Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab I dijabarkan pendahuluan dalam penelitian. Adapun bab


pendahuluan dalam penelitian ini terdiri dari (a) konteks penelitian, (b) fokus
penelitian, (c) manfaat penelitian, (d) landasan teori, dan (e) metode penelitian.
Adapun pemaparan bab pendahuluan dijabarkan sebagai berikut.
1.1 Konteks Penelitian
Pendidikan merupakan usaha untuk mengubah sikap dan prilaku seseorang
atau kelompok melalui proses pembelajaran. Pendidikan adalah proses sadar yang
dilakukan oleh seseorang melalui berbagai pengalaman dengan tujuan untuk
mengubah prilakunya (Arslantas, 2015:49). Pendidikan merupakan proses untuk
mengubah dan memperbaiki prilaku manusia pada semua tingkat kehidupan
(Çeliköz, 2009:1357).
Pendidikan dapat diartikan secara sempit dan secara luas (Gupta 2014:4).
Pengertian pendidikan secara sempit diukur sebagai derajat dan sertifikasi.
Pendidikan diartikan untuk menghasilkan tenaga profesional seperti guru, dosen,
dokter, dan hakim. Pendidikan dalam arti luas didefinisikan sebagai proses
pendidikan seumur hidup. Proses tersebut mencakup pengalaman dan
pengetahuan yang diperoleh dari tahapan kehidupan baik formal, nonformal dan
kebetulan. Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai perubahan sosial, akan
tetapi perupahan sikap, prilaku, dan aset pembangunan bangsa. Pendidikan
merupakan jalan untuk membawa manusia menuju masa depan yang baik. Selain
itu, pendidikan berperan penting dalam membangun suatu negara yang maju.
Maju tidaknya suatu negara dilihat dari kualitas pendidikan warganya (Johan dan
Harlan, 2014:53).
Pendidikan dapat diperoleh secara formal dan nonformal. Pendidikan
formal terikat dengan instansi atau lembaga pendidikan dan diatur oleh sistem
pendidikan. Pendidikan nonformal diperoleh melalui aktivitas dan perilaku sehari-
hari. Merujuk pada definisi di atas, pendidikan formal dan nonformal
menghasilkan manusia yang memiliki pengetahuan, sikap yang baik, masa depan
yang baik, dan memberikan kontribusi bagi pembangunan.

1
Wacana pendidikan dapat diproduksi melalui bahasa tulis dan bahasa
lisan. Wacana pendidikan yang terdapat dalam sastra (novel) diproduksi melalui
bahasa tulis. Menurut Onuekwusi (2013:5), sastra merupakan hasil eksplorasi
manusia yang diciptakan melalui proses imajinatif menggunakan kata-kata terlulis
dan lisan. Makna yang terdapat dalam kata-kata tersebut bisa berupa hiburan,
perjuangan hidup manusia, pendidikan, dan informasi. Berdasarkan pandangan
tersebut dapat dinyatakan bahwa sastra merupakan praktek dari sebuah bahasa.
Artinya, gaya-gaya kebahasaan dan konsep-konsep kebahasaan dimasukkan
dalam penciptaan karya sastra (novel). Wacana pendidikan dalam sastra
diungkapkan melalui praktek kebahasaan yang disampaikan pengarang.
Sejalan dengan pandangan Onuekwusi, menurut Ihejirika (2014:85),
hubungan sastra dan pendidikan terletak pada nilai yang terkandung dalam sastra.
Adapun nilai yang terdapat dalam sastra, yaitu tentang perjuangan manusia
memperoleh pendidikan (Ihejirika, 2014:86). Pada sastra terdapat pikiran atau
renungan dari pengarang yang sanggup mentransformasikan nilai-nilai kepada
pembacanya. Nilai yang terkandung dalam karya sastra diperoleh pembaca
melalui kegiatan apresiasi sastra (Baribin, 1985). Sastra memegang peranan
penting dalam menanamkan nilai religiusitas terhadap manusia (Mangunwijaya,
1992:7).
Wacana pendidikan yang terdapat dalam karya sastra disampaikan oleh
penulis melalui kisah, dialog, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam novel.
Penulis dalam menyampaikan wacana pendidikan dapat menggunakan dua
metode. Metode deskripsi secara langsung dan metode tidak langsung. Pada
deskriptif, wacana pendidikan dapat ditangkap dengan mudah oleh pembaca.
Sedangkan metode tidak langsung memerlukan pembacaan dan apresiasi yang
lebih intensif dari pembaca.
Wacana pendidikan yang terdapat dalam tetralogi novel Laskar Pelangi
pada akhirnya membentuk suatu identitas bagi tokoh Ikal, Arai, dan keluarganya.
Identitas yang membedakan meraka dengan tokoh-tokoh lain tentang wacana
pendidikan. Santoso (2012:6), mengatakan bahwa identitas memiliki sifat yang
dinamis. Karena bersifat dinamis, identitas dapat mengalami perubahan.

2
Perubahan identitas terjadi karena pengaruh lingkungan sosial. Identitas dapat
dibentuk dari pengetahuan, nilai dan emosi dari suatu masyarakat (Fina, 2003:15).
Identitas menurut Versluys (2007:89) dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
identitas pribadi dan identitas kolektif. Sedangkan menurut Djite (2006), identitas
adalah kata-kata yang sering diucapkan untuk mempertanyakan siapa mereka.
Identitas dalam wacana merupakan masalah kompleks yang melampaui masalah
identitas sosial dan identitas pribadi (Scollon, 1996;1). Meneliti struktur identitas
dalam wacana menurut Scollon terdapat dua pendekatan. Pertama, wacana
identitas dilihat dari peran produksi dan penerima. Kedua, wacana identitas dilihat
dari peran interaksi sosial.
Identitas dalam karya sastra dapat diartikan dari dua aspek. Aspek
pertama, sastra yang mengandung nilai-nilai dan membentuk identitas. Aspek
kedua, sastra sebagai penanam identitas bagi pembaca. Kedua aspek tersebut
saling berkaitan satu dengan lainnya. Aspek pertama menjadi acuan kepada aspek
kedua. Sastra ditinjau dari segi isinya mengandung nilai-nilai, moral, pendidikan,
dan budaya. Nilai moral yang terdapat dalam karya sastra biasanya mencerminkan
nilai kebenaran yang dinyakini oleh pengarangnya (Noor, 2011:64).
Proses penciptaan sastra tidak lepas dari peristiwa-peristiwa sosial dan
masyarakat. Keterkaitan sastra dan sosial dibedakan menjadi tiga (Endraswara,
2012). Pertama, sastra merupakan dokumen sosial yang di dalamnya
merefleksikan kondisi masyarakat pada saat sastra diciptakan. Kedua, sastra
merupakan refleksi sosial dari penulis atau pengarang. Ketiga, sastra merupakan
peristiwa sejarah dan menifestasi kebudayaan.
Tetralogi novel Laskar Pelangi terdiri dari empat buah novel. Novel
pertama berjudul Laskar Pelangi diterbitkan tahun 2005. Novel kedua berjudul
Sang Pemimpi diterbitkan tahun 2006. Novel ketiga berjudul Edensor diterbitkan
tahun 2007. Kemudian novel terakhir berjudul Maryamah Karpov diterbitkan
tahun 2008. Keempat novel tetralogi Laskar Pelangi merupakan edisi serial.
Cerita dalam tetralogi novel Laskar Pelangi berkaitan dengan pengalaman
kehidupan pengarang, interaksi sosial dan masyarakat Belitong. Artinya
pengalaman kehidupan pengarang turut andil mempengaruhi isi, bentuk, dan
struktur karya sastra. Andrea Hirata sebagai pengarang merefleksikan pengalaman

3
kehidupannya ke dalam novel. Salah satu pengalaman kehidupan yang
direfleksikan adalah tentang wacana pendidikan.
Keberhasilan seseorang dalam menempuh pendidikan ditentukan oleh
faktor internal dan eksternal. Faktor internal dan eksternal merupakan dualitas
yang saling mempengaruhi tingkat keberhasilan pendidikan seseorang. Faktor
internal menurut Mirhadizadeh (2016: 189), ditentukan oleh motivasi, kebiasaan
belajar, sikap, dan praktik pribadi setiap individu. Motivasi seseorang dalam
proses pendidikan dapat ditingkatkan oleh pendidik atau guru. Guru dapat
memberikan stimulus kepada peserta didik hingga memiliki motivasi yang baik
(Sari, 2009:3).
Menurut Mirhadizadeh (2016: 189), faktor ekternal ditentukan diluar sikap
individu pembelajar. Faktor eksternal antar individu dapat berbeda satu dengan
yang lainnya bergantung kondisi sosial dan masyarakat. Faktor eksternal yang
dimaksudkan dapat berupa, orang tua, guru, sekolah, lingkungan sekolah, dan
masyarakat. Sari membagi pengaruh faktor eksternal menjadi tiga bagian
(2009:4), yaitu (a) waktu belajar, (b) frekuensi kontak pelajar dengan yang
dipelajari, dan (c) jumlah siswa dalam kelas.
Berdasarkan hasil dari penelitian, peran keluarga, sekolah, dan masyarakat
dapat meningkatkan kualitas hasil belajar dan kualitas membaca. Selain itu,
hubungan tersebut dapat meningkatkan kehadiran siswa, meningkatkan tingkat
kelulusan tepat waktu, dan meningkatkan prilaku sosial dan emosional (Bryan,
Young, Griffin, dan McCoy, 2018). Pada penelitian yang dilakukan Gaitan
(2012), menemukan bukti bahwa keterlibatan keluarga dalam pendidikan anak-
anak disekolah sangat menguntungkan. Pada studi kasus di National School
Boards Association membuktikan bahwa kemitraan orang tua dan sekolah dapat
memperkuat prestasi belajar siswa (Stefanski, Valli, dan Jacobson, 2016).
Pentingnya peran keluarga, sekolah dan budaya juga dijelaskan dalam
penelitian Granata, Mejri, dan Rizzi (2016). Penelitian ini dilakukan untuk
menemukan jawaban pengaruh hubungan sekolah, keluarga dan budaya,
khususnya untuk sekolah di Italia. Penelitian ini menginvestigasi tiga faktor yang
mempengaruhi hubungan keluarga dan sekolah terhadap pendidikan anak. Ketiga
faktor tersebut, yaitu interpersonal, struktural, dan budaya. Faktor interpersonal

4
memfokuskan pada aspek keterampilan mendengar, emosi, dan hubungan orang
tua dan guru. Faktor struktural memfokuskan pada aspek kondisi kehidupan
kelurga dan sistem kesejahteraan di Italia. Kemudian faktor budaya memfokuskan
pada aspek nilai-nilai, gaya hidup, dan pendidikan orang tua dan guru.
Konstruksi pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini menganalisis
peran keluarga, sekolah, dan budaya dalam pendidikan tokoh tetralogi novel
Laskar Pelangi. Definisi konstruksi dalam penelitian dilihat dari perspektif sosial.
Konstruksi merupakan teori sosiologi pengetahuan dan komunikasi yang
mengkaji perkembangan pemahaman manusia tentang dunia (Galbin, 2014;82).
Teori konstruksionisme sosial pada awalnya digunakan untuk mamahami sifat
realitas. Teori ini merupakan bagian dari sosiologi yang mempunyai hubungan
dengan era pasca-modern dalam penelitian kualitatif (Andrews, 2012;39).
Secara umum terdapat dua tanda pembeda tentang teori konstruksi sosial
menurut para ahli. Pertama, penolakan asumsi tentang sifat pikiran dan teori
kausalitas. Kedua, memberikan perhatian pada kompleksitas dan keterkaitan antar
individu dan kelompok (Galbin, 2014;83). Konstruksi pendidikan dalam
penelitian ini dilihat dari peran keluarga, sekolah dan budaya. Guna mendukung
pengkajian, peran keluarga, sekolah, dan budaya dilihat dari perspektif sosiologi
pendidikan. Menurut Idi & Safarina (2011:25), sosiologi dan pendidikan
membicarakan lima aspek. Kelima aspek tersebut, yaitu (a) kelas, (b) sekolah, (c)
keluarga, (d) masyarakat desa, dan (e) kelompok masyarakat.
Pertama, kelas secara umum memiliki tiga definisi, yaitu kelas dalam
pengertian sekolah, kelas dalam pengertian kelompok, dan kelas dalam pengertian
periode atau tingkatan siswa. (Adiwikarta, 1988:93). Kelas diartikan sebagai
interaksi sosial pendidikan anak di sekolah. Di kelas anak-anak belajar melalui
interaksi antar teman dan guru. Proses interaksi yang baik dapat mendukung
keberhasilan pendidikan di sekolah. Damsar mengkategorikan kelas menjadi lima
(Damsar, 2015:93). Kelima kategori itu adalah; (1) kelas sebagai suatu sistem, (2)
teori ruang kelas, (3) ruang kelas dan pemeliharaan ketertiban dan kedisiplinan,
(4) ruang kelas dan penggunaan bahasa, dan (5) dinamika hubungan guru dan
murid dalam kelas.

5
Kedua, sekolah merupakan salah satu lembaga formal pendidikan.
Sekolah memiliki struktur formal untuk memudahkan perancanaan pendidikan.
Struktur formal di sekolah terdiri dari kepala sekolah, guru, pegawai, dan siswa
(Nasution, 1999:72). Kepala sekolah menempati posisi paling tinggi di sekolah.
Kepala sekolah berperan mengatur seluruh kegiatan di dalam sekolah. Guru
merupakan elemen penting bagi pendidikan di sekolah. Guru banyak berinteraksi
dengan siswa dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Kemudian pegawai
merupakan fungsi pendukung dari proses pembelajaran di sekolah. Fungsi
pegawai melakukan proses administrasi kepala sekolah, guru dan siswa.
Ketiga, keluarga secara definisi dapat diartikan keluarga batih dan luas
(Adiwikarta, 1988:66). Keluarga batih atau keluarga inti terdiri dari suami/ayah
dan isteri/ibu. Pasangan suami dan isteri mempunyai anak yang lahir dari
hubungan keduanya. Anak dalam keluarga batih bisa juga anak tiri yang belum
berkeluarga. Keluarga luas adalah sebuah keluarga yang keanggotaannya tidak
hanya keluarga batih. Keanggotaan keluarga luas meliputi mertua (orang tua
suami/isteri), adik dan kakak ipar. Keluarga luas mencakup seluruh anggota
keluarga yang memiliki hubungan kedekatan dengan keluarga batih.
Keluarga dapat didefinisikan hubungan darah daging yang terdiri dari
orang tua (Ibu dan Ayah). Ibu dalam keluarga mempunyai peran penting kepada
anaknya. Menurut Bagus Ibu adalah pembentuk identitas yang penting bagi
perkembangan anak. Hal ini dikarenakan Ibu mempunyai hubungan biologis yang
terikat sebelum anak lahir ke dunia (Ceka dan Murati, 2016:62). Menurut Ceka
dan Murati (2016:63), Ibu memiliki dua peran penting kepada anaknya; peran
pembelaan anak dan perkembangan anak.
Keempat, para ahli ilmu sosial seperti Maclver, Gillin L, dan Gillin P
mengartikan bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang saling
berinteraksi sesuai dengan adat-istiadat tertentu yang telah disepati dan bersifat
tetap (Soelaeman, 1987;26). Interaksi antar anggota masyarakat diatur oleh nilai,
norma, dan prosedur dalam kelompok masyarakatnya. Masyarakat adalah
kumpulan sekelompok orang yang menempati suatu daerah tertentu. Nasution
(1999:152), membagi masyarakat berdasarkan peran nilainya menjadi dua
golongan, yaitu masyarakat pedesaan dan masyarakat kota. Masyarakat pedesaan

6
memegang prinsip yang kuat terhadap nilai-nilai agama, sikap dan prilaku.
Masyarakat pedesaan penduduknya tergolong homogen. Masyarakat perkotaan
memiliki sikap yang lebih heterogen. Kebanyakan penduduknya telah memiliki
intelektual yang baik. masyarakat perkotaan lebih terbuka terhadap budaya dan
kebiasaan baru.
Brookever membagi kajian sosiologi pendidikan menjadi empat kategori
(Adiwikarta, 1988:5). Keempat kategori tersebut, yaitu (a) hubungan pendidikan
dan sosial, (b) hubungan sekolah dan lingkungan, (c) hubungan antara manusia
dalam pendidikan, dan (d) pengaruh sekolah kepada anak didik. Sosiologi
pendidikan secara umum mempunyai dua pengertian. Pertama hubungan antar
masyarakat, interaksi sosial dan pendidikan. Kedua, pendekatan sosiologis kepada
fenomena pendidikan (Damsar, 2015:11).
Wacana pendidikan yang terdapat dalam tetralogi novel Laskar Pelangi
dipengaruhi kehidupan sosial masyarakat Belitung. Berikut ini sinopsis dari
keempat tetralogi novel Laskar Pelangi. Pada novel pertama berjudul Laskar
Pelangi. Pada novel ini bercerita tentang sepuluh siswa SD Muhammadiyah
Gantung. Sepuluh siswa ini disebut juga anak-anak laskar pelangi. Sekolah SD
Muhammadiyah Gantung dilihat dari kondisi bangunannya sudah tidak layak
disebut dengan sekolah. Jumlah guru yang ada di SD Muhammadiyah Gantung
terdiri dari dua orang, yaitu Pak Harfan dan Bu Muslimah. Pak Harfan merupakan
kepala sekolah sekaligus guru di SD Muhammadiyah Gantung. Kemudian Bu
Muslimah adalah guru dari semua mata pelajaran di sekolah. Siswa yang
bersekolah di SD Muhammadiyah Gantung kebanyakan dari kalangan rendahan
dan miskin. Keadaan yang di alami SD Muhammadiyah Gantung, tidak berbeda
dengan sekolah kebanyakan di Belitong. Hanya SD PN timah yang merupakan
sekolah elit. Sekolah yang diisi oleh anak-anak gedongan para penguasa PN
timah. Di SD PN timah fasilitas pendidikan sangat terjamin seperti; perpustakaan,
gedung sekolah, kelas, ekstrakulikuler, dan seragam sekolah.
Pada novel kedua berjudul Sang Pemimpi. Novel ini menceritakan tiga
orang anak muda penuh mimpi. Perjuangan ketiga anak tersebut dimulai ketika
sekolah di SMA. Ketiga anak muda itu bernama Arai, Ikal, dan Jimbron. Ikal dan
Arai termasuk siswa yang pandai, sedangkan Jimbron siswa yang menduduki

