Anda di halaman 1dari 9

REPRESENTASI SEKSUALITAS DALAM DONGENG KEONG MAS PADA

MASYARAKAT JAWA

Atik Andari
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta
email: atikandari.2021@student.uny.ac.id

ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk menelaahn bentuk-bentuk ungkapan tradisional penghalusan
bahasa yang merepresentasikan seksualitas dalam dongen pengantar tidur anak-anak
masyarakat Jawa Timur. Dongeng yang menjadi objek teliti adalah dongen popular dari
Jawa Timur yaitu Keong Mas. Metode yang digunakan adalah studi pustaka. Dari hasil
analisis dapat disimpulkan bahwa konsep penghalusan bahasa memang benar terdapat
dalam dongeng Keong Mas dari Jawa Timur. Bahasa-bahasa tabu representasi seksualitas
dalam cerita ini dikonversi dalam bentuk istilah-istilah dan lambang-lambang yang konkret
dalam pemikiran anak-anak. Wujud hasil representasi seksualitas dalam dongeng Keong
Mas ini adalah estetika dan kesopanan yang tidak menimbulkan pemikiran dewasa pada diri
anak-anak. Meskipun demikian, bahasa-bahasa pasemon ini memiliki daya sugestif yang
kuat dalam menyampaikan pesan moral atau ideologi yang digagasnya. Dengan demikian,
fungsi dongeng sebagai alat pengajar nilai dan kontrol sosial telah mampu dipenuhi dengan
tanpa melanggar etika atau batas-batas kesopanan yang dianut orang Jawa.
Kata kunci : Dongeng, Jawa, Seksualitas

PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari sastra lisan, dongeng memanfaatkan bahasa sebagai alat
penyampainya. Bahasa-bahasa tersebut diciptakan sesuai dengan tujuan utama
diciptakannya sebuah dongeng, apakah sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial
ataupun proyeksi keinginan yang terpendam. Oleh karena itu, bahasa-bahasa dalam
dongeng memiliki ciri pembeda (salience) dengan bahasa yang digunakan dalam
komunikasi sehari-hari. Meskipun, diciptakan oleh orang dewasa, namun dongeng
digolongkan ke dalam bagian dari sastra anak. fungsinya adalah untuk memberikan
hiburan, juga sebagai sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat setempat waktu itu. Sesuai dengan keberadaan misi tersebut, dongeng
mengandung ajaran moral. Dongen sering mengisahkan penderitaan tokoh, namun karena
kejujuran dan kemalangannya, tokoh tersebut mendapat imbalan yang menyenangkan.
Sebaliknya tokoh jahat pasti mendapat hukuman (Nurgiyantoro, 2005).
Pembahasan tentang dongeng menjadi kajian menarik manakala sastra lisan
tradisional yang digolongkan dalam kategori sastra anak ini mengandung unsur-unsur yang
tabu dibicarakan kepada anak-anak. walaupun tabu, unsur-unsur seperti seksualitas tidak
akan pernah dapat dipisahkan dari kehidupan manusia Jawa karena seks masuk dalam
konsep sistem nilai budaya Jawa yang bersumber dari sistem nilai religiusitas, yakni
masalah antara manusia dengan Tuhan.
Kajian tentang pendidikan seks ini perlu dipelajari oleh mayarakat umum sebagai
bagian dari penyebarluasan kesehatan masyarakat. Masyarakat Jawa menganggap
pemaparan tentang pendidikan seks sebagai suatu hal yang tabu. Pemikiran seperti itu harus
sudah mulai ditinggalkan. Orang Jawa perlu mengenali banyaknya aspek positif dari
seksualitas. Masyarakat harus memahami bahwa seksualitas mencakup lebih dari sekedar
perilaku seksual. Bahwa seksualitas mencakup lebih dari sekedar perilaku seksual. Bahwa
seksualitas tidak hanya mencakup aspek fisik, tetapi juga aspek mental dan spiritual.
