• About
• RSS
GO
Hey there! Thanks for dropping by Peni Adji USD! Take a look around and grab the RSS
feed to stay updated. See you around!
• IKLAN
• KAJIAN DRAMA INDONESIA
I. Pengantar
Menurut Warren (Kramarae dan Treichler, 1985: 173-174) gender ber-hubungan dengan
perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksii sosial yang diwujudkan
dalam perbedaan peran dan sifat anatara laki-laki dan perempuan. Kemudian, perbedaan
peran dan sifat ini membentuk suatu budaya yang dianggap bersifat “alamiah” oleh
tatanan masyarakat. Selain itu, dalam Analisis Sosial (November 1996) gender juga
dijelaskan sebagai perbedaan tingkah laku antarjenis kelamin yang merupakan hasil
konstruksi masyarakat. Sifatnya bukan biologi dan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan
oleh masyarakat melalui sebuah proses sosial budaya yang panjang. Oleh karena itu,
gender berubah dari waktu ke waktu dari satu tempat ke tempat lain, bahkan antara kelas
yang satu dengan kelas yang lainnya.
Masalah gender muncul, bermula dari pandangan universal, yaitu bahwa kebudayaan
berusaha menguasai dan mengelola alam untuk keperluan manusia. Dalam hal ini, laki-
laki diidentifikasikan dengan kebudayaan dan perempuan diidentifikasikan dengan alam
yang dikuasai dan dikelola oleh alam karena kehidupannya dianggap dekat dengan proses
biologisnya, yaitu fungsi reproduksinya (Other via Moore, 1988:13). Bermula dari
padangan tersebut perempuan secara stereotip dinilai mewarisis sifat-sifat feminine, yaitu
emosional, pasif, inferior, bergantung, lembut, dan perannya dibatasi pada bidang
keluarga; sedangkan laki-laki dinilai mewarisis sifat-sifat masculine, yaitu rasional, aktif,
superior, berkuasa, keras, dan menguasai peran dalam masyarakat (Moore, 1988:14 dan
Budiman, 1985:1).
Dalam tulisan ini akan dilihat bagaimana gender perempuan dalam tradisi penulisan
drama di Indonesia, maupun gender yang tercermin dalam drama itu sendiri, serta gender
perempuan dalam tradisi pementasan drama.
Dalam sejarah penulisan drama sebagai genre sastra Indonesia modern (menurut Teeuw
yang yang diawali tahun 20-an) selalu didominasi oleh laki-laki. Mereka adalah Rustam
Effendi , Sanusi Pane, Armijn Pane, Usmar Ismail, El Hakim, Utuy Tatang Sontani,
Motinggo Busje, B. Soelarto, Putu Wijaya, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Rendra,
Riantiarno , dan Wisran Hadi. Baru pada tahun 1990-an, muncul penulis drama
perempuan, Ratna Sarumpaet dengan drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah.
Hal ini agak berbeda jika dibandingkan dengan perkembangan penulisan prosa.
Perempuan sudah mulai berkarya tahun 1930-an akhir; mereka adalah Hamidah, Arti
Purbani, Selasih, dan Rukiyah. Kemudian, tahun 1950-an muncul N.H. Dini yang sampai
tahuan 90-an masih produktif. Pada tahun 90-an seiring dengan maraknya sastra populer
banyak pengarang perempuan muncul dan mereka cukup produktif. Pada tahun 1990-an
muncul Ayu Utami yang menggemparkan; dan tahun 2000 muncul Dewi, Okka Rusmini,
dan beberapa nama yang menulis karya sastra chiklist.
Tentu, selain karena hakikat antara drama dan prosa yang berbeda (drama ditulis untuk
dipentaskan sementara prosa untuk dibaca) Juga ada hal lain yang menyebabkan adanya
perbedaan tradisi penulisan ini. Untuk menulis prosa, orang “cukup” dengan berbekalkan
banyak membaca (termasuk karya sastra) dan peka akan kehidupan. Hal yang dapat
dilakukan di dalam batas bangunan rumah tangga (domestik). Sementara itu, untuk
menulis drama, selain dibutuhkan bekal yang sama untuk menulis prosa, juga dibutuhkan
bekal pengalaman langsung menonton pementasan dan juga terlibat dalam pementasan.
