Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENDANAAN PENDIDIKAN ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas sebagai bahan presentase


pada mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam

Oleh:
Aditya Ryanto Putra T.
Hikmatyar Mazmun

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDIN
MAKASSAR
2022
A. Pengertian dan Sejarah Pendanaan Pendidikan

Pendanaan pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai ongkos

yang harus tersedia dan diperlukan dalam menyelenggarakan pendidikan

dalam rangka mencapai visi, misi, tujuan, sasaran dan strateginya. Pendanaan

pendidikan tersebut diperlukan untuk pengadaan gedung, infrastruktur dan

peralatan belajar mengajara, gaji guru, 80 gaji karyawan dan sebagainya.

Timbulnya pembicaraan pendanaan pendidikan itu antara lain terjadi

seiring dengan terjadinya pergeseran dari kegiatan belajar mengajar yang

semula dilakukan secara individual dan sambilan dalam situasi ilmu

pengetahuan yang belum berkembang, menjadi kegiatan belajar mengajar

yang dilakukan secara khusus dan profesional dalam situasi ilmu pengetahuan

sudah dimulai berkembang. Dalam sitiuasi terakhir ini, proses belajar

mengajar tidak dapat lagi dilakukan secara sambilan dengan memanfaatkan

sarana dan prasarana yang ada seperti masjid atau bagian tertentudari rumah

guru, melainkan sudah memerlukan tempat yang khusus, sarana prasarana,

infrastruktur, guru, dan laimya yang secara khusus diadakan untuk kegiatan

belajar dan mengajar, dan laimya yang secara khusus diadakan untuk kegiatan

belajar dan mengajar. Dengan situasi yang demikian itulah, maka pendanaan

pendidikan merupakan bagian yang harus diadakan secara khusus.

Pendanaan pendidikan memang bukan segala-galanya, tetapi tampa

adanya pendanaan pendidikan, maka pendidikan akan sulit dilaksanakan untuk

mencapai tujuamya yang ditetapkan. Beberapa negara maju di dunia saat ini,

seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman, dan Australia, bermula dari


adanya perhatian yang besar dan sungguh-sungguh dalam menciptakan

sistem pendidikan yang kukuh dan ditopang oleh komitmen yang tinggi untuk

melaksanakamya, serta dana yang besar. Pada tahun 1960-an misalnya,

Amerika Serikat menemukan hasil penelitian yang mengatakan, bahwa

investasi dalam bidang pendidikan ternyata jauh lebih menguntungkan

dibandingkan dengan investasi dalam bidang saham, dengan perbandingan

hingga mencapai sepuluh kali lipat. Selanjutnya pada tahun 1965-an ia

mengeluarkan biaya tidak kurang dari 6 miliar dollar atau sekitar 60 triliun

untuk melakukan penelitian dan pengembangan (research and developement)

dalam bidang pendidikan. Berbagai teori murni dan konsep pendidikan yang

dilakukan oleh para peneliti individual yang ada sebelumnya mereka

kembangkan lebih lanjut melalui sebuah komisi khusus yang selanjutnya

menghasilkan berbagai konsep dan desain yang siap diaplikasikan.

Berbagai konsep tentang kurikulum, proses belajar mengajar,

manajemen pendidikan, standar lulusan, evaluasi, dan sebagainya mereka

kembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari sejak itulah,

pendidikan selain mencerdaskan manusia, juga sebagai alat untuk mencari

keuntungan material. Pendidikan selanjutnya menjadi komoditas yang

diperdagangkan di pasaran bebas. Konsep pendidikan yang dihasilkan

Amerika Serikat tersebut kemudian diekspor ke luar melalui puluhan juta

masyarakat dunia yang menuntut ilmu di Amerika Serikat. Bisnis dalam

bidang pendidikan ini pada masa sekarang suda merata di seluruh negara di

dunia, termasuk negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Ribuan


pelajar dan mahasiswa asal Indonesia saat ini bukan hanya belajar di

Amerika, Australia, dan Jepang, melainkan juga di Singapura dan Malaysia.

Dengan demikian, setiap bulan dan setiap tahun tidak sedikit uang yang

mengalir dari Indonesia ke luar negeri. Tidak hanya itu, pada saat ini, berbagai

negara maju tersebut sudah membawa sistem dan pelaksana pendidikan

tersebut Indonesia.

