Anda di halaman 1dari 7

1

PERSPEKTIF GENDER PADA NOVEL-NOVEL POPULER:


PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA BERPERSPEKTIF FEMINIS
TERHADAP NOVEL SANG PEMIMPI

Muhamad Adji

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran


Email: m.adji@unpad.ac.id

Abstrak

Setiap teks memiliki ideologi tersendiri, demikian pula dengan teks sastra remaja.
Penggambaran tokoh, bagaimana tokoh bersikap, dan bagaimana tokoh berhubungan dengan
tokoh lainnya, merupakan perwujudan dari ideologi teks tersebut. Makalah ini mencoba
mengkaji peran dan relasi gender pada tokoh-tokoh di dalam sastra remaja yang dikategorikan
sebagai sastra populer. Objek yang dikaji adalah novel yang terbit pada era 2000-an yaitu Sang
Pemimpi karya Andrea Hirata. Pertanyaan yang menjadi pemandu pada makalah ini adalah 1)
Bagaimana laki-laki dan perempuan ditampilkan dalam novelSang Pemimpi dan 2) Bagaimana
relasi laki-laki dan perempuan digambarkan pada novel novelSang Pemimpi. Metode yang
digunakan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif analitis dengan menggunakan perspektif
feminis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teksnovel populer masih bersifat patriarkis.
Citra perempuan masih dilekatkan dalam perannya di ranah domestik, sedangkan citra laki-laki
dilekatkan dalam perannya di ranah publik. Karena peran di ranah publik dianggap lebih superior
dibandingkan dengan peran peran perempuan di ranah domestik, relasi yang terbangun antara
tokoh laki-laki dan tokoh perempuan berlangsung tidak setara. Temuan ini menunjukkan bahwa
cara pandang pengarang masih merepsentasikan pandangan masyarakat Indonesia yang
patriarkis.

Kata kunci: peran, relasi, gender, tokoh, novel populer

Pendahuluan

Dunia dalam karya sastra merupakan suatu cara pandang pengarang dalam melakukan
pengingkaran atau pengakuan atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Sastra
merupakan sebuah potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah
terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideologi pengarangnya.
Sebagai bagian dari masyarakat, pengarang juga tidak dapat dipisahkan dari struktur
sosial yang melingkupinya. Artinya, seberapa pun jauhnya hubungan “realitas teks” dari realitas
sosial yang sesungguhnya, hal itu tetap dapat ditarik pada realitas sosial budaya yang terjadi pada
saat karya sastra itu lahir. Dengan kata lain, latar belakang sosial budaya pengarang serta
dinamika sosial kultural yang terjadi pada masa itu turut mempengaruhi pengarang dalam
menyikapi relitas sosial yang terwujud pada karya sastra yang dihasilkannya. Kenyataan ini
menyiratkan bahwa karya sastra merupakan hasil dari tarik-menarik antara pengarang sebagai

1
2

individu sekaligus sebagai bagian masyarakat dan realitas sosial kultural pada masa tersebut. Hal
ini disebabkan karena karya sastra tidak lahir dari situasi kekosongan budaya (Teeuw, 2003:21).
Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat dilakukan jika karya dipisahkan
dari pengarangnya, lingkungannya, kebudayaannya, serta peradaban yang telah
menghasilkannya.Tulisan ini akan mengkaji perspektif gender yang terepresentasikan di dalam
teks novelpopuler, yaitu Sang Pemimpi,untuk melihat cara pandang pengarang yang
menjadirepresentasi dari masyarakat.