Suatu hal yang harus dilakukan di luar rumah (publik). Hal yang tidak mudah dilakukan
oleh perempuan karena selama itu ruang lingkupnya dibatasi dalam bidang domestik.
Hanya satu naskah dramanya yang diterbitkan, yaitu Marsinah, Nyanyian dari Bawah
Tanah (1994). Terdapat beberapa naskah yang ia buat dan dipentaskan, tetapi tidak
diterbitkan. Berturut-turut adalah Terpasung (Pemerkosaan itu ….) tahun 1996: masih
berkaitan dengan kasus Marsinah buruh perempuan di Sidoarjo; Pesta Terakhir :
Marsinah Menggugat (Monolog), dan Sang Raja ; yang ketiganya ini dibuat tahun 1997.
Kritik-kritik kerasnya dalam dramanya itu menyebabkan ia ditahan pada masa Orde Baru.
Pada tahun 1999/2000 dia mementaskan Aulia, kritik tentang kasus Aceh.
Tahun 2000-an Riris Sarumpaet menulis drama berjudul Cairan Vagina. Naskah ini
beberapa kali dipentaskan, tetapi naskah drama ini tidak diterbitkan. Perempuan dan
politik adalah tema-tema utama yang tampak pada karya-karya kedua pengarang
perempuan di atas.
Drama yang mengangkat permasalahan sosial masyarakat sezaman mulai terlihat pada
masa Jepang. Adapun naskah drama yang secara tematik menyingggung permasalahan
perempuan, yaitu Kami Perempuan karya Armijn Pane yang terbit tahun 1943; Tjitra
karya Usmar Ismail yang terbit tahun 1943;Dewi Reni karya El Hakim yang terbit tahun
1944; serta , Djinak-Djinak Merpati Karya Armin Pane yang terbit tahun 1945.
Karena diciptakan pada masa Jepang, secara sekilas karya-karya tersebut sangat kental
unsur propaganda Jepang. Adapun permasalahan perempuan yang diangkat masih
berkisar masalah pemilihan cinta kepada lawan jenis. Misalnya, Sri dalam Kami
Perempuan yang memutuskan pertunangannya pada Supono karena tidak menjadi tentara
Peta. Setelah diakhir cerita diketahui bahwa tunangannya itu secara diam-diam
mendaftarkan diri menjadi tentara Peta, ia kembali mencintainya. Tjitra dan Dewi Reni
juga berkaitan dengan pemilihan cinta yang dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki.
Cerita dalam drama itu diakhiri bahwa tokoh perempuan akhirnya menjatuhkan pilihan
pada laki-laki yang tidak ekspresif dalam menyatakan cintanya, tetapi mempunyai hati
yang teguh, bijaksana, dan , ternyata tulus dalam mencintai. Sementara dalam Jinak-
Jinak Merpati digambarkan adanya tokoh gadis yang selalu menggoda suami orang.
Suatu ketika ia benar-benar jatuh hati kepada pemuda yang berhati teguh, yang ternyata
adalah tunangan sahabatnya. Akhirnya, ia memilih pemuda pelaut yang sedari dulu selalu
mencintainya.
Pada periode tahun 1950-an, muncul karya-karya Utuy Tatang Sontani. Karya-karya
Utuy oleh Sumardjo (1992) dikategorikan sebagi karya psikologis. Dua karyanya yang
memikat adalah Awal dan Mira dan Di Langit ada Bintang Dua karya ini berisi kritikan
tehadap sikap kemunafikan manusia. Drama Awal dan Mira mengangkat tokoh
perempuan bernama Mira yang cacat kakinya dan sehari-hari bekerja dengan membuka
kedai kopi. Ia selalu melayani para tamu dari balik deretan dagangannya. Dengan begitu,
ia tidak pernah menampakkan kecacatan kakinya. Yang tampak adalah kecantikannya
dan keramahannya melayani. Ia adalah saksi kemunafikan berbagai tamu yang
berkunjung di kedainya, sekaligus menjadi korban kata-kata iseng yang dilontarkan oleh
para tamunya. Hanya ada seorang lelaki yang serius, baik hati, dan tampak gembel.