Semua ini terjadi, karena tersedianya dana untuk melakukan kegiatan

tersebut. Di dunia Islam, khususnya pada zaman klasik (abad ke-7 hingga

13M), kesadaran untuk mengeluarkan biaya yang besar untuk kegiatan

pendidikan sesungguhnya sudah pula terjadi. Namun berbeda motif dan

tujuamya dengan motif dan tujuan yang dilakukan negara-negara maju

sebagaimana tersebut di atas. Di zaman klasik atau kejayaan Islam, motif dan

tujuan pengeluaran biaya pendidikan yang besar bukan untuk mencari

keuntungan yang bersifat material atau komersial, melainkan semata-mata

untuk memajukan umat manusia, dengan cara memajukan ilmu pengetahuan,

kebudayaan dan peradabamya. Para khalifah Islam di zaman klasik tidak

mengharapkan keuntungan dari biaya pendidikan yang dikeluarkamya.

Masyarakat yang belajar di berbagai lembaga pendidikan Islam pada

zaman itu biayanya ditanggung oleh pemerintah, atau dengan kata lain tidak

dipunggut biaya alias gratis. Adapun belajar diberbagai negara maju tidak

tidak ada yang gratis. Semua mahasiswa atau pelajar harus membayar penuh,

walaupun sumbernya ada yang berasal dari beasiswa yang jumlahnya sudah

dibatasi dan diberhitungkan sebagai ongkos promosi.


B. Dasar dan Sumber Biaya Pendidikan Islam

Berdasarkan petunjuk al-Qur’an, al-Hadis, pendapat para ulama

fakta sejarah, dijumpai dasar dan sumber biaya pendidikan sebagai berikut.

1. Dana Fi Sabilillah (Di jalan Allah)

Baik di dalam al-Qur’an al-Hadis sedikit sekali ayat atau matan

hadis yang secara eksplisit berbicara tentang dasar dan sumber biaya

pendidikan. Ayat-ayat- al-Qur’an dan al- Hadis yang berbicara tentang

zakat dan infak misalnya tidak banyak memasukkan biaya pendidikan

sebagai unsur yang menerima bagian dari zakat dan infak tersebut. Di

dalam surat at-Taubah (9) ayat 60 misalnya disebutkan delapan golongan

yang berhak menerima zakat, yaitu orang-orang fakir, miskin, panitia

zakat, para mu’allaf, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang

berutang, untuk jalan Allah (fi sabillah), dan orangorang yang sedang

dalam perjalan.

Pada penjelasan (tafsir) sabilillah tercakup berbagai yang

mendatangkan kemaslahatan yang dapat mengantarkan seseorang menuju

keridaan dan pahala dari Allah, termasuk untuk. Pengamanan perjalanan

haji, penyediaan air, bahan makanan dan peralatan kesehatan untuk para

hujaj yang bersifat kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan para

haji yang bersifat perorangan, seperti ongkos haji dan sebagainya.

Termasuk pula di dalamnya para tentara yang berjihad di jalan Allah yang

tidak memperoleh gaji yang tetap dari pemerintah, atau semacam para
sukarelawan. Dengan demikian, secara eksplisit biaya pendidikan tidak

tersedia dari zakat.

Secara eksplisit menegaskan, bahwa zakat hanya diperuntukkan

bagi sejumlah kelompok sosial yang secara khusus telah disebutkan di

dalam Al-Qur'an, yaitu fakir, miskin, panitia, hamba sahaya, mualaf, orang

yang berutang, ibn sabil dan sabilillah.

Penggunaan kata "innama " yang dalam bahasa Arab disebut alat

untuk membatasi dan menetapkan, menunjukkan bahwa hanya yang

ditetapkan Allah sajalah yang dapat diberikan zakat. Berbagai kegiatan

sosial keagamaan, seperti membangun masjid, menyediakan air

minum, menggali sungai, memperbaiki jalan, mengafani orang mati,

memenuhi perintah agama, memberikan kemsempatan dan keluasan bagi

tamu, membangun menara, dan sebagainya tidaklah termasuk yang

dapat memmperoleh bagian dari zakat. Hanya sebagian dari pengikut

mazhab Abu Hanifah sajalah yang memasukkan para pelajar yang

menuntut ilmu sebagai bagian dari orang yang sedang di jalan Allah

(sabilillah) yang berhak mendapat bagian dari zakat, walaupun pelajar

tersebut tergolong orang kaya.

