Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kata queer, dalam konteks kajian akademis teori queer, merujuk pada

nonnormative gender dan seksualitas (Westling, 2008). Umumnya, kata queer merujuk

pada banyak potensial dari nonnormative gender dan seksualitas. Queer bertujuan untuk

menunjukkan bahwa identitas ini berada pada kategori yang tidak tetap dan

membutuhkan penanda identitas statis. Queer juga meliputi gender dan seksualitas yang

berkaitan dengan heteronormativitas, sambil mempertahankan identitas gender dan

orientasi seksual yang tidak tergantung pada satu sama lain. Heteronormativitas

menggambarkan tatanan sosial yang merujuk pada institusi agama, akademis, medis

yang dominan. Hal tersebut mempromosikan heteroseksualitas sebagai seksualitas yang

normal atau diterima (Warner, 1991). Penulis menggunakan kata queer untuk

menggambarkan karakter dalam buku bacaan anak-anak bukan karena buku atau

karakter menggambarkan diri mereka seperti demikian tetapi berdasarkan bukti karakter

nonnormative orientasi seksual atau identitas gender.

Masa kanak-kanak umumnya dinilai sebagai masa ―penerimaan‖ dari nilai-nilai

yang diberikan kepada mereka. Masa kanak-kanak atau anak sekolah kadang-kadang

disebut sebagai produksi dan reproduksi gender dan periode queer (Renold, 2005: 8-9).

Apa yang dimaksud dengan istilah queer adalah sebuah periode dimana masa

1
2

kanak-kanak terkadang identitas gender menjadi kabur, melampaui norma gender, atau

menolak sistem biner gender dalam lingkungan mereka.

Secara teoritis, sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak dengan

bimbingan dan pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga

dilakukan oleh orang dewasa (Davis 1967 dalam Sarumpaet, 1976: 23). Dengan

demikian, secara praktis, sastra anak adalah buku bacaan anak-anak yang sesuai untuk

mereka baca dengan karakteristik berbagai ragam, tema, dan format. Ada banyak

ragam sastra anak yang sering kita jumpai, seperti kisah-kisah klasik yang dikenal

sebagai cerita rakyat. Kemudian, kisah-kisah fantasi, puisi, cerita realistik, fiksi

kesejarahan, biografi serta buku informasi. Dilihat dari temanya, karya sastra anak juga

mempunyai banyak ragam. Definisi lain tentang sastra anak adalah cerita yang mengacu

pada korelasi dengan dunia anak-anak (dunia yang dipahami anak) dan bahasa yang

digunakan sesuai dengan perkembangan intelektual dan emosional anak (Kurniawan,

2009: 22).

Akhir-akhir ini, banyak buku anak-anak berbuat lebih banyak untuk

menyingkirkan presentasi queer di banding mensahkan mereka, menegakkan dari pada

tantangan wacana heteronormative tentang gender dan orientasi seksual, meskipun

berusaha untuk mempromosikan penerimaan presentasi nonnormative gender.

Beberapa contoh yang paling menonjol dari permasalahan pelanggaran gender dalam

sastra anak secara alur cerita berkisar pada karakter laki-laki muda yang tidak sesuai

dengan maskulinitas tradisional dan harus berusaha untuk diterima oleh keluarga dan

lingkungan mereka. Karakter utama dari Oliver Button Is a Sissy (DePaola, 1979)
3

dipanggil ‗banci‘ oleh ayah dan teman-temannya karena ia tidak melakukan apa yang

seharusnya anak laki-laki lakukan. Dia lebih menyukai bermain boneka atau kostum

dari pada olahraga, dan karena orang tuanya khawatir tentang dia, mereka mengirimkan

dia ke kelas tari. Hal ini membuat dia menjadi target ejekan di sekolah hingga suatu

hari dia menunjukkan kemampuan menarinya di sebuah acara pertunjukan bakat.

Oliver mendapatkan tepuk tangan dan pujian dari masyarakat, mereka tidak lagi

dikucilkan karena perbedaannya; dia tidak lagi seorang banci tetapi seorang bintang.

Identitas gender yang ditunjukkan oleh Oliver tidak lagi menjadi masalah bagi

masyarakat ketika mereka melihatnya dari segi individualisme dari pada melakukan

penghinaan terhadap preskripsi gender yang dominan, seperti yang diharapkan dalam

norma heteroseksis. Cerita ini merupakan contoh dari cerita dimana pelanggaran peran

gender diampuni ketika ‗banci‘ mampu membuktikan dirinya layak dihargai.

Hal ini membuktikan bahwa identitas gender yang berbeda dapat diterima

setelah orang di sekitar mereka belajar untuk menghargai perbedaan, implikasinya

adalah bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diterima tentang kesesuaian gender bagi

karakter laki-laki yang harus dikompensasi. Gender yang berbeda dari yang diharapkan

tampaknya menjadi sebuah pesan positif karena akhirnya karakter dengan identitas

gender yang ditampilkan bisa diakui dan tidak diejek. Namun, yang menjadi masalah

adalah bahwa karakter ini menanggung beban untuk membuktikan bahwa mereka dapat

diterima, bukan harapan bahwa masyarakat harus dapat mengubah cara berpikir mereka.

Implikasi dari harapan ini adalah bahwa ada sesuatu yang salah dengan gender, yang

tidak sesuai dengan prilaku. Kasus-kasus dengan keistimewaan ini masih


4

mempertahankan bahwa gender yang sesuai adalah gender yang tidak dapat diterima

dan seharusnya dihindari.

Dalam cerita lain, 10,000 Dresses karya Marcus Ewert dan Rex Ray merupakan

sebuah buku bacaan anak-anak yang menceritakan Bailey, seorang transgender laki-laki

yang mempunyai keinginan untuk memakai gaun. Percakapan Bailey dengan ibunya

mewakili wacana serupa bahwa transgender dan varian gender anak-anak berhubungan

dengan keluarga, teman-teman, dan guru mereka. Sehari-hari, anak-anak ini

tindakannya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat seperti tindakan seorang ‗laki-

laki‘ dan ‗perempuan‘, menghadapi rentetan pesan yang menghina mereka. Apa yang

terjadi jika Marcus berada dilorong Barbie dan memilih boneka favorit yang baru?

Bagaimana perasaan Maya ketika ibunya memaksa dia untuk memilih mainan

perempuan dari pada mobil dan action figure yang lebih dia sukai? Untuk anak-anak

yang mengungkapkan varian gender, teridentifikasi sebagai transgender, atau memiliki

orang tua yang transgender, buku-buku seperti 10,000 Dresses dapat berguna dalam

normalisasi pengalaman mereka. Buku-buku ini dapat membantu anak-anak lebih baik

memahami diri mereka sendiri dan orang tua mereka dan membantu dalam

perkembangan identitas mereka. Pada saat yang sama, buku dengan tema transgender

dapat menjembatani pemahaman antara mereka yang varian gender dan yang tidak

(Naidoo, 2012: 166).

Buku bacaan anak-anak merupakan salah satu solusi untuk mengenalkan kepada

anak-anak tentang isu transgender yang mungkin juga menjadi sebuah tanda/gejala

dengan apa yang mereka rasakan. Picture book itu unik karena ilustrasi dan teks berbagi
5

tugas untuk menceritakan kisah dan memberikan ajaran. Tidak ada jenis lain dari karya

sastra diciptakan dengan cara yang sama. Dalam dunia penerbitan saat ini, picture book

telah berkembang ke dalam bentuk yang lebih menarik. Yakni dengan proses cetakan

yang meningkat dan menghasilkan buku yang penuh warna serta permintaan untuk

picture book meningkat, beberapa seniman dan penulis terbaik menghabiskan paling

tidak sebagian dari jiwa kreatif mereka yang ekspresikan dalam picture book (Tunnel,

2012: 61). Picture book juga bisa mengedukasi anak-anak dengan cerita tentang

kehidupan transgender pada anak-anak. Kata transgender merupakan istilah umum yang

biasanya merujuk pada yang identitas gender dan seksualnya berbeda (Stein, 2015:

480). Perbedaan yang dimaksud seperti seorang laki-laki yang feminin dan seorang

perempuan yang tomboi.