7
ranking 78 dari 160 siswa. Arai dan Ikal mempunyai mimpi yang sangat tinggi,
yaitu sekolah di Sorbonne Prancis. Mimpi tersebut timbul karena cerita Pak Balia
yang menceritakan indahnya kota itu. Setelah lulus dari SMA, Ikal kuliah di
universitas Indonesia dan Arai kuliah di universitas Mulawarman. Setelah lulus
kuliah, Ikal dan Arai mengikuti tes beasiswa studi S2 keluar negeri. Pada akhirnya
mereka berdua diterima kuliah di Sorbonne Prancis.
Pada novel ketiga berjudul Edensor. Novel menceritakan Arai dan Ikal
diterima kuliah S2 di Sorbonne. Mereka berdua bertemu dengan mahasiswa dari
negara lain seperti Amerika, Inggris, Jerman, India, Meksiko, Georgia dan tuan
rumah Prancis. Ikal dan Arai kagum dengan sifat dan prilaku beberapa mahasiswa
dari Prancis dan luar negeri. Mahasiswa tersebut mempunyai semangat dalam
menempuh pendidikan di Sorbonne. Selama kuliah di luar negeri Ikal dan Arai
banyak menjumpai berbagai macam sifat dan karakter manusia. Kelas saat mereka
kuliah di Sorbonne disebut sebagai kelas laboraturium prilaku. Pada akhirnya Ikal
dan Arai bersama teman-temannya memutuskan untuk keliling Eropa untuk
menambah pengalaman hidup.
Pada novel keempat berjudul Maryamah Karpov. Novel ini menceritakan
perjuangan Ikal untuk melaksanakan ujian akhir tesis S2 di luar negeri. Ikal pada
saat itu sedang sakit, sehingga mengganggu persiapan ujian tesisnya. Selain itu,
Ikal juga masih memikirkan A Ling, gadis pujaan Ikal dari kecil. Setelah Ikal
sukses menjalankan ujian tesis S2, Ikal segera kembali ke kampung halamannya
di Belitong. Sesudah sampai di Belitong, Ikal langsung mencari keberadaan A
Ling. Selama mencari A Ling, Ikal dikejutkan dengan kabar Arai. Arai
mendapatkan beasiswa untuk studi di luar negeri hingga S3. Setelah mendengar
kabar mendapatkan beasiswa, Arai mengalami kebingungan untuk menerima atau
tidak menerima. Arai pada saat menerima kabar beasiswa, telah menunggu
kedatang Cut Mala pujaan hati Arai dari kecil. Sementara itu, Ikal dan teman-
teman Laskar Pelangi mencari A Ling dengan menaiki perahu buatan Ikal. Pada
akhirnya, Ikal dan teman-teman Laskar Pelanginya berhasil menemukan A Ling
di tempat yang jauh.
Wacana pendidikan yang terdapat dalam tetralogi novel Laskar Pelangi di
sosialisasi oleh agen-agen pendidikan baik di dalam keluarga, sekolah dan

8
budaya. Sosialisasi merupakan proses belajar atau pembelajaran bagi setiap orang
untuk dapat hidup ditengah masyarakat dan mendapatkan kehidupan yang layak
(Idi & Safarina, 2011:100). Kemudian konsep sosialisasi lebih rinci dijelaskan
oleh Damsar. Damsar membagi sosialisasi dalam dua konsep, yaitu sosialisasi
proses dan sosialisasi tujuan. Sosialisasi proses merupakan kegiatan transmisi
pengetahuan, sikap, nilai, norma, dan prilaku essensial. Sosialisasi tujuan
diperlukan agar mampu berperan efektif dalam masyarakat (damsar, 2015:66).
Menurut Damsar (2015:68), sosialisasi berdasarkan keberadaannya
dibedakan menjadi dua, yaitu sosialisasi terencana dan sosialisasi tak terencana.
Sosialisasi terencana dapat ditemukan dalam lembaga pendidikan formal.
Lembaga-lembaga tersebut termasuk, sekolah, universitas, dan lembaga pelatihan.
Segala kegiatan pendidikan dalam sosialisasi terencana telah diukur, dirancang
dan disusun sehingga dapat di evaluasi dalam penerapannya. Sosialisasi tak
terencana dapat ditemukan dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Sosialisasi
tanpa perencanaan dilakukan dengan sikap dan prilaku keteladanan dari orang tua
dan anggota masyarakat.
Wacana pendidikan dalam tetralogi novel Laskar Pelangi disampaikan
melalui proses sosialisasi terencana dan tidak terencana. Sosialisasi terencana
melalui lembaga formal pendidikan seperti, SD Muhammadiyah Gantung, SD PN
timah, sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA),
universitas Indonesia, universitas Mulawarman, dan perguruan tinggi Sorbonne di
Prancis. Sosialisasi tidak terencana melalui contoh sikap, prilaku, keteladanan dari
orang tua dan anggota masyarakat.
Beberapa penelitiaan yang telah dilakukan untuk meneliti novel Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata. Penelitian yang dilakukan Hajarwati (2009) meneliti
tentang pengaruh sosial dan setting dalam novel Laskar Pelangi. Kemudian
penelitian yang dilakukan oleh Herianto (2009) meneliti tentang kehidupan
masyarakat Belitong. Penelitian Imelda (2008) meneliti tentang aspek pendidikan
dalam novel Laskar Pelangi.
Penelitian Kadir (2010) tentang Pandangan Dunia Pengarang terhadap
Pendidikan dan Sosial Budaya dalam Novel Laskar Pelangi. Adapun persamaan
penelitian Kadir dengan penelitian ini dapat dilihat dari dua aspek. Aspek