Lelaki ini dapat mengubah Mira untuk menerima kecacatannya. Dan mereka saling
mencintai.
Drama Di Langit ada Bintang mengisahkan tokoh Marlina (perempuan kampung) yang
mengusir suaminya karena masalah gaji yang tak mencukupi untuk hidup sedikit mewah.
Ia berhubungan dengan Tuan Hamdan (seorang pejabat), dan berharap untuk dijadikan
istri kedua. Tampaknya gaya hidup mempunyai beberapa istri memang mewabah di
kalangan para pejabat. Melihat perilaku suaminya, istri Tuan Hamdan yang terdidik itu,
justru menjadi masa bodoh, dingin, dan egois. Ia tidak mau uring-uringan untuk bersaing
dengan Marlina yang berbeda kelas dengannya. Bibi Marlina hadir untuk menasihati,
agar Marlina kembali kepada suaminya karena mereka masih saling mencinta. Namun,
Marlina menolak dengan alasan hidup tidak cukup dengan cinta. Cerita berakhir dengan
mengambang, semua tokoh tidak berhasil meraih impian mereka.
Dari karya-karya tersebut sudah mulai terlihat bahwa permasalahan perempuan adalah
segmented . Terlihat adanya perempuan yang tidak lagi sekedar berkecipung dengan
masalah-masalah cinta (personal, domestik). Perempuan sudah berperan dalam bidang
publik untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, meskipun peran itu masih berkarakteristik
perempuan, yaitu melayani. Di sisi lain, terlihat perempuan yang hedonis; mencari
kesenangan duniawi dengan meninggalkan suami dan mengacuhkan nasihat bibi, seorang
perempuan yang bijaksana. Terdapat juga perempuan terdidik kelas atas, yang justru
menjadi egois, masa bodoh, dan dingin; ketika merasa tersaingi dalam masalah cinta
dengan perempuan yang dianggapnya berkelas rendah.
Mulai tahun 60-an naskah drama di Indonesia berkembang dengan beraneka ragam.
Drama konvensional tetap bermunculan, dan di sisi lain mulai marak drama absurd
(dengan filsafat eksistensialismenya). Termasuk yang konvensional adalah Bila Malam
Bertambah Malam karya Putu Wijaya dan Malam Pengantin di Bukit Kera karya
Motinggo Busje. Bila Malam Bertambah Malam mengangkat tokoh perempuan kelas
atas, Gusti Biang, yang sering marah kepada abdinya yang laki-laki. Ia sering
membanggakan keperkasaan suaminya (baik sebagai orang yang berkasta tinggi, maupun
sebagai pejuang). Namun, ternyata Gusti Biang mempunyai aib di masa lalu yang selalu
ia tutupi. Masalah mempertahankan gambaran kesempurnaan suaminya sebagai laki-laki
dan hasrat kodratinya untuk memiliki keturunan, menyebabkan ia mau ditiduri laki-laki
lain. Laki-laki itu kemudian menjadi abdinya. Untuk menutupi semuanya itu, ia berlaku
kasar dan menguasai abdinya itu.
Drama monolog Prita Istri Kita karya Arifin C. Noor (1960) men-ceritakan konflik
tokoh aku yang perempuan. Dia menyesal menikah dengan suaminya yang adalah
seorang guru (miskin). Dia mengeluh tentang tekanan ekonomi dan kesederhanaann
hidupnya. Marah dengan ketidakmampuannya bersenang-senang karena gaji suaminya
yang sedikit. Dia membayangkan menikah dengan orang lain yang kaya, yang dapat
membebaskannya dari kemiskinan. Sekali-lagi drama ini masih mengangkat
permasalahan keluarga dalam lingkup domestik. Dan hal ini mungkin suatu stereotip
perempuan yang biasanya ditangkap oleh laki-laki.