Ada beberapa alasan mengapa transgender dalam buku bacaan anak-anak dipilih

sebagai objek dalam penelitian ini. Salah satu diantaranya karena isu transgender

merupakan isu yang sedang banyak dibicarakan dalam beberapa waktu terakhir.

Transgender dalam konteks bacaan anak-anak juga sudah berkembang diberbagai

negara. Salah satu contoh yakni di Selandia Baru terdapat sebuah survei1 tentang siswa

transgender di beberapa sekolah menengah pertama (Junior High School). Survei

tersebut bertujuan untuk mendata siswa yang masuk dalam 4 kelompok gender (hal

tersebut didata sebagai non-transgender, transgender, atau tidak yakin dengan gender

1
The Health and Well-Being of Transgender High School Students: Result from the New Zealand
Adolescent Health Survey (Youth‘12). Survey tersebut merupakan survey nasional pertama pada bidang
kesehatan dan kesejahteraan pada anak-anak muda yang transgender. Hal tersebut menjadi penting bahwa
survey yang berbasis populasi mengakui bahwa tidak semua orang mengetahui pasti tentang gender
mereka sendiri. Sekolah, layanan kesehatan, dan komunitas harus memperhatikan bahwa anak muda yang
transgender mewakili populasi penting yang memiliki kebutuhan khusus.
6

mereka sendiri, atau bagi siapa yang tidak mengerti dengan pertanyaan tentang

transgender), dan untuk mendeskripsikan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Hasilnya

adalah 94,7% non-transgender, 1,2% sebagai transgender, 2,5% tidak yakin (bingung)

dengan gender mereka sendiri, dan 1,7% tidak mengerti dengan pertanyaan. Siswa yang

terdata sebagai transgender atau tidak yakin dengan gender mereka sendiri atau bahkan

yang tidak mengerti dengan pertanyaan dalam survei tersebut mengalami gangguan

kesehatan dan kesejahteraan dibandingkan dengan teman-teman mereka yang terdata

dalam non-transgender. Lebih dari setengah siswa transgender merasa khawatir menjadi

transgender di usia 12 tahun. Sebagian besar siswa transgender tidak mengungkapkan

kepada orang terdekat tentang (mereka) menjadi transgender. Sekitar tiga perempat dari

siswa transgender melaporkan bahwa kegiatan di sekolah baik-baik saja dan paling

tidak ada salah satu dari orang tua yang peduli tentang kondisi mereka. Siswa

transgender, tidak yakin, atau tidak mengerti pertanyaan survei berada pada peningkatan

resiko kekerasan dan ancaman keselamatan pribadi. Sebagai contoh, lebih dari setengah

jumlah dari mereka takut kepada seseorang di sekolah yang akan menyakiti atau

mengganggu mereka (Journal of Adolescent Health, 2014: 93-99).

Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba untuk menganalisis tentang karakter

transgender dalam sastra anak Australia. Pertama, Introducing Teddy2 merupakan

sebuah karya sastra anak yang ditulis oleh penulis dari Melbourne, Australia, Jessica

2
Introducing Teddy merupakan buku bacaan anak-anak best seller. Hal tersebut dibuktikan dengan
penjualan yang tinggi dan sudah dicetak 2 kali. Cetakan pertama dari Australian Kickstarter pada Agustus
2015. Kemudian dicetak ulang pada 31 Mei 2016 oleh Bloombsbury, USA Child. Selain itu, Introducing
Tedyy juga sudah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa, seperti Italy, Jepang, Norwegia, Portugal dan
Swedia.
7

Walton. Buku bacaan tersebut bercerita tentang persahabatan antara seorang anak laki-

laki, Erol dengan temannya, seorang boneka beruang. Thomas (boneka) mengaku

bahwa dirinya adalah seorang boneka perempuan dan ingin dipanggil sebagai ―Tilly‖.

Berkisah tentang bagaimana menjadi diri sendiri dan jujur terhadap teman. Introducing

Teddy ditulis karena susahnya menemukan buku cerita anak-anak yang merefleksikan

keluarga pengarang yang mempunyai orang tua transgender. Jessica Walton sebagai

penulis dari buku tersebut menulis pengalaman pribadinya kedalam karya sastra yang

diciptakannya. Karya Walton, yang memiliki orang tua transgender, berpendapat bahwa

dunia telah berkembang di luar penerimaan yang pada dsarnya ―bukan menjadi hal yang

besar.‖ Situs www.theguardian.com menerangkan bahwa Introducing Teddy merupakan

kisah tentang persahabatan dan identitas. Hal ini ditulis oleh Walton yang terinspirasi

oleh ayahnya yang telah mengubah jenis kelaminnya. Ia ingin memberikan pengetahuan

tersebut kepada anaknya tentang apa yang terjadi disekitarnya. Seperti dalam kutipan

berikut.

―Dad told our family she was a woman a couple of years ago. This
opened my eyes and it opened my mind.‖ Jessica Walton, a secondary teacher
turned public servant who lives in Melbourne, recalls how her dad‘s coming out
moment was not only happy but also revelatory: ―being gay myself, having trans
friends, and being an active part of the LGBT community for a long time,
rallying for gay marriage, etc,. I didn‘t know this person I had known my whole
life was a woman, and it was amazing to get to know her better.
―You can be part of the LGBT community and still not really understand
the difficulties, bullying, violence some people face,‖ she says. The experience
prompted Walton to embark on a project. Soon after her dad‘s transition began,
Walton and her partner had their own child, and they started looking for
children‘s book that reflected their family. And, whereas they did find ‗great
books‘ that featured gay parents, they had real trouble finding books featuring
transgender and gender-fluid characters. So she decided to write the book we
wanted to read to our son.
8

Buku anak-anak Australia kedua yang menjadi objek material dalam penelitian
ini adalah The Gender Fairy. Buku tersebut merupakan buku bacaan anak-anak dengan
cerita yang sederhana. Berkisah tentang 2 anak yang membutuhkan pendengar: dua
anak yang mencari cara bagaimana bisa hidup bahagia sesuai dengan jati diri mereka.
The Gender Fairy ditulis oleh Jo Hirst. Buku tersebut diciptakan dengan tujuan untuk
membantu anak-anak mengerti isu identitas gender. Buku tersebut juga merupakan
sebuah sarana atau cara untuk mendidik anak-anak dan dewasa dalam memahami
perasaan mereka yang mungkin cenderung menjadi anak-anak transgender. Hirst
menciptakan buku tersebut dengan alasan kekhawatiran pada anak-anak yang merasa
berada dalam gender yang tidak sesuai dengan harapan keluarga dan teman-temannya.
Khususnya, Hirst merasa khwatir kepada anaknya sendiri yang berada dalam identitas
gender yang tidak sesuai yakni seorang anak laki-laki berumur 4 tahun dengan
kebiasaan yang sering dilakukan oleh perempuan seperti memakai gaun dan bermain
boneka.

Representasi visual pada karakter transgender dalam sastra anak Australia yang
menjadi objek dalam penelitian ini seperti dalam gambar berikut.