Seksualitas harus dipahami secara menyeluruh bukan sebatas kebutuhan fisik semata, tetapi
juga kesatuan emosional serta sosial (Foster, 1968). Seksualitas adalah bagian penting dari
eksintensi manusia dan elemen kepribadian yang mendasar (Rahiem, 2004). Oleh karena
itu kesehatan seksual perlu dipahami seutuhnya oleh masyarakat sebagai sarana preventif
terjadinya perilaku seksual yang menyimpang.
Dalam budaya Jawa seorang anak belum dianggap dewasa ketika ia belum
memahami tata krama secara baik. Kenyataannya sekarang bahwa orang tua merasa
sungkan untuk mengajarkan pendidikan seks kepada anak-anaknya membuat mereka
menjadi liar ketika dilepas dari lingkungan keluarga. Anak yang sejak awal tidak dibekali
pengetahuan yang cukup tentang tata krama bergaul yang baik tentu akan semakin mencari
tahu hal-hal yang belum diajarkan oleh orang tuanya ketika ia berada di rumah. Maka
kemudian timbul rasa ingin mencoba sesuatu yang baru dari pribadi anak yang membuat
terjadinya perilaku seksual yang menyimpang dari norma-norma kehidupan.
Memang bukan perkara mudah melakukan diskusi secara terbuka tentang
seksualitas dalam maysarakat Jawa modern. Dalam pandangan khalayak umum,
pembicaraan mengenai seksualitas masih terbatas pada domain keluarga di rumah antara
suami dan istri, sehingga tidak bisa dibicarakan antara orang tua dan anak mereka. Pada
umumnya ketika harus berbicara tentang seks, orang Jawa akan memperhalus
pengungkapan tersebut menggunakan kata “hubungan seksual, seksualitas, atau seksologi”
untuk membuat kata tersebut terdengar lebih sopan (Rahiem, 2004).Oleh karena itu
pendidikan seks menjadi bagian penting dalam pembentukan suatu karakter.
Semua remaja perlu mengetahui tentang seksualitas dan pengambilan keputusan
seksual yang tepat di dalam hidupnya. Remaja yang tidak mengerti bagaimana seharusnya
ia mengambil keputusan tentang hubungan seksual layaknya gajah yang terkurung dalam
suatu ruangan. Walaupun pada akhirnya pengambilan keputusan mengenai hubungan
seksual merupakan permasalahan intrinsik suatu moral yang memiliki konsekuensi bagi
dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, pengambilan keputusan seksual
yang tepat merupakan kunci dari perkembangan karakter seseorang (Lickona, 2013). Proses
hubungan seksual tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Ada etika yang harus
diperhatikan dalam pelaksanaannya. Dibutuhkan pengetahuan mengenai segala hal tentang
seks ketika akan melakukan hubungan seksual. Hal ini dikarenakan proses pelaksanaan
hubungan seksual itu bukan semata-mata untuk pemenuhan nafsu pribadi, tetapi juga akan
mempengaruhi kehidupan selanjutnya. Jika proses yang dilakukan salah maka akan
menimbulkan dampak buruk bukan hanya bagi anak yang akan lahir tetapi juga bagi
keseimbangan, keselarasan, serta keberlangsungan kehidupan selanjutnya.
Akibat fatal yang terjadi dari proses berhubungan badan yang keliru seperti
menurunnya moral masyarakat saat ini. Banyak orang yang mulai melakukan proses
hubungan badan tanpa mengindahkan etika yang berlaku. Kejadian hamil di luar nikah,
pemerkosaan, pencabulan, banyaknya anak yang terlantar, serta meningkatnya kriminalitas
merupakan beberapa dampak yang muncul akibat proses hubungan badan yang keliru pada
mulanya. Jika kejadian ini tidak segera diatasi, kualitas bibit generasi yang akan lahir
selanjutnya tentu tidak akan baik.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Secara umum, penelitian ini menelaah
tentang bentuk-bentuk ungkapan tradisional yang telah mengalami proses penghalusan
bahasa atau kramanisasi. Penelitian ini menjelaskan konsep penghalusan bahasa pada
bahasa-bahasa tabu representasi seksualitas dalam dongeng anak-anak asal Jawa Timur
yaitu dongeng Keong Mas. Selain itu penelitian ini memaparkan wujud hasil penghalusan
bahasa-bahasa representasi seksualitas dalam dongeng Keong Mas pada masyarakat Jawa,
dan memaparkan tujuan dan fungsi sosial bahasa-bahasa tabu hasil kramanisasi yang
tertuang dalam dongeng Keong Mas pada masyarakat Jawa. Peneliti mencari referensi teori
yang relevan dengan permasalahan yang ditemukan. Referensi teori berasal dari buku dan
artikel yang berkaitan dengan bahasa dan seksualitas, bahasa dan simbol, simbol-simbol
dalam masyarakat Jawa, dan seks dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Data yang dikumpulkan berupa kalimat, leksikon, istilah, dan kata yang
menunjukkan simbol seksualitas dalam dua cerita pengantar tidur anak-anak masyrakat
Jawa, yakni dongen Keong Mas. Dalam proses penelitian, data dikumpulkan dengan teknik
pengumpulan data yang terencana dan terstruktur. Bahan-bahan informasi yang didapat
kemudian, dibaca, dicatat, diatur, dan dituliskan kembali. Kegiatan analisis data dilakukan
melalui beberapa tahap, seperti : menulis, menelaah, dan memahami; mendaftar semua
variabel yang perlu diteliti, dalam hal ini berkaitan dengan bahasa dan simbol seksualitas
dalam masyarakat Jawa; mencari setiap sumber variabel tersebut pada ‘subjek
ensiklopedia’ serta definisinya pada setiap variabel yang ada; mendeskripsikan bahan-
bahan yang diperlukan dari sumber-sumber yang telah tersedia; mereviu semua bahan
pustaka, kemudian melakukan proses analisis data yang bersumber dari literature dan
referensi yang sudah ada; mengambil simpulan. Pembahasan dalam kajian ini difokuskan
untuk menganalisis isi teks tentang representasi seksualitas yang ada dalam cerita Keong
Mas. Termasuk di dalamnya tentang pendidikan seks yang baik untuk pendidikan karakter.

PEMBAHASAN
Masyarakat Jawa tidak pernah lepas dari permasalahan seksual yang seringkali
diungkapkan dalam bentuk symbol-simbol yang sangat halus. Bagi masyarakat Jawa, seks
merupakan salah satu wujud praktis dari dua pilar teologis, sangkan paraning dumadi dan
manunggaling kawulo-Gusti yang senantiasa membingkai gerak mereka. Meski persoalan
seksualitas dianggap sebagai persoalan religi dan laku (kesaktian), namun masalah ini
termasuk dalam pembahasan yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Pandangan
masyarakat Jawa terhadap seksualitas mencerminkan pengakuan bahwa aktivitas ini
merupakan kebenaran alamiah yang tidak mungkin dihilangkan dalam pembahasan sehari-
hari. Pada cerita-cerita tradisional, babad, serat, dan beberapa bentuk folklor, seks adalah
tema yang paling digemari, tetapi juga paling samar dibahasakan. Oleh karena itu,
seksualitas dalam budaya Jawa cenderung bersifat kontradiktif.
Salah satu jejak seksualitas teridentifikasi pada cerita rakyat yang berwujud
dongeng sebelum tidur. Dongeng merupakan jenis cerita rakyat yang termasuk dalam
folklor lisan. Kisahnya dinarasikan secara oral dari ibu kepada anak-anaknya
(antargenerasi). Oleh karenanya seringkali dongeng memiliki beragam versi dan
interpretasi, namun garis besarnya tetap sama. Dongeng diciptakan untuk menjalankan
fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, dongeng merupakan
bentuk proyeksi masyarakat yang memilikinya meski seringkali sifatnya tidak logis.
Dongeng dalam masyarakat Jawa juga memerankan fungsi pengungkapan seks
secara halus dengan menggunakan ungkapan tradisional (folk speech). Folk speech adalah
ungkapan yang telah menjadi tradisi lisan rakyat Jawa secara turun temurun (Suwardi,
2013). Dengan bungkus dongeng masyarakat Jawa lebih leluasa membahas gagasan-
gagasan seksual secara simbolik (tersamar) melalui ungkapan yang diperhalus (pasemon).
Cara ini dianggap sebagai cara yang santun dalam mengulas seks, sebab terpengaruh oleh
pandangan hidup bahwa wong Jawa nggone semu.
Di dalam dongeng pengantar tidur, entah disadari atau tidak, sebenarnya banyak
memuat ajaran-ajaran seks tertentu yang memiliki daya sugestif. Hal ini berarti ada tujuan
si pencipta untuk memanfaatkan dongeng sebagai media pengajaran nilai-nilai moralitas
terhadap persoalan seksual. Alasannya adalah karena orang Jawa selalu berhati-hati dalam
mendidik seks kepada anaknya. Melalui bentuk penghalusan bahasa
(kramanisasi/pasemon), pengungkapan seks justru dapat berjalan secara alamiah dan tidak
vulgar. Pada artikel ini, bentuk-bentuk pasemon yang merepresentasikan seksualitas dalam
dongeng pengantar tidur masyarakat Jawa diulas mulai dari bentuk kalimat-kalimat,
bentukan istilah dan metafornya, bahkan hingga leksikon yang menjadi perwakilan
terhadap simbol-simbol tertentu.
Kalimat-kalimat (Pasemon) dan Leksikon-leksikon Hasil Representasi
Seksualitas dalam Dongeng Keong Mas (Jawa Timur)
Keong Mas adalah dongeng yang berasal dari Jawa Tengah yang cukup terkenal.
Dongeng Keong Mas mengisahkan tentang seorang janda yang hidup sendiri untuk
mencukupi kebutuhannya sehari-hari mbok rondho mencari makan di hutan. Tiba-tiba
melihat cahaya yang keluar dari sungai yang kering, dan ternyata adalah seekor keong mas.
Keong mas lalu dibawa pulang dan dimasukkan kedalam genthong (tempat air dari tanah
liat yang berukuran besar). Ketika pulang dari mencari makanan, mbok rondo merasa heran
karena di dapurnya sudah tersedia banyak makanan, yang disediakan oleh keong mas yang
berubah menjadi seorang putri yang cantik, keong mas mengaku bahwa dirinya tidak mau
diperistri oleh jin sakti maka dikutuklah menjadi keong mas dan terpisah dengan suaminya
Raden Inukertapati.
Berdasarkan sinopsis, kalimat yang mendeskripsikan sang Janda dapat dimaknai
sebagai wanita yang hidup sendirian sehingga merasakan kesepian. Leksikon janda dipilih
untuk mewakili presentasi seorang wanita kesepian yang pernah merasakan nikmatnya
berkasih sayang dengan lelaki (suaminya). Tanpa suami (lelaki), seorang perempuan tidak
akan mungkin dapat memiliki anak. Pada adat tradisi Jawa, posisi perempuan seringkali
tersudutkan oleh istilah Janda. Janda seringkali digambarkan sebagai wanita yang senang
menggoda suami orang. Oleh karena hasrat seksualnya yang sudah tidak lagi terpenuhi
sehingga mencari pelampiasan. Karenanya leksikon Janda dipilih alih-alih menggunakan
frasa perawan tua.