Menarik untuk menyimak drama Iwan Simatupang yang berjudul Petang di Taman
(1966) yang dikategorikan sebagai drama absurd. Dari empat tokoh penting terdapat satu
tokoh perempuan. Semua tokoh ini datang ke taman membawa permasalahan eksistensi
mereka masing-masing. Yang lebih menarik lagi, bahwa tokoh perempuan itu marah
ketika disapa dengan sebutan “Nyonya”. Suatu sebutan yang sifatnya bias gender karena
keberadaannya sangat ditentukan oleh laki-laki (suami). Misalnya untuk mengacu diri
perempuan digunakan istilah Nyonya Sutanto atau Nyonya Broto, bukan nama
perempuan itu sendiri. Kedirian perempuan itu lebur dalam eksistensi suaminya.
Sebaliknya, ketika dipanggil dengan sebutan Ibu, tokoh perempuan itu menjadi tenang.
Suatu sebutan yang sifatnya netral, tidak bias gender karena mengacu pada kedirian yang
sifatnya kodrati.
Kembali menyinggung drama Ratna Sarumpaet yang berjudul Marsinah Nyanyian dari
Bawah Tanah. Drama ini menceritakan perjuangan TOKOH perempuan ketika ia sudah
mati. Namun, masih terlihat adanya latar belakang kejadian yang menimpa tokoh itu
ketika ia hidupdi dunia. Selama hidup, Tokoh ini bekerja sebagai buruh yang berarti
adalah kelas bawah. Dalam drama itu digambarkan bahwa Tokoh tidak hanya “ditindas”
oleh kelas atas (penguasa dalam sistem kapitalisme), tetapi juga “ditindas” oleh sistem
patriarki. Tokoh perempuan ini tidak mampu menyuarakan hati nuraninya ketika ia
hidup. Ia mampu menyuarakan suaranya ketika sudah mati. Dengan kata lain, ia
mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menyuarakan ketertindasannya selamam
hidup di dunia, justru setelah ia hidup dalam dunia kematian.
IV. Penutup
Ada beberapa nama yang be-rkaitan dengan pementasan drama (atau yang lebih dikenal
dengan teater. Tidak begitu banyak, hal ini bisa dikembangkan dalam diskusi). Terdapat
beberapa artis yang dicatat sebagai aktris terbaik versi Dewan Kesenian Jakarta. Mereka
adalah Sri Suhita (1977), Reni Jayusman (1979), dan Neno Warisman (1981). Selain
nama-nama itu juga dikenal Ken Juraida, Ratna Majid, dan saya sebut lagi Ratna
Sarumpaet.
Reni Jayusman sampai sekarang masih berkecipung dalam dunia teater (dengan diwarnai
kehidupan pribadi yang jatuh bangun). Ken Juraida membantu pementasan suaminya,
Rendra. Ratna Madjid dahulu adalah artis, kini banyak bekerja sebagai manajer Teater
Koma yang saat ini dipimpin oleh suaminya N. Riantiarno. Peran Ken dan Ratna dalam
dunia publik, yaitu teater berkaitan erat dengan suaminya. Terdapat bias ketimpangan
gender.
Setelah berjilbab, Neno Warisman tidak banyak lagi berteater. Mengapa? Adakah
pertentangan antara ketaatan beribadah dengan dunia teater? Bisa jadi. Sri Suhita
namanya tidak lagi dikenal. Dulu dia adalah guru STM, tetapi karena kemampuannya
berakting dia ditarik menjadi dosen di IKIP Jakarta yang kini adalah UNJ. Konon, setelah
berkeluarga dia tidak lagi berkecipung dalam teater. Keteaterannya yang masih tersisa
sekedar berkaitan dengan pengajaran. Alasannya, dia menginginkan “kebersihan dalam
rumah tangga”nya. Ironis? Mungkin. Dalam banyak hal perempuan harus memilih.
DAFTAR PUSTAKA
Heraty, Toety. 1998/1999. “Perempuan dan Hak Asasi Manusia” dalam Jurnal
Perempuan. Ed.9. November 1998-Januari 1999.
Pandora.
