Anda di halaman 1dari 26

BIMBINGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Makalah ini disusun untuk memenuhi


Tugas Mata Kuliah Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus
yang diampu oleh Dr. Siti Masyithoh, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Hanifah Sabillah 11170183000012

Siska Damayanti 11170183000021

Destia Khairunisa 11170183000024

Teddi Nurvalid 11170183000028

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MI

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019 M / 1440 H
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Tunanetra”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah yang berjudul “Tunanetra“ dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Sawangan, 14 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tunanetra 3
B. Identifikasi Gangguan Penglihatan pada Siswa 4
C. Area Masalah Siswa dengan Gangguan Penglihatan 9
D. Isu Terkini 11
E. Hasil Observasi 13
DAFTAR PUSTAKA 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak kasus yang terjadi berkenaan dengan keberadaan anak
berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah umum, termasuk di Sekolah Dasar
(SD) yang perlu mendapatkan perhatian dan layanan Pendidikan yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhannya. Masing-masing anak memiliki
karakteristik dan keunikan tersendiri, khususnya mengenai kebutuhan dan
kemampuannya dalam belajar di sekolah.
Anak-anak penyandang tunanetra tidak bisa dipandang sebelah mata.
Penyandang tunanetra memiliki kemampuan yang luar biasa dibanding anak-
anak normal. Dalam hal akademik pun penyandang tunanetra tidak kalah
dengan individu normal pada umumnya. Banyak prestasi yang bisa mereka
peroleh bahkan individu normal pun belum tentu mendapatkan prestasi
tersebut. Salah satu contoh prestasi yang bisa mereka raih adalah perlombaan
membaca huruf braile.
Anak-anak penyandang tunanetra adalah anak-anak yang memiliki
keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan
mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang menuntut
adanya penyesuaian pemberi layanan Pendidikan yang dibutuhkan.
Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya
pemberian layanan Pendidikan yang sesuai. Anak-anak penyandang tunanetra
tidak bisa mendapat layanan pendidikan sebagaimana anak-anak normal pada
umumnya. Di sekolah guru harus memberi layanan khusus bagi anak-anak
tersebut. Tetapi sayangnya banyak guru yang belum bisa memahami hal
tersebut, sehingga proses pembelajaran belum bisa berjalan secara optimal.
Apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara
mendidik dengan baik, maka proses pembelajaran pun akan berjalan dengan
optimal.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah yang dikemukakan dalam
makalah adalah sebagai berikut:
1. apa yang disebut dengan tunanetra?
2. bagaimana identifikasi gangguan pada tunanetra?

1
3. apa saja area masalah siswa dengan gangguan penglihatan?
4. bagaimana isu terkini tentang gangguan tunanetra pada anak?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun untuk mengetahui:
1. definisi tunanetra
2. identifikasi gangguan tunanetra
3. area masalah siswa dengan gangguan penglihatan
4. isu terkini tentang gangguan tunanetra pada anak

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tunanetra

Tunanetra berasal dari kata tuna yang berarti rusak atau rugi dan netra
yang berarti mata. Jadi tunanetra yaitu individu yang mengalami kerusakan
atau hambatan pada organ mata. 1 Mohammad Efendi mendefinisikan
tunanetra sebagai suatu kondisi penglihatan dimana “anak yang memiliki
visus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu atau setelah dikoreksi secara maksimal
penglihatannya tidak memungkinkan lagi mempergunakan fasilitas pendidikan
dan pengajaran yang biasa digunakan oleh anak normal/orang awas.” 2 Dari
sudut pandang medis seseorang dikatakan megalami tunanetra apabila
“memiliki virus dua puluh per dua ratus atau kurang dan memiliki lantang
pandangan kurang dari dua puluh derajat.”3

Seseorang dikatakan buta secara legal apabila ketajaman


penglihatannya 20/200 atau kurang pada mata yang terbaik setelah dikoreksi,
atau lantang pandangnya tidak lebih besar dari 20 derajat. Dalam definisi ini,
20 feet adalah jarak dimana ketajaman penglihatan diukur. Sedangkan 200
dalam definisi ini menunjukkan jarak dimana orang dengan mata normal dapat
membaca huruf yang terbesar pada kartu snellen. Bagian yang kedua dari
definisi tersebut berhubungan dengan adanya keterbatasan pada lantang
pandang, merupakan kemampuan seseorang untuk melihat objek ke arah
samping. Batasan legal ini dipertimbangkan penggunaannya dalam
pendidikan, tetapi kalau tidak dengan pertimbangan yang lain, maka hasil
pengukuran tersebut hanya memberikan kontribusi yang kecil dalam
perencanaan program pendidikan bagi anak-anak tunanetra.

Seseorang dikatakan buta apabila mempergunakan kemampuan


perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Mereka
mungkin mempunyai sedikit persepsi cahaya atau persepsi bentuk atau sama
sekali tidak dapat melihat (buta total).

1
Esthy Wikasanti, Pengembangan Life Skills untuk Anak Berkebutuhan Khusus
(Jogjakarta: Redaksi Maxima, 2014), 9-10.
2
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), 31.
3
E. Kosasih, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung: Yrama
Widya, 2012), 181.

3
Seseorang dikatakan buta secara fungsional apabila saluran utama
yang dipergunakanya dalam belajar adalah perabaan atau pendengaran.
Mereka dapat mempergunakan sedikit sisa penglihatannya untuk memperoleh
informasi tambahan dari lingkungan. Orang seperti ini biasanya
mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan
latihan orientasi dan mobilitas.

Seseorang dikatakan menyandang low vision atau kurang lihat apabila


ketunanetraannya masih memungkinkannya memfungsikan indera
penglihatannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Saluran utama yang
dipergunakanya dalam belajar adalah penglihatan dengan mempergunakan alat
bantu, baik yang direkomendasikan oleh dokter maupun bukan. Jenis huruf
yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung pada sisa penglihatan dan alat
bantu yang dipergunakannya. Latihan orientasi dan mobilitas diperlukan oleh
siswa low vision untuk mempergunakan sisa penglihatannya.

Nakata (2003) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan


tunanetra adalah mereka yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan
hampir kurang dari 0.3 (60/200) atau mereka yang mempunyai tingkat
kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih tinggi, yaitu mereka yang tidak
mungkin atau berkesulitan secara signifikan untuk membaca tulisan atau
ilustrasi awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu kaca pembesar.
Pengukuran ketajaman penglihatan dilakukan dengan mempergunakan
international chart yang disebut Eyesight-Test.4

B. Identifikasi Gangguan Penglihatan pada Siswa


Penyebab Tunanetra
Ada berbagai faktor yang menyebabkan kelainan penglihatan
(ketunanetraan) seperti kelainan struktur mata atau penyakit yang menyerang
cornea, lensa, retina, saraf mata dan lain sebagainya. Di samping itu kelainan
penglihatan juga dapat diperoleh karena faktor keturunan misalnya
perkawinan antar saudara dekat dapat meningkatkan kemungkinan
diturunkannya kondisi kelainan penglihatan. Secara garis besar kelainan
penglihatan dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu:5

1. Kelainan Refraksi Bagi seseorang yang mengalami kelainan refraksi


(pembiasan cahaya) tanpa disertai gangguan lain, biasanya dapat

4
Djadja Rahardja, ketunanetraan (Bandung: UPI), 4.
5
Juang Sunanto , Anak Dengan Gangguan Penglihatan, (Dosen di Jurusan Pendidikan
Luar Biasa, UPI)

4
diperbaiki penglihatannya hingga menjadi normal dengan menggunakan
kaca mata atau lensa kontak. Beberapa kelainan refraksi meliputi:
a. Myopia dan Hyperopia Dalam penglihatan normal, berkas cahaya
paralel yang datang dari jauh akan terfokus pada retina. Jika bola mata
terlalu panjang dari depan ke belakang, maka berkas cahaya itu
terfokus di depan retina dan hal ini mengakibatkan penglihatan
menjadi kabur atau buram. Seseorang yang mengalami myopia sering
dikatakan memiliki penglihatan dekat (nearsightedness) karena
ketajaman penglihatannya bagus pada jarak dekat tetapi mengalami
masalah pada jarak jauh. Pada penderita myopia image obyek yang
dilihat tidak jelas, masalah ini terjadi selain karena bola mata lebih
besar dari pada yang normal juga dapat terjadi pada bola mata yang
normal tetapi elastisitas lensanya kurang baik dan kekuatan refraksi
lensa dan cornea menguat.
b. Presbyopia Dengan meningkatnya usia, seseorang pada umumnya
mengalami penurunan fungsi akomodasi sehubungan dengan lemahnya
elastisitas lensa dan cairan lensa yang mengeras. Oleh karena
gangguan penglihatan ini umumnya berkaitan dengan meningkatnya
usia maka, keadaan ini disebut presbyopia. Presbyopia biasanya terjadi
pada usia 40-an dan penderita mengalami penurunan ketajaman
penglihatan dan mengalami gangguan untuk membaca. Seseorang
yang mengalami presbyopia dapat dibantu dengan sepasang kaca mata
yang memiliki dua lensa. Lensa semacam ini disebut lensa bifocals,
satu lensa untuk membantu menyebarkan (diverge) cahaya dan yang
lain untuk memfokuskan (converge) cahaya.
c. Astigmatism Penyebab utama astigmatism adalah bervariasinya daya
refraksi cornea atau lensa akibat kelainan dalam bentuknya
permukaannya. Hal ini mengakibatkan distorsi pada image yang
terbentuk pada macula. Bila kasusnya sederhana, kondisi ini dapat
dikoreksi dengan memakai kaca mata dengan lensa silindris, tetapi
permasalahan menjadi lebih berat bila kondisi ini disertai myopia dan
hypermetropia. Bila disertai dengan jenis gangguan penglihatan lain,
koreksinya akan menjadi sulit dan dapat mengakibatkan berkurangnya
ketajaman penglihatan bahkan kebutaan.
d. Katarak Katarak adalah kelainan mata yang terjadi pada lensa di mana
cairan dalam lensa menjadi keruh. Karena cairan dalam lensa keruh,
lensa mata kelihatan putih dan cahaya tidak dapat menmbusnya. Orang
yang mengidap katarak melihat seperti melalui kaca jendela yang kotor
karena keruhnya lensa menghalangi masuknya cahaya ke retina.