Kutipan dongeng Keong Mas sebagai berikut :
Dewi Candrakirana banjur njlentrehake menawa ing sakwijining dina dicidra Raja Jin
Sakti kang kareb ngepek garwa. Ananging dheweke ora gelem nuruti karepe Jin. Jin
muntab, Dewi Candrakirana sinebda dadi Keong Mas banjur diguwang nyang kali, adoh
saka kraton Jenggala. Wekasane ora bisa ketemu karo garwane Inukerta
Terjemahan :
Dewi Candrakirana menceritakan bahwa dirinya menjadi keong mas karena dikutuk oleh
Jin sakti yang menginginkan dirinya untuk menjadi istrinya dan meladeni nafsu birahinya
Jin sakti
Kalimat yang merepresentasikan hasrat seksual seorang lelaki tercermin dalam
pernyataan Jin sakti yang merasa kecewa karena hasrat seksualnya tidak terpenuhi oleh
dewi Candrakirana. Memang dalam bercinta harus dilandasi dengan rasa saling suka dan
cinta yang dalam supaya menciptakan kenikmatan yang luar biasa. Masyarakat Jawa
mengenal adanya ajaran bercinta salah satunya adalah Asmara Nala yang disebut juga
sengseming nala yang maknanya adalah kedua insan ysng bercinta hendaknya dilandasi
oleh rasa cinta kasih yang muncul dari lubuk hati masing-masing.Ketika dua insan saling
bergetar jiwanya satu sama lain maka mereka akan mendapati bahagia yang sesungguhnya
dalam hubungan karonsih itu. Seks bukan sekedar untuk menyalurkan hasrat birahi seorang
laki-laki dan perempuan namun merupakan perpaduan dua hati yang saling mencinta dan
mendamba.
Kutipan dongeng Keong Mas berikutnya, yakni sebagai berikut :
Nampa kendhi pratala kang diwadahi bokor kencana, Raden Inukerta sauwat kaget
amargi kelingan ora ana liyane sing kagungan kendhi pratala diwadahi bokor kencana
kajaba Dewi Candrakirana. Raden Inukerta banjur ngajak para punggawa bali nyang
Dhadapan nemoni Limaran. Eeeba bungahe Raden Inukerta ketemu Limaran kang sejatine
garwane dewe Dewi Candrakirana kang wis suwe ilang. Ketemune Raden Inukerta karo
garwane dibarengi udan deres ing desa Dhadapan. Tekane udan sawise pageblug ing
desa Dhadapan. Kali bali mili, tlaga agung, desa dadi reja. Kabul panyuwune Mbok
Randha Dhadapan.
Terjemahan :
Raden Inukerta merasa kaget menerima kendhi yang ditempatkan dalam sebuah bokor
kencana, karena yang memiliki bokor kencana itu hanyalah istrinya yaitu Dewi
Candrakirana. Akhirnya Raden Inukerta bertemu kembali dengan istrinya Dewi
Candrakirana di rumah mbok rondo Dadapan. Pertemuan mereka kembali diiringi dengan
hujan deras yang akhirnya desa Dadapan menjadi makmur.
Kalimat atau ungkapan “kendhi pratala diwadahi bokor kencana” merupakan
perwujudan yang dapat dimaknai sebagai pertemuan dua insan (lelaki-perempuan) yang
sama-sama sedang dipenuhi gairah seksual. Disini dalam dongeng keong mas menceritakan
bertemunya atau bersatunya kembali sepasang suami istri yang sudah lama terpisahkan.
Mereka sudah saling memendam rindu dan gairah seksual yang membara. Kendhi pratala
sebagai lambang lingga yang merupakan alat kelamin laki-laki. Bokor kencana sebagai
lambang yoni yaitu sebagai alat kelamin perempuan. Lingga-yoni merupakan lambang
kesuburan dan orang jaman dahulu yang memiliki relasi dengan alam sangat percaya
dengan filosofi itu. Penampakan lingga-yoni sebagai perwujudan pengharapan dan
permohonan kesuburan, agar alam semesta gemah ripah loh jinawi.
Hariwijaya (2004) menyebutkan bahwa, manusia dalam kosmologi Jawa berasal
dari tirtasinduretna yang keluar saat pertemuan antara lingga yoni, kemudian berkembang
menjadi janin dan dikandung dalam gua garba. Tirta sinduretna merupakan lambang dari
air mani atau sperma laki-laki. Gua garba merupakan melambangkan untuk menghaluskan
fungsi rahim seorang wanita
Hubungan seksual memang merupakan masalah yang sangat penting dalam budaya
Jawa karena hasilnya adalah sebuah kehidupan baru. Oleh sebab itu, perlu diajarkan agar
sebelum melakukan hubungan seksual haruslah disiapkan segalanya agar hasilnya juga
sempurna dan mengerti asal kemana ia akan berakhir. Seperti aturan yang telah ditetapkan
baik itu oleh ajaran agama maupun ketetapan para leluhur, bahwasanya orang yang boleh
melakukan persetubuhan hanyalah orang yang sudah menikah, itu artinya seorang laki-laki
hanya boleh bersetubuh dengan istrinya sendiri, bukan orang lain. Hubungan seksual juga
harus dilaksanakan secara benar agar mendapat rida dari Tuhan dan diberikan hasil yang
baik pula.
Dalam hubungan bercinta dikenal tahap-tahap yakni (1) sengseming nala, (2)
sengseming pandulu, (3) sengseming pamirengan, (4) sengseming pocapan, dan (5)
sengseming pangarasan, (6) sengseming salulut. Tahap-tahap tersebut merupakan tahapan
sebelum kedua insan suami istri mencapai moksa Manunggaling Kawula-Gusti dalam yoga
yang dalam istilah modern disebut dengan foreplay. Kegiatan foreplay dilakukan dengan
jalan membangun kasih mesra melalui rangsang pandangan, pendengaran, ucapan-ucapan,
dan sentuhan-sentuhan.. Tahapan tersebut menunjukkan keagungan bahwa dalam
berhubungan antara suami dan istri perlu didasari oleh perasaan cinta dan kasih sayang.
1. Sengseming Nala
Maknanya kedua insan ang bercinta hendaknya dilandasi oleh cinta kasih yang
muncul dari lubuk hati masing-masing. Ketika dua insan saling tergetar jiwanya
satu sama lain, maka mereka akan mendapati bahagia yang sesungguhnya dalam
hubungan karonsih itu. Seks bukan sekedar untuk menyalurkan hasrat birahi
seorang laki-laki dan perempuan, namun merupakan perpaduan dua hati yang saling
mencinta dan mendamba. Makin mendalam cinta keduanya, makin dalam pula rasa
kenikmatan seksual yang mereka peroleh.
2. Sengseming Pandulu
Maksudnya kedua insan yang bercinta hendaknya dilandasi oleh rasa saling tertarik
kepada kecantikan dan ketampanan kedua belah pihak. Ketika cinta telah
bersemi,semuanya tampak indah. Si istri yang sebenarnya biasa-biasa saja, namun
dalam pandangan suaminya akan tampak cantik bagaikan rembulan purnama.
Sengseming pandulu arti bahasanya adalah kebanggaan pandangan. Sebuah
pasangan yang serasi harus saling memiliki rasa kebanggaan pada pasangannya.
3. Sengseming Pamirengan
Maknanya kedua insan yang bercinta akan semakin larut dalam asyik masyuk
dengan sendau- gurau mesra yang membuat rangsangan pada gendang telinga.
Suara yang merdu, desah napas yang syahdu akan membuat kedua pasangan terlena.
Sepasang suami istri yang sedang bercinta, akan lebih nikmat jika si istri
mengimbangi suami dengan desah-desah yang terkendali.
4. Sengseming Pocapan
Syair, puisi dan kata-kata mutiara sering kali dilantunkan oleh sepasang kekasih
yang sedang jatuh cinta. Kata-kata pilihan itu sungguh mempesona dan punya daya
magis ajaib yang menimbulkan bukit cinta kasih semakin tinggi. Kelebihan lai-laki
biasanya pada sisi rayuan ini. Pihak perempuan yang sudah ada bibit cinta, biasanya
akan terbius dan menyerahkan jiwa raga sepenuh kasih.
5. Sengseming Pangarasan
Ciuman merupakan pemantik birahi yang paling dahsyat. Kedua insan yang sedang
bercinta tidak akan melupakan ciuman, entah itu dahi, pipi, mata, bibir, atau bagian
tubuh yang lain. Oleh karena itu setiap pasangan suami istri hendaknya mempelajari
teknik-teknik berciuman. Masing-masing jenis ciuman membawa kenikmatan dan
psikologis yang berbeda.