Noor, Arifin C. 1977. Prita Istri Kita. dalam Ajib Rosidi Laut Biru Langit Biru.
Bentang.
Tan, Mely G. (ed). 1991. Perempuan Indoneisa Pemimpin Masa Depan? Jakarta:
Sinar Harapan.
Wijaya, Putu. 1971. Bila Malam Bertambah Malam. Jakarta : Pustaka Jaya.
[1] Hal ini terlihat (1) secara resmi ide tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan sudah diimplementasikan melalui UU RI No. 7 tahun 1984, (2)
adanya peningkatan peran dan kedudukan perempuan di berbagai sektor kemasyarakatan
(laporan Pemerintah RI bersama Unicef, januari 1989, (3) kiprah dan kesempatan kerja
serta kemampuan mengungkapkan pendapat perempuan kelas atas di Indonesia dapat
sejajar dengan laki-laki (Tan, 1991).
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Name *
Email *
Website
Comment
You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr
title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code>
<pre> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>
Post Comment
Recent entries
o SILABUS PEMBUATAN IKLAN
o 1. ASPEK NASKAH
o 2. SUTRADARA
o 3. ASPEK PEMAIN
o 4. ASPEK PEMENTASAN
o GENDER DALAM DRAMA INDONESIA
o SILABUS KAJIAN DRAMA INDONESIA
Browse popular tags
Pages
o About
Monthly archives
o December 2010
http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN%20LUAR
%20SEKOLAH/196111091987031%20-%20MUSTOFA%20KAMIL/Bhaan
%20kuliah/ANALISIS%20GENDER%20DAN%20RENCANA%20AKSI%20DALAM
%20PEMBANGUNAN%20PENDIDIKAN.pdf
http://www.zef.de/module/register/media/e0ad_Kerangka%20Analisis
%20Perencanaan%20Gender-Jonatan%20Hivos.doc
Kerangka Analisis Perencanaan Gender (Gender Planning Frameworks)1
Jonatan A. Lassa2
Sudah banyak kritik bahwa gender planning dalam kerja-kerja rekonstruksi di Aceh
merupakan hal yang mendapatkan perhatian kurang. Kritik ini tidak selalu ditanggapi
secara serius karena memang sudah banyak lembaga mencoba untuk melakukan pengarus
utamaan gender dalam level proyek dan program mereka, berdasarkan gender analisis
versi tiap lembaga. Di samping itu, ada ratusan alat gender analisis dan gender planning.
Mana yang terbaik?
Tentu pula, sudah banyak training berjudul “gender training” level dasar yang diberikan
dari dan untuk pegiat kemanusian terutama LSM/NGOs/CSOs. Namun tidak banyak
training bagaimana melakukan pengarusutamaan gender dalam proyek dan program.
Langkah pertama pengarus utamaan gender adalah gender analisis (WHO, 2002: 2).
Bukan hal yang mudah bila sebuah lembaga atau staf pekerja kemanusiaan untuk
rekonstruksi tidak memiliki alat analisis gender planning yang baik. Oleh karena itu,
ringkasan alat analisis gender ini ditulis secara sederhana dalam bahasa Indonesia dan
ditujukan lebih pada para perencana proyek dan program pada level komunitas (mikro),
maupun makro.
1
Paper ini ditujukan tidak terbatas pada mitra-mitra Hivos, tetapi bagi semua pihak yang merasa
membutuhkan untuk mengarusutamakan Gender dalam perencanaan proyek-proyek rehabilitasi di Aceh.
Paper ini disarikan dari berbagai sumber-sumber berbahasa Inggris yang dipakai Penulis yakni: 1. March,
Smuth and Mukhopahyay (1999) A Guide to Gender Analysis Frameworks, Oxford: Oxfam. 2. March C. A
Tool Kit: Concepts and Frameworks for Gender Analysis and Planning. Oxford, oxfam uk/Ireland, 1996. 3.
Bahan Kulian Gender & Rural Livelihood, Fall Term 2004, The University of East Anglia, UK.