5
Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama baik
pada anak-anak maupun orang tua.
2. Kelainan Lantang Pandangan Penerimaan cahaya oleh otak sangat
tergantung pada kualitas impuls yang ditimbulkan oleh retina. Terjadinya
suatu hambatan atau kerusakan pada pusat penglihatan di otak atau bagian
saraf tertentu akan menimbulkan gangguan penglihatan.
3. Kelainan Lain
a. Buta Warna Seseorang yang tidak dapat membedakan warna
disebabkan karena mengalami kerusakan atau kelainan pada sel
receptor di retina yang berbentuk kerucut yang disebut cone.
b. Strabismus (juling) Istilah strabismus digunakan untuk
menunjukkan suatu kondisi dimana image obyek yang dilihat tidak
diterima secara baik oleh mata kanan dan mata kiri.
c. Nystagmus Nystagmus adalah suatu kondisi dimana mata bergerak
secara cepat dan tidak teratur. Nystagmus dapat terjadi pada
seseorang karena kelelahan atau stress dan juga dapat terjadi
karena adanya kerusakan pada otak atau gangguan medis lain yang
kronis.
d. Glaucoma Glaucoma mengakibatkan meningginya tekanan di
dalam bola mata yang dapat mempengaruhi suplai darah ke kepala
syaraf optik. Terdapat beberapa jenis glaucoma: dapat merupakan
penyakit tersendiri, atau dapat juga terkait dengan kondisi-kondisi
lain, misalnya aniridia.

Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau


menemukenali. Dalam buku ini istilah identifkasi anak dengan kebutuhan
khusus dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, guru,
maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak
mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social,
emosional/tingkah laku) dalam pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal).

Setelah dilakukan identifikasi, kondisi seseorang dapat diketahui,


apakah pertumbuhan/perkembangannya termasuk normal atau mengalami
kelainan/penyimpangan.

Bila mengalami kelainan/penyimpangan, dapat diketahui pula apakah


anak tergolong: (1) Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan;
(2) Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran; (3)

6
Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan); (4) Anak
Berbakat/anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa; (5)
Tunagrahita; (6) Anak lamban belajar; (7) Anak yang mengalami kesulitan
belajar spesifik (disleksia, disgrafia, atau diskalkulia); (8) Anak yang
mengalami gangguan komunikasi; dan (9) Tunalaras/anak yang mengalami
gangguan emosi dan perilaku.

Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih


ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong
anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat
dilakukan oleh orang-orang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan
anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang
terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut
asesmen, bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti
dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, therapis, dan lain-lain.

Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering disebut dengan istilah


penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan istilah penyaringan.

Tujuan Identifikasi

Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi


apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual,
social, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dalam
pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya (anak-anak normal), yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk
penyusunan program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.

Dalam rangka pendidikan inklusi, kegiatan identifikasi anak dengan


kebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan
(screening), (2) pengalihtanganan (referal), (3) klasifikasi, (4) perencanaan
pembelajaran, dan (5) pemantauan kemajuan belajar.

1. Penjaringan (screening)

Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan Alat


Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (AI AKB) terlampir. Pada tahap
ini identifiksi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukkan
gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang
mengalami kelainan/penyimpangan tertentu, sehingga tergolong anak
dengan kebutuhan khusus. Dengan AI ALB guru, orang tua, maupun
tenaga professional terkait, dapat melakukan kegiatan ini secara baik dan
hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih lanjut.

7
2. Pengalihtanganan (referral)
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan,
selanjutnya anak-anak dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok.
Pertama, ada anak yang tidak perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga
profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk
layanan pembelajaran yang sesuai.
Kedua, ada anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu
(referal) seperti psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan/atau
therapis, baru kemudian ditangani oleh guru.
Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga professional lain untuk
membantu mengatasi masalah anak yang bersangkutan disebut proses
pengalihtanganan (referral). Jika tenaga professional tersebut tidak tersedia
dapat dimintakan bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru
Pembimbing Khusus (Guru PLB) atau Konselor.

