Anda di halaman 1dari 12

No.

05
PEMBELAJARAN SASTRA UNTUK ANAK TK DASAR
DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI TOKOH
BERSEJARAH DAERAH LAMONGAN

Pendahuluan
Saat ini kita dihadapkan dengan maraknya berita tentang kacaunya kehidupan
bangsa ini yang tidak ada habisnya, baik melalui televisi, internet, surat kabar atau
media lain. Keadaan masyarakat saat ini bisa dibilang sangat mengkhawatirkan.
Perkelahian atau tawuran antar pelajar, pembunuhan, ketimpangan sosial,
ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, dan hal-hal lain,
bahkan, tidak jarang kondisi tersebut diamati secara langsung di masyarakat.
Beberapa alasan terjadinya kondisi tersebut adalah kurang mengenanya
pembentukan karakter.
Lembaga pendidikan yang seharusnya up-to-date sebagai pemelihara
pendidikan karakter seringkali mencerminkan rendahnya status karakter. Kita masih
belum lupa soal kasus bocornya soal Ujian Nasional di berbagai pelosok
Indonesia, kekerasan fisik yang dilakukan oleh beberapa oknum guru, tawuran
antar pelajar, terjadinya tindakan pelecehan seksual antar sesama pelajar maupun
guru dan masih banyak lagi kondisi yang sangat memprihatinkan. Sebenarnya,
masalah tersebut tidak hanya terjadi di negara kita saja. Banyak negara-negara lain
juga mengalami hal yang sama. Itulah mengapa, kondisi ini bersifat universal.
Hal ini telah mendorong pemikiran kita untuk menyelidiki sebab akibatnya dan
mencari solusi. Berbagai lembaga pemerintah dan swasta telah berulang kali
menyelenggarakan investigasi dan berbagai seminar tentang masalah ini. Pada
akhirnya, ada persepsi bersama tentang pentingnya mempromosikan character-
building.
Sebenarnya, pendidikan karakter sudah ada sejak lama, sebagaimana
dikemukakan Ki Hajar Dewantara melalui metode “Bein”, di mana ada tiga unsur
pendidikan yang harus sinergis, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Metode
Among diharapkan anak tumbuh sesuai dengan fitrah dan budayanya sendiri,
sehingga ada tiga hal yang harus dikembangkan untuk membangun karakter yang
terdidik, yaitu membangun budaya agar siswa selalu siap menghadapi perubahan
yang semakin kompetitif mengingat budaya itu terus menerus, konvergen dan
konsentris. Ingatlah kata-kata Ki Hajar Dewantara berikut, “Bangun budaya agar
siswa selalu siap menghadapi perubahan yang semakin kompetitif”, yang artinya
diperlukan sikap berdedikasi dan disiplin dalam melaksanakan pembangunan
karakter dan semua itu bisa dimulai. semua (dalam Majelis Agung Perhimpunan
Tamansiswa, 2013: 70).
Sekolah merupakan sumber transformasi pengetahuan untuk memberikan
pembentukan karakter kepada siswa. Salah satu ilmu yang bisa diajarkan character
building adalah sastra anak, yang merupakan media yang efektif untuk mendidik
anak. Keberadaan sastra sebagai bacaan anak merupakan konstruksi yang dibuat
dengan tujuan dan sasaran tertentu, dilengkapi dengan ideologi yang
membangunnya. Sastra adalah cerminan kehidupan masyarakat tempat sastra
lahir. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sastra tidak hanya estetis. Sastra
dapat digunakan sebagai sarana untuk mengendalikan penyimpangan dari nilai-nilai
kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan agama.
Oleh karena itu, kehadiran sastra anak tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang
melingkupinya. Mengenai ideologi ini, ada kesadaran mental dari anak-anak bahwa
orang dewasa ingin berubah.
Pembentukan karakter dapat diajarkan melalui sastra anak. Hal ini sesuai
dengan keunggulan sastra anak. Nilai keutamaan sastra telah banyak ditemukan
oleh berbagai sarjana, di antaranya Horacio (via Teeuw, 2003: 85) mengemukakan
bahwa sastra itu berguna atau bermanfaat dan menghibur. Tarigan (1995: 35)
memberikan catatan tersendiri untuk sastra anak. Menurut Tarigan, sastra anak
khususnya memberikan kontribusi yang signifikan bagi para pembacanya, termasuk
dalam pendidikan karakter. Pembentukan karakter dapat dilihat pada blok bangunan
sastra anak. Melalui bangunan-bangunan tersebut, sastra diharapkan dapat
menyampaikan nilai-nilai karakter yang bermanfaat bagi pembacanya, yaitu anak-
anak.
Dalam kajian ini dimaksudkan agar memberi wawasan dan juga pengetahuan-
pengetahuan terbaru tentang pembelajaran sastra untuk anak dalam pembentukan
karakter anak itu sendiri melaui cerita-cerita figure atau tokoh dari daerah, dalam kajian
ini khususnya mengangkat cerita tentang tokoh-tokoh berpengaruh di daerah
lamongan. Diharapkan pembelajaran sastra untuk anak ini bisa mengenalkan anak-
dengan tokoh-tokoh lokal dan juga bisa menginspirasi mereka agar dapat
mencontoh prilaku-prilaku dan sifat-sifat baik mereka, sehingga secara tidak
langusng bisa membentuk karakter baik di diri anak tersebut.