2
Saat ini bekerja sebagai Coordinator Program, HIVOS.
terjebak dalam berpikir secara “mengisi matrix” semata dan terkotak-kotak, tetapi
memberikan dasar-dasar analisis gender.
Di samping itu, kegunaan lain adalah bisa dijadikan dasar kebijakan gender (gender
policy) pada institusi-institusi seperti masyarakat sipil, LSM, CBOs, NGOs, BRA,
pemerintahan dan sebagainya. Umumnya, kerangka analisis gender yang berbeda
digunakan untuk saling melengkapi demi menjawabi kebutuhan kebijakan lembaga dan
pembangunan kembali masyarakat Aceh.
Ada banyak model yang sering digunakan tetapi yang akan diperkenalkan di sini adalah 4
jenis alat analisis yang berbeda satu sama lain, yakni Kerangka Harvard, Moser,
Longway dan Kerangka Relasi Sosialnya Naila Kabeer.3
Kerangka analisis gender Harvard lebih concern dengan membuat pembagian kerja
gender (division of labour), peran dalam pengambilan keputusan, tingkat control atas
sumberdaya yang kelihatan.
Sebagai konsep dan alat, ini dibutuhkan data detail bagi perencanaan gender. Implikasi
perencanaan program terhadap gender perempuan adalah diperlukan analisis yang
menutupi bolong (gaps) pada level beban kerja, pengambilan keputusan dsb antara
perempuan dan laki-laki.
Catatan: Parameter lainnya perlu juga dilihat namun bergantung dari konteks:
• Gender dan dominasi umur: indetifikasi yang lebih jelas soal perempuan dewasa,
laki-laki dewasa, anak-anak, dan/atau orang tua yang melakukan aktifitas tertentu
• Alokasi waktu: perlu dihitung prosentasi alokasi waktu untuk tiap aktifitas dan
apakah dilakukan secara harian atau kadang-kadang?
• Lokus aktifitas: perlu dilihat secara jeli di mana suatu kegiatan dilakukan supaya bisa
melihat peta mobilitas penduduk.
Tabel 2. Profil Akses dan Kontrol atas sumber daya dan benefit
Akses Kontrol
Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki
Sumber daya
• Tanah
• Alat produksi
• Tenaga kerja
• Cash/uang
• Pendidikan
• Pelatihan
• Tabungan
• Dll
Benefit
• Aset kepemilikan
• Non pendapatan
• Kebutuhan dasar
• Pendidikan
• Kekuasaan politis
• dll
Tabel 3. Faktor saling pengaruh antara “profil aktifitas” dan “profil akses dan kontrol”.
Faktor Pengaruh Hambatan (constraints) Kesempatan (opportunities)
Norma-norma dan hierarki
sosial
Faktor demografi
Struktur kelembagaan
Faktor ekonomi
Faktor politik
Parameter hukum
Training
Sikap komunitas terhadap
pihak luar spt LSM?
Dll
Keterbatasan:
• Tidak ada fokus pada dinamika relasi kuasa dan kesenjangan (inequality)
• Tidak efektif untuk sumberdaya yang tidak kasat mata seperti jaringan sosial dan
sosial kapital
• Terlalu menyederhanakan relasi gender yang kompleks, kehilangan aspek negosiasi,
tawar-menawar dan pembagian peran.
Dalam assessment proyek, kerangka Longwe bisa diturunkan menjadi dua alat:
Asumsi dasar dibalik alat ini adalah bahwa titik tercapainya kesederajatan (equality)
antara perempuan dan laki-laki mengindikasikan level pemberdayaan perempuan.
Ada lima level dalam aras kesederajatan dan pemberdayaan yang perlu dicermati:
Bentuk ini, menurut saya, seolah mengikuti alur pikirnya Abraham Maslow tentang
teori hierarki of human needs, dengan meletakan kebutuhan dasar-praktikal pada titik
yang paling bawah dan kebutuhan ”aktualisasi diri” sebagai kebutuhan tertinggi
diterjemahkan sebagai ”kontrol dan decision making”. Tentunya, ilustrasi ini
memiliki kelemahan dan terkesan dipaksakan.