3. Klasifikasi
Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk
menentukan apakah anak yang telah dirujuk ke tenaga professional benar-
benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi
pelayanan pendidikan khusus.Apabila berdasar pemeriksaan tenaga
professional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih lanjut
(misalnya pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus, dan sebagainya)
maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang
bersangkutan. Jadi guru tidak mengobati dan/atau memberi therapy,
melainkan sekedar meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak
yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam hal
pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila
tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak yang
bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat
dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan
khusus.
Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana anak dengan
kebutuhan khusus yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana
yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas
reguler.

4. Perencanaan pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan
penyusunan program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI).
Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis dan gradasi (tingkat

8
kelainan) anak dengan kebutuhan khusus memerlukan program
pembelajaran yang berbeda satu sama lain. Mengenai program
pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan dibahas secara khusus
dalam buku yang lain tentang pembelajaran dalam pendidikan inklusi.

5. Pemantauan kemajuan belajar

Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah


program pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak. Apabila
dalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan yang
signifikan (berarti), maka perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang
berkaitan. Misalnya apakah diagnosis yang kita buat tepat atau tidak,
Program Pembelajaran Individual (PPI) yang kita susun sesuai atau tidak,
bimbingan belajar khusus yang kita berikan sesuai atau tidak, dan
seterusnya.

Sebaliknya, apabila dengan program khusus yang diberikan, anak


mengalami kemajuan yang cukup signifikan maka program tersebut perlu
diteruskan sambil memperbaiki/menyempurnakan kekurangan-kekurangan
yang ada.

Dengan lima tujuan khusus di atas, identifikasi perlu dilakukan


secara terus menerus oleh guru, dan jika perlu dapat meminta bantuan
dan/atau bekerja sama dengan tenaga professional terkait.

C. Area Masalah Siswa dengan Gangguan Penglihatan


Anak yang mengalami ketidakmampuan melihat adalah anak yang
mempunyai gangguan atau kerusakan dalam penglihatannya sehingga
menghambat prestasi belajar secara optimal, kecuali jika dilakukan
penyesuaian dalam pendekatan-pendekatan penyajian pengalaman belajar,
sifat-sifat bahan yang digunakan, dan/atau lingkungan belajar.Menurut Juang
Sunanto, Permasalahan siswa dalam gangguan pengelihatan ada 4 Yaitu:6
1. Masalah terhadap Kognisi
Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-
obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap
orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut
tampak dalam dunia kognitifnya ,dan citra atau “peta” dunia setiap orang
itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-
masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh

6
Juang Sunanto, Anak Dengan Gangguan Pengelihatan, Jurnal Pendidikan ABK, 2018.
Hal 10

9
faktor-faktor berikut: (1) Lingkungan fisik dan sosisalnya, (2) struktur
fisiologisnya, (3) keinginan dan tujuannya, dan (4) pengalaman-
pengalaman masa lalunya. Dari keempat faktor yang menentukan kognisi
individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan
mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-
indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya. Banyak di antara
mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi
orang awas mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari
konsepsi orang awas pada umumnya.

2. Masalah terhadap Keterampilaan Sosial

Orang tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan


sosial anak. Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat
ditentukan oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi
merupakan satu komponen dari sikap di samping dua komponen lainnya
yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang terjadi
pada seorang anak selalu menimbulkan masalah emosional pada orang
tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa, sedih, malu dan berbagai
bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah atau saling
menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak
dalam berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat
mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak
keluarga yang mempunyai anak cacat.

Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat


kehilangan anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan,
tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang
tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun.
Proses “dukacita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua
anak penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan
berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan
hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya
akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.

3. Masalah terhadap Bahasa


Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan
menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa
tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu
pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak

10
berbeda dari siswa-siswa yang awas dalam hasil tes intelegensi verbal.
Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan
anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan perbedaan dalam
aspekaspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi auditif lebih
berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka
tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak
tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak
tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk
menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran utama
komunikasinya dengan orang lain.
Secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak awas,
karena makna kakat-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan
penggunaannya di dalam bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak,
anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu
tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak ada makna baginya.
Kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan
bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari
ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang
lain memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan
informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah bahasa.

4. Masalah terhadap Orientasi dan Mobilitas


Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan
untuk berhasil dalam penyesuaian social individu tunanetra adalah
kemampuan mobilitas yaitu ketrampilan untuk bergerak secara leluasa di
dalam lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan
kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan
lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya di dalam lingkungan. Para
pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara
yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk memmproses
informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequncial
mode) yang menggambarkan titk-titik di dalam lingkungan sebagai rute
yang berurutan, atau dengan metode peta kognitif yang memberikan
gambaran topografis tentang hubungan secara umum antara berbagai titik
di dalam lingkungan.