9
pertama, objek kajian yang diteliti sama-sama novel Laskar Pelangi. Aspek kedua,
fokus kajian yang diteliti sama-sama tentang pendidikan. Adapaun perbedaan
penelitian Kodir dengan penelitian ini dapat dilihat dari dua aspek. Aspek
pertama, penelitian pendidikan yang dilakukan Kodir memfokuskan pada
persoalan keinginan masyarakat, pemerataan pendidikan, dan keikhlasan.
Sedangkan dalam penelitian ini meneliti konstruksi pendidikan yang difokuskan
pada peran keluarga, sekolah, dan budaya terhadap pendidikan tokoh. Aspek
kedua, penelitian yang dilakukan Kodir hanya meneliti satu novel yaitu Laskar
Pelangi. Kemudian dalam penelitian ini meneliti tetralogi novel Laskar Pelangi
yang terdiri dari empatnovel serial.
Penelitian tentang Pertumbuhkembangan Kepribadian Tokoh dalam
Tetralogi Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata yang dilakukan oleh Kustyarini
(2013). Penelitian Kustyarini memusatkan penelitiannya pada aspek motivasi
internal tokoh utama, aturan-aturan yang digunakan dalam tokoh (nilai, etis,
tanggang jawab), pemenuhan kebutuhan tokoh dalam menjalani kehidupan, dan
pertumbuhkembangan kepribadian tokoh. Persamaan penelitian Kustyarini
dengan penelitian ini terletak pada objek kajian tentang tetralogi novel Laskar
Pelangi. Adapun perbedaan penelitian Kustyarini dengan penelitian ini terletak
pada fokus permasalahan. Permasalahan penelitian Kustyarini memfokuskan pada
aspek pertumbuhkembangan tokoh, sedangkan penelitian ini mengkaji konstruksi
pendidikan berdasarkan peran keluarga, sekolah, dan budaya yang mempengaruhi
pendidikan tokoh dalam tetralogi novel Laskar Pelangi.
Penelitian tentang Simbol Verbal Nilai Kependidikan dalam Tetralogi
Laskar Pelangi yang dilakukan oleh Sihyati (2015). Penelitian Sihyati
memfokuskan penelitiannya pada bentuk, makna, dan fungsi simbol verbal nilai
pendidikan. Bentuk, makna, dan fungsi verbal nilai pendidikan dikaitkan dengan
tanggung jawab sesama manusia, lingkungan alam, dan tanggung jawab kepada
tuhan. Adapun persamaan penelitian Sihyati dengan penelitian ini sama-sama
mengkaji pendidikan dalam tetralogi novel Laskar Pelangi. Adapun perbedaan
penelitian Sihyati dengan penelitian ini, yaitu penelitian Sihyati mengkaji bentuk,
makna, dan fungsi nilai bendidikan. Kemudian penelitian ini mengkaji konstruksi

10
pendidikan berdasarkan peran keluarga, sekolah, dan budaya yang mempengaruhi
pendidikan tokoh dalam tetralogi novel Laskar Pelangi.
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan dari uraian konteks penelitian di atas, dalam penelitian ini
terdapat tiga fokus penelitian. Adapun ketiga fokus penelitian tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Konstruksi pendidikan keluarga dalam tetralogi novel Laskar Pelangi
memfokuskan pada empat aspek. Keempat aspek tersebut, yaitu (1) peran
ayah sebagai pemimpin dalam keluarga, (2) peran ibu sebagai pendidik
dalam keluarga, (3) sumber nilai pendidikan dalam keluarga, dan (4) gaya
mendidik anak dalam keluarga.
b. Konstruksi pendidikan sekolah dalam tetralogi novel Laskar Pelangi
memfokuskan pada empat aspek. Keempat aspek tersebut, yaitu (1) tugas
kepala sekolah, (2) fungsi guru di sekolah, (3) sekolah sebagai lembaga
pendidikan, dan (3) perspektif sosio-kultural di sekolah.
c. Konstruksi pendidikan budaya dalam tetralogi novel Laskar Pelangi
memfokuskan pada empat aspek. Keempat aspek tersebut, yaitu (1) tokoh
pendidikan yang mensosialisasikan, (2) cara mensosialisasikan, (3)
pendidikan pada masyarakat pedesaan, dan (4) pendidikan pada
masyarakat perkotaan.
1.3 Manfaat Penelitian
Terdapat dua manfaat dalam penelitian ini. Adapun kedua manfaat
tersebut adalah manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.3.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangsih wawasan
sebagai berikut.
a. Secara teoretis penelitian ini dapat memperkaya bagi kajian bahasa dan
kajian sastra. Sebagai bagian dari ilmu, kajian bahasa dan kajian sastra
tidak bisa lepas dari kajian ilmu lain. Pada penelitian ini kajian bahasa dan
sastra dipadukan dengan kajian sosiologi dan pendidikan.
b. Menambah pemahaman kepustakaan tentang peran keluarga, sekolah dan
budaya terhadap pendidikan yang diungkapkan dalam karya sastra.

11
c. Menambah sumbangan dalam mengaplikasikan kajian teori tentang karya
sastra, bahasa, dan sosiologi pendidikan dalam menganalisis wacana
pendidikan dalam novel.
1.3.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk berbagai
kepentingan sebagai berikut.
a. Bagi guru, penelitian ini dapat dijadikan pandangan dalam melaksanakan
proses pembelajaran di sekolah. Kesuksesan dalam pendidikan
dipengaruhi oleh peran keluarga, sekolah, dan budaya. Selain itu, dapat
menambah wawasan tentang bahasa, sastra, dan sosiologi pendidikan.
b. Bagi kritikus sastra, penelitian ini berguna menambah wawasan tentang
kritik kesastraan khususnya berkaitan dengan kajian bahasa, sosiologi, dan
pendidikan.
c. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk melakukan
pengembangan dalam melakukan penelitian lajutan khusunya tentang
kajian sastra interdisipliner.
1.4 Landasan Teori
Pada bagian ini akan dipaparkan landasan teori yang digunakan dalam
penelitian. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu (a) teori
konstruksi, (b) kontruksi pendidikan, (c) novel sebagai wacana pendidikan, (d)
wacana identitas pendidikan dalam novel, (e) konstruksi pendidikan keluarga, (f)
konstruksi pendidikan sekolah, dan (g) konstruksi pendidikan budaya.
1.4.1 Teori Konstruksi
Teori konstruksi merupakan salah satu karya fenomenal dari Berger dan
Luckmann. Teori konstruksi sosial memandang bahwa kenyataan dibangun secara
sosial. Istilah kunci untuk memahami teori Berger dan Luckmaan yaitu keyataan
dan pengetahuan. Kenyataan merupakan fenomena-fenomena realitas yang telah
diakui keberadaanya. Oleh karena itu, keberadannya tidak bersifat subjektif
melainkan objektif. Kemudian pengetahuan merupakan kepastian bahwa
fenomena realitas itu nyata dan bersifat spesifik (Manuaba, 2008;221).
Menurut Berger dan Luckmann (2013:30), terdapat kenyataan utama
diantara kenyataan yang ada di masyarakat. Kenyataan utama yang dimaksud

12
adalah kenyataan par excellence, yaitu kenyataan yang menampilkan diri sebagai
kenyataan. Kenyataan diri merujuk pada kehadiran “diri sendiri, sekarang, dan di
sini”. Lebih lanjut Berger dan Luckmann (2013:31), mengatakan bahwa
kenyataan tidak selalu merujuk pada kehadiran “sekarang dan di sini”, ia dapat
merujuk pada fenomena-fenomena yang tidak hadir “di sini dan sekarang”
Pada tetralogi novel Laskar Pelangi kenyataan hidup yang diungkapkan
dalam kehidupan sehari-hari bagitu natural. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam
novel saling berinteraksi satu dengan yang lain dalam masyarakat. Kehidupan
tokoh Laskar Pelangi juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal merujuk pada keinginan diri tokoh dalam menjalani kehidupan di
masyarakat. Kemudian faktor eksternal di pengaruhi oleh aturan kebudayaan yang
ditetapkan di masyarakat.
Teori konstruksi sosial merupakan wacana ilmu interdisipliner. Realitas
kehidupan manusia diatur dan dipengaruhi oleh budaya dan sosial masyarakat
(Santos, 2015;1). Realitas yang dimaksud dipengaruhi oleh hubungan interaksi
sosial, prilaku sosial, gagasan tentang gender, dan seksualitas. Pendekatan
konstruksi sosial mengkaji peran teori sosiologi, antropologi, filsuf, biologi, dan
sejarawan (Santos, 2015;1). Semua teori tersebut digunakan untuk mengkaji
realitas kehidupan manusia di masyarakat.
Objek kajian konstruksi sosiologi pengetahuan terdiri dari dua. Pertama,
realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kedua, proses-proses
pengetahuan yang terjadi sebagai bentuk dari kenyataan. Pada pandangan
sosiologi pengetahuan realitas yang terjadi di masyarakat merupakan pengetahuan
dan proses melahirkan pengetahuan.
Teori sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann dikembangkan dari
realitas kehidupan dunia sehari-hari dalam masyarakat. Bagi Berger dan Luckman
(2013:32), kehidupan sehari-hari merupakan realitas sebenarnya dari kehidupan
masyarakat. Manusia menafsirkan kehidupan sehari-hari berdasarkan realitas yang
terjadi di masyarakat. Adapun alasan memilih kehidupan sehari-hari sebagai objek
kajian sosiologi pengetahuan, karena kehidupan masyarakat sehari-hari telah
nyata terjadi dan tidak memerlukan verifikasi (Berger dan Luckmann, 2013:33).

13
Wacana pendidikan yang ditampilkan dalam tetralog novel Laskar Pelangi
melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal. Wacana pendidikan dibangun
melalui interaksi sosial kehidupan di masyarakat. Artinya terjadi interaksi sosial
dalam proses sosialisasi wacana pendidikan di lembaga formal dan nonformal.
Interaksi di lembaga formal melibatkan guru, kepala sekolah, dan peserta didik.
Kemudian interaksi di lembaga nonformal melibakan keluarga, masyarakat dan
kebudayaan. Bila dilihat dari aspek kebudayaan baik lembaga pendidikan formal
dan nonformal merupakan bagian dari interaksi sosial dan kemasyarakatan.
Berger dan Luckman memandang kehidupan masyarakat sehari-hari tidak
hanya bersifat relitas atau nyata, melainkan juga bermakna. Poettcker (2015:83),
menyatakan bahwa kehidupan dapat bermakna bila manusia bersikap subjektif
dan objektif. Menurut Berger dan Luckmann (2013;21), dasar sosiologi
pengetahuan adalah suatu realitas atau kenyataan yang memiliki dasar dan bersifat
objektif. Pengobjektivan sosiologi pengetahun dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari berawal dari kebermaknaan subjektif manusia terhadap realitas.
Kehidupan masyarakat terdiri dari realitas subjektif dan objektif (Berger
dan Luckmann 1990:67). Pada pandangan subjektif individu memposisikan
dirinya berada dalam masyarakat. Setiap individu tidak pernah lepas dari
kehidupan masyarakat sehari-hari. Kemudian dalam pandangan objektif, individu
berada di luar dirinya dan berhadapan dengannya. Dengan berada diluar
pandangan individu, maka akan lebih objektif dalam menilai kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Lebih lanjut Berger dan Luckmann (1990:30), mengatakan bahwa proses
pengobjektivan manusia terhadap realitas berlangsung secara sadar. Konsep
kesadaran merujuk pada pandangan manusia terhadap objek yang diamati dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat, berdasarkan fenomena yang benar-benar
terjadi di masyarakat. Fenomena-fenomena tersebut sifatnya telah tertata dan
berlangsung lama dalam masyarakat.
1.4.2 Kontruksi Pendidikan
Konstruksi pendidikan dalam penelitian ini menganalisis peran lembaga
pendidikan formal dan peran pendidikan nonformal. Konstruksi pendidikan dalam
penelitian ini, dilihat dari peran keluarga, sekolah dan budaya. Keluarga, sekolah

14
dan budaya memiliki peran yang penting dalam pendidikan anak. Aspek keluarga,
sekolah dan budaya dalam penelitian ini ditinjau dari teori sosiologi pendidikan.
Sosiologi pendidikan merupakan gabungan ilmu sosial dan ilmu
pendidikan. Sosiologi Pendidikan memandang pendidikan sebagai bagian dari
fenomena sosial. Sebagai fenomena sosial, sosiologi pendidikan bertujuan untuk
menyelesaikan berbagai masalah praktis yang berkaitan dengan sosial dan
pendidikan (Swift, 1989:3). Sosiologi pendidikan dapat dilihat dari tingkat makro
dan mikro (Robinson, 1986:37). Adapun yang dimaksud tingkat makro dan mikro
mengkaji hubungan lembaga pendidikan dan masyarakat (Saha, 2008:300). Pada
tingkat makro, sosiologi pendidikan dilihat dari aspek ekonomi, struktur
kesempatan, dan aspek politik. Kemudian tingkat mikro sosiologi pendidikan
memusatkan pada aspek peserta didik dan guru.
Sosiologi pendidikan menurut pandangan Durkheim merupakan bagian
dari sistem yang mentransmisikan sosial masyarakat dan budaya kepada generasi
baru. Kemudian Marx dan Weber mengembangkan pendekatan multidimensional.
Pendekatan ini menggabungakan struktur, agen manusia, material, dan norma-
norma menjadi konsep dalam sosiologi pendidikan. Sosiologi pendidikan
memandang pendidikan sebagai bagian dari reproduksi sosial masyarakat dan
budaya (Dworkin, 2013:2).
Sosiologi pendidikan menurut Idi & Safarina (2011:25), membicarakan
lima aspek. Kelima aspek tersebut, yaitu (a) kelas, (b) sekolah, (c) keluarga, (d)
masyarakat desa, dan (e) kelompok masyarakat. Sosiologi pendidikan secara
umum mempunyai dua pengertian. Pertama hubungan antar masyarakat, interaksi
sosial dan pendidikan. Kedua, pendekatan sosiologis kepada fenomena pendidikan
(Damsar, 2015:11).
Menurut Nasution (1999;2) sosiologi pendidikan memiliki tujuh tujuan.
Ketujuah tujuan tersebut, yaitu (a) proses sosialisasi, (b) pendidikan dalam
masyarakat, (c) interaksi sosial di sekolah dan sekolah dengan masyarakat, (d)
kemajuan dan perkembangan sosial, (e) dasar merumuskan tujuan pendidikan, (f)
sosiologi terapan, dan (g) latihan untuk pegawai pendidikan.
Berdasarkan teori sosiologi pendidikan yang dijabarkan di atas, wacana
pendidikan dalam tetralogi novel Laskar Pelangi melibatkan lembaga pendidikan

15
formal. Lembaga pendidikan formal yang dimaksud adalah sekolah. Sekolah
dalam tetralogi novel Laskar Pelangi disebutkan mulai dari lembaga SD, SMP,
SMA dan Universitas. Keberhasilan lembaga pendidikan formal dalam Tetralogi
Laskar Pelangi dipengaruhi oleh pendidikan nonformal. Pandidikan nonformal
yang dimaksud adalah peran keluarga dalam pendidikan. Keluarga menjadi kunci
utama bagi anak-anak Laskar Pelangi dalam memperoleh pendidikan. Anak-anak
Laskar Pelangi memperoleh pendidikan pertama kali dalam keluarga. Ayah dan
ibu merupakan guru pertama yang mendidik dan mengajar anak-anak Laskar
Pelangi.
Selain sekolah dan keluarga, juga terdapat faktor budaya yang berperan
dalam pendidikan. Faktor budaya yang dinyakini masyarakat berperan dalam
membentuk dan mendukung anak-anak dalam pendidikan. Nilai-nilai budaya di
masyarakat dapat membentuk sikap dan prilaku anak-anak. Peran budaya tidak
hanya sebagai pembentuk, melainkan juga aplikasi dari pendidikan. Anak-anak
yang telah memperoleh pendidikan seharusnya dapat memiliki sikap, prilaku,
pengetahuan, dan komunikasi yang dapat diterima dalam kehidupan di
masyarakat.
Pendidikan yang disampaikan dalam lembaga formal dan nonformal
memerlukan proses sosialisasi. Sosialisasi merupakan proses transfer
pengetahuan, nilai, sikap, moral, prilaku dan agama. Proses sosialisasi,
memerlukan agen untuk sosialisasi pengetahuan pendidikan, nilai, sikap, moral,
prilaku dan agama. Menurut Damsar (2015:70), terdapat tujuh agen sosialisasi,
yaitu (1) keluarga, (2) sekolah, (3) kelompok teman sebaya, (4) media massa, (5)
agama, (6) lingkungan tempat tinggal, dan (7) tempat kerja.
1.4.3 Novel Sebagai Wacana Pendidikan
Novel dapat berperan sebagai fungsi sosial. Novel membahas dan
menampakkan masalah sosial-masyarakat seperti norma, tradisi, simbol, dan
mitos (Wellek dan Warren, 2016:109). Wacana pendidikan merupakan salah satu
masalah sosial yang dapat diangkat dan diungkapkan dalam novel. Persoalan
pendidikan yang dibahas dalam novel dapat membentuk suatu perspektif dan
sudut pandang kepada pembaca. Pembaca dibentuk melalui proses pemahaman
pesan yang terkandung dalam novel. Pesan yang disampaikan pengarang secara