6. Sengseming Salulut
Puncak dari hubungan suami istri adalah salulut, yakni masuknya alat kelamin laki-
laki ke dalam alat kelamin perempuan. Alat kelamin laki-laki sebelum masuk ke
dalam liang vagina harus dipastikan empat hal, yakni besar, panjang, keras, dan
hangat. Sedangkan alat kelamin perempuan yang mampu memberikan kenikmatan
bagi laki-laki atau suaminya adalah yang hangat, empuk, dan menyerah (Munarsih,
2004). Dalam hubungan seksual itu, menurut kitab-kitab jawa klasik, unsur laki-laki
adalah upaya atau alat mencapai kebenaran yang agung. Sedangkan unsur wanita
merupakan prajna atau kemahiran yang membebaskan. Maka dipahami bahwa
persenggamaan adalah darma seorang istri terhadap suami dan sebaliknya
merupakan kewajiban seorang suami terhadap istrinya.

KESIMPULAN
Dongeng-dongeng sebelum tidur masyarakat Jawa yang disisipi simbol-
simbol seksualitas sebenarnya merupakan bukti akan perhatian orang Jawa akan hal
ini. Pendidikan seksual dalam masyarakat Jawa sejatinya telah diajarkan dalam
bentuk penghalusan bahasa pada dongeng. Masyarakat Jawa ingin menyampaikan
nasehat yang mulia dalam menjaga kehormatan wanita. Wanita hendaknya tegar
berpendirian kuat untuk tidak mudah hanyut oleh rayuan dan meyerahkan
kehormatanya demi menjaga kesetiaan seorang isri terhadap suaminya. Pada
akhirnya kesetiaan pada cinta sejatinya itu berbuah kemakmuran. Seperti yang telah
dicontohkan oleh Dewi Candrakirana yang telah rela dikutuk menjadi Keong Mas
demi menjaga kehormatan dan kesetiannya terhadap suaminya Raden Inukerta.
Pada akhirnya mereka berdua sepasang suami istri dipertemukan kembali dengan
rasa cinta sejati yang begitu dalam sehingga menumbuhkan sebuah kemakmuran di
desa Dadapan.
Konsep penghalusan bahasa memang benar terdapat dalam dongeng Keong
Mas dari Jawa Timur. Bahasa-bahasa tabu representasi seksualitas dalam cerita ini
dikonversi dalam bentuk istilah-istilah dan lambang-lambang yang konkret dalam
pemikiran anak-anak. Wujud hasil representasi seksualitas dalam dongeng Keong
Mas ini adalah estetika dan kesopanan yang tidak menimbulkan pemikiran dewasa
pada diri anak-anak. Meskipun demikian, bahasa-bahasa pasemon ini memiliki daya
sugestif yang kuat dalam menyampaikan pesan moral atau ideologi yang
digagasnya. Dengan demikian, fungsi dongeng sebagai alat pengajar nilai dan
kontrol sosial telah mampu dipenuhi dengan tanpa melanggar etika atau batas-batas
kesopanan yang dianut orang Jawa.
DAFTAR PUSTAKA

Foster, G. R. (1968). Considerations in a Philosophy of Sex Education. Educational


Leadership, 316-319. Diambil kembali dari
http://www.ascd.org/ASCD/pdf/journals/ed_lead/el_196801_foster2.pdf.
Hariwijaya, M. (2004). Islam Kejawen. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Insani, N. H. (2018). Serat Nitimani : Pendidikan Seks berdasarkan Etika Jawa.
Metasastra : Jurnal Penelitian Sastra, 73-90.
doi:https://dx.doi.org/10.26610/metasastra.2018.v11i1.73—90
Munarsih. (2004). Serat Centhini Warisan Sastra Dunia. Yogyakarta: Gelombang
Pasang.
Nurgiyantoro, B. (2005). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.
Rahiem, M. H. (2004). Learning from the West: Sexuality education in taboo
Javanese society. ProQuest Dissertations and Theses. Canada: McGill
University. Diambil kembali dari
http://search.proquest.com/docview/305080295?accountid=28431.
Suwardi, E. (2013). Seksologi Jawa : Konsep, Kajian, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Morfalingua.

Anda mungkin juga menyukai