna ketidaksetaraan gender dalam bentuk beban kerja. Dimana para perempuan dipaksa
untuk bekerja memenuhi kebutuhan, namun pada akhirnya mereka hanya ditipu dan menjadi
budak nafsu para tentara Jepang.

“Ia akan berbuat apa saja entah kasar atau sebaliknya lemah lembut, ketika
menginginkan diri kita.Tubuh kita.Ia bisa mengobral kata cinta, tapi sebenarnya tujuannya
hanya satu, menginginkan lubang kemaluan kita!” (Jugun Ianfu: 2015: 69). Dalam cuplikan
tersebut, bermakna ketidaksetaraan gender yang digambarkan dengan perempuan yang
menjadi pemuas nafsu laki-laki.

Dari bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang ada dalam novel Jugun Ianfu: Jangan
Panggil Aku Miyako tersebut, tokoh Lasmirah tentunya mengalami pergolakan atau konflik
batin yang sangat mendalam. Konflik tentang masalah cinta segitiganya maupun konflik
tentang dirinya yang menjadi seorang budak nafsu tentara Jepang. Hingga pada akhirnya
tokoh Lasmirah berjuang demi kehidupannya yang lebih baik dan terbebas dari para tentara
Jepang yang hanya memperalat dirinya dan perempuan Indonesia lainnya sebagai pemuas
nafsu.

Dari adanya konflik yang semakin bergejolak dalam diri Lasmirah, akhirnya Ia
memberanikan diri dan mengajak teman-temannya yang senasib untuk berjuang
memberontak Jepang. Lasmirah mencari teman-teman senasibnya untuk berjuang bersama
melawan Jepang. Saat itu Lasmirah dibantu oleh Pram agar bisa keluar dari Asrama
Telawang. Namun yang Ia dapatkan hanyalah pilu, sebab Yamada mengetahui hal tersebut
kemudian menembak mati Pram di depan mata Lasmirah. Beberapa saat setelahnya, Yamada
juga mati ditembak pasukan yang tidak dikenal.

Dapat dibayangkan betapa tersiksanya tokoh Lasmirah pada saat itu. Hal tersebut
mungkin juga merupakan kisah yang dialami oleh beberapa perempuan Indonesia pada masa
penjajahan Jepang. Novel ini mengangkat kisah yang sangat inspiratif dengan latar belakang
sosial perempuan Indonesia di zaman penjajahan Jepang. Hal tersebut tentunya merupakan
sebuah cerita klasik yang mampu membawa pembaca hanyut dengan kejadian yang
merupakan sejarah kelam bangsa Indonesia saat itu. Meski di buku ini penulis lebih
menyajikan adegan tentang kesengsaraan dan kehormatan perempuan yang cenderung
dilecehkan, tapi dasarnya, bukan itu pesan yang coba disampaikan oleh penulis. Dari kisah
Lasmirah yang sangat pilu ini, kita diajarkan untuk lebih menghargai keberadaan perempuan
dan melindungi mereka. Entah itu secara jasmani atau pun rohani. Selain itu, dari novel ini
dapat diambil sebuah motivasi terutama bagi para perempuan di Indonesia untuk tetap terus
berjuang melawan penindasan.

DAFTAR PUSTAKA

Asura, Enang Rokajat. 2015. Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako. Depok: Edelweiss.

Fakih, Mansoer. 2013. Analisis Gender dan Transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai