PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata queer, dalam konteks kajian akademis teori queer, merujuk pada
nonnormative gender dan seksualitas (Westling, 2008). Umumnya, kata queer merujuk
pada banyak potensial dari nonnormative gender dan seksualitas. Queer bertujuan untuk
menunjukkan bahwa identitas ini berada pada kategori yang tidak tetap dan
membutuhkan penanda identitas statis. Queer juga meliputi gender dan seksualitas yang
orientasi seksual yang tidak tergantung pada satu sama lain. Heteronormativitas
menggambarkan tatanan sosial yang merujuk pada institusi agama, akademis, medis
normal atau diterima (Warner, 1991). Penulis menggunakan kata queer untuk
menggambarkan karakter dalam buku bacaan anak-anak bukan karena buku atau
karakter menggambarkan diri mereka seperti demikian tetapi berdasarkan bukti karakter
yang diberikan kepada mereka. Masa kanak-kanak atau anak sekolah kadang-kadang
disebut sebagai produksi dan reproduksi gender dan periode queer (Renold, 2005: 8-9).
Apa yang dimaksud dengan istilah queer adalah sebuah periode dimana masa
1
2
kanak-kanak terkadang identitas gender menjadi kabur, melampaui norma gender, atau
Secara teoritis, sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak dengan
bimbingan dan pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga
dilakukan oleh orang dewasa (Davis 1967 dalam Sarumpaet, 1976: 23). Dengan
demikian, secara praktis, sastra anak adalah buku bacaan anak-anak yang sesuai untuk
mereka baca dengan karakteristik berbagai ragam, tema, dan format. Ada banyak
ragam sastra anak yang sering kita jumpai, seperti kisah-kisah klasik yang dikenal
sebagai cerita rakyat. Kemudian, kisah-kisah fantasi, puisi, cerita realistik, fiksi
kesejarahan, biografi serta buku informasi. Dilihat dari temanya, karya sastra anak juga
mempunyai banyak ragam. Definisi lain tentang sastra anak adalah cerita yang mengacu
pada korelasi dengan dunia anak-anak (dunia yang dipahami anak) dan bahasa yang
2009: 22).
Beberapa contoh yang paling menonjol dari permasalahan pelanggaran gender dalam
sastra anak secara alur cerita berkisar pada karakter laki-laki muda yang tidak sesuai
dengan maskulinitas tradisional dan harus berusaha untuk diterima oleh keluarga dan
lingkungan mereka. Karakter utama dari Oliver Button Is a Sissy (DePaola, 1979)
3
dipanggil ‗banci‘ oleh ayah dan teman-temannya karena ia tidak melakukan apa yang
seharusnya anak laki-laki lakukan. Dia lebih menyukai bermain boneka atau kostum
dari pada olahraga, dan karena orang tuanya khawatir tentang dia, mereka mengirimkan
dia ke kelas tari. Hal ini membuat dia menjadi target ejekan di sekolah hingga suatu
Oliver mendapatkan tepuk tangan dan pujian dari masyarakat, mereka tidak lagi
dikucilkan karena perbedaannya; dia tidak lagi seorang banci tetapi seorang bintang.
Identitas gender yang ditunjukkan oleh Oliver tidak lagi menjadi masalah bagi
masyarakat ketika mereka melihatnya dari segi individualisme dari pada melakukan
penghinaan terhadap preskripsi gender yang dominan, seperti yang diharapkan dalam
norma heteroseksis. Cerita ini merupakan contoh dari cerita dimana pelanggaran peran
Hal ini membuktikan bahwa identitas gender yang berbeda dapat diterima
adalah bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diterima tentang kesesuaian gender bagi
karakter laki-laki yang harus dikompensasi. Gender yang berbeda dari yang diharapkan
tampaknya menjadi sebuah pesan positif karena akhirnya karakter dengan identitas
gender yang ditampilkan bisa diakui dan tidak diejek. Namun, yang menjadi masalah
adalah bahwa karakter ini menanggung beban untuk membuktikan bahwa mereka dapat
diterima, bukan harapan bahwa masyarakat harus dapat mengubah cara berpikir mereka.
Implikasi dari harapan ini adalah bahwa ada sesuatu yang salah dengan gender, yang
mempertahankan bahwa gender yang sesuai adalah gender yang tidak dapat diterima
Dalam cerita lain, 10,000 Dresses karya Marcus Ewert dan Rex Ray merupakan
sebuah buku bacaan anak-anak yang menceritakan Bailey, seorang transgender laki-laki
yang mempunyai keinginan untuk memakai gaun. Percakapan Bailey dengan ibunya
mewakili wacana serupa bahwa transgender dan varian gender anak-anak berhubungan
tindakannya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat seperti tindakan seorang ‗laki-
laki‘ dan ‗perempuan‘, menghadapi rentetan pesan yang menghina mereka. Apa yang
terjadi jika Marcus berada dilorong Barbie dan memilih boneka favorit yang baru?
Bagaimana perasaan Maya ketika ibunya memaksa dia untuk memilih mainan
perempuan dari pada mobil dan action figure yang lebih dia sukai? Untuk anak-anak
orang tua yang transgender, buku-buku seperti 10,000 Dresses dapat berguna dalam
normalisasi pengalaman mereka. Buku-buku ini dapat membantu anak-anak lebih baik
memahami diri mereka sendiri dan orang tua mereka dan membantu dalam
perkembangan identitas mereka. Pada saat yang sama, buku dengan tema transgender
dapat menjembatani pemahaman antara mereka yang varian gender dan yang tidak
Buku bacaan anak-anak merupakan salah satu solusi untuk mengenalkan kepada
anak-anak tentang isu transgender yang mungkin juga menjadi sebuah tanda/gejala
dengan apa yang mereka rasakan. Picture book itu unik karena ilustrasi dan teks berbagi
5
tugas untuk menceritakan kisah dan memberikan ajaran. Tidak ada jenis lain dari karya
sastra diciptakan dengan cara yang sama. Dalam dunia penerbitan saat ini, picture book
telah berkembang ke dalam bentuk yang lebih menarik. Yakni dengan proses cetakan
yang meningkat dan menghasilkan buku yang penuh warna serta permintaan untuk
picture book meningkat, beberapa seniman dan penulis terbaik menghabiskan paling
tidak sebagian dari jiwa kreatif mereka yang ekspresikan dalam picture book (Tunnel,
2012: 61). Picture book juga bisa mengedukasi anak-anak dengan cerita tentang
kehidupan transgender pada anak-anak. Kata transgender merupakan istilah umum yang
biasanya merujuk pada yang identitas gender dan seksualnya berbeda (Stein, 2015:
480). Perbedaan yang dimaksud seperti seorang laki-laki yang feminin dan seorang
Ada beberapa alasan mengapa transgender dalam buku bacaan anak-anak dipilih
sebagai objek dalam penelitian ini. Salah satu diantaranya karena isu transgender
merupakan isu yang sedang banyak dibicarakan dalam beberapa waktu terakhir.
negara. Salah satu contoh yakni di Selandia Baru terdapat sebuah survei1 tentang siswa
tersebut bertujuan untuk mendata siswa yang masuk dalam 4 kelompok gender (hal
tersebut didata sebagai non-transgender, transgender, atau tidak yakin dengan gender
1
The Health and Well-Being of Transgender High School Students: Result from the New Zealand
Adolescent Health Survey (Youth‘12). Survey tersebut merupakan survey nasional pertama pada bidang
kesehatan dan kesejahteraan pada anak-anak muda yang transgender. Hal tersebut menjadi penting bahwa
survey yang berbasis populasi mengakui bahwa tidak semua orang mengetahui pasti tentang gender
mereka sendiri. Sekolah, layanan kesehatan, dan komunitas harus memperhatikan bahwa anak muda yang
transgender mewakili populasi penting yang memiliki kebutuhan khusus.
6
mereka sendiri, atau bagi siapa yang tidak mengerti dengan pertanyaan tentang
adalah 94,7% non-transgender, 1,2% sebagai transgender, 2,5% tidak yakin (bingung)
dengan gender mereka sendiri, dan 1,7% tidak mengerti dengan pertanyaan. Siswa yang
terdata sebagai transgender atau tidak yakin dengan gender mereka sendiri atau bahkan
yang tidak mengerti dengan pertanyaan dalam survei tersebut mengalami gangguan
dalam non-transgender. Lebih dari setengah siswa transgender merasa khawatir menjadi
kepada orang terdekat tentang (mereka) menjadi transgender. Sekitar tiga perempat dari
siswa transgender melaporkan bahwa kegiatan di sekolah baik-baik saja dan paling
tidak ada salah satu dari orang tua yang peduli tentang kondisi mereka. Siswa
transgender, tidak yakin, atau tidak mengerti pertanyaan survei berada pada peningkatan
resiko kekerasan dan ancaman keselamatan pribadi. Sebagai contoh, lebih dari setengah
jumlah dari mereka takut kepada seseorang di sekolah yang akan menyakiti atau
Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba untuk menganalisis tentang karakter
sebuah karya sastra anak yang ditulis oleh penulis dari Melbourne, Australia, Jessica
2
Introducing Teddy merupakan buku bacaan anak-anak best seller. Hal tersebut dibuktikan dengan
penjualan yang tinggi dan sudah dicetak 2 kali. Cetakan pertama dari Australian Kickstarter pada Agustus
2015. Kemudian dicetak ulang pada 31 Mei 2016 oleh Bloombsbury, USA Child. Selain itu, Introducing
Tedyy juga sudah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa, seperti Italy, Jepang, Norwegia, Portugal dan
Swedia.
7
Walton. Buku bacaan tersebut bercerita tentang persahabatan antara seorang anak laki-
laki, Erol dengan temannya, seorang boneka beruang. Thomas (boneka) mengaku
bahwa dirinya adalah seorang boneka perempuan dan ingin dipanggil sebagai ―Tilly‖.
Berkisah tentang bagaimana menjadi diri sendiri dan jujur terhadap teman. Introducing
Teddy ditulis karena susahnya menemukan buku cerita anak-anak yang merefleksikan
keluarga pengarang yang mempunyai orang tua transgender. Jessica Walton sebagai
penulis dari buku tersebut menulis pengalaman pribadinya kedalam karya sastra yang
diciptakannya. Karya Walton, yang memiliki orang tua transgender, berpendapat bahwa
dunia telah berkembang di luar penerimaan yang pada dsarnya ―bukan menjadi hal yang
kisah tentang persahabatan dan identitas. Hal ini ditulis oleh Walton yang terinspirasi
oleh ayahnya yang telah mengubah jenis kelaminnya. Ia ingin memberikan pengetahuan
tersebut kepada anaknya tentang apa yang terjadi disekitarnya. Seperti dalam kutipan
berikut.
―Dad told our family she was a woman a couple of years ago. This
opened my eyes and it opened my mind.‖ Jessica Walton, a secondary teacher
turned public servant who lives in Melbourne, recalls how her dad‘s coming out
moment was not only happy but also revelatory: ―being gay myself, having trans
friends, and being an active part of the LGBT community for a long time,
rallying for gay marriage, etc,. I didn‘t know this person I had known my whole
life was a woman, and it was amazing to get to know her better.
―You can be part of the LGBT community and still not really understand
the difficulties, bullying, violence some people face,‖ she says. The experience
prompted Walton to embark on a project. Soon after her dad‘s transition began,
Walton and her partner had their own child, and they started looking for
children‘s book that reflected their family. And, whereas they did find ‗great
books‘ that featured gay parents, they had real trouble finding books featuring
transgender and gender-fluid characters. So she decided to write the book we
wanted to read to our son.
8
Buku anak-anak Australia kedua yang menjadi objek material dalam penelitian
ini adalah The Gender Fairy. Buku tersebut merupakan buku bacaan anak-anak dengan
cerita yang sederhana. Berkisah tentang 2 anak yang membutuhkan pendengar: dua
anak yang mencari cara bagaimana bisa hidup bahagia sesuai dengan jati diri mereka.
The Gender Fairy ditulis oleh Jo Hirst. Buku tersebut diciptakan dengan tujuan untuk
membantu anak-anak mengerti isu identitas gender. Buku tersebut juga merupakan
sebuah sarana atau cara untuk mendidik anak-anak dan dewasa dalam memahami
perasaan mereka yang mungkin cenderung menjadi anak-anak transgender. Hirst
menciptakan buku tersebut dengan alasan kekhawatiran pada anak-anak yang merasa
berada dalam gender yang tidak sesuai dengan harapan keluarga dan teman-temannya.
Khususnya, Hirst merasa khwatir kepada anaknya sendiri yang berada dalam identitas
gender yang tidak sesuai yakni seorang anak laki-laki berumur 4 tahun dengan
kebiasaan yang sering dilakukan oleh perempuan seperti memakai gaun dan bermain
boneka.
Representasi visual pada karakter transgender dalam sastra anak Australia yang
menjadi objek dalam penelitian ini seperti dalam gambar berikut.
3
Thomas, The Teddy, terlahir sebagai boneka beruang laki-laki. Tetapi Teddy merasa ia adalah boneka
perempuan. Dia merasa nyaman menjadi boneka perempuan. Setelah mengakui kepada sahabatnya,
Errol, bahwa ia ingin dikenal sebagai boneka perempuan, maka dia bertingkah dan berpakaian seperti
perempuan. Seperti dalam gambar 1, dia memakai pita di kepalanya.
9
wacana. Transgender dilihat dari performativitas, seorang laki-laki feminin dan seorang
Transgender disebut sebagai wacana karena gender yang ditampilkan dikonstruksi oleh
pemikiran masyarakat. Hal yang pantas atau tidak pantas diakui oleh masyarakat dengan
mengikuti aturan terdahulu yang dianggap sebagai hal yang benar, adahal aturan
tersebut juga dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Fenomena tomboi dan feminin yang
ditemukan dalam buku bacaan anak karya penulis anak di atas merefleksikan pemikiran
feminis postmodern, bahwa gender bukanlah sesuatu yang simpel, atau alami. Bentuk-
bentuk relasinya pun, akan senantiasa kompleks, tidak stabil (Flax, 1990:43).
Kuasa dipahami bersifat plural, menyebar melalui wacana, tubuh dan hubungan
dalam metafor suatu jaringan. Berangkat dari asumsi itu, wacana dimaknai sebagai situs
4
Gambar 2 menujukkan gender fairy sedang membantu (menyulap) 2 anak transgender, laki-laki dan
perempuan. Laki-laki menggunakan gaun dan perempuan menggunakan pakaian yang kasual.
10
kontestasi bagi wacana gender dan berbagai asumsi, serta berkontribusi pada penciptaan
sekaligus reproduksi strategi kuasa yang tak sama dalam suatu kelompok sosial.
melahirkan perlawanan. Dalam relasi kuasa, transgender dapat diartikan sebagai bentuk
masyarakat. Dalam penelitian ini, kuasa transgender merupakan pihak yang melakukan
Dua buku anak-anak yang menjadi objek dalam penelitian ini ditulis oleh
penulis perempuan merupakan cerita yang realis. Ciri cerita anak yang realis menurut
menampilkan tokoh protagonis sebagai pelaku cerita. Cerita realis kadang ditulis untuk
memberikan efek bahwa cerita itu seolah-olah merepresentasikan kehidupan dan dunia
sosial seperti yang terlihat oleh pembaca, menguatkan praduga bahwa karakter tokoh
terjadi (Abrams, 1999:260). Fenomena transgender dalam kedua buku anak-anak yang
dikaji merupakan bentuk representasi wacana transgender yang ingin didobrak oleh
pengarang. Hal tersebut terkait dengan relasi kuasa antara norma heteroseksual dan
kuasanya, serta dalam konteks sosial kultural yang seperti apa wacana transgender ini
diproduksi.
11
B. Rumusan Masalah
Identitas gender pada masa anak-anak cenderung bersifat lebih cair dan tidak
stabil. Kadang kala, dengan mudah anak ‗mengganti‘ atau ‗memilih‘ identitas
cenderung memilah identitas hanya secara bipolar, lelaki dengan identitas yang
maskulin atau perempuan dengan identitas yang feminin saja, tidak ada dualisme
yang tercermin melalui karya sastra. Karya sastra memiliki sifat penting dalam
Tokoh dalam sebuah karya sastra adalah medium untuk meyampaikan pesan
kepada pembacanya. Tokoh-tokoh yang memiliki identitas yang dianggap atypical atau
tak setipe dengan identitas gender yang biasa ditemui dalam masyarakat yang
terhadap kemungkinan identitas gender baru yang ditawarkan atau dicoba untuk
masyarakat muncul melalui representasi tokoh yang identitas gendernya dinilai tak
setipe dengan masyarakat heteronormatif pada umumnya. Dari representasi itu pula,
keberadaan gender yang tak setipe dalam norma mereka, atau menerimanya?
Gender adalah persoalan konstruksi budaya. Konstruksi itu akan terlihat dalam
wacana yang dalam masyarakat: gender mana yang dianggap ‗sesuai‘ dan gender mana
yang dianggap ‗tidak sesuai‘ dalam konstruksi mereka. Konstruksi-konstruksi itu diuji,
diteguhkan, melalui interaksi antar pemilik identitas gender. Anak perempuan yang
tomboi atau anak laki-laki yang feminin sebagai sebuah ‗identitas‘ gender juga
berinteraksi dengan tokoh lainnya, yang memiliki kemungkinan identitas gender sama
atau berbeda dengannya. Interaksi itu tentu memunculkan sikap yang beragam. Sikap
itu sendiri tidak terlepas dari entitas lainnya, seperti faktor usia, kelas sosial, budaya,
agama, jenis kelamin, ekonomi, dll. Faktor interaksi itulah yang akan menentukan
Dengan demikian, masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah: (1)
representasi transgender, (2) relasi kuasa transgender terhadap norma heteroseksual, dan
(3) konteks sosial kultural yang melahirkan wacana transgender dalam buku bacaan
anak-anak.
13
Fairy?
2. Bagaimanakah relasi kuasa transgender dalam Introducing Teddy dan The Gender
Fairy?
C. Tujuan Penelitian
diproduksinya wacana transgender dalam Introducing Teddy dan The Gender Fairy
D. Manfaat Penelitian
queer dalam sastra anak, khususnya yang berkaitan dengan kajian wacana feminis
Australia. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah mengungkapkan adanya hubungan
masyarakat, yakni persoalan transgender dalam sastra anak Australia. Oleh karena itu,
secara praktis, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana konteks sosial kultural
E. Tinjauan Pustaka
membahas masalah transgender dalam Introducing Teddy dan Gender Fairy, sebagai
buku bacaan anak-anak terbaru (2015 dan 2016), belum ditemukan. Selain itu, kajian
terhadap sastra anak yang dilakukan selama ini sebagian besar fokus pada permasalahan
struktur dan eksistensi gender tokoh laki-laki atau perempuan saja. Kajian tersebut
berbeda dengan penelitian ini yang mengambil dua aspek gender perempuan dan laki-
menggunakan teori queer yang dijadikan referensi dalam penelitian ini. Pertama,
sebuah tesis tentang Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) dalam sastra anak
dilakukan oleh Lindsay Toman5 (2014) dalam tesisnya yang berjudul Queering the
5
Tesis tersebut ditulis oleh Lindsay Toman tahun 20014 kepada Faculty of the Department of Sociology
and Anthropology, East Tennessee State University sebagai persyaratan meraih gelar Marter of Arts in
Sosiology.
15
LGBT dalam sastra anak. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui bagaimana
karakter LGBTQ digambarkan, serta adanya tema lain yang mungkin berkaitan atau
dipengaruhi oleh karakter lain. Penelitian ini mengungkapkan bahwa mayoritas buku
dengan karakter gender fokus pada pelecehan pada anak laki-laki oleh karakter lain
rekomendasi kepada penulis buku bacaan anak-anak menciptakan genre ini tanpa
memperkuat ketidaksetaraan lainnya terkait dengan gender, ras, kelas, dan seksualitas.
Kedua, sebuah penelitian tentang LGBT dalam sastra anak juga dilakukan oleh
yang tidak sesuai dengan peran gender yang diharapkan, memiliki orang tua yang super
sibuk, dan berkulit putih serta dari keluarga kelas menengah keatas. Penelitian ini
Selain kedua tesis diatas, ada juga beberapa artikel ataupun jurnal yang berkaitan
dengan representasi gender dalam sastra anak. Elizabeth Grauerholz dan Bernice A.
6
Penelitian ini dilakukan oleh Jasmine Z. Lester dari Arizona State University, Tempe, Arizona, USA.