Dengan demikian, sumber dana pendidikan yang berasal dari zakat,

khususnya yang bcrasal dari sektor di jalan Allah (Fi sabilillah) tergolong

sangat kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali.

2. Dana Dari Para Siswa (Wali Murid)


Sumber pendanaan pendidikan selanjutnya berasal dari para pelajar

yang dibayarkan oleh orang tuanya. Di dalam Islann, orang tua

berkewajiban mendidik putra-putrinya. Namun karena orang tua tersebut

sibuk dengan tugas lainnya, tidak menguasai berbagai keahlian dalam ilmu

pengetahuan serta mengajarkannya, maka tugas mendidik tersebut

diserahkan kepada guru pada lembaga pendidikan yang secara khusus

dilatih dan disediakan untuk mendidik putra-putri dari anggota

masyarakat, dengan cara masyarakat tersebut menanggung biaya yang

dibutuhkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Berkenaan dengan ini,

maka setiap orang yang ingin mendapatkan pendidikan, harus

mengeluarkan biaya pendidikan.

Burhan al-din al-Zarnuji dalam hubungan ini mengatakan:

"Ingatlah! Engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam

syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu:

kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, biaya, petunjuk guru,

dan waktu yang cukup.

Kewajiban orang tua membiayai pendidikan scorang anak, juga

dapat dipahami dari hadis Nabi Muhammad Saw sebagai berikut.

"Hak seorang anak atas orang tuanya adalah memberikan nama dan

akhlaknya yang baik, mengajarkan menulis, berenang dan memanah,

memberikan rezeki hanya yang baik-baik saja, dan menikahkannya, jika

sudah menemukan jodohnya." (HR. al-Hakim)


"Didiklah anak-anakmu sekalian dengan tiga hal, yaitu mencintai nabimu,

mencintai keluarganya, dan membaca al-Qur'an, karena orang yang

membaca al-Qur'an akan beradadalam naungan Allah, pada hari yang

tidak ada naungan lainnya, kecuali naungannya, bersama para nabi dan

orang-orang yang dikasihinya." (HR. alDailamiy dari 'Ali)

"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya,

kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak

yang saleh yang dapat mendo'akannya." (HR. Muslim)

Hadis-hadis tersebut secara keseluruhan berbicara tentang

kewajiban orang tua dalam mendidik anaknya, agar menjadi anak yang

memiliki akhlak yang baik, dapat menjalankan ibadah, membaca al-

Qur'an, dan menjadi anak yang saleh. Untuk mewujudkan anak yang

memiliki pendidik seperti itu, maka diperlukan biaya pendidikan yang

harus dikeluarkan oleh orang tua anak tersebut. Dana yang berasal dari

sumbangan para siswa (wali murid) ini tergolong dana yang paling stabil

dan berlaku hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor

sebagai berikut.

Pertama, masyarakat memandang bahwa membiayai

pendidikan merupakan kewajiban yang melekat pada orang tua, dan

sebagai panggilan agama yang harus dilaksanakan. Dengan demikian,

orang tua akan berusaha membanting tulang dan memeras keringat untuk

mencukupi biaya pendidikan anak-anaknya.


Kedua, masyarakat memandang bahwa kemajuan dan prestasi

belajar yang dicapai anak-anaknya akan dapat mengangkat harkat dan

martabatnya. Orang tua akan merasa bangga dan terhormat, jika

anakanaknya sukses dalam Studi. Untuk itu, ia berusaha memenuhi

biaya anak-anaknya.

Ketiga, orang tua memandang, bahwa mengeluarkan biaya

pendidikan merupakan sebuah investasi yang menguntungkan. Dana yang

dikeluarkannya itu diyakini akan kembali dengan jumlah yang jauh lebih

besar dan menguntungkan, jika anaknya kelak sudah lulus dari

pendidikannya dan memasuki lapangan kerja yang bergengsi dan

mendatangkan uang, seperti menjadi dokter, menjadi pengacara, pilot,

pengusaha besar, dan sebagainya.