Gambar 1. Representasi visual tokoh transgender dalam Introducing Teddy3

3
Thomas, The Teddy, terlahir sebagai boneka beruang laki-laki. Tetapi Teddy merasa ia adalah boneka
perempuan. Dia merasa nyaman menjadi boneka perempuan. Setelah mengakui kepada sahabatnya,
Errol, bahwa ia ingin dikenal sebagai boneka perempuan, maka dia bertingkah dan berpakaian seperti
perempuan. Seperti dalam gambar 1, dia memakai pita di kepalanya.
9

Gambar 2. Representasi visual tokoh transgender dalam The Gender Fairy4


Fenomena transgender dalam buku bacaan anak-anak merupakan persoalan

wacana. Transgender dilihat dari performativitas, seorang laki-laki feminin dan seorang

perempuan yang tomboi. Dari sesuatu yang dinilai 'kepantasan', 'kelumrahan',

'ketaklumrahan', 'ketakpantasan', 'kenormalan', 'keanehan' itulah, terlihat bagaimana

kepemilikan kuasa sekaligus penyebaran kuasa diperebutkan (Brooks, 2009:85).

Transgender disebut sebagai wacana karena gender yang ditampilkan dikonstruksi oleh

pemikiran masyarakat. Hal yang pantas atau tidak pantas diakui oleh masyarakat dengan

mengikuti aturan terdahulu yang dianggap sebagai hal yang benar, adahal aturan

tersebut juga dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Fenomena tomboi dan feminin yang

ditemukan dalam buku bacaan anak karya penulis anak di atas merefleksikan pemikiran

feminis postmodern, bahwa gender bukanlah sesuatu yang simpel, atau alami. Bentuk-

bentuk relasinya pun, akan senantiasa kompleks, tidak stabil (Flax, 1990:43).

Kuasa dipahami bersifat plural, menyebar melalui wacana, tubuh dan hubungan

dalam metafor suatu jaringan. Berangkat dari asumsi itu, wacana dimaknai sebagai situs

4
Gambar 2 menujukkan gender fairy sedang membantu (menyulap) 2 anak transgender, laki-laki dan
perempuan. Laki-laki menggunakan gaun dan perempuan menggunakan pakaian yang kasual.
10

kontestasi bagi wacana gender dan berbagai asumsi, serta berkontribusi pada penciptaan

sekaligus reproduksi strategi kuasa yang tak sama dalam suatu kelompok sosial.

Kekuasaan dihadirkan dalam cara-cara yang didesentralisasikan, dilokalisasikan,

diwacanakan, dan secara institusional mengalami proses penormalan. Kekuasaan juga

melahirkan perlawanan. Dalam relasi kuasa, transgender dapat diartikan sebagai bentuk

perlawanan, negosiasi, konformitas terhadap nilai-nilai heteronormativitas dalam

masyarakat. Dalam penelitian ini, kuasa transgender merupakan pihak yang melakukan

strategi kuasa dalam bentuk berlawanan atas kuasa heteroseksual.

Dua buku anak-anak yang menjadi objek dalam penelitian ini ditulis oleh

penulis perempuan merupakan cerita yang realis. Ciri cerita anak yang realis menurut

Lukens (2003:30) biasanya berbicara tentang masalah-masalah sosial dengan

menampilkan tokoh protagonis sebagai pelaku cerita. Cerita realis kadang ditulis untuk

memberikan efek bahwa cerita itu seolah-olah merepresentasikan kehidupan dan dunia

sosial seperti yang terlihat oleh pembaca, menguatkan praduga bahwa karakter tokoh

benar-benar ada, dan peristiwa yang terjadi di dalamnya kemungkinan benar-benar

terjadi (Abrams, 1999:260). Fenomena transgender dalam kedua buku anak-anak yang

dikaji merupakan bentuk representasi wacana transgender yang ingin didobrak oleh

pengarang. Hal tersebut terkait dengan relasi kuasa antara norma heteroseksual dan

transgender. Dengan menggunakan analisis wacana feminis, penelitian ini

mengeksplorasi bagaimana transgender direpresentasikan dalam teks, bagaimana relasi

kuasanya, serta dalam konteks sosial kultural yang seperti apa wacana transgender ini

diproduksi.
11

B. Rumusan Masalah

Identitas gender pada masa anak-anak cenderung bersifat lebih cair dan tidak

stabil. Kadang kala, dengan mudah anak ‗mengganti‘ atau ‗memilih‘ identitas

kelelakian atau keperempuanan dengan cepat. Sementara itu, sekelompok masyarakat

yang menanamkan dan menginginkan terlestarikannya nilai-nilai heteronormatif,

cenderung memilah identitas hanya secara bipolar, lelaki dengan identitas yang

maskulin atau perempuan dengan identitas yang feminin saja, tidak ada dualisme

identitas atau pemakluman terhadap liminalitas di antaranya.

Akan tetapi, seperti halnya sebuah kekuasaan, heteronormativitas tak

sepenuhnya ditaati atau dipatuhi oleh anggota-anggota masyarakatnya. Ada beberapa

wacana yang meresistensi penegakan heteronormativitas dalam masyarakat, seperti

yang tercermin melalui karya sastra. Karya sastra memiliki sifat penting dalam

menyampaikan informasi yang bermacam-macam kepada pembacanya yang bermacam-

macam pula (Chamamah, 2011:62).

Tokoh dalam sebuah karya sastra adalah medium untuk meyampaikan pesan

kepada pembacanya. Tokoh-tokoh yang memiliki identitas yang dianggap atypical atau

tak setipe dengan identitas gender yang biasa ditemui dalam masyarakat yang

heteronormatif, dengan demikian, perlu dipahami sebagai medium penyampai pesan

terhadap kemungkinan identitas gender baru yang ditawarkan atau dicoba untuk

dinegosiasikan dalam sebuah komunitas masyarakat.


12

Identitas gender baru yang ditawarkan atau dinegosiasikan dalam sebuah

masyarakat muncul melalui representasi tokoh yang identitas gendernya dinilai tak

setipe dengan masyarakat heteronormatif pada umumnya. Dari representasi itu pula,

akan diketahui bagaimana masyarakat menyikapinya: apakah mereka menolak

keberadaan gender yang tak setipe dalam norma mereka, atau menerimanya?

Gender adalah persoalan konstruksi budaya. Konstruksi itu akan terlihat dalam

wacana yang dalam masyarakat: gender mana yang dianggap ‗sesuai‘ dan gender mana

yang dianggap ‗tidak sesuai‘ dalam konstruksi mereka. Konstruksi-konstruksi itu diuji,

diteguhkan, melalui interaksi antar pemilik identitas gender. Anak perempuan yang

tomboi atau anak laki-laki yang feminin sebagai sebuah ‗identitas‘ gender juga

berinteraksi dengan tokoh lainnya, yang memiliki kemungkinan identitas gender sama

atau berbeda dengannya. Interaksi itu tentu memunculkan sikap yang beragam. Sikap

itu sendiri tidak terlepas dari entitas lainnya, seperti faktor usia, kelas sosial, budaya,

agama, jenis kelamin, ekonomi, dll. Faktor interaksi itulah yang akan menentukan

bentuk relasi kuasa gender.

Dengan demikian, masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah: (1)

representasi transgender, (2) relasi kuasa transgender terhadap norma heteroseksual, dan

(3) konteks sosial kultural yang melahirkan wacana transgender dalam buku bacaan

anak-anak.
13

Pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah representasi transgender dalam Introducing Teddy dan The Gender

Fairy?

2. Bagaimanakah relasi kuasa transgender dalam Introducing Teddy dan The Gender

Fairy?

3. Bagaimanakah konteks sosial dan kultural yang memungkinkan diproduksinya

wacana transgender dalam Introducing Teddy dan The Gender Fairy?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengungkapkan dan menjelaskan representasi transgender dalam Introducing

Teddy dan The Gender Fairy.

2. Mengungkapkan dan menjelaskan relasi kuasa transgender dalam Introducing

Teddy dan The Gender Fairy.

3. Mengungkapkan dan menjelaskan konteks sosial kultural yang memungkinkan

diproduksinya wacana transgender dalam Introducing Teddy dan The Gender Fairy

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretik, penelitian ini diharapkan berkontribusi dalam penerapan teori

queer dalam sastra anak, khususnya yang berkaitan dengan kajian wacana feminis

dalam memahami fenomena kemunculan wacana transgender dalam sastra anak


14

Australia. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah mengungkapkan adanya hubungan

antara keberadaan sastra dengan fenomena-fenomena yang berkembang dalam suatu

masyarakat, yakni persoalan transgender dalam sastra anak Australia. Oleh karena itu,

secara praktis, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana konteks sosial kultural

yang memungkinkan lahirnya wacana transgender, representasi transgender dalam buku

bacaan anak serta relasi kuasa transgender terhadap norma heteroseksual.

E. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, kajian wacana yang

membahas masalah transgender dalam Introducing Teddy dan Gender Fairy, sebagai

buku bacaan anak-anak terbaru (2015 dan 2016), belum ditemukan. Selain itu, kajian

terhadap sastra anak yang dilakukan selama ini sebagian besar fokus pada permasalahan

struktur dan eksistensi gender tokoh laki-laki atau perempuan saja. Kajian tersebut

berbeda dengan penelitian ini yang mengambil dua aspek gender perempuan dan laki-

laki yakni transgender.

Ada beberapa penelitian terkait wacana feminis ataupun penelitian dengan

menggunakan teori queer yang dijadikan referensi dalam penelitian ini. Pertama,

sebuah tesis tentang Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) dalam sastra anak

dilakukan oleh Lindsay Toman5 (2014) dalam tesisnya yang berjudul Queering the

ABCs: LGBT Characters in Children‘s Books. Tesis tersebut menganalisis karakter

5
Tesis tersebut ditulis oleh Lindsay Toman tahun 20014 kepada Faculty of the Department of Sociology
and Anthropology, East Tennessee State University sebagai persyaratan meraih gelar Marter of Arts in
Sosiology.
15

LGBT dalam sastra anak. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui bagaimana

karakter LGBTQ digambarkan, serta adanya tema lain yang mungkin berkaitan atau

dipengaruhi oleh karakter lain. Penelitian ini mengungkapkan bahwa mayoritas buku

dengan karakter gender fokus pada pelecehan pada anak laki-laki oleh karakter lain

karena pembawaan feminin mereka. Penelitian ini berkesimpulan dengan menawarkan

rekomendasi kepada penulis buku bacaan anak-anak menciptakan genre ini tanpa

memperkuat ketidaksetaraan lainnya terkait dengan gender, ras, kelas, dan seksualitas.

Kedua, sebuah penelitian tentang LGBT dalam sastra anak juga dilakukan oleh

Lester6 (2014). Tesisnya berjudul Homonormativity in Children‘s Literature: An

Intersectional Analysis of Queer-Themed Picture Books. Penelitian tersebut membahas

68 buku anak-anak beretemakan LGBT dan cara mereka memperkuat

heteronormativitas melalui perayaan eksklusif dari homonormativitas, karakter LGBT

yang tidak sesuai dengan peran gender yang diharapkan, memiliki orang tua yang super

sibuk, dan berkulit putih serta dari keluarga kelas menengah keatas. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa mayoritas buku bacaan anak-anak yang berusaha untuk

menumbangkan heteronormativitas tidak berhasil karena mereka memperkuat bentuk-

bentuk lain dari penindasan yang menahannya.

Selain kedua tesis diatas, ada juga beberapa artikel ataupun jurnal yang berkaitan

dengan representasi gender dalam sastra anak. Elizabeth Grauerholz dan Bernice A.

6
Penelitian ini dilakukan oleh Jasmine Z. Lester dari Arizona State University, Tempe, Arizona, USA.
16

Pescosolido7 menulis sebuah kajian yang berjudul Gender Representation in Children‘s

Literature: 1900-1984. Tulisan tersebut membahas tren dengan kehadiran tokoh laki-

laki dan perempuan dalam buku bacaan anak-anak Amerika pada abad ke-20. Dengan

menggunakan katalog anak-anak sebagai populasi dan analisis dari waktu ke waktu,

mereka menemukan bahwa adanya ketidakseimbangan dalam menggambarkan antara

variasi laki-laki dan perempuan melalui cara representasi abad yang mana perempuan

lebih egaliter pada judul dan peran yang dilakukan. Namun, ketika cerita hanya

melibatkan orang dewasa atau karakter hewan, tokoh laki-laki menjadi lebih menonjol.

Perubahan tema sastra dan posisi perempuan selama rentang waktu itu mungkin

berfungsi dalam mengembangkan teori untuk membahas tren tersebut. Selain itu, Jamie

Campbell Naido (2012) juga membuat sebuah tulisan berjudul Representation in Queer

Children‘s Books: Who‘s In and Who‘s Out. Kesimpulan tulisan tersebut yakni

pustakawan anak-anak bisa menggunakan buku bertema queer anak-anak sebagai sarana

mereka dalam pemahaman dan penerimaan terhadap isu queer. Semetara itu,

kelangkaan buku bertema queer untuk anak-anak dapat menimbulkan masalah bagi

putakwan dan pendidik, banyak sumber daya yang tersedia untuk orang-orang

professional yang didedikasikan untuk membuka jalan melalui membaca dan mengatasi

hambatan tersebut. Kesempatan dalam memperoleh buku bacaan anak-anak bertema

queer ini bisa di dalam kelas dan perpustakaan. The Family Equality Council

menyarankan pustakawan dan pendidik dapat berperan penting dalam mengakhiri

7
Elizabeth Grauerholz berasal dari Purdue University dan Bernice A. Pescosolido berasal dari Indiana
University.
17

homophobia dan kebencian serta kejahatan terhadap anak-anak LGBTQ (Naido, 2012:

71).

Sementara itu, sebuah penelitian terkait analisis wacana feminis dalam sastra

anak dilakukan oleh Else Liliani (2015). Liliani menulis sertasi yang berjudul ―Karakter

Tomboi dalam Novel Anak: Analisis Wacana Feminis terhadap Novel Tomboy Girl, My

first Make Up, Kado Untuk Ummi, dan Best Friends Forever.‖ Hasil penelitian

menunjukkan bahwa (1) tomboi adalah representasi anak perempuan yang memiliki

kualitas maskulin (2) tomboi merupakan bagian dari proses negosiasi anak terhadap

identitas yang ditetapkan oleh masyarakat yang heteronormatif (3) wacana tomboi yang

muncul dalam novel anak bukan merupakan hal yang baru. Wacana tomboi yang

muncul pada novel anak menunjukkan adanya sebaran kuasa sekaligus perlawanan

terhadap norma heteroseksual dari perspektif anak-anak.

F. Landasan Teori

Penelitian ini membahas transgender dalam sastra anak Australia yang fokus

pada representasi, relasi kuasa dan latar belakang sosial kultural yang melatar belakangi

munculnya wacana transgender dalam Introducing Teddy dan The Gender Fairy.

Penelitian ini menggunakan beberapa teori untuk mengkajinya, yaitu teori representasi

Stuart Hall, teori Queer Judith Butler, dan analisis wacana feminis.
18

1. Teori Representasi

Menurut Hall sendiri dalam bukunya Representation: Cultural Representation

and Signifying Prectices bahwa Representasi menghubungkan makna dan bahasa

melalui budaya. Representasi merupakan bagian penting dari proses dimana makna

diproduksi dan dipertukarkan antar anggota masyarakat (Hall, 1997: 15). Jadi, dapat

dikatakan bahwa representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi

makna. Representasi merupakan produksi makna dari konsep-konsep yang ada di

pikiran melalui bahasa. Hubungan antara konsep dan bahasa inilah yang

memungkinkan terjadinya ‗pengarahan atau penunjukan‘ baik kepada dunia ‗nyata‘

mengenai objek, orang, atau peristiwa, atau dunia imajiner dari objek, orang, dan

peristiwa yang fiksional.