16
Literature: 1900-1984. Tulisan tersebut membahas tren dengan kehadiran tokoh laki-
laki dan perempuan dalam buku bacaan anak-anak Amerika pada abad ke-20. Dengan
menggunakan katalog anak-anak sebagai populasi dan analisis dari waktu ke waktu,
variasi laki-laki dan perempuan melalui cara representasi abad yang mana perempuan
lebih egaliter pada judul dan peran yang dilakukan. Namun, ketika cerita hanya
melibatkan orang dewasa atau karakter hewan, tokoh laki-laki menjadi lebih menonjol.
Perubahan tema sastra dan posisi perempuan selama rentang waktu itu mungkin
berfungsi dalam mengembangkan teori untuk membahas tren tersebut. Selain itu, Jamie
Campbell Naido (2012) juga membuat sebuah tulisan berjudul Representation in Queer
Children‘s Books: Who‘s In and Who‘s Out. Kesimpulan tulisan tersebut yakni
pustakawan anak-anak bisa menggunakan buku bertema queer anak-anak sebagai sarana
mereka dalam pemahaman dan penerimaan terhadap isu queer. Semetara itu,
kelangkaan buku bertema queer untuk anak-anak dapat menimbulkan masalah bagi
putakwan dan pendidik, banyak sumber daya yang tersedia untuk orang-orang
professional yang didedikasikan untuk membuka jalan melalui membaca dan mengatasi
queer ini bisa di dalam kelas dan perpustakaan. The Family Equality Council
7
Elizabeth Grauerholz berasal dari Purdue University dan Bernice A. Pescosolido berasal dari Indiana
University.
17
homophobia dan kebencian serta kejahatan terhadap anak-anak LGBTQ (Naido, 2012:
71).
Sementara itu, sebuah penelitian terkait analisis wacana feminis dalam sastra
anak dilakukan oleh Else Liliani (2015). Liliani menulis sertasi yang berjudul ―Karakter
Tomboi dalam Novel Anak: Analisis Wacana Feminis terhadap Novel Tomboy Girl, My
first Make Up, Kado Untuk Ummi, dan Best Friends Forever.‖ Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (1) tomboi adalah representasi anak perempuan yang memiliki
kualitas maskulin (2) tomboi merupakan bagian dari proses negosiasi anak terhadap
identitas yang ditetapkan oleh masyarakat yang heteronormatif (3) wacana tomboi yang
muncul dalam novel anak bukan merupakan hal yang baru. Wacana tomboi yang
muncul pada novel anak menunjukkan adanya sebaran kuasa sekaligus perlawanan
F. Landasan Teori
Penelitian ini membahas transgender dalam sastra anak Australia yang fokus
pada representasi, relasi kuasa dan latar belakang sosial kultural yang melatar belakangi
munculnya wacana transgender dalam Introducing Teddy dan The Gender Fairy.
Penelitian ini menggunakan beberapa teori untuk mengkajinya, yaitu teori representasi
Stuart Hall, teori Queer Judith Butler, dan analisis wacana feminis.
18
1. Teori Representasi
melalui budaya. Representasi merupakan bagian penting dari proses dimana makna
diproduksi dan dipertukarkan antar anggota masyarakat (Hall, 1997: 15). Jadi, dapat
dikatakan bahwa representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi
pikiran melalui bahasa. Hubungan antara konsep dan bahasa inilah yang
mengenai objek, orang, atau peristiwa, atau dunia imajiner dari objek, orang, dan
tidak hanya berkaitan dengan konsep yang sifatnya individual melainkan beragam cara
menetapkan relasi yang kompleks di antara mereka. Sistem yang pertama adalah
‗sistem‘ di mana semua objek, orang, dan peristiwa berkaitan dengan seperangkat
konsep atau representasi mental yang dibawa dalam kepala kita. Makna suatu konsep
bergantung pada dunia –orang, peristiwa, nyata atau fiksional—dan sistem yang
representasi yang terlibat dalam semua proses pembentukan makna (Hall, 1997:18).
19
Tanda adalah istilah yang digunakan untuk kata, suara, atau citraan yang membawa
makna. Tanda tersebut berfungsi untuk merepresentasikan makna atau relasi konseptual
dan membuat sistem pemaknaan dalam suatu budaya. Suara, kata, citra atau objek yang
berfungsi sebagai tanda, dan diatur dengan tanda lain melalui sebuah sistem yang
Dalam kaitannya dengan proses pemaknaan dalam budaya, Hall menyatakan ada
At the heart of the meaning process in culture, then, are two related
‗systems of representation.‘ The first enables us to give meaning to the world by
constructing a set of correspondences or a chain of equivalences between things
–people, objects, events, abstract ideas, etc- and put system of concepts, our
conceptual maps. The second depends on constructing a set of correspondences
between our conceptual map and a set of signs, arranged or organized into a
various languages which stand for or represent those concepts. The relation
between ‗things‘, concepts and signs lies at the heart of the production of
meaning in language. The process which links these three elements together is
what we call ‗representation‘ (Hall, 1997:19).
Berdasarkan penjelasan Hall di atas, proses yang pertama adalah kemungkinan
bergantung pada bagaimana kita membagun peta konseptual dengan seperangkat tanda
Relasi antara ‗sesuatu‘, konsep, dan tanda inilah yang mempengaruhi produksi makna.
Proses yang menghubungkan ketiga hal itu lah, yang menurut Hall, disebut sebagai
representasi.