Konsep Gender
Konsep gender pada umumnya dikaitkan dengan kontruksi peran yang didapatkan laki-
laki dan perempuan dalam sistem masyarakat yang kemudian juga meluas pada relasi yang
terjadi di antara kedua jenis kelamin tersebut. Persoalan yang berkaitan dengan gender ini
menjadi semakin kental ketika dalam relasi gender tersebut terjadi ketimpangan yang di
dalamnya terdapat hubungan subordinatif. Penyebab timpangnya relasi yang terbangun antara
laki-laki dan perempuan ditengarai disebabkan oleh sistem patriarki.
Sebagaimana diketahui, hubungan laki-laki dan perempuan dalam sistem patriarki tidak
digambarkan sebagai hubungan dengan entitas masing-masing. Akan tetapi, salah satu gender
(perempuan) digambarkan identitasnya dalam hubungannya dengan laki-laki. St. Thomas
Aquinas mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna (Selden,
1993:135). Pernyataan ini menggambarkan bagaimana konsep perempuan ditentukan dari
konsep mengenai laki-laki terlebih dahulu. Lebih rumit lagi, sistem patriarki memperoleh kontrol
atas seluruh bidang pengetahuan serta melanggengkan dominasi ini dalam aktivitas belajar-
mengajar dengan menjadikannya resmi dan formal. Filsafat, hukum, teologi, sastra, seni, dan
ilmu alam adalah arena dominasi wacana laki-laki. Hegemoni laki-laki atas penciptaan
pengetahuan telah menyingkirkan pengetahuan dan pengalaman bersama keahlian dan
aspirasinya (Hidayat, 2004: 17)
Selama ini keseluruhan tubuh perempuan digambarkan dan diberi identitas oleh sistem
patriarki sehingga perempuan tidak bisa memberi identitas terhadap dirinya sendiri. Selain itu,
identitas perempuan selalu berhubungan dengan identitas laki-laki. Artinya, keberadaan
perempuan ditentukan dalam hubungannya dengan laki-laki, bukan karena mereka memiliki
identitas sendiri. Laki-laki menjadi ukuran dan standar untuk mendefinisikan dan menentukan
kodrat perempuan, bukan perempuan yang diukur atas kualitas yang dimilikinya sendiri. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Priyatna (2015: 24) bahwa pandangan patriarki ini membawa
konsekuensi bahwa konsepsi perempuan hanyalah pantulan dari konsepsi laki-laki yang menjadi
Diri.

Pembahasan
Gambaran Normatif tentang Laki-laki dan Perempuan pada Novel Populer

Dalam novel Sang Pemimpi, Ikal memiliki kedua orang tua yang masih utuh
keberadaanya.Ayahnya seorang pekerja rendahan di PT Timah, sedangkan ibunya adalah ibu
rumah tangga. Ayahnya digambarkan Ikal sebagai laki-laki yang tidak banyak bicara. Ia lebih
banyak bekerja daripada berbicara. Karakter ayahnya tersebut terutama jika dibandingkan oleh
Ikal dengan karakter kebanyakan laki-laki Melayu pada umumnya.

Ayahku seorang yang sangat pendiam. Jika berada di rumah dengan ibuku, rumah kami
menjadi pentas monolog ibu berpenonton satu orang. (SP, hlm. 75)

2
3

Meskipun demikian, Ikal sangat mengagungkan ayahnya. Pada beberapa bagian cerita
ditunjukkan bagaimana Ikal memiliki kebanggaan yang sangat besar pada ayahnya.

Namun, belasan tahun jadi anaknya, aku belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya
punya rasa kasih sayang yang jauh berlebih dibandingkan dengan pria sok ngatur yang
merepet saja mulutnya. (SP, hlm. 75-76)

Rasa bangga yang sangat besar pada ayahnya membuat Ikal, di waktu yang lain, merasa sangat
bersalah ketika tidak mampu memberikan prestasi yang terbaik pada ayahnya.