Ada dua sistem representasi. Dinamakan sistem representasi karena representasi

tidak hanya berkaitan dengan konsep yang sifatnya individual melainkan beragam cara

dalam mengarahkan, mengatur, mengelompokkan, dan mengklasifikasikan konsep, dan

menetapkan relasi yang kompleks di antara mereka. Sistem yang pertama adalah

‗sistem‘ di mana semua objek, orang, dan peristiwa berkaitan dengan seperangkat

konsep atau representasi mental yang dibawa dalam kepala kita. Makna suatu konsep

bergantung pada dunia –orang, peristiwa, nyata atau fiksional—dan sistem yang

konseptual, yang dapat beroperasi sebagai representasi mental (Hall, 1997:17).

Sistem representasi yang kedua adalah bahasa. Bahasa merupakan sistem

representasi yang terlibat dalam semua proses pembentukan makna (Hall, 1997:18).
19

Tanda adalah istilah yang digunakan untuk kata, suara, atau citraan yang membawa

makna. Tanda tersebut berfungsi untuk merepresentasikan makna atau relasi konseptual

dan membuat sistem pemaknaan dalam suatu budaya. Suara, kata, citra atau objek yang

berfungsi sebagai tanda, dan diatur dengan tanda lain melalui sebuah sistem yang

mampu membawa dan mengekspresikan maknanya, disebut ‗bahasa.‘

Dalam kaitannya dengan proses pemaknaan dalam budaya, Hall menyatakan ada

dua proses, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.

At the heart of the meaning process in culture, then, are two related
‗systems of representation.‘ The first enables us to give meaning to the world by
constructing a set of correspondences or a chain of equivalences between things
–people, objects, events, abstract ideas, etc- and put system of concepts, our
conceptual maps. The second depends on constructing a set of correspondences
between our conceptual map and a set of signs, arranged or organized into a
various languages which stand for or represent those concepts. The relation
between ‗things‘, concepts and signs lies at the heart of the production of
meaning in language. The process which links these three elements together is
what we call ‗representation‘ (Hall, 1997:19).
Berdasarkan penjelasan Hall di atas, proses yang pertama adalah kemungkinan

pemaknaan dengan membangun seperangkat peta konseptual. Proses berikutnya

bergantung pada bagaimana kita membagun peta konseptual dengan seperangkat tanda

yang diatur dalam keragaman bahasa untuk merepresentasikan konsep-konsep tersebut.

Relasi antara ‗sesuatu‘, konsep, dan tanda inilah yang mempengaruhi produksi makna.

Proses yang menghubungkan ketiga hal itu lah, yang menurut Hall, disebut sebagai

representasi.

Budaya berbagi peta konseptual, sistem bahasa, dan kode yang mengatur

hubungan pemaknaan di antara ketiga hal itu. Kode menstabilkan hubungan antara
20

konsep dan tanda. Pemaknaan itu sendiri dikonstruksi, diproduksi, dan tidak hadir

dengan sendirinya. Praktik pemaknaan inilah yang menghasilkan makna.

Dalam pendekatan konstruksionis, representasi berarti sebuah praktik, sebuah

‗kerja‘ yang menggunakan objek material dan memiliki pengaruhnya. Namun,

maknanya bergantung pada fungsi simboliknya (Hall, 1997: 27). Pemaknaan

bergantung pada relasi antara tanda dan konsep yang ditentukan oleh sebuah kode.

Manusia mengkonstruksi makna dengan sangat tegas sehingga suatu makna terlihat

seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi melalui system

representasi dan difiksasi melalui kode. Kode inilah yang membuat masyarakat yang

berada dalam suatu kelompok budaya yang sama mengerti dan menggunakan nama

yang sama, yang terlah melewati proses konvensi secara sosial. Misalnya, ketika kita

memikirkan ‗sekolah‘, maka kita menggunakan kata SEKOLAH untuk

mengkomunikasikan apa yang ingin kita ungkapkan kepada orang lain. Hal ini karena

kata SEKOLAH merupakan kode yang telah disepakati dalam masyarakat kita untuk

memaknai suatu konsep mengenai ‗sekolah‘ yang ada dipikiran kita (tempat belajar

atau menimba ilmu). Kode, dengan demikian, membangun korelasi antara sistem

konseptual yang ada dalam pikiran kita dengan sistem bahasa yang kita gunakan.

Dalam kesimpulan yang ditulis dalam buku Hall terkait pendekatan

konstruksionis pada representasi melalui bahasa bahwa,

Representation is the production of the meaning through language. In


representation, constructionist argue, we use signs, organized into languages of
different kinds, to communicate meaningfully with others. Languages can use
signs to symbolize, stand for or reference objects, people and events in the so-
21

called ‗real‘ word. But they can also reference imaginary things and fantasy
worlds to abstract ideas which are not in any obvious sense part of our material
world. There is no simple relationship of reflection, imitation or one-to-one
correspondence between language and the real world. The world is not
accurately or otherwise reflected in the mirror of the language. Language does
not work like a mirror. Meaning is produced within language, in and through
various representational systems which, for convenience, we call ‗languages‘.
Meaning is produced by the practice, the ‗work‘, of representation. It is
constructed through signifying. (Hall, 1997: 28).
Wacana dapat dikatakan sebagai sebuah sistem representasi. Sebab, makna dan

praktik pemaknaannya dikonstruksikan melalui wacana. Sesuatu memiliki makna

dalam sebuah konteks historisnya. Wacana menghasilkan bentuk pengetahuan, objek,

subjek, praktik pegetahuan yang dapat berbeda dari waktu ke waktu.

Transgender yang muncul dalam buku bacaan anak-anak melibatkan suatu

sistem representasi mengenai bagaimana transgender dikonstruksikan dalam sebuah

wacana, melalui bahasa verbal maupun visual. Dalam analisis wacana feminis, kajian

representasi transgender diperlukan untuk mengetahui pengetahuan mengenai

transgender apa saja yang dihadirkan dalam teks dan apa yang tidak dihadirkan di

dalamnya. Citra yang terefleksi mengenai transgender atau tokoh transgender dalam

buku anak mungkin saja memberikan informasi mengenai bagaimana nilai-nilai

transgender atau permasalahan yang berkaitan dengan transgender yang

direpresentasikan dari dunia nyata.

2. Teori Queer

Dalam pemahaman Butler, gender tidak otomatis berasal dari jenis kelamin.

Baik gender maupun jenis kelamin, menurut Butler, adalah fiktif. Artinya, keduanya
22

dibentuk dalam praktik diskursif maupun nondiskursif. Gender merupakan performatif

sekaligus produk wacana. Disebut sebagai performatif karena gender memerlukan

pertunjukan yang diulang-ulang. Repetisi ini sekaligus merupakan pemeragaan

sekaligus pengalaman kembali dari seperangkat makna yang sudah mapan secara sosial

(Butler, 1999:178-179).

Pemeragaan kembali atau pengulangan-pengulangan itu jamak dan ritual yang

biasa dilakukan untuk mendapatkan legitimasi dari lingkungan sosial mereka.

Performan ini dipengarui oleh tujuan strategis pengaturan gender dalam masyarakat

yang menganut sistem binari gender. Dalam cara ini, gender adalah sebuah identitas

yang lemah, dibentuk dalam sebuah lingkungan melalui pengulangan perilaku yang

dibuat-buat.

Gender merupakan performatif karena tidak memiliki 'kenyataan sama sekali'.

Gender merupakan efek dari 'keputusan wacana publik dan masyarakat' yang

membutuhkan pengulangan tanpa henti dari berbagai lakuan gender/gaya yang

membuatnya tampak nyata/kekal/benar dalam hidup kita, dengan melakukan

pengulangan-pengulangan (Beasley, 2005:102).

Secara lengkap, dalam bukunya yang berjudul Gender Trouble, Butler

menyatakan seperti berikut.

Such acts, gestures, enacments, generally construed, are performative in the


sense that the essence or identity that they otherwise purport to express are
fabrication manufactured and sustained through corporeal signs and other
discursive means. That the gendered body is performative suggests that it has no
ontological status apart from the various acts which constitute its reality. This
23

also suggests that if that reality is fabricated as an interior essence, that very
interiority is an effect and function of fantasy differentiates inner from outer,
and so institutes the ―integrity‖ of the subject. In other words, acts and gestures,
articulated and enacted desires create the illusion of an interior and organizing
gender core, as an illusion discursively maintained for the purposes of the
regulaton of sexuality within the obligatory frame of reproductive
heterosexuality. (Butler, 1999:173)
Berdasarkan kutipan di atas, Butler menjelaskan bahwa perilaku, gesture,

pengundang-undangan itu semuanya dapat ditafsirkan sebagai performatif, sebab esensi

atau identitas yang diekspresikan sebenarnya adalah buatan semata, dan dipelihara

melalui tanda dan alat-alat diskursif lainnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa realitas

sebenarnya hanya buatan (sesuatu yang dibentuk). Bahasa, perilaku, gestur

diartikulasikan untuk menciptakan ilusi dan mengatur gender untuk tujuan regulasi

seksualitas dalam kerangka reproduksi heteroseksualitas.

Gender merupakan sebuah 'fabrikasi' atau buatan saja. Karenanya, 'identitas'

merupakan sebuah 'fantasi', yang diimajinasikan dan dilakukan sebagai sebuah

kenyataan yang tak tergantikan. Dalam teori Butler, gender merupakan hasil dari

performativitas. Performativitas yang dimaksudkan di sini adalah bahwa apa yang

disebut sebagai maskulin, feminin, atau homoseksual adalah bukan sesuatu yang ada.

Namun, telah ada pada kondisi sebelumnya dan diulang-ulang nilainya hingga menjadi

aturan yang tak tertulis dalam masyarakat, dan diyakini kebenarannya secara taken for

granted. Jadi, ketika seorang perempuan berlaku ‗feminin‘, misalnya, sebenarnya dia

hanya melakukan atau menunjukkan apa yang telah ada atau ditunjukkan oleh

masyarakat sebelumnya.
24

Tugas kritikus feminis menurut Butler adalah untuk menegaskan kemungkinan-

kemungkinan intervensi dengan menelaah praktik repetisi yang membentuk identitas

dan tetap menghadirkan perlawanan-perlawanan terhadapnya (Butler, 1999:188). Tugas

ini memerlukan genealogi kritik terhadap naturalisasi seks dan tubuh. Dengan memulai

analisis politis terhadap heteroseksualitas, perlu dipertanyakan pula bagaimana

konstruksi seks dalam hirarki yang binari. Dari sudut pandang gender sebagai suatu

ketetapan, pertanyaan dapat diperluas menjadi ketetapan identitas gender yang ada dan

diekspresikan dalam masyarakat.

Istilah queer muncul dari adanya pertanyaan mengenai stabilitas dan variabilitas

dalam performativitas. Istilah queer merupakan salah satu praktik linguistik yang

tujuannya adalah untuk mempermalukan subjek atau menghasilkan subjek melalui

interpelasi yang memalukan. Kekuatan queer justru berasal dari seruan yang

menghubungkannya dengan tuduhan, patologisasi, dan penghinaan. Ini diserukan dalam

masyarakat yang homofobis dari waktu ke waktu.

Gender sebagai performativitas memiliki nilai historis dalam suatu masyarakat,

tidak hanya yang telah ada sejak dahulu tapi yang telah menjadi kebiasaan, dan nilai

historis tersebut secara efektif mempengaruhi pandangan subjek sebagai suatu identitas

yang dinyatakan dalam masyarakatnya. Hal ini juga berarti bahwa istilah yang

digunakan untuk mempolitisasi identitas kadang kala memerlukan perlawanan terhadap

bentukan historisnya. Orang yang mempertanyakan hal itu kadang kala disebut orang

yang sedang mendepolitisasi teori. Genealogi kritik terhadap subjek yang mengkaji
25

bentukan dan pengeksklusifan relasi kuasa melalui bentukan wacana inilah yang

menjadi inti dari teori queer (Butler, 1993:227).

Queer merupakan situs kontestasi dari refleksi historis dan gambaran masa

depan. Quer sendiri menurut Butler merupakan istilah yang tumpang tindih.

Ketumpangtindihan dalam istilah queer menurut Butler:

In some context, the terms appeals to a younger generation who want to resist
the more institutionalized and reformist politics sometimes signified by ―lesbian
and gay‖, in some context, sometimes the same, it has marked a predominantly
white movement that has not fully addressed the way in which ―queer‖ plays –or
fails to play—within non-white communities and whereas in some instances it
has mobilized a lesbian activism,‖ in other term represents a false unity of
women and men. (Butler, 1993:228)
Menurut Butler, dalam beberapa konteks istilah queer seperti mengacu pada

generasi muda yang ingin melakukan perlawanan terhadap sesuatu yang telah

diinstitusionalkan, sebuah gerakan politis yang kadang dihubungkan dengan ‗lesbian

dan gay‘. Namun dalam konteks yang lain, queer kadang dimaknai sebagai gerakan

komunitas kulit putih dan aktivisme lesbian. Kadang queer juga merepresentasikan

penyatuan yang palsu antara laki-laki dan perempuan.

Politik dekonstruksi queer memungkinkan kita untuk mempertimbangkan apa

yang telah dikorbankan dan apa yang menjadi tujuan digunakannya istilah tersebut, dan

melalui relasi kuasa seperti apa kategori-kategori yang telah ada itu dibuat. Inti dari

studi queer adalah bahwa kajian queer mengisyaratkan penyelidikan terhadap

pembentukan homoseksualitas dan perubahan atau penyalahgunaan kuasa yang

berkaitan dengan istilah tersebut.


26

Seseorang tidak akan pernah cukup menguasai idealisme identitas yang

dipaksakan terhadapnya, karenanya memerlukan proses yang senantiasa diulang-ulang.

Norma gender yang dijalankan membutuhkan perwujudan ideal dari femininitas dan

maskulinitas, identitas yang selalu dihubungkan dengan idealisasi dalam ikatan

heteroseksual. Femininitas bukan produk dari pilihan, namun sebutan yang dipaksakan

dari suatu norma, yang dalam kesejarahannya tak dapat dipisahkan dari relasi disiplin,

regulasi, dan hukuman. Teori queer merupakan praktik pemaknaan ulang akan ‗queer‘

sekaligus kontestasi terhadap legitimasi seksual (Butler, 1993:232).

Teori queer menentang siapa saja yang mengatur identitas atau menetapkan

klaim epistemologis. Teori queer tidak hanya merambah pada komunitas berbasis

aktivisme antihomofobis, melainkan untuk melawan bahwa seksualitas bukan hal yang

mudah untuk disimpukan atau disatukan melalui kategorisasi (Butler, 2004:7).