Budaya berbagi peta konseptual, sistem bahasa, dan kode yang mengatur
hubungan pemaknaan di antara ketiga hal itu. Kode menstabilkan hubungan antara
20
konsep dan tanda. Pemaknaan itu sendiri dikonstruksi, diproduksi, dan tidak hadir
bergantung pada relasi antara tanda dan konsep yang ditentukan oleh sebuah kode.
Manusia mengkonstruksi makna dengan sangat tegas sehingga suatu makna terlihat
seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi melalui system
representasi dan difiksasi melalui kode. Kode inilah yang membuat masyarakat yang
berada dalam suatu kelompok budaya yang sama mengerti dan menggunakan nama
yang sama, yang terlah melewati proses konvensi secara sosial. Misalnya, ketika kita
mengkomunikasikan apa yang ingin kita ungkapkan kepada orang lain. Hal ini karena
kata SEKOLAH merupakan kode yang telah disepakati dalam masyarakat kita untuk
memaknai suatu konsep mengenai ‗sekolah‘ yang ada dipikiran kita (tempat belajar
atau menimba ilmu). Kode, dengan demikian, membangun korelasi antara sistem
konseptual yang ada dalam pikiran kita dengan sistem bahasa yang kita gunakan.
called ‗real‘ word. But they can also reference imaginary things and fantasy
worlds to abstract ideas which are not in any obvious sense part of our material
world. There is no simple relationship of reflection, imitation or one-to-one
correspondence between language and the real world. The world is not
accurately or otherwise reflected in the mirror of the language. Language does
not work like a mirror. Meaning is produced within language, in and through
various representational systems which, for convenience, we call ‗languages‘.
Meaning is produced by the practice, the ‗work‘, of representation. It is
constructed through signifying. (Hall, 1997: 28).
Wacana dapat dikatakan sebagai sebuah sistem representasi. Sebab, makna dan
wacana, melalui bahasa verbal maupun visual. Dalam analisis wacana feminis, kajian
transgender apa saja yang dihadirkan dalam teks dan apa yang tidak dihadirkan di
dalamnya. Citra yang terefleksi mengenai transgender atau tokoh transgender dalam
2. Teori Queer
Dalam pemahaman Butler, gender tidak otomatis berasal dari jenis kelamin.
Baik gender maupun jenis kelamin, menurut Butler, adalah fiktif. Artinya, keduanya
22
sekaligus pengalaman kembali dari seperangkat makna yang sudah mapan secara sosial
(Butler, 1999:178-179).
Performan ini dipengarui oleh tujuan strategis pengaturan gender dalam masyarakat
yang menganut sistem binari gender. Dalam cara ini, gender adalah sebuah identitas
yang lemah, dibentuk dalam sebuah lingkungan melalui pengulangan perilaku yang
dibuat-buat.
Gender merupakan efek dari 'keputusan wacana publik dan masyarakat' yang
also suggests that if that reality is fabricated as an interior essence, that very
interiority is an effect and function of fantasy differentiates inner from outer,
and so institutes the ―integrity‖ of the subject. In other words, acts and gestures,
articulated and enacted desires create the illusion of an interior and organizing
gender core, as an illusion discursively maintained for the purposes of the
regulaton of sexuality within the obligatory frame of reproductive
heterosexuality. (Butler, 1999:173)
Berdasarkan kutipan di atas, Butler menjelaskan bahwa perilaku, gesture,
atau identitas yang diekspresikan sebenarnya adalah buatan semata, dan dipelihara
melalui tanda dan alat-alat diskursif lainnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa realitas
diartikulasikan untuk menciptakan ilusi dan mengatur gender untuk tujuan regulasi
kenyataan yang tak tergantikan. Dalam teori Butler, gender merupakan hasil dari
disebut sebagai maskulin, feminin, atau homoseksual adalah bukan sesuatu yang ada.
Namun, telah ada pada kondisi sebelumnya dan diulang-ulang nilainya hingga menjadi
aturan yang tak tertulis dalam masyarakat, dan diyakini kebenarannya secara taken for
granted. Jadi, ketika seorang perempuan berlaku ‗feminin‘, misalnya, sebenarnya dia
hanya melakukan atau menunjukkan apa yang telah ada atau ditunjukkan oleh
masyarakat sebelumnya.
24
ini memerlukan genealogi kritik terhadap naturalisasi seks dan tubuh. Dengan memulai
konstruksi seks dalam hirarki yang binari. Dari sudut pandang gender sebagai suatu
ketetapan, pertanyaan dapat diperluas menjadi ketetapan identitas gender yang ada dan
Istilah queer muncul dari adanya pertanyaan mengenai stabilitas dan variabilitas
dalam performativitas. Istilah queer merupakan salah satu praktik linguistik yang
interpelasi yang memalukan. Kekuatan queer justru berasal dari seruan yang
tidak hanya yang telah ada sejak dahulu tapi yang telah menjadi kebiasaan, dan nilai
historis tersebut secara efektif mempengaruhi pandangan subjek sebagai suatu identitas
yang dinyatakan dalam masyarakatnya. Hal ini juga berarti bahwa istilah yang
bentukan historisnya. Orang yang mempertanyakan hal itu kadang kala disebut orang
yang sedang mendepolitisasi teori. Genealogi kritik terhadap subjek yang mengkaji
25
bentukan dan pengeksklusifan relasi kuasa melalui bentukan wacana inilah yang
Queer merupakan situs kontestasi dari refleksi historis dan gambaran masa
depan. Quer sendiri menurut Butler merupakan istilah yang tumpang tindih.