3. Dana dari Wakaf

Sumber pendanaan pendidikan lainnya yang paling menonjol

dalam sejarah Islam yaitu berasal dari dana sosial berupa wakaf. Pada

awalnya, tujuan diadakannya wakaf yaitu untuk mengekalkan pokok dari

sesuatu benda, sedangkan manfaatnya boleh digunakan untuk kebaikan,

atau harta yang dapat digunakan hasilnya tetapi asalnya kekal. Selain itu,

ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa yang asal dalam wakaf ialah

dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, tetapi mungkin orang

mengeluarkan wakaf untuk orang lain dengan tujuan mencari kasih, atau

untuk seorang anak karena takut dijual sesudah wafatnya dan harganya

dihabiskan. Atau kalau ia takut dihalangi darinya dan dijual untuk


membayar utangnya. Atau ia memberi wakaf karena ria. Dalam hal

terakhir seniua wakaf itu tidak ada pahalanya, sebab ia tidak

mengharapkan keridaan Allah Swt.

Menurut Imam Syafi'i, bahwa wakaf adalah khusus untuk

kaum Muslimin saja. Orang-orang jahiliah tidak mengeluarkan wakaf,

hanya orang-orang Islam saja yang mengeluarkan wakaf. Wakaf tersebut

hukumnya sunah jika dilakukan semata-mata mengharapkan keridaan

Allah Swt. Hal ini didasarkan pada dalil ayat al-Qur'an yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu,

sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamil mendapat

kemenangan”. (QS. al-Hajj (22):77).

Adapun as-Sunah yang oleh para ulama dijadikan dalil tentang

wakaf, di antaranya yaitu yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar

r.a., yang menceritakan, bahwa Umar mendapat sebidang tanah di

Khaibar, kemudian beliau mendatangi Nabi Saw, meminta pendapatnya

tentang tanah tersebut. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi:

"Wahai Rasulullah, aku mendapat tanah di Khaibar, aku belum pernah

mendapat harta yang lebih berharga dari itu, apa kata Rasulullah tentang

tanah itu?" Rasulullah berkata: "Jika engkau mau engkau tahan asalnya

dan scdekahkan hasilnya. Tetapi tidak boleh dijual yang asal, tidak boleh

diberikan dan tidak boleh diwariskan." Katanya, Umar pun

menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kauni kerabat, hamba

sahaya, di jalan Allah, anak jalanan dan orang lemah. Tidak berdosa
orang yang memeliharanya untuk makan dari situ dengan baik dan

memberi makan kawan yang tidak membuat harta di situ. (HR. al-Bukhari

dan Muslim).

Selain itu, hadis yang dijadikan dasar tentang wakaf ini adalah:

"Jika seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga

hal. Pertama sedekah yang berjalan terus, atau ilmu yang digunakan,

atau anak saleh yang mendo'akannya." (HR. Muslim).

Dalil lain yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan wakaf adalah

ijma' ulama yang didasarkan pada keterangan dari Jabir. Katanya, bahwa

tidak ada seorang pun sahabat Nabi Saw yang sanggup (mampu) yang

tidak berwakaf. Di dalam sejarah Islam, wakaf mengalami

perkembangannya yang luar biasa pada abad kedelapan dan kesembilan

hijrah. Pada waktu itu bukan hanya berupa tanah pertanian saja yang

diwakafkan, melainkan juga rumah, toko, kebun, lesung, pencelup, pabrik

roti, kantor dagang, pasar, tempat potong rambut, tempat mandi, gudang

hasil pertanian, pabrik penetasan telur, dan lain-lain juga diwakafan.

Dengan demikian, wakaf sudah berkembang luas, dan menjangkau

perusahaan.

4. Dana dari Kas Negara

Athiyah al-Abrasyi melaporkan, bahwa Madrasah alMuntashiriyah

di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir, yang merupakan

madrasah (sekolah) yang terbesar ketika itu menghabiskan biaya yang

besar sekali. Darul Ilmi di Kairo, yang didirikan oleh al- Hakim bi
Amrillah pada tahun 1004 M dengan menelan biaya sekitar 257 dinar

setiap tahun.

Dana tersebut digunakan untuk membeli tikar, kertas, gaji

pemimpin perpustakaan, air, gaji pesuruh, menjilid buku, membeli

permadani untuk musim dingin. Biaya tersebut belum termasuk biaya

untuk gaji guru dan karyawan.