Di dalam menulis artikel ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif di mana pendekatan ini menganalisis, menggambarkan, dan meringkas
berbagai kondisi, situasi, dari hasil pengamatan mengenai masalah yang terjadi di
lapangan. Prosedur penelitian yang menggunakan metode kualitatif menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata baik secara tertulis ataupun lisan dari bentuk
tindakan kebijakan (Moeleong, Lexy J. 2002:112).
Pendekatan ini perolehan sumber datanya berupa dokumen, dan data
tersebut adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan
oleh peneliti dari sumber yang telah tersedia sehingga peneliti dapat disebut sebagai
tangan kedua (Mulyadi, 2016: 144). Data sekunder dari kajian ini diambil dari
dokumen dan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan.
Pengumpulan data berupa dokumentasi dengan melakukan peninjauan dan
pembedahan konten ke dalam subjek penelitian. Data berupa dokumen seperti ini bisa
dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam, seperti: catatan harian,
hasil rapat dan jurnal-jurnal penelitian.
Pada tahapan analisis data ada beberapa tahapan yang dilaksanakan seperti;
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Sastra Anak
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Secara etimologis, sastra berasal dari
kata sas dan tra. Sas artinya mengajar, mendidik dan tra artinya, sarana, alat.
Sastra berarti alat atau sarana untuk mengajar. Jadi sastra anak adalah sarana
untuk mengajar anak. Ia bersifat lisan, tertulis, bahkan juga aktivitas. Santosa (di
Rosdiyana, 2008: 5.4) menunjukkan bahwa sastra anak adalah karya seni yang
imajinatif dengan unsur estetisnya dominan yang bermediumkan bahasa, baik lisan
maupun tertulis, yang secara khusus dapat dipahami oleh anak dan berisi tentang
dunia yang akrab dengan anak-anak. Ia dibatasi oleh pengalaman dan pengetahuan
anak, pengalaman dan pengetahuan yang dapat dicapai dan dipahami anak,
pengalaman dan pengetahuan sesuai dengan perkembangan emosi dan
psikologisnya.
Nurgiyantoro (2005: 3648) menambahkan bahwa sastra anak memiliki kontribusi
terhadap nilai-nilai personal dan Pendidikan bagi anak. Nilai personal sastra bagi anak
antara lain adalah perkembangan emosional anak, perkembangan intelektual,
perkembangan imajinasi, pertumbuhan rasa sosial dan perkembangan rasa etis dan
religius. Nilai pendidikan sastra bagi anak antara lain adalah membantu anak dalam hal
eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, pengembangan nilai keindahan, nilai-
nilai multikultural, penanaman kebiasaan dan membaca.
Sesuai dengan sasarannya, sastra anak harus dikemas berbeda dengan sastra
dewasa, sehingga dapat diterima oleh anak dan dipahami dengan baik oleh anak.
Menurut Davis (Endaswara, 2005: 212) ada empat sifat sastra anak, yakni:
1) Tradisional, yaitu tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu dalam bentuk
mitologi, fabel, dongeng, legenda, dan kisah kepahlawanan yang romantis;
2) Idealistis, yaitu sastra yang memuat nilai-nilai universal, dalam arti didasarkan hal-
hal terbaik penulis zaman dahulu dan kini;
3) Populer, yaitu sastra yang berisi hiburan, yang menyenangkan anak-anak;
4) Teoritis, yaitu yang dikonsumsikan kepada anak-anak dengan bimbingan orang
dewasa serta penulisnya dikerjakan oleh orang dewasa pula.
Sastra anak diyakini memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan
kepribadian anak dalam proses tumbuh kembangnya.
Farahiba (2017) menambahkan. Sastra memiliki peran penting untuk diajarkan
pada tingkat dasar karena 1) sastra mampu menunjukkan kebenaran hidup, yang
artinya dengan karya sastra orang akan belajar banyak tentang pengalaman hidup,
persoalan dengan aneka ragamnya, dan bagaimana menghadapinnya, 2) sastra dapat
memperkaya rohani, selain bisa menjadi hiburan, dengan membaca satra pembaca
bisa mengikuti dan menikmati jalan cerita, pelukisan watak yang beragam juga pesan
kesan bermakna yang disuguhkan dalam cerita, 3) sastra memiliki kesantunan
berbahasa, Karya sastra begitu kaya dengan kata- kata yang tersusun secara tepat
dan memesona. Anak dapat belajar tata krama atau santun berbahasa dari
pengungkapan kata-kata para sastrawan, 4) sastra menjadikan manusia berbudaya,
manusia yang berbudaya adalah manusia yang cepat tanggap terhadap segala hal
yang luhur dan indah dalam hidup ini.
Jika karya sastra telah diajarkan dari anak yang duduk di sekolah dasar, maka
sejak dari dini anak dapat mengerti kehidupan manusia yang sederhana, berbudi
luhur, dan disiplin. Hal itu dikarenakan di dalam sastra terdapat gambaran
kebiasaan manusia bergaul dengan kebenaran, keindahan, dan kebaikan disiplin.

Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah bagian penting dalam dunia pendidikan
sepertiyang tertuang dalam UU Sisdiknas No 20 Pasal 3 Tahun 2003 bahwa,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. Untuk mewujudkan tujuan tersebut seharusnya pendidikan
karakter diberikan pada anak-anak sedini mungkin.
Menurut Wibowo (2011), Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3
hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan
dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan social dan alam
sekitar), dan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (spiritual). Setiap hasil
hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya
menjadi nilai dan keyakinan anak. Misalnya, dengan membiarkan anak berinteraksi
dan bersosialisasi dengan lingkungan, serta mempercayakan mereka mengambil
keputusan sendiri. Jika anak dilingkungan yang baik dan sehat maka anak akan
tumbuh dengan karakter yanga baik dan sehat pula.
Selanjutnya Megawangi (2006:40) merumuskan bahwa dalam pendidikan
karakterter ada Sembilan nilai karakter, yang mana Sembilan nilai karakter inilah
yang kemudian diajarkan pada siswa yang disebut dengan Sembilan pilar karakter,
yaitu sebagai berikut: Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, Kemandirian dan
tanggung jawab, Kejujuran/amanah, bijaksana, Hormat dan santun, Dermawan, suka
menolong dan gotong royong, Percaya diri, kreatif dan pekerja kera, Kepemimpinan dan
keadilan, Baik dan rendah hati, dan Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Setiap pengalaman yang dimiliki seorang anak melalui penglihatan dan
pendengaran menentukan kepribadiannya. Sosialisasi juga berperan penting dalam
pembentukan karakter anak, seperti sosialisasi di keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Sosialisasi di dalam keluarga, keluarga yang merupakan tempat utama dan utama
dimana seorang anak dibesarkan dan dibesarkan. Fungsi utama keluarga adalah
sebagai sarana untuk mendidik dan mensosialisasikan anak, mengembangkan
kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan peran dan fungsinya
dengan baik di masyarakat agar tercipta lingkungan yang sejahtera.
Pada kondisi keluarga yang tidak baik atau bermasalah, misalnya komunikasi
keluarga yang buruk, interaksi keluarga kurang, dan terjadinya konflik dalam keluarga
akan berpengaruh buruk dan negatif terhadap perkembangan jiwa dan karakter anak.
Sebaliknya, didalam keluarga tercipta kondisi yang harmonis, penuh kasih sayang,
saling memotivasi satu sama lain, maka hal itu juga akan berdampak positif bagi anak
itu sendiri, anak akan memiliki karakter yang kuat.
Dengan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang bisa
mmepengaruhi karakter seseorang, bisa bersifat alamiah maupun fitrah, bisa
disebut dengan keturunan atau perwatakan dari orang tua, dan karakter juga bisa di
pengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar anak atau sosial. Anak yang tumbuh
dilingkungan yang baik maka dia akan memiliki karakter yang baik pula, dan
sebaliknya bila anak tumbuh dilingkungan yang buruk maka kemungkinan besar
akan memiliki karakter yang buruk pula.