Ayah menatap kami satu per satu, masih jelas kesan bahwa apa pun yang terjadi,
bagaimana pun keadaan kami, kami tetap pahlawan baginya. Ayah senantiasa menerima
bagaimanapun adanya kami. Aku tertunduk diam. Sikap ayah itu semakin
menghancurkan perasaanku. Air mataku mengalir tak dapat kutahan.... Kuambil alih
mengayuh sepedanya. Ayah duduk di belakang. Tangan kulinya yang kasar dan tua
memeluk pinggangku. Ayahku yang pendiam: Ayah juara satu seluruh dunia. (SP,
hlm.142, 145)

Ibunya digambarkan Ikal sebagai ibu yang penuh pengertian dan sangat mengabdi kepada
suaminya. Sebagai perempuan, ibu Ikal digambarkan sangat memahami karakter suaminya
sehingga kebanyakan tindakan yang dilakukan oleh Ibu Ikal adalah pemahamannya atas simbol-
simbol yang ditunjukkan oleh ayah Ikal.

Saat pembagian rapor, ibu pun tak kalah repot. Sehari semalam, dia merendam daun
pandan dan bunga kenanga untuk dipercikkan di baju safari empat saku Ayah itu ketika
menyetrikanya. (SP, hlm. 77)

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa penggambaran tokoh laki-laki dan tokoh
perempuan yang terepresentasikan pada sosok ayah dan ibu Ikal masih bersifat normatif. Ibu
berperan di ranah domestik dalam kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga yang membantu ayah.
Sementara itu, ayah adalah Baik ayah maupun ibu Ikalmasih menempati posisi yang sesuai
dengan sistem patriarki.
Namun demikian, selain pandangan normatif, terdapat juga pandangan yang negosiatif
atas Penggambaran tokoh. Dalam Sang Pemimpi, gambaran ibu Ikal adalah seorang perempuan
yang selalu berbicara dan menguasai pembicaraan. Ibu adalah perempuan yang banyak
menunjukkan suaranya, meskipun suara tersebut tidak ditampakkan dalam kaitannya dengan
penentu keputusan. Hal lain yang menarik adalah ibu Ikal juga digambarkan sebagai perempuan
yang pintar. Hal ini menggoyahkan sistem budaya yang telah memproduksi pengetahuan bahwa
laki-laki lebih pintar daripada perempuan karena laki-laki menggunakan nalarnya, sedangkan
perempuan lebih banyak menggunakan emosinya.
Sebagai kebalikannya, gambaran ayah tidak dapat dilepaskan dari gambaran tentang ibu
Ikal. Jika ibunya banyak bicara, ayah digambarkan sebagai laki-laki yang tidak banyak bicara.
Ayah digambarkan hanya menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya dengan tindakan.
Misalnya, ia sangat menghargai apa yang dicapai Ikal dengan tindakan, bukan dengan kata-kata.

3
4

Ini menunjukkan ekspresi bahwa ayah Ikal adalah gambaran laki-laki yang sangat individual.
Keindividualan ayah ikal tampak dari relasi yang muncul dengan teman-temannya. Ia adalah
gambaran ayah yang berbeda dari gambaran umum.
Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki tidak selalu muncul dalam gambaran yang penuh
kuasa, penuh aturan dengan titahnya. Ayah Ikal adalah gambaran laki-laki yang menunjukkan
gambaran yang berbeda atas konsep yang lazim tentang ayah. Bangunan makna tentang ayah
diperkuat melalui relasi antara ayah dan anak. Ayah yang terlibat (bukan yang berjarak)
membuat relasi yang terbangun antara ayah-anak menjadi sangat personal.