In some context, the terms appeals to a younger generation who want to resist
the more institutionalized and reformist politics sometimes signified by ―lesbian
and gay‖, in some context, sometimes the same, it has marked a predominantly
white movement that has not fully addressed the way in which ―queer‖ plays –or
fails to play—within non-white communities and whereas in some instances it
has mobilized a lesbian activism,‖ in other term represents a false unity of
women and men. (Butler, 1993:228)
Menurut Butler, dalam beberapa konteks istilah queer seperti mengacu pada
generasi muda yang ingin melakukan perlawanan terhadap sesuatu yang telah
dan gay‘. Namun dalam konteks yang lain, queer kadang dimaknai sebagai gerakan
komunitas kulit putih dan aktivisme lesbian. Kadang queer juga merepresentasikan
yang telah dikorbankan dan apa yang menjadi tujuan digunakannya istilah tersebut, dan
melalui relasi kuasa seperti apa kategori-kategori yang telah ada itu dibuat. Inti dari
Norma gender yang dijalankan membutuhkan perwujudan ideal dari femininitas dan
heteroseksual. Femininitas bukan produk dari pilihan, namun sebutan yang dipaksakan
dari suatu norma, yang dalam kesejarahannya tak dapat dipisahkan dari relasi disiplin,
regulasi, dan hukuman. Teori queer merupakan praktik pemaknaan ulang akan ‗queer‘
Teori queer menentang siapa saja yang mengatur identitas atau menetapkan
klaim epistemologis. Teori queer tidak hanya merambah pada komunitas berbasis
aktivisme antihomofobis, melainkan untuk melawan bahwa seksualitas bukan hal yang
Gender adalah aparatus di mana produksi dan normalisasi maskulin dan feminin
yang diharapkan oleh suatu gender (Butler, 2004:42). Gender adalah suatu mekanisme
Gender mungkin juga menjadi aparatus bila istilah tersebut didekonstruksi dan
gender memiliki cara untuk bergerak dari binari yang dinaturalisasikan. Kebinarian
tersebut tidak bisa dipahami begitu saja di luar kerangka heteroseksual, bahwa gender
itu sendiri tidak stabil, bahwa kehidupan transgender adalah bukti dari terpecahnya garis
27
penyebab yang menentukan antara seksualitas dan gender. Yang tidak kalah penting
adalah untuk melacak suatu momen dimana sistem binari gender dilawan dan
diperdebatkan, dan di mana kategori yang ada dipertanyakan, dan di mana kehidupan
sosial gender dapat berubah menjadi lebih lentur dan diubah (Butler, 2004:216).
kontestasi antara nilai-nilai gender tradisional dan gender masa depan yang dibayangkan
(oleh anak-anak). Anak-anak yang dicap tomboi ataupun feminin itu mempertanyakan
juga turut mempengaruhi orientasi kajiannya. Sebagai sebuah teori, feminisme telah
menjadi tiga gelombang. Feminisme gelombang pertama dimulai pada akhir abad ke-19
sampai tahun 1920an (1880-1920). Feminisme gelombang kedua muncul di akhir tahun
1960an. Ada perbedaan antara feminisme gelombang pertama dan kedua. Feminisme
gelombang pertama melobi pemberian hak perempuan melalui hak pilih (Sommers,
perhatian pada isu-isu khusus perempuan, seperti hak reproduksi, ibu, kekerasan
seksual, ekspresi seksualitas dan tenaga kerja domestik (Gills, 2004:2). Feminisme
gelombang ketiga masih meneruskan isu gelombang kedua, khususnya tentang seks dan
gender, namun juga memperhatikan ‗racun‘ budaya pop dan media massa.
2009:232). Menurut Derrida (via Bryson, 2003:234), meskipun objek dan individu
selalu berubah, dan dipahami secara berbeda oleh orang yang berbeda, dan di waktu
Sebab, kelompok yang dominan akan berusaha untuk mempengaruhi cara mereka
melihat dunia kepada semua anggota masyarakat, dan wacananya akan bersifat
Penelitian feminis posmodern memiliki ciri adanya tendensi yang kuat untuk
untuk mengkritisi narasi utama kekuasaan yang menghegemonik, sekaligus sebagai cara
29
akan senantiasa berubah, sesuai dengan konteks masyarakat. Sastra sebagai produk
makna dan ideologi tertentu (Budianta, 2002:211). Representasi dapat dianggap sebagai
Analisis wacana dapat dipandang sebagai reaksi dari analisis struktural yang lebih fokus
pada unit pembentuk bahasa dan struktur kalimat, dan tidak terlalu memperhatikan
analisis kegunaan dari bahasa itu sendiri (Mills, 1997:135). Selain dikembangkan dari
analisis wacana, analisis wacana feminis juga dipengaruhi oleh pemikiran Foucault
mengenai kekuasaan.