D. Isu Terkini Mengenai Siswa Tunanetra

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang


memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan

11
dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.7
Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan
“setiap warga  berhak mendapatkan pendidikan”; Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 32 ayat (2) yang menegaskan “setiap warga ank a wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5
ayat (1) yang menegaskan “setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Undang-undang inilah yang
menjadi bukti kuat hadirnya pendidikan inklusi ditengah masyarah.
Pada pendidikan dasar, kehadiran pendidikan inklusi perlu mendapat
perhatian lebih. Pendidikan inklusif sebagai layanan pendidikan yang
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar  bersama anak
normal (non-ABK) usia sebayanya di kelas ank ar/biasa yang terdekat dengan
tempat tinggalnya.  Menerima ABK di Sekolah Dasar terdekat merupakan
mimpi yang indah yang dirasakan orang tua yang memiliki anak dengan
kebutuhan khusus.
Sayangnya, SD Inklusi yang sudah “terlanjur” menerima tidak
langsung dengan mudahnya menangani anak-anak yang sekolah dengan
kebutuhan khusus itu. Kurikulum harus dapat disesuaikan dengan kelas yang
heterogen dengan karakteristik ABK dan regular. Guru belum siap untuk
menangani anak-anak dikelasnya dengan karakteristik yang berbeda.
Akhirnya, guru-guru yang berhadapan langsung dengan ABK di kelas
mengeluh dan sulit untuk mengajar satu metode yang sama dan dengan
perlakuakuan yang sama sehingga tujuan pembelajaran tidak tercapai seperti
yang diharapkan. Pengembangan kurikulum dapat dilakukan sebagai upaya
menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan tujuan pembelajaran
dapat tercapai dalam pendidikan inklusi.
Pendidikan inklusi di SD belum beriiringan dengan visi pendidikan
belum berdasarkan inklusi ethos yang mengedepankan keragaman dan
kesamaan hak dalam memperoleh pedidikan. Kurikulum dan metode
pengajaran yang kaku dan sulit diakses oleh ABK masih ditemukan pada
kelas inklusi. Pengintergrasian kurikulum belum dapat dilakukan oleh guru
Karena kemampuan guru yang terbatas.  Guru-guru belum mendapatkan
training yang praktikal dan kebanyakan yang diberikan sifatnya hanya
sebatas sosialisasi saja. Wali kelas dan atau guru bidang studi yang kedapatan

7
Permendiknas No. 70 tahun 2009, pasal 1

12
dikelasnya ada ABK masih menunjukkan sikap “terpaksa” dalam
mendampingi ABK memahami materi.

E. Hasil Observasi
1. Skh Ykdw 03
Catatan Wawancara
Nama Sekolah : Skh Ykdw 03
Nama Siswa : Cornelius Christian Modal
Nama Guru : Bu Mutia
Waktu : Jum'at, 11 Oktober 2019, (10:55 - 11:30)

Saya dan teman saya datang ke sekolah Skh Ykdw 03 yang berada di
Karawaci, Saya langsung bertemu dengan guru kelas Tunanetra tingkat
sekolah dasar yang bernama Bu Mutia, Bu Mutia bertanya kepada saya
tempat untuk wawancara ingin di kantor atau di kelas, dan saya menjawab
di kelas saja karena salah satu siswa menunggu di kelas, Bu Mutia pun
menunjukkan kepada saya ruang kelas tempat menunggu siswa. Sesampai
di kelas saya berkenalan dengan siswa tersebut yang bernama Cristian dan
panggilannya Tian, saya pun langsung memulai wawancara dan saya
bilang ke guru kelas dan siswa untuk wawancara dengan santai seperti
sedang bercerita-cerita karena menurut saya agar siswa tidak merasa
tegang di tanya oleh saya dan merasa terbuka.
Saya memulai wawancara ke siswa terlebih dahulu. Nama siswa
adalah Cornelius Christian Modal, biasa di panggil dengan nama Tian,
Tian duduk dikelas 4 sekolah dasar. Tian adalah siswa tunanetra yang
jenisnya A1, A1 merupakan jenis tunanetra yang tingkat kecerdasanya
seperti orang normal dan memiliki sedikit pengelihatan walau hanya
bayangan dan cahaya yang dilihat dari jauh. Tian memiliki kemampuan
bermain dram dan memiliki cita-cita menjadi dramer, Tian pernah meraih
juara 3 tingkat kota dalam lomba menyanyi daerah, Tian juga merupakan
salah satu siswa sekolah dasar yang pernah mengikuti perkemahan, hal
tersebut dikarenakan Tian siswa yang mandiri. Dalam hal pelajaran tian
lebih unggul di mata pelajaran matematika dan dalam proses pembelajaran
Tian lebih menyukai metode pembelajaran praktik seperti praktik
membuat makanan yaitu es lilin, teh manis, es oreo dll. Tian masih belum
bisa mengikat tali sepatu, Tian menyukai bersekolah di Skh Ykdw karena
sering ada tour atau jalan-jalan ke sebuah tempat, terakhir Tian dan teman-
temannya berjalan-jalan ke suatu tempat yang ada di Serpong, ditempat itu
mereka diberitahu bentuk cangkang keong dan bentuk kupu-kupu dengan
memegangnya.

