uk
Provided by Jurnal Al-Astar STAI Mempawah
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Dewasa ini, paradigma tentang aspek moralitas menjadi hangat
dibicarakan, khususnya dalam dunia pendidikan. Banyak yang mengatakan
bahwa masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia terletak pada aspek
moral. Terbukti dengan banyaknya berita tentang tawuran pelajar, kasus-kasus
narkoba, pembunuhan, hingga kasus korupsi yang merajalela, dari tingkat elite
hingga ke level yang paling bawah sekalipun.
Kenyataan yang demikian menunjukkan bahwa dunia pendidikan
harus memberi peran penting dalam menangkal dekadensi moral bangsa
AL-ASTAR, Jurnal Ahwal al-Syahsiyah dan Tarbiyah STAI Mempawah, Volume V, Nomor 1, Maret 2017
dalam upaya menyiapkan generasi muda masa depan yang lebih baik. Terkait
hal ini, disadari bahwa tujuan pendidikan pada dasarnya adalah memperbaiki
moral, dalam istilah lain dikenal dengan memanusiakan manusia.
Persoalan ini diakibatkan karena persoalan krisis multidimensi pada
pendidikan agama (baca: Islam), seperti yang disampaikan Zaghul al-Najar
(2006) bahwa pendidikan Islam saat ini mengalami krisis yang menyebabkan
kemunduran. Para pemerhati pendidikan telah menganalisis beberapa sebab
terjadinya kemunduran itu, di antaranya adalah karena ketidaklengkapan
aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan krisis budaya, serta
hilangnya qudwah hasanah (teladan yang baik), akidah shahihah, dan nilai-
nilai Islami. Ada juga yang melihat penyebabnya adalah karena salah
membaca eksistensi manusia, sehingga salah pula melihat eksistensi anak
didik (Syafri, 2012: 1). Krisis pendidikan ini tidak hanya dialami pada dunia
Islam, tetapi hampir setiap bangsa termasuk Indonesia. Maka belakangan,
muncul gagasan akan pentingnya pendidikan karakter sebagai solusi
menjawab permasalahan moral dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pendidikan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values
of education) melalui sekolah. Ke depan, sekolah tidak hanya bertanggung
jawab dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi juga karakter anak didik. Kerenanya, mencari konsep
pendidikan karakter yang tepat menjadi sangat urgen dalam upaya
menyiapkan anak didik yang unggul, beriman, profesional dan berkepribadian,
sebagaimana dituntut dalam tujuan pendidikan.
Seorang anak dalam mencari nilai-nilai hidup, harus mendapat
bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak
dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah, dan alam di sekitarnyalah
yang akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan seorang
PEMBAHASAN
1. Konsep Pendidikan Karakter
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “character”,
yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti,
kepribadian atau akhlak. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang (Tobroni,
2004: 24). Secara terminologi, kata karakter berarti tabiat, watak, sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
orang lain. (Poerwadarminta, 1996: 521).
Hermawan Kertajaya mendefinisikan karakter dengan ciri khas yang
dimiliki suatu individu. Ciri khas tersebut adalah “asli” dan mengakar pada
kepribadian individu tersebut, dan merupakan mesin pedorong bagaimana
seseorang bertindak, bersikap, dan merespons sesuatu (Kertajaya, 2010: 3).
Melalui definisi karakter tersebut dapat ditarik benang merah bahwa
karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan
adat istiadat.
Ketika istilah karakter disandingkan dengan istilah pendidikan, maka
keduanya akan menjadi kalimat majemuk yang saling melengkapi (karakter-
pendidikan dan pendidikan karakter). Ratna Megawangi mengartikan
pendidikan karakter sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar
dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam
lain. Pada tahap ini anak diajarkan beradaptasi dengan lingkungan, selektif
dalam bermasyarakat (Hidayatullah, 2010 : 32).
Enam tahap pendidikan karakter ini menjadi pondasi dalam
menggali, melahirkan, mengasah serta mengembangkan bakat dan
kemampuan unik anak didik. Hal ini menjadi penting untuk menghadapi
tantangan globalisasi yang dasyat dan spektakuler saat ini. Moralitas yang
luhur, tanggung jawab yang besar, kepedulian yang tinggi, kemandirian yang
kuat, dan bermasyarakat yang luas menjadi kunci menggapai masa depan.
3. Motivator
Sosok motivator dapat dilihat dengan adanya kemampuan guru
dalam membangkitkan spirit, etos kerja, dan potensi yang luar biasa dalam
diri peserta didik.
4. Dinamisator
Sebagai dinamisator berarti seorang guru tidak hanya
membangkitkan semangat, tetapi juga menjadi lokomotif yang benar-benar
mendorong gerbong pendidikan kearah tujuan dengan kecepatan,
kecerdasan, dan kearifan yang tinggi.
5. Evaluator
Peran yang melengkapi peran-peran sebelumnya adalah sebagai
evaluator. Artinya, guru harus selalu mengevaluasi metode pembelajaran
yang selama ini di pakai dalam pendidikan karakter.
Lima peran guru tersebut menjadi starting point dalam membumikan
pendidikan karakter di negeri ini.
Demikian juga peran serta orang tua dalam memberikan bimbingan moral dan
keluhuran dalam upaya membentuk karakter anak yang berkualitas.
Sementara itu jika kita lihat dari petunjuk hadits, ada beberapa hadits
yang bisa kita jadikan dasar bagi pembentukan karakter anak :
kerja sama, kurang terbuka kepada orang tua, menanggapi negative terhadap
semua persoalan, menarik diri dari pergaulan, menolak kenyataan yang terjadi
dan menganggap dirinya dan hidupnya sebagai palawak (bahan tertawaan).
Justru yang muncul adalah sebaliknya, manusia yang berbudi pekerti luhur,
peka terhadap lingkungan dan mampu membawa perubahan positif bagi umat
manusia.
KESIMPULAN
Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Allah, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter melibatkan
aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Ketika hal tersebut dapat berjalan beriringan, maka akan terbentuk karakter
seseorang yang bisa baik atau buruk.
Pendidikan karakter atau kepribadian memerlukan sebuah proses
yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan
knowing the good (mengetahui hal yang baik), feeling the good (merasakan hal
yang baik), desiring the good (merindukan kebaikan), loving the good
(mencintai kebaikan), dan acting the good (melakukan kebaikan).
Metode internalisasi pendidikan karakter “tadzkirah” hendaknya
dapat dilaksanakan di keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan negara dengan
tujuan yang sama, yaitu membentuk karakter seseorang sebagai bekal di
kehidupan masa depan. Namun, di manapun pendidikan karakter itu
diterapkan, penanaman karakter keluargalah yang paling penting dan
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, Pena Pundi Aksara, Jakarta,
2002.
Hidayatullah, M. Furqon, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban
Bangsa, Yuma Pustaka, Bandung, 2010.
Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Prespektif Islam, Rosda
Karya, Bandung, 20012.
Ma’mur, Asmani Jamal, Pendidikan Karakter di Sekolah, Diva Press,
Yogyakarta, 2011.
Megawangi, Ratna, Pendidikan Karakter Solusi Tepat Untuk Membangun
Bangsa, Heritge Foundation, Bogor, 2004.
Mulyasa, E, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, Rosda Karya, Bandung, 2003.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
2007.