0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
27 tayangan11 halaman
Feminisme erat kaitannya dengan gerakan politik yang memperjuangkan kesetaraan hak. Feminisme menyangkut bagaimana memposisikan subjek perempuan di dalam masyarakat. Selama ini perempuan telah diposisikan inferior di dalam masyarakat. Perempuan dianggap sebagai The Other yang relasinya selalu menunggu untuk didefinisi dan dimaknai. Identitas perempuan selalu dilekatkan oleh konstruksi sosial. Begitu pula di dalam konsep modern, perempuan selalu menjadi subjek yang berlawanan dengan subjek pria.
Judul Asli
Analisis Teori Komunikasi Gender pada Film 112 Years A slave
Feminisme erat kaitannya dengan gerakan politik yang memperjuangkan kesetaraan hak. Feminisme menyangkut bagaimana memposisikan subjek perempuan di dalam masyarakat. Selama ini perempuan telah diposisikan inferior di dalam masyarakat. Perempuan dianggap sebagai The Other yang relasinya selalu menunggu untuk didefinisi dan dimaknai. Identitas perempuan selalu dilekatkan oleh konstruksi sosial. Begitu pula di dalam konsep modern, perempuan selalu menjadi subjek yang berlawanan dengan subjek pria.
Feminisme erat kaitannya dengan gerakan politik yang memperjuangkan kesetaraan hak. Feminisme menyangkut bagaimana memposisikan subjek perempuan di dalam masyarakat. Selama ini perempuan telah diposisikan inferior di dalam masyarakat. Perempuan dianggap sebagai The Other yang relasinya selalu menunggu untuk didefinisi dan dimaknai. Identitas perempuan selalu dilekatkan oleh konstruksi sosial. Begitu pula di dalam konsep modern, perempuan selalu menjadi subjek yang berlawanan dengan subjek pria.
14030113120015 LATAR BELAKANG Feminisme erat kaitannya dengan gerakan politik yang memperjuangkan kesetaraan hak. Feminisme menyangkut bagaimana memposisikan subjek perempuan di dalam masyarakat. Selama ini perempuan telah diposisikan inferior di dalam masyarakat. Perempuan dianggap sebagai The Other yang relasinya selalu menunggu untuk didefinisi dan dimaknai. Identitas perempuan selalu dilekatkan oleh konstruksi sosial. Begitu pula di dalam konsep modern, perempuan selalu menjadi subjek yang berlawanan dengan subjek laki-laki. Asumsi perempuan sebagai the other ditunjukkan ketika perempuan dianggap tidak berasio dan dibatasi aksesnya terhadap hak politik di ruang publik. Hal ini yang menyebabkan dibentuknya gerakan perempuan untuk kesetaraan hak politik, pendidikan dan ekonomi. Di sini pula dimulainya penyebaran kesadaran pembebasan perempuan. Pada tahun 1800-an, perempuan mengikuti Konvensi Anti Perbudakan di London, namun tidak seorang perempuan pun yang diijinkan memberi suara atau pendapat. Menurut James, penyebab perbudakan berlawanan dengan asumsi yang dianut banyak orang, karena perbudakan memang tidak disebabkan oleh rasisme, tetapi dalam film 12 Years a Slave sekilas terlihat rasisme dan seksime yang menjadi penyebab terjadinya sistem perbudakan. Film 12 Years a Slave merupakan sebuah film yang memiliki pesan – pesan menakutkan sekaligus memilukan tentang kekejaman dan segala hal yang bersifat buruk yang meliputi tentang sistem perbudakan yang terjadi di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1800-an. Selain system perbudakan film ini juga menampilkan banyak opresi yang dialami oleh kaum permpuan, dimana perempuan menempati posisi inferior yang mengakibatkan terjadinya opresi terhadap mereka. Perempuan hidup di dalam dunia laki-laki, tempat di mana perempuan tidak berpartisipasi di dalamnya. Ekstitensi perempuan di dalam dunia laki-laki selalu diidentifikasikan dengan menjalani kehidupannya di dalam rumah dan bergantung pada eksistensi laki-laki. Hal ini merupakan pandangan patriarki terhadap perempuan dan mereka telah membuat perempuan memercayai hal tersebut. KILAS FILM
Diangkat dari kisah nyata, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor)
merupakan satu dari beberapa penduduk kota New York berkulit hitam yang memperoleh kebebasan penuh dan berpendidikan. Sementara orang berkulit hitam lainnya pada masa itu, mayoritas diperlakukan sebagai budak dan bisa diperjual belikan oleh orang berkulit putih. Berlatarkan tahun 1841, hidup Solomon yang semula bahagia bersama istri dan keduaanaknya seketika berubah setelah dia bertemu Hamilton (Taran Killam) dan Brown (ScootMcNairy), dua orang berkulit putih yang mengaku pengusaha sirkus. Mereka berpura-pura menawarinya pekerjaan mengingat kemampuan Solomon yang mumpuni dalam bermain biola. Diimingi bayaran yang sangat besar, Solomon akhirnya menerima tawaran tersebut. Kenyataannya, Solomon justru diculik dan dijual sebagai budak ke New Orleans. Dia pundipaksa mengubah jati dirinya menjadi Platt, buronan asal Georgia. Semula dia menolak dan berpegang teguh pada pendiriannya untuk bisa bebas. Namun demi mempertahankan hidup dan keinginan untuk kembali pada keluarga, menerima semuanya adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki saat itu. Selain menceritakan kehidupan Solomon, film ini juga menceritakan mengenai kejamnya perbudakan yang dialami oleh kaum kulit hitam. Dimana Pembentukan koloni-koloni Inggris membutuhkan para budak untuk mengerjakan ladang-ladang. Dalam analisis film ini penulis membatasi analisis pada tokoh wanita untuk melihat banyaknya opresi yang didapat oleh kaum wanita pada film ini dan gambaran-gambaran buruk yang didapat oleh wanita kaum kulit hitam saat menadi budak. Dalam analisis ini penulis mengggunakan teori black feminism serta subalternity untuk mendeskripskan unsur-unsur feminisme dalam naskah film ini tentang gambaran buruk yang dialami oleh kaum wanita pada abad ke-18.Rumusan masalah dalam analisa ini adalah bagaimana gambaran-gambaran buruk mengenai pengalaman wanita kulit hitam maupun kulit putih. Hasil dari analisis ini adalah terdapat dua gambaran buruk seorang budak dan majikan wanita yang terdeskripsikan lewat studi naskah film tersebut tentang bagaimana seorang wanita dijadikan sebuah komoditas, bagaimana seorang wanita dianggap sebagai objek, dan bagaimana wainta melaksanakan perintah dari majikannya. ANALISA Film ini mencerminkan banyak sekali penindasan yang dialami oleh kaum wanita apakah wanita itu berasal dari kaum kulit hitam maupun putih. Poin pertama film ini menampilkan bagaimana kaum wanita menjadi kaum yang diapandang sebelah mata bahkan menjadi kaum yang aspirasinya tidak didengar. Poin kedua film ini menampilkan kekerasan oleh wanita-wanita kulit hitam dimana mereka diperlakukan layaknya hewan dan gerak-geriknya selalu diawasi oleh majikannya, dan Poin ketiga film ini menampilkan bahwa seorang wanita tidak memiliki kesetaraan dengan kaum pria dalam segi pendidikan maupun politik. TEORI BLACK FEMINSIM Feminisme kulit hitam seperti Barbara Smith, Audre Lorde, Gloria I Joseph katakana memenuhi kebutuhan perempuan kulit hitam dengan membantu perempuan kulit hitam. Ini memobilisasi persoalan-persoalan yang mereka anggap mempunyai dampak langsung terhadap keseluruhan kualitas hidup. Teori feminism kulit hitam melihat batasan-batasan keperempuanan dengan feminism kulit putih untuk sepenuhnya melakukan kesepakatan dengan kontradiksi yang melekat dalam gender, ras dan kelas di dalam konteks masyarakat yang rasis. Feminisme kulit hitam menyatakan bahwa semua teori feminism harus memahami imperialisme dan menghadapinya. “ Untuk melihat persoalan penting mengenai bagaimana kita mengorganisir agar bisa memahami diri kita sendiri sampai totalitas penindasan kita. Kita tidak dapat memprioritaskan satu aspek dari penindasan tersebut dengan mengesampingkan aspek-aspek lain. Hanya satu sintesis kelas, ras, gender dan seksualitas yang bisa membawa kita ke depan. Perempuan kulit hitam dan perempuan kulit berwaena lain menuding ketidakpekaan feminism kulit putih dengan mengasumsi bahwa pengalaman kulit putih bisa berbicara atas nama semua perempuan. KAITAN TEORI BLACK FEMINISM DENGAN SKRIP FILM NO MENIT KE KETERANGAN 1. 1:10 – 1:12 Verbal : Majikan wanita kulit putih mengatakan pada budak wanita kulit hitam dengan sebutan“para negro”. Penggunaan kata ‘negro’ disini tidak tepat karena dianggap kata yang kasar untuk menyebut ‘orang kulit hitam’ 2. 4:15 – 5:20 Non-Verbal : Dari ekspresi wanita kulit hitam yang ada dalam adegan, seolah dia memaksa Solomon untuk melampiaskan hasrat seksualnya. 3. 28:47 – 29:04 Non-Verbal : Budak Laki-laki dan perempuan dipaksa untuk mandi dan berpakaian dalam ruangan yang sama. 4. 31:00 – 31:27 Verbal : Penyalur mematok harga untuk masing-masing budak. Sementara anak perempuan Eliza dikatakan memiliki harga yang tinggi karena wajahnya yang alami. Hal itu mengisyaratkan pemanfaatan manusia sebagai suatu komoditas. Melanggar hakikat manusia sebagai seorang individu. 5. 1:00:28 – 1:00:31 Non-Verbal : Patsy dilempar dengan botol minuman keras oleh Mrs. Epps karena dianggap tebar pesona di depan Mr. Epps. 6. 1:13:27 – 1:15:17 Non-Verbal : Mr. Epps melakukan kekerasan seksual kepada salah satu budaknya, Patsy. (pemanfaatan wanita) Dapat dilhat dari menit film diatas bahwa tampak perbedaan kelas sosial tidak hanya dilihat dari seksime semata akan tetapi juga dilihat dari ras. Menurut Sivanandan (1989), ras merupakan suatu kekuatan sentral dalam sebuah wacana ketenaga kerjaan (buruh), dimana didalamnya tidak hanya terdapat hubungan antara kelas dan gender, melainkan terdapat pula peran ras dalam sebuah wacana politik ekonomi. Banyak anggapan bahwa wanita kulit hitam adalah seseorang dari kelas sosial yang rendah daripada wanita kulit putih yang cenderung atau dicerminkan sebagai orang-orang dari kelas sosial yang tinggi atau bahkan dari golongan kaum bangsawan. Ketika sang majikan wanita menyebut para budak wanita kulit hitam dengan sebutan negro, hal ini berarti terdapat stereotype tertentu bagi wanita kulit hitam hingga mendapat sebutan negro padahal seharusnya feminisme tidak hanya ditujukan pada wanita kaum kulit putih semata akan tetapi begitu juga dengan wanita kulit berwarna. Maka dari itu munculah teori black feminism yang beranggapan bahwa wanita kulit putih tidak dapat mengeneralisasikan pembelaan atas kaum perempuan, karena dianggap hanya merepresentasikan golongan tertentu. Feminisme kulit hitam ini menyatakan bahwa perubahan yang berarti dalam suatu tatanan masyarakat yang menindas baik laki-laki maupun perempuan harus dilakuan dengan membangun koalisi setara antara perempuan kulit berwarna dan gerakan progresif. Selain itu ada beberapa scene diatas dari skrip yang menampilkan pelecahan seksual dan kekerasan pada budak wanita kulit hitam, di mana perempuan kulit hitam diasingkan dari pengambilan keputusan dan dalam dimensi ideologis, di mana perempuan kulit hitam distereotipkan sebagai pembantu rumah tangga yang setia, pelacur, dan lainnya. Penerapan universal dari “hitam” sebagai suatu konsep, dipandang memiliki kekurangan dalam kekhususan budaya dan kesejahteraan di dalam cara penggunannya. Dalam isu seksual, kulit hitam menuduh kulit putih munafik karena bila tindakan pornografi dilakukan kepada perempuan kulit hitam maka hal ini tidak dianggap serius, tetapi sebaliknya bila tindakan pornografi dilakukan kepada kulit putih dianggap sebagai penindasan. Lebih jauh feminis kulit hitam menuduh adanya rasisme dalam pornografi. Masyarakat Kulit hitam menuduh, baik masyarakat kulit putih serta laki-laki kulit hitam rasis dalam menghadapi obyeknya. Oleh karena itu, ketika terjadi pelecehan terhadap kulit hitam oleh laki-laki kulit hitam tidak ada tindakan dari pemerintah, justru mereka menganggap rendah perempuan kulit hitam. Sehingga mereka mengobyekan perempuan kulit hitam lebih rendah dari pada kulit putih. Seringkali pengobyekan seks terhadap perempuan kulit hitam diasosiasikan sebagai binatang. TEORI SUBALETRNITY Menurut Gayatri Chakravorty Spivak dalam tulisannya “Can Subaltern Speak?”, yang dimaksud subaltern adalah subjek yang tertekan, para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang berada di tingkat inferior (Gandhi 2006, h. 1). Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil” mereka. Subaltern menurut Guha adalah “mereka yang bukan elit”, dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan. KAITAN TEORI SUBALTERNITY DENGAN SKRIP FILM NO MENIT KE ADEGAN
1. 1:03:10 – 1:03:20 Verbal :
Mrs. Epss bertengkar dengan suaminya karena pendapatnya tidak didengar, dan suaminya tetap mengachukannya 2. 1 : 25 :10 – 1: 25 :30 Non Verbal : Istri penyelamat Solomon yang tetap harus bekerja dirumah tanpa bisa ikut berpatisipasi dalam kegiatan berpolitik yang dilakukan suaminya. Dilihat dari menit film diatas bahwa disini perempuan dijadikan kaum kelas kedua atau kaum yang termarginalkan. Disini perempuan menjadi Kelompok-yang terpinggirkan dari ranah publik dan tidak mampu menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan. Tidak berada jauh dari pandangan kita. Stereotype yang dicanangkan kaum dominan menjadikan wanta kaum subaltern yang sulit untuk mengakses ranah publik. Dalam scene diatas dapat dilihat bahwa terdapat adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian terhadap kaum perempuan dan hak mereka untuk berbicara dihilangkan. Disini juga dapat dilihat ketika Mrs Epss ingin menyuarakan pendapatnya ke suaminya dan Mr. Epss mengacuhkan begitu saja, ini merupakan potret bahwa perempuan mengalamai konolisasi serta menunjukkan kepasrahan perempuan dengan kondisi keluarga yang terjadi. Film ini menunjukkan bagaimana seorang perempuan pasrah dengan otoritas laki-laki baik itu suaminya ataupun ayahnya, perempuan pasrah dengan kehendak laki-laki dan harus mentaatinya seumur hidupnya. Sebagai kaum yang didominasi, perempuan dianggap hina, dicabut pendidikannya, dicabut semua hak dan kebebasannya, tetap mematuhi kaum laki-laki dan mengabdi pada keluarganya. Dia hanya memiliki apa yang diberikan laki-laki dan mengerjakan apa yang disuruhnya. Dapat dilihat termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi pendidikan merupakan dampak dari karakterisitik patriakal yang masih menempel erat pada tahun 1800-an di Negara Amerika Serikat, dimana laki laki merepresentasikan nafsu terhadap alam, dan alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif dan tidak berdaya. Dari scene film diatas dapat dilihat bahwa wanita dianggap kaum inferior yang tidak memiliki ruang untuk menyuarakan aspirasinya mengenai pandangan mereka dalam berumah tangga maupun berpolitik, sehingga kaum laki-laki dianggap sebagai kaum intelektual guna menjadi wakil mereka dalam menyuarakan kondisi kehidupan mereka. KESIMPULAN Film 12 years a slave merupakan film yang menceritakan mengenai kehidupan Budak kulit hitam dengan majikan kulit putih. Dalam sudut pandang Feminisme, film ini menampilkan opresi-opresi yang didapat oleh kaum wanita pada tahun 1800-an di Amerika Serikat. Analisis yang digunakan dalam film ini menggunakan teori black feminism dan teori subalternity untuk menampilkan perbedaan dua point of view dari opresi yang dihadapi oleh wanita kulit hitam dan wanita kulit putih. Film ini menunjukkan bahwa tekanan yang didapat oleh kedua belah pihak memiliki tingkatan yang berbeda akan tetapi memiliki satu kesamaan yaitu menjadi kaum yang termarginalkan dan tidak didengar aspirasinya yang menyabkan mereka menjadi kaum inferior. DAFTAR PUSTAKA Crawford, Mary dan Rhoda Unger.Women and Gender : A Feminist Psychology.(New York : McGraw-Hill) 2004 4rd,
Ariva, Gadis. Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat berperspektif
Feminism, (Disertasi Fakulti Ilmu Pengetahuan Budaya, Universiti Indonesia). 2002
Jackson, Stevi dan Jackie Jones, Contemporary Feminist Theories,(Tim Penerjemah