Gender adalah aparatus di mana produksi dan normalisasi maskulin dan feminin

berada bersamaan dengan persoalan hormonal, kromosomal, psikis, dan performatif

yang diharapkan oleh suatu gender (Butler, 2004:42). Gender adalah suatu mekanisme

di mana gagasan mengenai maskulin dan feminin diproduksi dan dinaturalisasikan.

Gender mungkin juga menjadi aparatus bila istilah tersebut didekonstruksi dan

didenaturalisasi. Ketika seseorang dihubungkan dengan ‗gender trouble‘ atau ‗gender

blending‘, ‗transgender‘ atau ‗cross-gender‘, maka seseorang telah menyaran bahwa

gender memiliki cara untuk bergerak dari binari yang dinaturalisasikan. Kebinarian

tersebut tidak bisa dipahami begitu saja di luar kerangka heteroseksual, bahwa gender

itu sendiri tidak stabil, bahwa kehidupan transgender adalah bukti dari terpecahnya garis
27

penyebab yang menentukan antara seksualitas dan gender. Yang tidak kalah penting

adalah untuk melacak suatu momen dimana sistem binari gender dilawan dan

diperdebatkan, dan di mana kategori yang ada dipertanyakan, dan di mana kehidupan

sosial gender dapat berubah menjadi lebih lentur dan diubah (Butler, 2004:216).

Dengan sudut pandang teori queer, transgender dapat dimaknai sebagai

kontestasi antara nilai-nilai gender tradisional dan gender masa depan yang dibayangkan

(oleh anak-anak). Anak-anak yang dicap tomboi ataupun feminin itu mempertanyakan

nilai-nilai femininitas dan maskulinitas yang menghegemoni dalam masyarakat mereka

yang heteroseksis. Anak-anak yang transgender acap kali mendobrak norma

heteroseksual, mempertanyakan dan berusaha menggoyahkan nilai gender yang ada,

dan berusaha merangkul kedua identitas dalam subjek dirinya.

3. Analisis Wacana Feminis

Perhatian kaum feminis terhadap isu-isu gender yang berkembang di masyarakat

juga turut mempengaruhi orientasi kajiannya. Sebagai sebuah teori, feminisme telah

mengalami begitu banyak perkembangan. Perkembangan feminisme dapat dibagi

menjadi tiga gelombang. Feminisme gelombang pertama dimulai pada akhir abad ke-19

sampai tahun 1920an (1880-1920). Feminisme gelombang kedua muncul di akhir tahun

1960an. Ada perbedaan antara feminisme gelombang pertama dan kedua. Feminisme

gelombang pertama melobi pemberian hak perempuan melalui hak pilih (Sommers,

1994:22). Feminis gelombang kedua mulai mengarahkan perhatiannya pada perlawanan

terhadap patriarki, dengan memperhatikan persoalan seks atau gender, memusatkan


28

perhatian pada isu-isu khusus perempuan, seperti hak reproduksi, ibu, kekerasan

seksual, ekspresi seksualitas dan tenaga kerja domestik (Gills, 2004:2). Feminisme

gelombang ketiga masih meneruskan isu gelombang kedua, khususnya tentang seks dan

gender, namun juga memperhatikan ‗racun‘ budaya pop dan media massa.

Feminisme posmodern merupakan perkembangan pemikiran feminis gelombang

ke tiga. Feminisme posmodern berkeyakinan bahwa 'laki-laki' dan 'perempuan' pada

hakikatnya adalah persoalan kategori yang dibentuk melalui wacana (Jackson,

2009:232). Menurut Derrida (via Bryson, 2003:234), meskipun objek dan individu

memiliki keberadaan material, namun 'realitas'nya dimediasikan oleh pengalaman dan

bahasa. Meskipun kata-kata memungkinkan untuk melihat dunia, namun pemaknaannya

selalu berubah, dan dipahami secara berbeda oleh orang yang berbeda, dan di waktu

yang berbeda pula.

Analisis terhadap cara kata-kata itu digunakan dan pengetahuan tentangnya,

pemaknaan, dan budayanya, produksi secara kulturalnya, penting untuk dilakukan.

Sebab, kelompok yang dominan akan berusaha untuk mempengaruhi cara mereka

melihat dunia kepada semua anggota masyarakat, dan wacananya akan bersifat

mengikat, meskipun dapat dilawan atau dinegosiasikan oleh kelompok lainnya.

Perlawanan itu terfragmentasi dan bersifat sementara.

Penelitian feminis posmodern memiliki ciri adanya tendensi yang kuat untuk

masuk ke eksperimen-eksperimen linguistik dan mengeksplorasi narasi sebagai alat

untuk mengkritisi narasi utama kekuasaan yang menghegemonik, sekaligus sebagai cara
29

untuk mengartikulasikan pendekatan alternatif untuk menganalisis resistensi dan agensi

subjektif (Lykke, 2010:149).

Penelitian ini berangkat dari pemikiran feminisme gelombang ke tiga, yang

memandang bahwa gender merupakan bagian dari wacana yang keberadaannya

dimediasi melalui pengalaman dan bahasa. Karenanya, pemaknaan terhadap gender

akan senantiasa berubah, sesuai dengan konteks masyarakat. Sastra sebagai produk

masyarakat dapat melakukan representasi atau konstruksi imaji-imaji yang menyiratkan

makna dan ideologi tertentu (Budianta, 2002:211). Representasi dapat dianggap sebagai

‗medan perang‘ kepentingan atau kekuasaan suatu ideologi.

Analisis wacana feminis merupakan perkembangan dari analisis wacana.

Analisis wacana dapat dipandang sebagai reaksi dari analisis struktural yang lebih fokus

pada unit pembentuk bahasa dan struktur kalimat, dan tidak terlalu memperhatikan

analisis kegunaan dari bahasa itu sendiri (Mills, 1997:135). Selain dikembangkan dari

analisis wacana, analisis wacana feminis juga dipengaruhi oleh pemikiran Foucault

mengenai kekuasaan.

Teori analisis wacana meyakini bahwa kekuasaan dihadirkan dalam cara-cara

yang didesentralisasikan, dilokalisasikan, diwacanakan, dan secara institusional

mengalami proses penormalan, maka kekuasaan juga menghasilkan berbagai macam

bentuk perlawanan. Wacana terbentuk atas relasi antara kebenaran, kekuasaan, dan

pengetahuan (Mills, 1997:19-22). Kekuasaan adalah sebuah usaha untuk mencegah

seseorang melakukan apa yang menjadi kehendaknya dan pembatasan terhadap


30

kebebasan seseorang. Kekuasaan ini menyebar melalui relasi sosial dan menghasilkan

perilaku-perilaku yang diperbolehkan atau dilarang. Semua pengetahuan yang diperoleh

individu merupakan hasil atau efek dari sebuah kekuasaan.

Kekuasaan tersebut terepresentasi, antara lain dengan hubungan negatif, instansi

aturan, siklus larangan, logika sensor, dan kesatuan perangkat (Foucault, 1997:102-

104). Hubungan negatif antara lain berupa penyingkiran, pengabaian, penolakan,

penghambatan, dan penyamaran. Dampak dari hubungan negatif adalah pembatasan.

Instansi aturan adalah bentuk kekuasaan yang mengatur seorang individu boleh atau

tidak melakukan sesuatu. Siklus larangan bertujuan untuk memfungsikan kekuasaan.

Alatnya adalah ancaman. Logika sensor untuk menegaskan, menghalangi, dan

menyangkal apa yang ada demi langgengnya kekuasaan. Aturan-aturan tersebut

diterapkan merata di segala tataran, dari atas hingga bawah.