13
Setelah bertanya-tanya mengenai profil siswa, saya lanjut bertanya
kepada guru kelas mengenai sekolah dan profil guru tersebut. Nama guru
kelas adalah Mutia, Bu Mutia sebelumnya bekerja di bagian tunadaksa di
Tangerang kemudian dipindahkan ke Skh Ykdw di bagian Tunanetra, Bu
Mutia saat ini sedang berkuliah di Universitas Terbuka. Walaupun tidak
memiliki latar belakang pendidikan anak berkebutuha khusus, Bu Mutia
terus belajar dan berusaha untuk bisa mengajar anak berkebutuhan khusus,
dari yang awal ditempatkan di tunagrahita sampai sekarang ditempatkan di
tunanetra, yang memotivasikan Bu Mutia tetap semangat dan berusaha
mengajar adalah murid-muridnya, karena walaupun mereka memiliki
kekurangan akan tetapi mereka selalu ingin mempelajari berbagai hal dan
juga kemampuan yang mereka miliki.
Sekolah Ykdw 03 memiliki 4 murid sekolah dasar yang tunanetra dan
Bu Mutia yang mengajarkannya ditambah dengan 1 murid tunadaksa.
Mereka ada yang di tingkat kelas 1, 2, dan 4. Mereka diajarkan dalam satu
kelas dengan pengajaran mendahulukan yg tunanetra karena mereka tanpa
hambatan. Lalu Bu Mutia berikan tugas, kemudian Bu Mutia ke tingkatan
kelas yg berbeda. Bu Mutia biasanya dalam menyampaikan materi
menggunakan beberapa metode. pertama, menggunakan metode ceramah,
dengan menjelaskan beberapa materi yang sesuai pelajaran mereka.
Setelah itu akan diberikan sesi tanya jawab, dan jika ada siswa yg masih
belum mengerti Bu Mutia akan ajak diskusi dengan siswa yg lainnya.
Media pembelajaran yg biasa dipakai yaitu buku-buku yg menggunakan
huruf braille, miniature binatang-binatang, puzzle berbentuk bangun datar,
dan alat musik. Kegiatan yang diberikan sekolah yaitu jalan-jalan 3 bulan
sekali dan berenang sebulan sekali.

14
Dokumentasi

15
2. SLB A Pembina Nasional Jakarta
Catatan Wawancara
Nama Sekolah : SLB A Pembina Nasional Jakarta
Nama Siswa : Bintang Febra Aris Mulia
Nama Guru : Mulyono S.Pd
Waktu : Rabu, 09 Oktober 2019, (08:00 - 10:00)
Saya dan beberapa teman saya datang ke sekolah SLB A Pembina
Nasional Jakarta yang berada di lebak bulus, Saya dan beberapa teman
saya langsung bertemu dengan salah satu staff yang menangani tentang
perizinan observasi, penelitian, dan lain-lain yang bernama pak agus,
setelah berbicara dengan pak Agus beliau memberikan izin untuk kita
observasi. Kita dipersilahkan untuk melihat ke setiap kelas dan jika ingin
wawancara bisa langsung ke wali kelasnya. Lau kita masuk ke setiap
kelas untuk melihat pembelajaran di kelas, setelah melihat-lihat kita
berdiskusi untuk memilih kelas mana aja yang akan kita wawancara.
Kemudian kita memilih kelas 2,3,5. Kita pun masuk ke setiap kelas yang
sudah kita sepakati, dan setiap orang masing-masing meilih satu anak
untuk diwawancara dengan izin wali kelasnya. Sesampai di kelas saya
berkenalan dengan siswi tersebut yang bernama Bintang, saya pun
langsung memulai wawancara dan saya bilang ke guru kelas dan siswa
untuk wawancara dengan santai seperti sedang bercerita-cerita karena
menurut saya agar siswa tidak merasa tegang di tanya oleh saya dan
merasa terbuka.
Saya memulai wawancara ke siswa terlebih dahulu. Nama siswa
adalah Bintang Febra Aris Mulia, biasa di panggil dengan nama Bintang,
Tian duduk dikelas 3 sekolah dasar. Lahir di Jakarta tanggal 25-02-2007,
dia mempunyai hobby membaca buku cerita, banyak buku cerita yang
telah ia baca. Kata mamanya Bintang orangnya tidak suka untuk
bersosialisasi jadi ia selalu dirumah saja untuk membaca buku seharian.
Bintang punya makanan kesukaan yaitu coklat, kue coklat, baso, dan
beberapa buah. Dia tidak suka makan nasi, jadi dia lebih suka makan roti.
Bintang pun memiliki cita-cita yang luar biasa bagus, ia ingin menjadi
hafidz qur’an. Ia sudah hafal juz 30 dan dirumah ia selalu ngaji
dirumahnya untuk belajar menghafal al-Qur’an.

16
Dokumentasi

17
3. SLB A Pembina Nasional Jakarta
Catatan Wawancara
Nama Sekolah : SLB A Pembina Nasional Jakarta
Nama Siswa : Stefanni Khoirunnisa
Usia : 9 tahun
Kelas : II A
Nama Guru : Dra. Iis Susmianti
Waktu : Rabu, 09 Oktober 2019, (08:00 - 10:00)

Pada hari selasa, tanggal 24 September 2019 Saya dan beberapa


teman saya datang ke sekolah SLB A Pembina Nasional Jakarta yang
terletak di lebak bulus. Saya dan beberapa teman saya langsung bertemu
dengan salah satu staff yang menangani tentang perizinan observasi,
penelitian, dan lain-lain yang bernama pak Agus, setelah berbicara dengan
pak Agus beliau memberikan izin untuk kita observasi. Kemudian kami
membuat perjanjian hari dan tanggal untuk kami melakukan observasi.
Pada hari itu kami tidak diizinkan langsung observasi karena sekolah
sedang mengadakan ujian tengah semester. Setelah meminta izin, kami
dipersilahkan untuk melihat-lihat sekeliling sekolah saja dan melakukan
observasi di kelas pada mingu berikutnya.
Hari selasa, tanggal 1 oktober 2019 kami dipersilahkan untuk
melihat ke setiap kelas dan jika ingin wawancara bisa langsung ke wali
kelasnya. Lalu kami masuk ke setiap kelas untuk melihat pembelajaran di
kelas, setelah melihat-lihat kita berdiskusi untuk memilih kelas mana aja
yang akan kami wawancarai. Kemudian kami memilih kelas 2,3,5. Kami
pun masuk ke setiap kelas yang sudah kami sepakati, dan setiap orang
masing-masing meilih satu anak untuk diwawancara dengan izin wali
kelasnya.
Sesampai di kelas saya berkenalan dengan salah satu siswi yang
bernama Fanni, awal melihat Fanni saya sangat tertarik dan ingin
mengenalnya lebih dalam. Fanni memiliki nama lengkap Stefanni
Khoirunnisa. Ia lahir di Jakarta, pada tanggal 4 Februari 2010. Fanni
memiliki hobby bernyanyi. Makanan dan minuman kesukaan Fanni sama
seperti anak-anak yang lainnya, Fanni sangat menyukai Coklat, es krim
dan makanan-makanan manis yang lainnya. Fanni memiliki cita-cita yang
sangat mulia ia ingin menjadi ustadzah dan ingin bersekolah di Cairo.
Fanni memiliki semangat belajar dan rasa ingin tahu yang tinggi. Di
sekolah Fanni selalu aktif bertanya ke bu Iis jika dia merasa kesulitan
dalam belajar dan menjawab soal. Begitupun di rumah. Jika ada sesuatu

18
hal yang belum ia ketahui, Fanni akan terus bertanya kepada ibu nya
hingga ia tahu.
Fanni memiliki adik perempuan yang berusia 4 tahun. Di rumah
Fanni memiliki banyak teman. Ia pun tidak malu untuk bersosialisasi di
depan orang banyak. Ketika TK pun ia bersekolah di TK umum. Fanni
mengidap kebutaan sejak lahir. Tetapi, Fanni tidak buta total. Ia masih bisa
melihat cahaya walaupun sedikit. Fanni bisa dikategorikan sebagai buta
secara fungsional. Fanni masih bisa melihat lingkungan sekitar dengan
pencahayaan yang sangat minim.

Dokumentasi

19
4. SLB A Pembina Nasional Jakarta

Nama Sekolah : SLB A Pembina Nasional Jakarta

Nama Siswa : Daffa Raddithya Rabbani

Nama Guru : H. keriyadi S.Pd

Waktu : Selasa, 01 Oktober dan Rabu, 09 Oktober 2019 (08:00 -


10:00)

Saya dan teman sekelompok saya datang ke sekolah SLB A


Pembina Nasional Jakarta yang berada di lebak bulus, Jakarta Selatan.
Kami mohon perizinan untuk kegiatan observasi anak berkebutuhan
khusus tunanetra kepada sekolah tersebut. Sebelum observasi secara
individu, hari pertama kami berkeliling dan mengunjungi beberapa kelas
untuk melihat lingkungan sekolah dan proses belajar mengajarnya. Hari
kedua, kami fokus untuk observasi individu dengan anak yang
bersangkutan.

Saya mewawancarai seorang siswa kelas V C Sekolah Dasar yang


bernama Daffa Raddithya Rabbani. Nama panggilannya adalah daffa, ia
berumur 11 tahun dan tinggal di Lebak Bulus, Pertanian Raya, Jakarta
Selatan. Di kelas V ini, daffa berteman dengan dua orang temannya, yaitu
Syifa dan Raka yang juga merupakan peserta didik tunanetra. Daffa
memiliki cita-cita menjadi seorang guru mengaji. Keseharian daffa
dirumah, daffa membiasakan mengaji dan menghafal surat surat pendek.
Beberapa hal yang disukai daffa yaitu berenang dan menyanyi.
Dibandingkan dengan dua temannya, daffa sangat suka makan, makanan
kesukaannya yaitu buah pisang. Keadaan dirumah, daffa merupakan anak
yang penurut dan suka belajar dan bermain selayaknya anak normal pada
umumnya. Daffa memiliki satu saudara kandung yang juga tunanetra,
bernama noval yang sekarang duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah
pertama.

Disekolah, saat kegiatan belajar mengajar pada hari Rabu dimulai,


semua peserta didik dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas
mengikuti kegiatan Pramuka yang rutin dilaksanakan pada hari Rabu pagi.
Walaupun mereka memiliki keterbatasan melihat dari anak normal pada
umumnya, mereka tetap semangat dan antusias dalam menyimak dan
mengikuti kegiatan tersebut. Setelah kegiatan Pramuka berakhir, daffa
kembali ke kelas untuk istirahat. SLB A ini menyediakan makanan sehat
bergizi yang di berikan rutin kepada seluruh peserta didik, termasuk daffa.

20
Makanan yang diberikan hari itu adalah buah kelengkeng dan kue. Daffa
sangat suka buah sehingga makanan pada hari itu habis. Program makanan
sehat bergizi ini merupakan program dari pemerintah DKI Jakarta yang
bertujuan memenuhi gizi baik untuk peserta didik yang bersekolah di
provinsi DKI Jakarta. Setelah jam istirahat selesai, daffa melanjutkan
kegiatan belajarnya dengan pak ilhan selaku guru olahraga. Beralih dari
ruang kelas ke ruang olahraga, di setiap lantai sekolah tersebut di sediakan
fasilitas jalan khusus untuk disabilitas tunanetra, sehingga membantu
siswa untuk menemukan arah jalan. Dalam kegiatan olahraga ini, daffa
dan teman-temannya di berikan materi tentang keseimbangan oleh pak
Ilhan. Saat olahraga, hal pertama yang guru berikan adalah persiapan dan
pemanasan perdagangan otot sendi. Daffa mengikuti nya dengan baik.
Guru mencontohkan dengan mempraktekkan gerakan ke tubuh peserta
didik nya secara langsung. Kemudian gerakan keseimbangan yang di
aplikasikan lewat jalan diatas papan kecil dengan tangan direntangkan lalu
dilanjutkan dengan menangkap dan mendorong bola melalui pendengaran
yang diberikan di bola tersebut. Dalam kegiatan olahraga ini, menurut
pengamatan saya kepada daffa, kemampuan psikomotorik daffa kurang
dibandingkan dengan kemampuan kognitif daffa. Pengamatan kognitif
daffa saya dapatkan ketika belajar tematik tentang tumbuhan dengan pak
Keriyadi selaku wali kelas. Saat diberikan pertanyaan, daffa selalu bisa
menjawab lebih cepat di bandingkan dengan teman-temannya. Selain
belajar di kelas. Disekolah ini mengadakan orientasi mobilisasi dengan
tujuan untuk mengenalkan dan membiasakan peserta didik dengan
lingkungan disekitarnya. Melatih kemandirian dan keberanian juga
merupakan salah satu tujuan kegiatan tersebut.

21
Dokumentasi

22
DAFTAR PUSTAKA

E. Kosasih, 2012. Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung:


Yrama Widya.
Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Permendiknas No. 70 tahun 2009, pasal 1
Rahardja, Djadja. Ketunanetraan. Bandung: UPI.
Sunanto , Juang. Anak Dengan Gangguan Penglihatan, Dosen di Jurusan
Pendidikan Luar Biasa, UPI
Sunanto, Juang. 2018. Anak Dengan Gangguan Pengelihatan, Jurnal Pendidikan
ABK.
Wikasanti, Esthy. 2014. Pengembangan Life Skills untuk Anak Berkebutuhan
Khusus. Jogjakarta: Redaksi Maxima.

23

Anda mungkin juga menyukai