Tinjauan Ideologis atas Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Novel Populer

Nilai-nilai ideologis yang berkaitan dengan gender ditampakkan dari bagaimana


bangunan teks memberi ruang bagi hadirnya tokoh laki-laki dan perempuan, bagaimana
bangunan relasi dengan tokoh-tokoh di dalam teks, termasuk pandangan tokoh utama tentang
baik laki-laki maupun perempuan di dalam teks.
Pemberian peran antara laki-laki dan perempuan adalah kontruksi nilai yang dianut dalam
sistem sosial masyarakat. Pembagian peran ini menjadi ideologis karena menjadi sesuatu yang
dianggap berlangsung secara alamiah.
Sang Pemimpi menampilkan teks yang memberikan porsi cerita yang sangat sedikit bagi
tokoh perempuan. Hal ini didukung oleh pemilihan tokoh utama cerita yang semuanya berjenis
kelamin laki-laki. Pada novel Sang Pemimpi, kisaran ceritanya dipusatkan pada tiga tokoh laki-
laki yaitu Ikal, Arai, dan Jimbron, dengan sudut pandang penceritaannya adalah Ikal. Pusaran
cerita yang berkutat pada tokoh laki-laki beserta dunianya memberikan gambaran tentang
kehidupan dunia laki-laki, sekaligus menunjukkan sedikitnya peran tokoh perempuan yang dapat
dimunculkan dalam dunia laki-laki.
Dalam novel Sang Pemimpi, tokoh perempuan yang cukup intens muncul adalah sosok
ibu yang muncul dalam tuturan tokoh Ikal. Dengan demikian, kemunculan ibu Ikal dalam Sang
Pemimpilebih disebabkan pada relasinya dengan tokoh Ikal. Oleh karena itu, penggambaran
tokoh perempuan itu lebih banyak dikaitkan dengan relasi ibu-anak terutama yang terkait dengan
bagaimana pandangan tentang seorang ibu di mata anaknya yang berjenis kelamin laki-laki.
Ibu Ikal adalah perempuan yang mengabdikan hidupnya secara penuh dalam ranah
domestik. Ia tidak banyak bicara, begitulah dalam sudut pandangan tokoh Ikal, sehingga tidak
diketahui apa yang menjadi keinginan pribadi ibu Ikal, juga tidak diketahui apa harapannya atas
diri Ikal. Ibu Ikal, misalnya, tidak banyak dimunculkan dalam mengiringi Ikal meraih impiannya.
Ibu Ikal hanya muncul dalam bagiannya sebagai ibu rumah tangga. Yang pertama, peran Ibu Ikal
dimunculkan di bagian 4 (SP, 31) ketika ibunya membantu perempuan tua bersama anaknya
Nurmi yang datang untuk meminjam beras.

Ibuku memberi isyarat dan Arai melesat ke gudang peregasan. Dia memasukkan
beberapa takar beras ke dalam karung, kembali ke pekarangan, lalu memberi karung
beras itu kepada ibuku yang kemudian melungsurkannya kepada Mak Cik.
“Ambillah...” (SP, hlm. 32-33)

Pada bagian cerita di atas peran Ibu Ikal tampak kuat. Pada bagian di atas ia digambarkan
memiliki kuasa untuk memberikan intstruksi dan mengambil keputusan. Ia berperan sebagai

4
5

perempuan yang sigap dan berani memutuskan sesuatu dalam ranah kuasanya yang berada di
ruang domestik.
Yang kedua, Ibu Ikal muncul dalam kapasitasnya sebagai seorang istri yang merangkap
peran sebagai ibu (Bab 9 “Baju Safari Ayah”, hlm. 75) ketika akan menghadapi hari penting
yaitu pengambilan rapor Ikal di sekolah. Keberadaan tokoh Ibu Ikal pada bagian ini lebih
dominan dalam perannya sebagai seorang istri, bukan sebagai ibu bagi anaknya. Ia, misalnya,
digambarkan sebagai perempuan yang begitu sigap dalam mempersiapkan segala kebutuhan
ayah Ikal yang akan mengambil rapot Ikal di Magai. Ia menyiapkan detail satu persatu yang
harus dipakai oleh ayahnya, mulai dari kemeja safari yang hanya dipakai satu kali sehari, sepatu
kulit, sampai wewangian alamiah dari yang khusus dibuat.