Wacana bagi Foucault (1997:125) adalah alat sekaligus dampak kekuasaan, juga

hambatan, sandungan, perlawanan, dan awal strategi yang berlawanan. Wacana

menyatakan dan menghasilkan kekuasaan, memperkokoh sekaligus mengikisnya,

memaparkan sekaligus membuatnya rentan.

Lehtonen (2007:4-7) menyampaikan beberapa kata kunci dari analisis wacana

feminis. Pertama, analisis wacana feminis berorientasi pada kritik. Fokus kritis ini

adalah pada penjelasan peran praktik wacana untuk menjaga tatanan sosial dan

perubahan sosial. Kedua, analisis wacana feminis mempertimbangkan hubungan antara

teks dan konteks sosial kultural. Analisis wacana feminis berupaya menunjukkan
31

hubungan yang mungkin tersembunyi, seperti kaitan antara bahasa, kekuasaan, dan

ideologi. Analisis wacana feminis menamai proses ini sebagai demistifikasi atau

denaturalisasi asumsi-asumsi ideologis yang memungkinkan perbedaan kekuasaan dan

ketaksetaraan.

Tujuan analisis wacana feminis bersifat politis, yakni memunculkan kesadaran

dan perubahan sosial melalui kritik wacana. Perhatian utama analisis wacana feminis

adalah pada studi empiris mengenai cara-cara gender dikonstruksikan dalam teks dan

situasi-situasi tertentu, atau dengan cara bagaimana gender secara diskursif terbentuk.

Karena gender tergantung pada konteks sosial kultural, maka analisisnya berpusat pada

representasi gender dan strategi kuasa yang tergenderkan dalam situasi teks dan

konteksnya yang khas.

Tujuan analisis wacana feminis mengkaji representasi adalah untuk melihat apa

yang tidak ada dan dihadirkan dalam sebuah teks (Pilcher & Wherehan, 2004:138).

Representasi ini penting dikaji sebab citra yang terefleksi melalui tokoh-tokoh mungkin

saja tidak sesuai, namun sekaligus dapat memberitahu pembaca mengenai bagaimana

nilai-nilai dan permasalahan yang direpresentasikan dari dunia nyata. Konsep

representasi di sini diadaptasi dari teori representasi Stuart Hall. Hall (2003:17)

menyatakan bahwa representasi adalah salah satu cara untuk memproduksi makna.

Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan kepada anggota

masyarakat lainnya.
32

Dalam pemahaman analisis wacana feminis, seseorang dapat menggunakan

wacana untuk menciptakan sesuatu: dapat mengambil bagian dalam mengerjakan ulang,

atau melawan asumsi yang dibawa wacana. Meski wacana dapat membentuk kehidupan

individu, wacana juga dapat dilawan atau diubah oleh individu dalam situasi sosial,

institusi, serta struktur yang dibangun oleh wacana. Dengan kata lain, analisis wacana

feminis tak hanya tertarik pada upaya mengeksplorasi bentuk-bentuk penindasan,

melainkan juga bentuk-bentuk pemberdayaan melalui wacana.

Satu hal yang harus dicatat menurut Lehtonen (2007:6), meski tujuan analisis

tekstual dalam analisis wacana feminis adalah untuk menjembatani representasi gender

atau wacana yang tergenderkan dalam teks dengan konteks sosial kulturalnya, analisis

wacana feminis tidak bertujuan untuk memprediksi 'respon pembaca' atau menentukan

'niatan penulisnya‘.

Analisis wacana feminis adalah salah satu bentuk analisis wacana yang

memfokuskan kajiannya pada persoalan bagaimana gender sebagai suatu wacana

dikonstruksi, kekuasaannya tersebar dan senantiasa diproduksi-dinegosiasi atau bahkan

di-re-negosiasi oleh kelompok sosial. Analisis wacana feminis bekerja dalam dua

tataran. Yang pertama, mikro level atau berangkat dari unit sastra. Kedua, makro level

atau dari konteks di luar karya sastra. Dalam analisis wacana feminis, pemaknaannya

dilakukan dengan mempertimbangkan mikro dan makro, dilakukan secara berulang,

bertingkat, dan bolak-balik.

G. Metode Penelitian
33

1. Data dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah sastra anak Australia, Introducing

Teddy karya Jessica Walton dan The Gender Fairy karya Jo Hirst. Data primer adalah

teks yang terdapat dalam kedua buku bacaan anak-anak tersebut, sementara data

sekunder sumber yang berasal dari jurnal, karya ilmiah, majalah, koral, dan lain-lain.

Objek material dalam penelitian ini adalah Introducing Teddy karya Jessica

Walton dan The Gender Fairy karya Jo Hirst. Sementara itu, Objek formalnya adalah

representasi transgender dan relasi kekuasaan serta konteks sosial kultural yang

diproduksi wacana transgender dalam sastra anak Australia. Objek material dipilih

dengan menggunakan teknik purposive sampling. Ada beberapa pertimbangan dalam

pemilihan objek tersebut. Pertama, buku bacaan anak-anak yang dipilih yakni buku

yang bertema tentang transgender dalam kehidupan anak-anak. Kedua, buku bacaan

anak-anak yan ditulis oleh penulis Australia dan diterbitkan di Australia.

2. Metode Pengumpulan Data

Data terkait representasi karakter transgender, relasi kuasa karakter transgender

dan karakter lain, serta sosial kultural yang menghasilkan wacana transgender yang

melahirkan wacana transgender diambil dengan teknik penyimakan secara kritis

terhadap informasi yang didapatkan, baik dari buku bacaan anak-anak maupun teks

diluar karya sastra. Penyimakan terhadap permasalahan penelitian dilakukan dengan

(1) menyimak multiple voices dalam buku bacaan anak-anak untuk melihat suara-suara

mengenai karakter/tokoh transgender serta pandangan narator mengenai transgender


34

dalam novel yang dikaji; (2) melakukan interpretasi dengan melihat hubungan

antartokoh dalam micro level; dan (3) mencari aspek-aspek di luar karya sastra untuk

melihat bagaimana persoalan transgender dipersepsi di luar konteks karya sastra.

3. Metode Analisis Data

Seperti yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini merupakan penelitian

yang mengkaji persoalan transgender dalam novel anak melalui analisis wacana

feminis. Lehtonen (2007) telah membuat sistematika tahapan dalam analisis gender

dalam fiksi anak dengan menggunakan analisis wacana feminis atau feminist discourse

analysis. Pertama, membaca mikro level untuk melihat permasalahan pertama dan

kedua penelitian. Kedua, melakukan pembacaan interdiskursif (membaca teks dengan

memahami konteks sosial kulturalnya) dan intertekstual (membaca teks dan melihat

keterkaitannya dengan teks/konteks) untuk melihat permasalahan penelitian yang

ketiga, yakni konteks sosial kultural produksi dalam sastra anak Australia.

Pembacaan secara intertekstual ini bukan berarti membaca untuk mencari pre-

teks-nya, melainkan untuk memaknai kaitan antara gender, bahasa, dan formasi sosial

kulturalnya. Teks di sini juga dapat berupa tulisan dari jurnal, media massa, hasil

penelitian, atau buku yang relevan dengan permasalahan penelitian. Pembacaan

interdiskursif perlu dilakukan sebab tak mungkin teks dipahami secara terpisah dengan

teks yang lain dan konteks sosial kulturalnya.

H. Sistematika Penulisan
35

Hasil penelitian akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut.

Bab 1: Pengantar; menyajikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab 2: Representasi transgender dalam Introducing Teddy dan Gender Fairy.

Bab 3: Relasi kuasa transgender dalam Introducing Teddy dan Gender Fairy.

Bab 4: Latar belakang sosial kultural produksi wacana transgender dalam Introducing

Teddy dan Gender Fairy

Bab 5. Kesimpulan dan Saran.

Anda mungkin juga menyukai