Tokoh-Tokoh Bersejarah Daerah Lamongan


Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah salah satu sunan dari sembilan sunan Wali Songo. Ia
mempunyai nama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim, putra dari Sunan Ampel
yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, ia mengambil tempat di Desa
Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan
dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah
perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Ia sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat
memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan
kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi
lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan
dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena
Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang
mempunyai otonomi.
Sebagai tanda penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam
dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang
makmur bagi warganya, ia memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah
Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta
tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa sisa gamelan Singo mengkoknya Sunan
Drajat kini tersimpan di Museum Daerah. Untuk menghormati jasa-jasa Sunan Drajat
sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk
melestarikan budaya serta benda-benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat,
keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam,
Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat
disebelah timur Makam. Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur
tanggal 1 Maret 1992.

Joko Tingkir
Joko Tingkir adalah putra dari Ki Ageng Pengging, lahir sebagai Mas Karèbèt.
Ketika ia dalam kandungan ibunya, ayahnya mengadakan pertunjukan wayang beber
yang dibawakan oleh Ki Ageng Tingkir sebagai dalang. Keduanya adalah pengikut
Syekh Siti Jenar (santo ke-10 Jawa). Setelah itu, sayangnya Ki Ageng Tingkir jatuh
sakit dan kemudian meninggal.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dijatuhi hukuman mati atas dasar
pemberontakan terhadap Kesultanan Demak dengan Sunan Kudus sebagai
algojonya. Setelah suaminya meninggal, Nyai Ageng Pengging juga jatuh sakit dan
meninggal. Maka sejak saat itu Mas Karèbèt diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir, janda
dari Ki Ageng Tingkir.
Sifat-sifat yang bisa diteladani dari Mbah Agungboyo (Julukan lain dari joko
Tingkir) Yaitu spirit atau semangat kepahlawanan Jaka Tingkir dalam berjuang.
Karena dalam cerita rakyat di Lamongan dan Jawa Tengah, Joko Tingkir atau Mas
Karebet konon adalah tokoh muda yang menegakkan kebenaran selama dalam
petualangan spiritualnya. Saat dewasa, ia dikenal luas sebagai Jaka Tingkir. Ia
mengikuti ajaran Sunan Kalijaga serta Ki Ageng Sela. Ia juga dianggap berkerabat
dengan tiga cucu Ki Ageng Tingkir, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki
Panjawi.