Saat pembagian rapor, Ibu pun tak kalah repot. Sehari semalam, dia merendam daun
pandan dan bunga kenanga untuk dipercikkan di baju safari empat saku Ayah itu ketika
menyetrikanya. (SP, hlm. 77)

Pada hari pembagian rapor, Ayah dan Ibu telah menyiapkan segalanya. Suami istri itu
bangun pukul tiga pagi. Ibu akan menyalakan arang dalam setrika besi bergagang ayah
jantan sedang berkokok, mengipas-ngipasinya dengan sengit dan gesit memercikkan air
pandan yang telah direndam semalaman di sekujur baju safari empat saku keramat itu.
Ayah bergegas menuruni tangga rumah. Dia mengecek lagi sepedanya untuk sebuah
perjalanan jauh yang penting. (SP, hlm. 78)

Pada bagian di atas, tampak bahwa keberadaan Ibu Ikal dalam teks lebih banyak berperan
sebagai ibu rumah tangga: menyiapkan perlengkapan kebutuhan ayah Ikal setiap kali ayahnya
akan berangkat untuk mengambil lapor Ikal ke sekolahnya. Ia menjadi pelengkap dari peran
ayah Ikal yang dimunculkan secara dominan oleh narator. Aktivitas tersebut benar-benar
menunjukkan ruang domestik yang dihuni oleh perempuan.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang ibu terkait relasinya dengan Ikal, Ibu Ikal tidak
bersuara dalam teks. Suara Ibu tidak muncul dalam masa-masa terpenting Ikal dalam meraih
impiannya. Dalam momen penerimaan rapor, ia hanya melengkapi peran ayahnya. Dalam
pelepasan Ikal yang akan merantau ke Jakarta, suara Ibu ikal juga tidak muncul dalam teks.
Padahal, pada beberapa bagian cerita, Ikal secara jelas menggambarkan kelebihan ibunya,
bahkan dibandingkan dengan ayahnya.

Jika berada di rumah dengan ibuku, rumah kami menjadi pentas monolog Ibu
berpenonton satu orang. Namun belasan tahun jadi anaknya, aku belajar bahwa pria
pendiam sesungguhnya punya rasa kasih sayang yang jauh berlebih dibandingkan dengan
pria sok ngatur yang merepet saja mulutnya.
Ibuku, mungkin lebih pintar daripada ayahku.... (SP, hlm. 75-76)

Akan tetapi, dalam kaitannya dengan perjuangan Ikal meraih impiannya, teks sama sekali tidak
memberikan ruang bagi ibu Ikal untuk hadir dan bersuara. Dengan demikian, jelas sekali bahwa
teks novel ini sangat berpihak pada konstruksi sosial yang terbangun bahwa peran perempuan
adalah di ruang domestik.

5
6

Hal tersebut sangat berbeda dengan peran ayahnya yang ditampilkan secara intensif.
Meskipun digambarkan Ikal “ayahku seorang pria yang pendiam” (SP, hlm. 75), ayah Ikal
diberikan ruang untuk menyuarakan perasaan dan sikapnya.

Ayah akan mengayuh sepedanya lagi sejauh 30 kilometer. Melintasi jalanan sepi
sendirian, menaklukkan dua bukit, melawan angin, dan mengarungi padang sabana demi
raporku dan Arai. Demi satu-satunya cara yang dia tahu untuk mendukung pendidikan
anak-anaknya. (SP, hlm. 83)

Persiapan Ayah mengambil rapor akan ditutup dengan berangkat ke los pasar ikan untuk
mencukur rambut dan kumis ubannya. Di sana, sambil memperlihatkan amplop undangan
dari pak Mustar, dia sedikit bicara, seperti berbisik kepada kawan-kawan dekatnta, para
pejabat teras Masjid Al-Hikmah. (SP, hlm. 77)

Kehadiran ayah Ikal dalam setiap momen penting dalam kehidupan Ikal membuat Ikal lebih
merasakan kehadirannya ayahnya dibandingkan dengan ibunya. Hal ini memberikan ikatan
perasaan yang kuat pada diri Ikal terhadap ayahnya. Ikatan batin yang kuat antara Ikal dan
ayahnya dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini.