bentuk perlawanan. Wacana terbentuk atas relasi antara kebenaran, kekuasaan, dan
kebebasan seseorang. Kekuasaan ini menyebar melalui relasi sosial dan menghasilkan
aturan, siklus larangan, logika sensor, dan kesatuan perangkat (Foucault, 1997:102-
Instansi aturan adalah bentuk kekuasaan yang mengatur seorang individu boleh atau
Wacana bagi Foucault (1997:125) adalah alat sekaligus dampak kekuasaan, juga
feminis. Pertama, analisis wacana feminis berorientasi pada kritik. Fokus kritis ini
adalah pada penjelasan peran praktik wacana untuk menjaga tatanan sosial dan
teks dan konteks sosial kultural. Analisis wacana feminis berupaya menunjukkan
31
hubungan yang mungkin tersembunyi, seperti kaitan antara bahasa, kekuasaan, dan
ideologi. Analisis wacana feminis menamai proses ini sebagai demistifikasi atau
ketaksetaraan.
dan perubahan sosial melalui kritik wacana. Perhatian utama analisis wacana feminis
adalah pada studi empiris mengenai cara-cara gender dikonstruksikan dalam teks dan
situasi-situasi tertentu, atau dengan cara bagaimana gender secara diskursif terbentuk.
Karena gender tergantung pada konteks sosial kultural, maka analisisnya berpusat pada
representasi gender dan strategi kuasa yang tergenderkan dalam situasi teks dan
Tujuan analisis wacana feminis mengkaji representasi adalah untuk melihat apa
yang tidak ada dan dihadirkan dalam sebuah teks (Pilcher & Wherehan, 2004:138).
Representasi ini penting dikaji sebab citra yang terefleksi melalui tokoh-tokoh mungkin
saja tidak sesuai, namun sekaligus dapat memberitahu pembaca mengenai bagaimana
representasi di sini diadaptasi dari teori representasi Stuart Hall. Hall (2003:17)
menyatakan bahwa representasi adalah salah satu cara untuk memproduksi makna.
masyarakat lainnya.
32
wacana untuk menciptakan sesuatu: dapat mengambil bagian dalam mengerjakan ulang,
atau melawan asumsi yang dibawa wacana. Meski wacana dapat membentuk kehidupan
individu, wacana juga dapat dilawan atau diubah oleh individu dalam situasi sosial,
institusi, serta struktur yang dibangun oleh wacana. Dengan kata lain, analisis wacana
Satu hal yang harus dicatat menurut Lehtonen (2007:6), meski tujuan analisis
tekstual dalam analisis wacana feminis adalah untuk menjembatani representasi gender
atau wacana yang tergenderkan dalam teks dengan konteks sosial kulturalnya, analisis
wacana feminis tidak bertujuan untuk memprediksi 'respon pembaca' atau menentukan
'niatan penulisnya‘.
Analisis wacana feminis adalah salah satu bentuk analisis wacana yang
di-re-negosiasi oleh kelompok sosial. Analisis wacana feminis bekerja dalam dua
tataran. Yang pertama, mikro level atau berangkat dari unit sastra. Kedua, makro level
atau dari konteks di luar karya sastra. Dalam analisis wacana feminis, pemaknaannya
G. Metode Penelitian
33
Sumber data dalam penelitian ini adalah sastra anak Australia, Introducing
Teddy karya Jessica Walton dan The Gender Fairy karya Jo Hirst. Data primer adalah
teks yang terdapat dalam kedua buku bacaan anak-anak tersebut, sementara data
sekunder sumber yang berasal dari jurnal, karya ilmiah, majalah, koral, dan lain-lain.
Objek material dalam penelitian ini adalah Introducing Teddy karya Jessica
Walton dan The Gender Fairy karya Jo Hirst. Sementara itu, Objek formalnya adalah
representasi transgender dan relasi kekuasaan serta konteks sosial kultural yang
diproduksi wacana transgender dalam sastra anak Australia. Objek material dipilih
pemilihan objek tersebut. Pertama, buku bacaan anak-anak yang dipilih yakni buku
yang bertema tentang transgender dalam kehidupan anak-anak. Kedua, buku bacaan
dan karakter lain, serta sosial kultural yang menghasilkan wacana transgender yang
terhadap informasi yang didapatkan, baik dari buku bacaan anak-anak maupun teks
(1) menyimak multiple voices dalam buku bacaan anak-anak untuk melihat suara-suara
dalam novel yang dikaji; (2) melakukan interpretasi dengan melihat hubungan
antartokoh dalam micro level; dan (3) mencari aspek-aspek di luar karya sastra untuk
yang mengkaji persoalan transgender dalam novel anak melalui analisis wacana
feminis. Lehtonen (2007) telah membuat sistematika tahapan dalam analisis gender
dalam fiksi anak dengan menggunakan analisis wacana feminis atau feminist discourse
analysis. Pertama, membaca mikro level untuk melihat permasalahan pertama dan
memahami konteks sosial kulturalnya) dan intertekstual (membaca teks dan melihat
ketiga, yakni konteks sosial kultural produksi dalam sastra anak Australia.
Pembacaan secara intertekstual ini bukan berarti membaca untuk mencari pre-
teks-nya, melainkan untuk memaknai kaitan antara gender, bahasa, dan formasi sosial
kulturalnya. Teks di sini juga dapat berupa tulisan dari jurnal, media massa, hasil
interdiskursif perlu dilakukan sebab tak mungkin teks dipahami secara terpisah dengan
H. Sistematika Penulisan
35
Bab 1: Pengantar; menyajikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab 3: Relasi kuasa transgender dalam Introducing Teddy dan Gender Fairy.
Bab 4: Latar belakang sosial kultural produksi wacana transgender dalam Introducing