Selanjutnya Nizam al-Muluk mengeluarkan anggaran belanja

yang luar biasa besarnya untuk membiayai pendidikan. la mengeluarkan

biaya sebesar 600.000 dinar setiap tahun untuk membiayai seluruh

madrasah yang diasuh negara dan sebanyak 60.000 dinar untuk membiayai

Madrasah Nidzamiyah Baghdad saja, dana tersebut terhitung cukup besar,

karena satu dinar senilai dengan 4.025 gram emas. Dengan demikian,

biaya setahun Madrasah Nizamiyah Baghdad saja menghabiskan lebih

dari 240 kilogram emas. Biaya seluruh sekolah yang diurus oleh Nizam al-

Muluk setiap tahun lebih dari 2,4 ton emas. Nizam al-Muluk, tidak

mencari uang, karena uang sudah tersedia di kas negara.

5. Dana dari Hibah Per-orangan dan Lainnya

Di zaman kejayaan Islam sebagaimana tersebut, terdapat sejumlah

orang yang kaya raya dan berkecukupan dan menyukai ilmu pengetahuan

dan kemajuan Islam. Orang tersebut selanjutnya menyisikan sebagian

dananya untuk membantu kegiatan pendidikan dalam bentuk hibah,

hadia, dan infa. Mereka itu selanjutnya dikenal sebagai para donator yang

memberikan bantuan dana secara rutin, dengan tidak mengharapkan apa-


apa, kecuali untuk kemajuan pendidikan dan umat Islam. Lembaga

pendidikan yang diberikan bantuan tcrscbut biasanya lembaga pendidikan

yang memiliki berbagai persyaratan yang ditentukan. Misalnya, lembaga

tersebut dapat dipercaya, menghasilkan lulusan yang bermutu, mcmiliki

visi, misi, tujuan, sasaran dan targct yang jclas, serta mcndapatkan

kepercayaan masyarakat.

Selain itu, ada pula dana yang diberikan pcrorangan kepada para

pelajar yang menunjukkan tingkat kesungguhan dan kecerdasan yang

tinggi, serta bercita-cita untuk memajukan dan mengembangkan ilmu

pengetahuan dan umat Islam. Beberapa ulama besar dalam Islam, seperti

imam Syafi'i, Ibn Sina, dan al-Ghazali misalnya pernah mendapatkan

bantuan dari perorangan untuk melanjutkan pendidikannya.

C. Prinsip-prinsip Pengelolaan Dana Pendidikan dalam Islam

Terdapat sejumlah prinsip yang menjadi pegangan dalam pengelolaan

dana pcndidikan dalam Islam. Prinsip ini sebagai berikut.

Pertama, prinsip keikhlasan. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana

yang berasal dari wakaf sebagaimana tersebut di atas.

Kedua, prinsip tanggung jawab kepada Tuhan. Prinsip ini antara lain

terlihat pada dana yang berasal dari para wali murid. Mereka mengeluarkan

dana atas dasar kewajiban mendidik anak yang diperintahan oleh Tuhan,

dengan cara membiayai pendidikan anak tersebut.


Ketiga, prinsip, suka rela. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana

yang berasal dari bantuan hibah perorangan yang tergolong mampu dan

menyukai kemajuan Islam.

Keempat, prinsip halal. Prinsip ini terlihat pada seluruh dana

yang digunakan untuk pendidikan yang berasal dari dana yang halal dan

menurut hukum Islam.

Kelima, prinsip kecukupan. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana

yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berasal dari kas negara.

Keenam, prinsip berkelanjutan. Prinsip ini antara lain terlihat pada

dana yang berasal dari wakaf yang menegaskan, bahwa sumber (pokok) dana

tcrsebut tidak boleh hilang atau dialihkan kepada orang lain, yang

menyebabkan hilangnya hasil dari dana pokok tersebut.

Ketujuh, prinsip keseimbangan dan proporsional. Prinsip ini antara

lain terlihat dari pengalokasian dana untuk seluruh kegiatan yang berkaitan

dengan pelaksanaan pendidikan, seperti dana untuk membangun infrastruktur,

sarana prasarana, peralatan belajar mengajar, gaji guru, beasiswa para pelajar,

dan sebagainya.

D. Manajemen Keuangan Pendidikan Islam

Selama ini ada kesan bahwa keuangan adalah segalanya dalam

memajukan suatu lembaga pendidikan. Selama ini ada kesan bahwa keuangan

adalah segalanya dalam memajukan suatu lembaga pendidikan. Tanpa

dukungan finansial yang cukup, manajer lembaga pendidikan seakan tidak bisa

berbuat banyak dalam upaya memajukan lembaga pendidikan yang


dipimpinnya. Sebab, mereka berpikir semua upaya memajukan senantiasa

harus dimodali uang. Upaya memajukan komponen-komponen pendidikan

tanpa disertai dukungan uang seakan pasti mandek di tengah jalan.