Yang kudengar hanya orang kasak-kusuk mengapa prestasi sekolahku sampai anjlok
sangat jauh. Bagaimana ayahku yang pendiam akan menjawab berondongan pertanyaan
yang akan menyakiti hatinya? Aku terpuruk dalam penyesalan. Betapa aku ini anak tak
berguna! Betapa aku sampai hati kepada ayahku sendiri! (SP, hlm. 141)

Pada teks di atas tampak dengan jelas ikatan perasaan Ikal sangat kuat kepada ayahnya. Ketika
prestasi Ikal di sekolah menurun, hal yang paling ditakutkannya adalah perasaan ayahnya yang
kecewa. Teks di atas tidak menampilkan sama sekali kekhawatiran Ikal akan perasaan ibunya.
Kehadiran dan suara ibu yang hanya diakui di ruang domestik tersebut diperkuat dengan
konstruksi sosial seperti yang tampak pada kutipan teks di bawah ini.

“Aku berani bertaruh, ayahmu takkan sudi datang! Buat apa datang kalau hanya untuk
dipermalukan oleh anak sendiri!”

“Wan prestasi? Cidera janji? Anak yang tak mampu memenuhi harapan orangtua! Tak
tahukah engkau, Bujang? Tak ada yang lebih menyenangkan ayahmu selain menerima
rapormu?” (SP, hlm. 138)

Pada kutipan di atas, peran ayah dalam perkembangan anak laki-laki menuju mimpinya sangat
dominan pertanggungjawaban remaja laki-laki (Ikal) yang berkaitan dengan impian-impiannya
hanya disematkan kepada ayahnya semata. Begitu pula ketika Ikal dan Arai akan
mempertaruhkan impian untuk berangkat ke Pulau Jawa, ibunya juga absen dalam narasi
tersebut. Hal itu tampak seperti pada kutipan di bawah ini.

6
7

Ketika berpisah di dermaga, Ayah memeluk Arai dan mendekapku kuat sekali. Tak ada
kata-katanya untuk kami, hanya senyum lembut kebanggaan. Matanya berkaca-kaca. Dia
kehilangan karena tak pernah sebelumnya kami meninggalkannya (SP, hlm. 2015)

Absennya ibu dalam teks di atas semakin menguatkan simpulan bahwa perempuan masih
ditempatkan dalam wacana domestik, sedangkan laki-laki berada dan menguasai wacana publik.

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa teks novel populer tidak memiliki keberpihakan terhadap perempuan
dalam mendukungnya untuk berada dalam dunia publik. Peran laki-laki yaitu ayah, lebih diakui
Ikal dalam perkembangan kehidupannya sehingga seakan-akan menegaskan bahwa publik
memiliki relasi yang kuat dengan sosok ayah. Pandangan teks di atas paralel dengan pandangan
Aristoteles yang menyatakan bahwa kehidupan perempuan bersifat fungsional. Dengan
demikian, meskipun telah memiliki gambaran yang lebih negosiatif tentang penggambaran laki-
laki dan perempuan, dapat disimpulkan oleh teks novel populer tahun 2000-an masih banyak
mengandung bias patriarki. Novel ini masih mereproduksi pandangan yang mengakar dalam
sistem sosial kita bahwa peran perempuan lebih dominan dalam posisinya sebagai pelengkap.

-0-

Daftar Pustaka

Hidayat, Rachmad. 2004. Ilmu yang Seksis. Yogyakarta: Jendela.

Hirata, Andrea. 2005.Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Priyatna, Aquarini. 2015. Perempuan dalam Tiga Novel Karya Nh. Dini.
Bandung: Matahari.

Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai