Anda di halaman 1dari 3

UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH KAJIAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

INSTRUKSI:

1. Bacalah wacana/opini berikut ini dengan kritis, temukan beberapa


kesalahan dalam penulisan/ejaan yang ada di dalamnya, kemudian
dianalisis letak kesalahannya, dan seharusnya bagaimana?
2. Tulislah jawaban Anda di kertas baik dengan diketik/tulis tangan dan
dikumpulkan, besok hari Rabu, 4 Desember 2024.

SOAL:

REMAJA (ISLAM) DAN TANTANGAN MULTIKULTURALISME GLOKAL

Sebagai pengantar tulisan ini, ada baiknya kita simak kisah kehidupan remaja
dalam tiga novel berikut. Pertama kisah dalam novel Amerika The Color Purple (1983)
karya Alice Walker. Dalam novel ini Celie sebagai tokoh utama adalah seorang
perempuan Kristen yang hidup dalam lingkungan budaya Amerika. Celie adalah sosok
wanita yang menjadi korban pelecehan seksual oleh ayah tirinya sendiri, justru di saat
usianya masih 14 tahun.[2] Setelah memiliki dua orang anak yaitu Olivia dan Adam, ia
dipaksa kawin oleh ayahnya dengan orang laki-laki yang sama sekali tak dicintainya.
Tragisnya, ketika ia hidup dalam ikatan perkawinan pun, ia seringkali dilecehkan oleh
suaminya dalam bentuk pemerkosaan suami terhadap istri (marital rape) dan
penganiayaan suami terhadap istri (wife abuse). Dalam keluarganya sendiri Celie
mendapatkan kekerasan dalam rumah tangganya (KDRT).

Kedua, kisah remaja korban pelecehan seksual dalam novel Arab Imra’a ‘Inda
Nuqthat al-Shifr (1979) karya Nawal El-Sadawi. Novel ini menampilkan tokoh Firdaus
yang mengalami nasib sama dengan tokoh Celie dalam The Color Purple. Firdaus adalah
seorang perempuan Muslim yang hidup di sebuah dusun di pedalaman Mesir yang sarat
dengan kebudayaan Arab.Ia menjadi korban pelecehan seksual oleh pamannya sendiri,
bahkan ketika ia masih usia kanak-kanak. Setelah tamat SMA Firdaus dipaksa pamannya
untuk menikah dengan seorang manula (manusia lanjut usia), bernama Eyang Mahmud.
Sebagaimana Celie, ketika masih dalam ikatan pernikahan itu, Firdaus seringkali
mendapatkan pelecehan seksual dari suaminya sendiri (marital rape) dan tindak
penganiayaan suami terhadap istrinya (wife abuse). Dalam perjalanan hidupnya ia sering
digoda dan dilecehkan laki-laki hingga ajalnya menjelang. Alangkah tragisnya kehidupan
perempuan dalam kedua novel itu.

Ketiga, kasus yang agak lain., ada pada sebuah Novel Indonesia, berjudul Ayat-
Ayat Cinta (2005) karya Habiburrahman El-Shirazy. Novel pesantren ini mengisahkan
seorang pemuda Islam Fahri, seorang santri salaf metropolis dan musafir yang haus
akan ilmu. Fahri sangat menjaga syariat Islam yang dianutnya. Bekal ilmu agamanya
yang sangat dalam membuat novel ini memiliki kekuatan spiritual dan konseptual yang
bergaya esoteric. Fahri kuliah di universitas ternama Al Azhar University Cairo, Mesir.
Sebagaimana remaja pada umumnya ia pandai bergaul dengan sesama dan lain
jenisnya. Ia kebetulan hidup dalam apartemen bersebelahan flatnya dengan Maria,
seorang perempuan Kristen koptik putri Madame Nahed. Keduanya, meski berbeda latar
belakang budaya, bangsa dan agamanya mereka dapat menjalin cinta dan kasih sayang
yang tulus, cinta antar anak manusia yang saling membutuhkan dan merasakan
kemurnian cinta yang tidak ditunggangi nafsu birahi. Sungguh merupakan pertemuan
dua hati yang damai dari dua latar belakang yang sarat dengan multikulturalisme.

Dari prolog cerita tiga novel remaja yang bernuansa Islam sekaligus
multikultural tersebut dapat ditarik hikmah pelajaran untuk memberikan pencerahan dan
discourses pada kaum remaja kita. Bahwa dewasa ini remaja (Islam) sedang dihadapkan
dalam berbagai bentuk tantangan modernitas, baik yang berupa tangan fisikal seperti
pelecehan seksual, penganiayaan, dan pemerkosaan, maupun tantangan ideologis
berupa radikalisme, pluralisme, inklusivisme, liberalisme, dan multikulturalisme. Kedua
novel di atas (The Color Purple dan Imra’a ‘Inda Nuqthat) mencerminkan betapa
rawannya gangguan terhadap perempuan, khususnya maraknya pelecehan seksual.
Bukan hanya menimpa perempuan lajang, akan tetapi juga pelecehan terjadi dalam
rumah tangga, suami istri. Sedang pada novel Ayat-Ayat Cinta, sebaliknya kita
menemukan sebuah romantika kehidupan remaja yang berbeda agama, bangsa, budaya,
namun mampu menjalin hubungan kemanusiaan yang humanis, Islamis, dan romantis.