Kadet Suwoko
Kadet Soewoko (01 Januari 1928 – 9 Maret 1949), lebih dikenal masyarakat
dengan sapaan akrab sebagai Soewoko, adalah pahlawan dari Kabupaten
Lamongan, Jawa Timur. Soewoko dikenal karena peranannya yang menginspirasi
kaum muda, khususnya, dan membangkitkan semangat rakyat setempat untuk
melawan kembalinya penjajah Belanda. Perjuangan Soewoko berakhir dengan
pertempuran yang sengit melawan tentara Belanda di wilayah Desa Gumantuk,
Kecamatan Sekaran, Lamongan, Jawa Timur. Berdasarkan aksi heroik dan
perjuangannya, Soewoko dijadikan sebagai ikon Kabupaten Lamongan.
Kisah nyata heroik perjuangan Kadet Soewoko tersebut terjadi pada Minggu, 9
Maret 1949 menjelang siang. Ketika itu, Soewoko mendapat laporan penduduk kalau
ada truk tentara Belanda yang mengangkut 12 tentara terperosok di parit wilayah Desa
Parengan, Kecamatan Maduran. Ada Anggota regu ada 8 orang tapi hanya memiliki 7
pucuk senjata yang itupun peninggalan Jepang, Dengan bekal persenjataan
seadanya itu, regu Kadet Soewoko tetap bersepakat akan menyerang tentara
Belanda dan meninggalkan 1 anggota, yaitu Soemarto, karena kurangnya senjata,
dengan menggunakan perahu dan lantas merayap ke lokasi pasukan Belanda
tersebut, Mereka sepakat akan menyerang dengan tembakan salvo kalau sudah
sampai jarak tembak yang tepat.
Mendekati sasaran tembak, tiba-tiba datang truk berisi penuh serdadu
Belanda untuk membantu truk yang terperosok parit itu sehingga kekuatan Belanda
menjadi berlipat sekitar 37 orang. Meski kekuatan lawan berlipat dan pasukan regu
Soewoko terkepung tetapi mereka tidak gentar dan tetap melakukan serangan
gencar.Beberapa serdadu Belanda langsung terjungkal ditembak regu Soewoko tapi
mereka terdesak dan berencana mundur tapi tidak bisa dilakukan, karena diam-
diam sebagian tentara Belanda mengepung Soewoko memutuskan menerobos
kepungan musuh menuju Desa Gumantuk Kecamatan Sekaran, 2 orang anggota
regu berhasil menerobos kepungan musuh, tapi nahas bagi Soewoko yang
tertembak kedua bahunya dan tertangkap. Meski tertembak, Soewoko tetap melakukan
perlawanan hingga akhirnya meninggal dunia karena ditusuk dan ditembak oleh
pasukan Belanda.

Ronggohadi
Nama kota Lamongan berasal dari nama seorang tokoh pada masa silam.
Pada zaman dulu, ada seorang pemuda bernama Hadi, karena mendapatkan
pangkat rangga, maka ia disebut Ranggahadi. Ranggahadi kemudian bernama
Mbah Lamong, yaitu sebutan yang diberikan oleh rakyat daerah ini. Karena
Ranggahadi pandai ngemong Rakyat, pandai membina daerah dan mahir
menyebarkan ajaran agama Islam serta dicintai oleh seluruh rakyatnya, dari asal
kata Mbah Lamong inilah kawasan ini lalu disebut Lamongan. Adapun yang
menobatkan Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama, tidak
lain adalah Kanjeng Sunan Giri IV yang bergelar Sunan Prapen. Wisuda tersebut
bertepatan dengan hari pasamuan agung yang diselenggarakan di Puri Kasunanan
Giri di Gresik, yang dihadiri oleh para pembesar yang sudah masuk agama Islam
dan para Sentana Agung Kasunanan Giri. Pelaksanaan Pasamuan Agung tersebut
bertepatan dengan peringatan Hari Besar Islam yaitu Idhul Adha tanggal 10
Dzulhijjah.
Berdasarkan adat yang berlaku pada saat itu, maka Panitia menetapkan
wisuda Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama dilakukan
dalam pasamuan agung Garebeg Besar pada tanggal 10 Dzulhijjah Tahun 976
Hijriyah. Selanjutnya Panitia menelusuri jalannya tarikh hijriyah dipadukan dengan
jalannya tarikh masehi, dengan berpedoman tanggal 1 Muharam Tahun 1 Hijriyah
jatuh pada tanggal 16 Juni 622 Masehi, akhirnya Panitia Menemukan bahwa tanggal
10 Dzulhijjah 976 H., itu jatuh pada Hari Kamis Pahing tanggal 26 Mei 1569 M.

Chairul Huda
Chairul Huda memulai karirnya di klub Persela Lamongan sejak 1999 dan
bertahan di klub tersebut hingga kematiannya pada 2017. Ia dijuluki “The One Man,
One Club, One Love”, dan menjadi legenda bagi Persela Lamongan.
Menurut penulis sepak bola Indonesia Antony Sutton, “Dia bermain untuk tim
lokalnya, dia menjalani mimpinya. Dia hanya bahagia di kulitnya dan bahagia di
kotanya. Dia seorang legenda pria satu klub, ambisinya adalah menjadi pelatih
penjaga gawang klubnya setelah dia pensiun. Dia tidak pernah membuat keributan
tentang apa pun. Dia menyukai apa yang dia lakukan tetapi melakukannya dengan
cara yang sangat bersahaja. Dia sudah menikah dan memiliki dua anak.
Laga terakhir dari Persela versus Semen Pada kemarin bisa dibilang sebagai
petandingan pamungkas dari sang kiper, Chairul Huda. Pasalnya dalam pertandingan
itu, dirinya juga menghembuskan nafas terakhir akibat bertabrakan dengan beberapa
pemain lainnya. Alhasil, di balik kemenangan telak dalam laga itu, ada duka mendalam
tersendiri bagi Persela karena kehilangan kiper andalannya.
Saat ini kita hanya bisa mengenang tentang sosoknya yang bisa dijadikan
inspirasi, diantaranya; 1) Kesetiaan yang tak tergadaikan, hal itu bukan hal yang aneh
mengingat selama karirnya dia tidak pernah gonta- ganti tim. Ya, sejak awal karir tahun
1999, pria yang satu ini rupanya tetap setia membela Persela Lamongan hingga
akhir hayat. Sudah tercatat kurang lebih 19 tahun Chairul Huda mengabdikan
dirinya untuk menjaga gawang Persela. 2) Seorang abdi negara yang tidak pernah
melupakan kewajiban. Rupanya kebanyakan orang hanya melihat sosok Chairul Huda
hanyalah sebagai benteng pertahanan terakhir gawang Persela. Namun di balik
semua itu, rupanya dirinya juga merupakan salah satu pegawai PNS di kabupaten
Lamongan. Meskipun seorang kiper club dan pernah beberapa kali bertanding
bersama timnas, namun Chairul Huda rupanya tidak menggunakan nama besarnya
saat mendaftar PNS, justru malah memakai ijazah SMA-nya. Alhasil dirinya tercatat
sebagai golongan II C, namun demikian, dia berharap ketika pensiun jadi kiper kelak
bisa melanjutkan pendidikan di bangku kuliah agar dapat naik golongan. Namun
demikian sepertinya Tuhan menentukan hal lain. 3) Sosok kapten yang handal
dalam memimpin, menjadi seorang yang disebut loyal dan paling lama bermain di
Persela bukanlah alasan utama mengapa dirinya dijadikan kapten di timnya,
melainkan memang karena kecakapannya. pria yang satu ini memang dikenal memiliki
kemampuan pemimpin tim yang baik. Oleh sebab itu sudah berkali-kali dirinya
didaulat sebagai pemimpin tim. Bahkan meskipun dalam suatu laga dirinya tidak
ditunjuk jadi kapten karena satu atau beberapa alasan, Choirul Huda masih sempat
memberikan wejangan untuk penggantinya.