Partisipasi
Kesadaran Kritis
(conscienticicao)
Akses
2. Isu Spesifik Perempuan – dengan tujuan pada pengenalan akan kebutuhan spesifik
perempuan.
Asumsi utamanya adalah bahwa semua isu perempuan berkaitan dengan equality
dalm peran sosial dan ekonomis. Tiga level pengenalan atas isu perempuan di dalam
proyek adalah NEGATIF, NETRAL & POSITIF.
Kerangka “relasi social” ini awalnya dikemukakan oleh Naila Kabeer yang sebelumnya
adalah pengajar pada Institute of Development Studies, Sussex, UK. (Lihat Reversed
Realities: Gender Hierarchies in Development, Verso, 1994).
Kerangka ini didasarkan pad aide bahwa tujuan pembangunan adalah pada kesejahteraan
manusia (human well-being), yang terdiri atas survival, security dan otonomi. Produksi
dilihat bukan hanya relasinya terhadap pasar, tetapi juga reproduksi tenaga kerja,
kegiatan subsistent, dan kepedulian lingkungan hidup.
Kemiskinan dilihat sebagai relasi social yang tidak seimbang, yang dihasilkan oleh
ketidak seimbangan distrubusi sumber daya, klaim, dan tanggun jawab. Relasi gender
adalah salah satu tipe relasi social. Relasi social bukanlah sesuatu yang kaku dan kekal.
Mereka dapat dan berubah melalui faktor-faktor seperti perubahan makro atau agen
manusia. Relasi social termasuk sumber daya yang dimiliki orang. Perempuan miskin
kerap dikeluarkan dari akses dan kempemilikan atas sumber daya dan bergantung pada
hubungan patron dan ketergantungan. Pembangunan dapat menolong si miskin untuk
membangun solidaritas, reciprocity and otomomi dalam akses terhadap sumber daya
Kelembagaaan menjamin produksi, memperkuat dan reproduksi relasi social, dank arena
itu perbedaan social dan kesenjangan. Ketimpangan gender di reproduksi bukan hanay di
level KK, tapi melalui sekelompok kelembaggaan termasuk komunitas internasional,
negara dan pasar. Kelembagaan didefinisikan sebagai kerangka yang nyata atas aturan
main organsasi sebagai bentuk structural khusus
Oleh karena itu analisis gender mengandung pengertian atau pemahaman untuk melihat
pada bagaimana kelembagaan menciptakan dan mereproduksi ketidak seimbangan dan
ketimpangan. Ada empat ranah kelembaggan utama yakni negara, pasar, komunitas dan
keluarga.
Table 7. Ranah Kelembagaan
Ranah Kelembagaan Bentuk organisasi/struktur
Negara Lembaga hukum, administrasi, militer, GAM dsb
Pasar Perusaan, tukang kredit, industri pertanian, multi nasionanl
dsb.,
Komunitas Lembaga nonformal gampong, organisasi desa, PKK,
jaringan informal, relasi patron-client, NGOs, panglima
Laot dsb.
Keluarga-kekerabatan Rumah tangga, garis keturunan, keluarga household,
extended families, lineage groupings
Lima dimensi relasi social kelembagaan yang relevan dengan gender analisis:
• Aturan (Rules), atau bagaimana aturan main yang terjadi; apakah memperkuat
atau menghambat? Aturan tertulis atau tidak (informal)
• Aktifitas (Activities), yakni siapa melakukan apa, siapa mendapatkan apa, siapa
berhak mengklaim atas apa. Aktifitas bisa saja yang bersifat produktif, regulative,
dan distributive.
• Sumber daya, yakni yang yang digunakan, apa yang diproduksikan, termasuk
input sdm (tenaga kerja, pendidikan), material (pangan, capital aset, dan
sebagainya), ataupun yang tidak kelihatan seperti kehendak baik, informasi dan
jaringan.
• Orang (People), yakni siapa yang terlibat, siapa yang pergi, siapa melakukan apa?
Kelembagaan relative selektif dalam masukan atau mengeluarkan orang,
menugaskan mereka pada sumber daya dan tanggung jawab, memposisikan
mereka dalam hierarkis dsb.
• Kekuatan (Power), yakni siapa mengontrol, memutuskan dan kepentingan siapa
yang dilayani.
Kerangka analisisi relasi social menekankan pada akar masalah ketimpangan gender
dengan memetakan secara jelas apa sebab langsung (immediate), faktor kontributif
(underlying) dan yang bersifat structural.
Lihat table 7.
Table 7.
Analisis Akar Masalah Gender – Pada Berbagai Aras
Kelemahan
• Karena lebih kompleks, analisis gender jadi bisa tenggelam dalam konteks yang lebih
luas.
V. Selected Referensi
WHO (2002) Gender Gender analysis in health: A Review of Selected Tools.
March C. (1996) A Tool Kit: Concepts and Frameworks for Gender Analysis and
Planning. Oxford, oxfam uk/Ireland, 1996.
Miller C. and Razavi S (1998) Gender Analysis: Alternative Paradigms. UNDP Website
http://www.undp.org/gender
Sumber-sumber di Internet:
Eldis
http://www.eldis.org/gender
Bridge
http://www.ids.ac.uk/bridge/index.html
Genie
http://www.genie.ids.ac.uk/
Siyanda
http://www.siyanda.org/
UNDP
http://www.undp.org/gender
ILO
http://www.ilo.org/public/english/region/asro/mdtmanila/training/unit1/socrelfw.htm
DFID GEM
http://www.genie.ids.ac.uk/gem
Silakan dibaca:
Pesan pribadi
dari Lilaroja, penulis di Wikipedia
Baca Sekarang
Gender (sosial)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari Gender, lihat Gender (disambiguasi).
Gender (cara pengucapan: [gènder]) dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri
khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran
sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai
"seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan
perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat."[1]
Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang
bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling
dipertukarkan. Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain
adalah genus) bagi pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak
bahasa, yang terkenal dari rumpun bahasa Indo-Eropa (contohnya bahasa Spanyol) dan
Afroasiatik (seperti bahasa Arab), mengenal kata benda "maskulin" dan "feminin"
(beberapa juga mengenal kata benda "netral").
Dalam isu LGBT, gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa
identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya
"intergender", seperti dalam kasus waria.
Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat,
sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang
dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya
lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-
budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.
[sunting] Rujukan
1. ^ What do we mean by "sex" and "gender"?. World Health Organization. Diakses pada
29 September 2009.
Artikel bertopik sosiologi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
Wikipedia dengan mengembangkannya.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(sosial)"
Kategori: Sosiologi
Kategori tersembunyi: Rintisan bertopik sosiologi
Peralatan pribadi
Ruang nama
• Halaman
• Pembicaraan
Varian
Tampilan
• Baca
• Sunting
• Versi terdahulu
Tindakan
• ↑
Cari
Navigasi
• Halaman Utama
• Perubahan terbaru
• Peristiwa terkini
• Halaman sembarang
Komunitas
• Warung Kopi
• Portal komunitas
• Bantuan
Wikipedia
• Tentang Wikipedia
• Pancapilar
• Kebijakan
• Menyumbang
Cetak/ekspor
• Buat buku
• Unduh sebagai PDF
• Versi cetak
Kotak peralatan
• Pranala balik
• Perubahan terkait
• Halaman istimewa
• Pranala permanen
• Kutip halaman ini
Bahasa lain
• العربية
• Azərbaycanca
• Català
• Česky
• Deutsch
• English
• Esperanto
• Español
• فارسی
• Suomi
• Français
• 贛語
• עברית
• Ido
• Íslenska
• Italiano
• 日本語
• 한국어
• Македонски
• Bahasa Melayu
• नेपाल भाषा
• Norsk (nynorsk)
• Norsk (bokmål)
• Polski
• Português
• Русский
• Srpskohrvatski / Српскохрватски
• Simple English
• Slovenčina
• Svenska
• தமிழ்
• ไทย
• Tagalog
• Türkçe
• Українська
• Winaray
• יִידיש
• 中文
• Kebijakan privasi
• Tentang Wikipedia
• Penyangkalan