Tampaknya telah tiba saatnya kita berdialog, bersikap, bertindak,positif thinking


terhadap berbagai perkembangan wacana modernitas, seperti pluralisme, humanisme,
dan multikulturalisme yang muncul sebagai tantangan terhadap keberagamaan kita. Dan
hal itu justru akan semakin mendewasakan kita secara spiritual dalam bersikap dan
berdialog dengan masyarakat, budaya, agama, dan etnis lain yang berseberangan
dengan kita. Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan oleh Melani Budianta (UI) dalam
pidato pengukuhannya yang menulis makalah Meretas Batas: Humaniora dalam
Perubahan (28 Januari 2006), bahwa tantangan budaya dan humaniora dewasa ini
sungguh sangat kompleks, dari persoalan budaya pop, agama, dan ideology seperti bom
bunuh diri, perkosaan, liberalisme agama dan lain-lain. Sehingga ilmu-ilmu humaniora
seperti feminisme, post-kolonialisme, post-strukturalisme, dan psikoanalisa sudah
kurang memiliki relevansi untuk memecahkan berbagai persoalan global dewasa ini.
Barangkali saatnya kini kita menguji kembali teori-teori dan kita mencari teori baru dari
persoalan realitas di lapangan.

Masalahnya adalah bagaimana mengajak dan menyampaikan gagasan, persepsi,


konsepsi dan perspektif global seperti multikulturalisme, inklusivisme dan pluralisme
agama dan budaya kepada sesama saudara kita yang Muslim, yang notabene
mendasarkan pada prinsip agama, rahmatan lil’alamin. Hal ini yang menjadi tantangan
budaya lokal yang berkembang di sekitar kebudayaan kita (baca : budaya Islam
tradisional). Pemahaman keberagamaan yang sempit, kurang membuka ruang dialog,
mahalnya ruang keterbukaan, fanatisme yang memaksakan kehendak, dibarengi dengan
kuatnya arogansi ilmu dan pengandalan pada dzurriyah (baca : keningratan, “darah
biru”) akan semakin sulit membuka diri untuk mau berdialog dan berkompetisi secara
edukatif, ber-fastabiqul khairat dengan pihak lain yang “berbeda” dan yang bukan dari
golongan kita (minhum). Remaja (Islam) dewasa ini, mestinya tidak mudah masuk
dalam jerat-jerat sikap keberagamaan seperti itu. Maka tantangan remaja sekarang ini,
bukan hanya menyangkut persoalan hubungan antar lain jenis, seperti pacaran bebas,
pacaran yang Islami, teman tapi mesra (TTM), sampai pada kesiapan imtaq dan iptek,
tetapi yang tak kalah menantangnya adalah betapa kuatnya tantangan Global di
hadapan kita, seperti terungkap pada potret remaja dalam ketiga novel di atas.

[1] Budaya global-lokal (Glokal) adalah budaya masyarakat transisional. Perilaku


budaya masyarakat modern yang berada dalam dua pijakan budaya. Di satu sisi, kaki
kanan sudah masuk dalam wacana dan perilaku kekinian bukan hanya metropolis tetapi
bahkan megapolis (global) yang modern, tapi di sisi lain, kaki kirinya masih berada pada
posisi di belakang, di tempat (lokal) yang tradisionalis. Sebagai contoh konkret dari
perilaku glokal itu misalnya sebuah keluarga muslim yang sok modernis, maka jika
masuk supermarket, mereka bukan hanya secara konsumtif belanja, tetapi juga masuk
ke counter cafe Chinese food,, makan hamburger di Mcdonald, atau KFC dan lain-lain.
Namun jika mereka kembali ke rumahnya, mereka tetap lahap makan tiwul, lotek, sayur
lodeh, iwak momoh, atau nasi pecel. Maka praktis dalam diri keluarga itu telah
bertengger budaya glokal,yang sebetulnya merupakan refleksi keluarga yang sedang
dilanda krisis identitas dan krisis nilai.

[2] Yang termasuk dalam kategori pelecehan seksual dalam konteks ini terinci dalam
lima tingkatan, yaitu gender harassment, seductive behavior, sexual bribery, sexual
coercion, dan sexual imposition. Yang masuk kategori pelecehan yang gender
harassment adalah pernyataan dan tingkah laku yang merendahkan seseorang
berdasarkan jenis kelaminnya, seperti gurauan porno, kata-kata porno, kata-kata rayuan
tentang bentuk tubuh, komentar terhadap penampilan seseorang, menatap terus
menerus pada wanita, merendahkan jenis kelamin lain dan lain-lain; Yang kedua,
seduction behavior bentuknya berupa permintaan tidak senonoh yang bersifat seksual,
rayuan gombal kepada lain jenis, pura-pura menolong padahal ada niat seksual yang
jahat dll; Tingkat ketiga sexual bribery, pelecehan bentuk ini misalnya secara halus
menyuap seseorang dengan janji imbalan tertentu secara seksual, seperti mau dicium,
dibelai, atau memeluk tubuh perempuan; Tingkat keempat adalah pelecehan yang
berhubungan dengan sexual threat. Contohnya berupa ancaman dan tekanan untuk
melakukan perilaku seksual, seperti pemerkosaan dengan ancaman dll; Dan tingkat
kelima adalah sexual imposition. Yaitu pelecehan yang lebih serius. Pelecehan ini
dianggap paling berat jika dilihat dari tingkat keseriusannya. Misalnya, berusaha
menyentuh atau menabrak seseorang perempuan, atau memegang tubuh atau anggota
vital perempuan dan sebagainya. Atau memaksa seseorang perempuan untuk mau
melakukan hubungan seksual (lihat, Betz, Nancy dan Fizgerald dalam The Career
Psychology of Women (1978), California : Academic Press, Inc.

Ditulis oleh Dr. Muhammad Abdullah, MA


Duktib dari : SASTRA PESANTREN

Anda mungkin juga menyukai