Terkait dengan fungsi dan peran keuangan ini, Sudarwan Danim

melaporkan bawah ketika kebijakan reformasi pendidikan ingin

diimplementasikan, kemapuan finansial untuk mendukungnya tidak terhindari.

Sebab, kemampuan di bidang keuangan merupakan sumber frustrasi bagi para

pembaru. 91 keuangan dan pendanaan merupakan potensi yang sangat

menentukan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kedua hal tersebut merupakan komponen produksi yang menentukan

terlaksananya kegiatan-kegiatan proses belajar-mengajar di sekolah bersama

komponen-komponen lainnya. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan

timbulnya perhatian yang besar pada keuangan, yaitu : pertama, keuangan

termasuk kunci penentu kelangsungan dan kemajuan lembaga pendidikan.

Kenyataan ini mengandung konsekuensi bahwa program-program

pembaharuan atau pengembangan pendidikan bisa gagal dan berantakan

manakala tidak didukung oleh keuangan yang memadai. Kedua, lazimnya

uang dalam jumlah besar sulit sekali didapatkan khususnya bagi lembaga

pendidikan swasta yang bari berdiri.

Dana sangat terkait dengan kepercayaan. Jika ingin mendapatkan dana

dari BP3/masyarakat, sekolah harus memiliki program yang bagus, sehingga

masyarakat yakin program-program tersebut dapat berjalan dengan baik dan

bermanfaat luas. Dalam pengertian lain, sekolah harus mampu mengemas


program dan meyakinkan pemilik dana. Untuk itu biasanya diperlukan

proposal. 93 Secara psikologis, kepercayaan memang dapat membangunkan

kesadaran seseorang untuk ikut memberikan bantuan dana. Misalnya, ada dua

orang yang berbeda dalam waktu yang berbeda tetapi sama-sama mengajukan

bantuan. Keduanya bisa mendapatkan respons yang sangat berbeda. Bisa jadi

karena orang yang pertama meyakinkan sedangkan orang yang kedua

meragukan atau bahkan mencurigakan. Maka, bisa jadi pemilik dana itu

akhirnya membantu orang yang pertama dalam jumlah yang besar, sementara

pada orang yang kedua tidak memberi dana sama sekali.

Sekarang, mari kita bandingkan mana yang lebih penting, dana atau

kepercayaan dalam upaya memajukan lembaga pendidikan Islam? Dana atau

keuangan memang sangat penting dan menentukan kemajuan lembaga

pendidikan, tetapi yang lebih penting lagi adalah kepercayaan. Dengan modal

kepercayaan, dana dapat dengan relatif mudah didatangkan. Namun, dukungan

dana yang memadai belum tentu menghasilkan kepercayaan. Retika dana itu

disalahgunakan atau diselewengkan justru malah menghilangkan

kepercayaan semua pihak.

Dengan demikian, kepercayaan masyarakat, terutama para hartawan

calon donatur, harus diperkuat dan dijaga. Untuk membangun dan

memperkukuh kepercayaan mereka, ada beberapa langkah vang perlu

ditempuh, yaitu sebagai berikut.

1. Pihak yang mengajukan proposal kepada calon donatur itu haruslah orang

yang terkenal jujur, bersih, dan amanat.


2. Lembaga pendidikan Islam harus mampu menunjukkan bahwa bantuan

dari pihak-pihak lain yang diterima selama ini telah dimanfaatkan secara

benar dan dapat dibuktikan.

3. Pihak yang mengajukan bantuan bersama kelompoknya haruslah

orang-orang yang dikenal memiliki semangat besar untuk menghidupkan

dan memajukan lembaga.

4. Calon donatur harus bisa diyakinkan bahwa pelaksanaan program benar-

benar sangat penting, bahkan mendesak untuk segera diwujudkan.

5. Calon donatur perlu disadarkan bahwa bantuan yang akan diberikan untuk

pembangunan lembaga pendidikan Islam merupakan shadaqah jariyah

yang pahalanya terus mengalir.

Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 46 ayat 1 Undang-undang

tentang Sistem Pendidikan Nasional, “Pendanaan pendidikan menjadi

tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan

masyarakat” ketentuan ini merupakan ketentuan normatif yang menjadi paying

hukum tentang tanggung jawab pendanaan bagi semua jenis pendidikan.

Hanya saja, realitanya baru mulai proses paling awal bagi lembaga pendidikan

swasta. Terlebih lagi, lembaga pendidikan Islam yang mayoritas swasta

selama ini telah menjadi korban diskriminasi kebijakan pemerintah. Kondisi

madrasah diniyah, taman pendidikan Al-Qur’an dan pesantren lebih parah lagi.

Lembaga-lembaga tersebut telah berpartisipasi dalam mecerdaskan kehidupan

bangsa, tetapi tidak mendapat perhatian pemerintah, baik pemerintah pusat

maupun daerah. Baru belakangan ini ada upaya dari suatu pemerintah daerah
untuk memberi tunjangan kepada guru-guru mengaji di lembaga-lembaga

tersebut sebesar Rp50.000, (lima puluh ribu rupiah) setahun.

Suatu angka yang sangat memprihatinkan memang, bahkan kalau

ditanggapi secara emosional merupakan suatu angka/jumlah yang melecehkan.

Seharusnya, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah berupaya

mengalokasikan gaji bagi mereka setiap bulan melalui pemberdayaan

pendapatan pemerintah pusat dan daerah. Jadi, tanggung jawab pendanaan

pendidikan, terutama menyangkut madrasah diniyah, taman pendidikan al-

Qur’an, dan pesantren hingga sekarang ini masih belum mendapat

perhatian yang memadai dari pemerintah pusat atau daerah. Baru sebatas

masyarakat yang memiliki kepedulian pada lembaga-lembaga tersebut dengan

memberi bantuan.

UUD Sistem Pendidikan Nasional pasal 46 ayat 1 tersebut masih

belum dilaksanakan secara memadai oleh pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah sebagai sumber keuangan dalam konteks pendidikan.

Sumber keuangan atau pendanaan pada suatu sekolah secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi tiga sumber, yaitu:

1. Pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah, maupun keduanya,

bersifat umum dan khusus serta diperuntukkan bagi kepentingan

pendidikan.

2. Orang tua atau peserta didik.

3. Masyarakat, baik mengingat maupun tidak mengikat.


Sementara itu, dilihat dari segi penggunaan, sumber dana dapat dibagi

menjadi dua:

1. Anggaran untuk kegiatan rutin, yaitu gaji dan biaya operasional sehari-hari

sekolah.

2. Anggaran untuk pengembangan sekolah.

Selain dua macam penggunaan dana di atas, ada satu macam lagi yang

harus dialokasikan, yaitu anggaran untuk kebutuhan atau kepentingan sosial,

baik bantuan sosial ke dalam maupun ke luar.

Bantuan ke dalam dapat berupa dana untuk warga sekolah sendiri.

Sementara itu, bantuan sosial keluar seperti untuk bencana alam, perayaan

HUT RI pada setiap bulan Agustus, permohonan sumbangan dari luar, dan

sebagainya. Ini merupakan kebutuhan riil, tetapi anggarannya tidak

dialokasikan oleh kebijakan pemerintah.

Selanjutnya, seperti dikutip Mulyasa, Jones membagi tugas

manajemen keuangan menjadi tiga fase, yaitu: budgeting (penganggaran

belanja), implementation involves accounting (pelaksanaan penganggaran),

dan evaluation involves (proses evaluasi terhadap pencapaian sasaran).

Sementara itu, komponen utanya manajemen keuangan meliputi: (l) Prosedur

anggaran; (2) Prosedur akuntansi keuangan; (3) Pembelanjaan, pergudangan,

dan prosedur pendistribusian; (4) Prosedur Investasi; serta (5) Prosedur

pemeriksaan.
Sekarang, bagaimana menggerakkan sunnber-sumber keuangan itu

agar mudah dikeluarkan untuk penibiayaan lembaga pendidikan Islam swasta?

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh, antara lain sebagai berikut:

1. Mengajukan proposal bantuan finansial ke Kementerian Agama, maupun

Kementerian Pendidikan Nasional

2. Mengajukan proposal bantuan finansial ke pemerintah daerah.

3. Mengedarkan surat permohonan bantuan kepada orangtua wali siswa.

4. Mengundang alunmi yang sukses untuk dimintai bantuan.

5. Mengajukan proposal bantuan finansial kepada para pengusaha.

6. Mengajukan proposal bantuan finansial kepada para donatur di luar negeri.

7. Mengajukan proposal bantuan finansial kepada para kolega yang

sukses secara ekonomis.

8. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat mendatangkank keuntungan

finansial.

9. Memberdayakan wakaf, hibah, infak, jariyah, dan sebagainya.

10. Memberdayakan solidaritas anggota organisasi keagamaan yang

menaungi lembaga pendidikan Islam untuk membantu dalam mencarikan

dana.

Apabila dana atau uang itu telah didapatkan, manajer lenesa baga

pendidikan Islam harus berusaha mengembangkannya melalui usaha-usaha

produktif agar uang tersebut tidak mandek atau habis. Hal ini dilakukan agar

dana bertambah besar meskipun sebagian telah digunakan untuk kepentingan

lembaga. Usaha-usaha tersebut bisa diwujudkan dalam usaha mandiri secara


otonomi maupun bekerja sanma dengan para pengusaha dengan pola bagi

hasil. Jika membuka usaha secara mandiri, sebaiknya menyediakan barang

atau jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat sekitar, bahkan kalau bisa

kebutuhan rutin mereka. Dengan demikian, perputaran keuangan bisa bergerak

dengan cepat Baik usaha mandiri maupun kerjasama hendaknva dilakukan

dengan ekstra hati-hati, penuh kesungguhan, keuletan, kejelian, kecermatan,

perhitungan yang presisi, serta pengontrolan secara ketat dan periodik. Karena

itu, sebaiknya manajer lembaga pendidikan Islam memiliki naluri bisnis

(sense of bussines) untuk mengembangkan lembaga dan bukan untuk

kepentingan pribadi.

Kita tentu merasa bangga jika melihat pesantren sebagai lembaga

pendidikan swasta murni, tetapi mampu mengembangkan sumbersumber

keuangan. Misalnya, Pesantren Al-Zaitun, Indramayu Jawa Barat melalui

berbagai usahanya; Pesantren Modern Darussalam Gontor-Ponorogo yang

terkenal dengan pengelolaan tanah wakafnya; Pesantren An-Nur, Bululawang-

Malang yang berusaha mendirikan pom bensin di beberapa tempat; dan

Universitas Ummul Qura', Mekah yang memiliki usaha jasa transportasi untuk

mengangkut jemaah haji dan umroh. Sayangnya, lembaga pendidikan yang

kreatif dan memiliki modal besar seperti empat lembaga tersebut jumlahnya

tidak banyak. Pada umumnya, untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja,

lembaga pendidikan Islam merasa sangat kesulitan, apalagi berkembang

dengan berbagai usaha mandiri dan kreatif. Cita-cita untuk mengembangkan


dana memang ada, tetapi sayangnya belum memiliki modal, kreativitas dan

keahlian.

Pada bagian lain, manajer lembaga pendidikan Islam harus menjaga

kepercayaan para pemberi dana dan juga pihak lain. Dengan begitu, mereka

tidak jera membantu lembaga pendidikan Islam, bahkan diupayakan agar

mereka dapat membantu lagi. Untuk itu, perlu dilakukan langkah-langkah

berikut.

1. Penggunaan anggaran harus benar-benar sesuai dengan program yang

direncanakan. Setiap penyimpangan rencana anggaran harus disertai

alasan yang jelas dan meminta persetujuan pihak yang berwenang sebelum

dilaksanakan.

2. Anggaran harus dipergunakan seefisien Illungkin dan menghindari

terjadinya kecurigaan mark up pembelian atau pengadaan barang.

3. Hindari kesan bahwa kegiatan dalam sekolah sekadar untuk

menghabiskan dana, sehingga harus dilakukan penghematan dana

4. Pengeluaran dana hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang

sesuai dengan aturan yang berlaku.

Jadi, inti manajemen keuangan dalam pendidikan Islam adalah

menggali dana secara kreatif dan maksimal, menggunakan dana secara jujur

dan terbuka, mengembangkan dana secara produktif dan

mempertanggungjawabkan dana secara objektif. Bila sikap ini benar-benar

dilaksanakan oleh para manajer lembaga pendidikan Islam, manajemen


keuangan akan membantu kemajuan lembaga pendidikan yang dipimpin

tersebut.

Anda mungkin juga menyukai