Pembelajaran Sastra dalam Pembentukan Karakter Anak Tk Dasar


Pembentukan karakter berkaitan dengan perilaku, perilaku erat kaitannya
dengan pola pikir dan emosi manusia. Anak,adalah pembelajar alamiah yang baik
karena anak belajar sejak dini untuk mengenali keadaannya sendiri, walaupun sering
gagal, namun mereka masih kesulitan untuk maju dalam proses belajar yang alami.
Ratna (dalam Panjaitan, 2008) menyebutkan tiga unsur yang harus dilakukan
dalam model pendidikan karakter. Pertama, knowing the good. Untuk membangun
karakter, anak-anak tidak hanya mengetahui hal-hal yang baik. Namun, anak harus
dapat memahami mengapa hal ini diperlukan. Sampai sekarang, anak-anak sudah
tahu mana yang benar dan mana yang salah, tetapi mereka tidak tahu mengapa.
Kedua, feeling the good. Konsep ini berupaya menggugah kecintaan anak-anak
untuk berbuat baik. Di sini anak-anak diajarkan untuk merasakan akibat dari
perbuatan baik. Ketika perasaan baik sudah mendarah daging, itu menjadi “mesin”
atau kekuatan luar biasa dalam diri seseorang untuk berbuat baik atau menghindari
tindakan negatif.
Ketiga, acting the good. Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat perbuatan
mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang,
tidak akan ada artinya. Selama ini hanya himbuan saja, padahal melakukan hal-hal
baik itu harus menjadi kebiasaan sehari-hari. Ketiga faktor diatas harus dilatih terus
menerus hingga menjadi kebiasaan. Jadi konsep yang dibangun adalah kebiasaan
mental, kebiasaan hati dan kebiasaan fisik.
Dalam hal ini, Sastra dapat berperan sebagai alat pendidikan untuk digunakan
dalam dunia pendidikan. Sastra dapat dijadikan sebagai sarana untuk membentuk
dan mengembangkan kepribadian anak character building. Artinya, dapat
diasumsikan bahwa sastra berperan penting dalam upaya membentuk dan
mengembangkan kepribadian anak, jika digunakan dengan benar dan dilakukan
dengan strategi yang tepat.
Menurut Aminuddin (2002:31), sastra memiliki potensi yang besar untuk
membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Selain
mengandung keindahan, sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Sastra
harus mampu berperan dalam perkembangan manusia seutuhnya dengan cara yang
menyenangkan. Upaya untuk membentuk kepribadian melalui sastra, bagaimanapun,
tidak langsung, seperti pembelajaran etika. Sastra adalah model kehidupan yang
dibudidayakan dalam aksi, dalam sikap dan perilaku karakter, bukan sebagai konsep.
Konsep kehidupan yang ingin disampaikan tidak akan diungkapkan secara
langsung, melainkan “silakan pahami lewat cara berpikir, bersikap, dan berperilaku
tokoh cerita”. Dengan demikian, sastra sebenarnya “hanyalah” memberikan teladan
kehidupan yang diidealkan, teladan kehidupan orang yang berkarakter.
Huck dkk, (1987) menyebutkan bahwa, pembelajaran sastra di sekolah dasar
harus memberi pengalaman pada murid yang akan berkontribusi pada empat tujuan
(1) menumbuhkan kesenangan pada buku, Adanya kesempatan bagi siswa untuk
menemukan kesenangan dalam membaca dapat memberikan landasan yang kokoh
bagi apresiasi sastra. kenikmatan dibawah alam bawah sadar. (2) menginterpretasi
bacaan sastra, Hal ini dapat dipelajari dengan membantu siswa untuk
menginterpretasi bacaan dengan mengidentifikasi aktor dalam cerita. Hal ini dapat
dilakukan dengan mendramatisasi (memperankan) adegan buku cerita tertentu. (3)
mengembangkan kesadaran bersastra. Sasaran jangka panjang pengajaran sastra di
SD ialah mengembangkan kesukaan membaca karya sastra yang bermutu. dan (4)
mengembangkan apresiasi. Margaret Early (dalam Huck, 1987) menyatakan bahwa
terdapat tiga tahap urutan dan perkembangan yang ada dalam pertumbuhan
apresiasi: (1) tahap kenikmatan yang tidak sadar, (2) tahap apresiasi yang masih
ragu-ragu atau berada antara tahap kesatu dan ketiga, dan
(3) tahap kegembiraan secara sadar.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan pendidik dalam pembentukan
karakter melaui sastra. Pendidik mengungkapkan nilai- nilai yang terkandung dalam
Sastra Anak dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter secara langsung ke dalam
bagian yang terintegrasi dari topik-topik tersebut. Prilaku pendidik merupakan faktor
terpenting dalam pendidikan karakter. Pendidik yang kurang memiliki akhlak dan moral
yang baik kemungkinan besar tidak akan mampu membentuk peserta didik pada
akhlak dan karakter yang diharapkan.
Pembelajaran pengembangan karakter juga dipengaruhi oleh penggunaan
sumber belajar dan media. Pemilihan karya sastra untuk digunakan dalam
pembelajaran sastra di sekolah dasar merupakan salah satu hal yang harus
diperhatikan. Dan yang tidak kalah penting dari faktor tersebut adalah faktor
lingkungan belajar. Karakter berkembang secara optimal dalam lingkungan yang
kondusif.
Menurut Farahiba (2017) Pembelajaran sastra di tingkat dasar dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu; Belajar tentang fiksi, puisi dan akting. Ketiga bentuk
sastra ini harus disajikan dengan apresiasi. Oleh karena itu, pendidik harus mampu
menemukan materi yang cocok, mengarang, menyajikan kegiatan kreatif dan positif
dengan menggunakan materi sastra pilihan.
Selain itu, pendidik juga dapat menggunakan lagu-lagu, cerita dan lain-lain. disini,
pendidik bisa mnggunakan cerita untuk menonjolkan nilai-nilai karakter dengan
menceritakan kisah hidup orang-orang hebat. Seperti tokoh-tokoh yang
berpengaruh atau bersejarah dari daerah-daerah, khususnya daerah Lamongan.
Dengan kisah nyata yang dijalani oleh orang-orang hebat, siswa dapat terrinspirasi
secara alami ingin menjadi atau bisa berprilaku baik seperti idola mereka.

Penutup
Sastra anak adalah bentuk seni yang bermanfaat dan menghibur bagi anak-
anak. Sastra hadir sebagai bacaan untuk anak-anak, tidak hanya menghibur tetapi
juga dapat bermanfaat sebagai pembelajaran sastra anak untuk pendidikan karakter.
Hal ini dapat menjadi alternatif sarana pengajaran pembentukan karakter yang
disebarluaskan melalui Pendidikan-pendidikan (agama, pancasila, dan ilmu-ilmu
sosial dan lain-lain). Anak tidak merasa diajar oleh sastra karena pendidikan
karakter hadir dalam unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Sastra anak yang memuat
beragam cerita, memiliki kesan tersendiri bagi anak- anak. Anak-anak mendengarkan
sastra anak yang kemudian diberikan penjelasan dan penguatan terkait karakter yang
terdapat pada karya tersebut, maka akan membuat anak-anak menyerap maksud dari
cerita tersebut. Sehingga dibawah alam sadar mereka, nilai-nilai karakter tersebut
akan merasuk ke dalam diri mereka. Terutama apabila tokoh dalam karya tersebut,
merupakan tokoh dari daerah sendiri. Anak-anak akan semakin mengenali tokoh
tersebut dan memperkuat penanaman karakter pada mereka.

Daftar Pustaka
Aminuddin. (2002). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algasindo.
Endraswara, Suwardi. (2005). Metode dan Teori Pengajaran Sastra.
Yogyakarta: Buana Pustaka.
Farahiba, Ayyu Subhi. (2017). Eksitensi Sastra Anak Dalam Pembentukan Karakter
Pada Tingkat Pendidikan Dasar. Waskita 1(1), 47-60.
Huck, Charlotte S, Susan Hepler, dan Janet Hickman. (1987). Children’s Literature in
The Elementary School. New York: Holt, Rinehart and Winston
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. (2013). Ki Hajar Dewantara: Pemikiran,
konsepsi, Keteladanan, Sikap MerdekaBagian I Pendidikan. Yogyakarta: UST
Press.
Megawangi, Ratna 2006. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun
Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Mulyadi, Mohammad. 2016. Metode Penelitian Praktis Kuantitatif Dan Kualitatif. Jakarta
:publica press.
Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra Anak: Pengantar PemahamanDunia Anak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Panjaitan, Ade Jun. 2008. Keluarga, Kunci Pembentukan Karakter anak.
http://invertorindonesia.com. (diunduh 25 September 2021).
Rosdiyana, Yusi. dkk. (2008). Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Tarigan, Henry Guntur. (1995). Dasar-dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. (2003). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Wibowo, Timothy. 2011. Membangun Karakter Sejak Pendidikan Anak Usia Dini,
diunduh dari http://www.pendidikankarakter.com. diakses pada tanggal 25
September 2021
https://www.boombastis.com/jasa-chairul-huda-persela. . diakses pada tanggal 25
September 2021
https://en.wikipedia.org/wiki/, . diakses pada tanggal 25 September 2021

Anda mungkin juga menyukai