16
langsung dan tidak langsung dipahami pembaca dan membentuk sudut pandang
bagi pembaca.
Novel atau roman merupakan salah satu bentuk prosa yang mengandung
sebuah cerita. Novel lebih cenderung menunjukkan sifat atau watak dari tokoh-
tokohnya (Nurgiyantoro, 2010:10). Novel merupakan sebuah prosa yang
menampilkan isi cerita paling lengkap. Masalah yang terdapat dalam cerita novel
mengandung ke kompleksitasan ide (Teeuw (1984:67). Ide, sifat, dan watak
dalam novel terikat dengan unsur-unsur pembentuk dalam novel. Kemudian unsur
pembentuk dalam novel disampaikan melalui bahasa (Sumardjo, 1999).
Novel dan wacana pendidikan mempunyai hubungan satu dengan lainnya.
Wacana pendidikan yang terdapat dalam novel disampaikan melalui alur,
peristiwa dan konflik yang terjadi pada tokoh. Hubungan novel dan wacana
pendidikan dapat dilihat dari novel yang berjudul Tuan Guru. Wacana pendidikan
yang dibangun dalam novel Tuan Guru adalah pendidikan religius. Tuan guru
dalam novel dijadikan sebagai model ideal dalam pendidikan religius. Masyarakat
menganggap tuan guru sebagai kunci atau jalan menuju surga. Bahkan masyarakat
menyakini doa yang dititipkan melalui tuan guru lebih cepat dikabulkan. Selain
novel Tuan Guru juga terdapat novel Negeri 5 Menara. Pada novel Negeri 5
Menara wacana pendidikan dibangun berdasarkan pendidikan pesantren.
Pendidikan pesantren yang diangkat dalam novel tidak hanya mengajarkan nilai
pendidikan religius. Di pesantren pendidikan telah diajarkan mengenai
pengetahuan modern seperti yang diajarkan di sekolah umum.
Hubungan sastra dan pendidikan dapat diterapkan dalam pembelajaran.
Menurut Coles, Klob & Burner (dalam Marek, 2006:146), menggunakan sastra
dalam proses pembelajaran jauh lebih efektif. Penggunaaan intuisi dan imajinatif
membantu dalam proses penemuan sains dalam pembelajaran, khususnya untuk
peserta didik penyandang kebutuhan khusus. Selain itu, penggunaan teks sastra
dalam pembelajaran dapat membantu proses pemahaman terhadap siswa
berkebutuhan khusus (Morrison dan Rude, 2002;114).
Selain yang dipaparkan di atas, pembelajaran sastra dapat berpengaruh
terhadap kemampuan belajar bahasa Inggris untuk siswa sekolah menengah di
Negeria (Ihejirika, 2014:86). Pemisahan metode pembelajaran sastra dengan

17
pembelajaran bahasa dapat mengancam kegagalan pembelajaran pemerolehan
bahasa Inggris. Padahal metode pembelajaran sastra dapat meningkatkan
presentase keberhasilan pembelajaran bahasa kedua khususnya di sekolah
menengah di negara Negeria.
Siswanto (2013;153), mengatakan bahwa hubungan sastra dan pendidikan
setidaknya dapat dilihat dari tiga perspektif. Ketiga perspektif tersebut, yaitu (a)
pendidikan tentang sastra, (b) pendidikan sastra, dan (c) pendidikan melalui sastra.
Pendidikan tentang sastra menekankan pada aspek apresiasi sastra. Sedangkan
pendidikan sastra adalah meningkatkan kemampuan apresiasi sastra. Pendidikan
sastra merupakan lanjutan dari pendidikan tentang sastra. Kemudian pendidikan
melalui sastra bertujuan untuk memanfaatkan karya sastra dalam kehidupan;
moral, prilaku, berbahasa, menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia.
Wacana pendidikan yang terdapat dalam karya sastra disampaikan oleh
penulis melalui kisah, dialog, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam novel.
Hubungan wacana dan novel dapat dilihat dari pandangan penulis terhadap suatu
objek sosial. Pengalaman yang dimiliki pengarang diekspresikan secara langsung
ke dalam bahasa dengan menggunakan pernyataan yang logis (Eriyanto, 2011:4).
Bahasa yang disampaikan pengarang melalui karya sastra dipilih
pengarang untuk menyampaikan ideologi tertentu (Eriyanto 2005;15). Penulis
teks (pengarang) akan menyampaikan pemikiran ideologinya malalui kosakata,
gramatikal, dan struktur teks (Santoso, 2012:140). Makna suatu teks tidak terlepas
dari penulis teks (pengarang). Oleh karena itu, ideologi pengarang tersimpan
dalam ungkapan kebahasaan yang digunakan oleh penulis teks (pengarang).
Fitur bahasa yang dapat digunakan pengarang untuk mengungkapkan
ideologi dalam teks adalah (a) leksikal, (b) ketransittifan, (c) piranti sintaksis, (d)
modalitas, (e) tindak ujaran, (f) implikatur, (g) gilir tutur, (h) sapaan, dan (i)
fonologi (Fowler dalam Santoso, 2006:47).
1.4.4 Wacana Identitas Pendidikan dalam Novel
Identitas memiliki definisi yang unik. Identitas berkaitan dengan
kepentingan diri, kelompok sosial, kelompok politik dan kelompok-kelompok
tertentu (Sinaga, 2004:5). Identitas secara umum memiliki dua pengertian.
Pertama, pengertian identitas yang diakaitkan dengan fenomena sosial. Kedua,

18
pengertian identitas yang dikaitkan dengan identitas politik (Machsum, 2013;409).
Identitas tidak bisa dilepaskan dari sosial dan kemanusiaan. Identitas dibangun
melalui interaksi antar manusia dengan sosial-kemasyarakatan. Suatu identitas
menjadi penanda dan pembeda dari kelompok.
Sebagai bagian dari interaksi sosial, identitas sering merepresentasikan jati
diri dan memungkinkan terjadinya resistensi terhadap pihak yang kuat atau
dominan. Oleh karena itu, persoalan identitas lebih menjadi persoalan routes
daripada roots (Sinaga, 2004:6). Dengan demikian persoalan identitas dan wacana
bersifat sementara. Identitas merupakan titik yang belum baku yang telah
diidentifikasi dalam wacana sosial dan kebudayaan (Sinaga, 2004:5).
Menurut pandangan McMohan identitas tidak hanya persoalan
merepresentasikan jati diri. Identitas menampatkan jati diri ke dalam interaksi
sosial. Identitas bertransaksi dalam interaksi sosial melalui pengakuan dan
penempatan. Konsep pengakuan merupakan identitas yang dapat dikleim bagi diri
seseorang. Kemudian penempatan merupakan identitas yang dipahami oleh orang
lain. Identitas dalam interaksi sosial merupakan gabungan dari konsep
penempatan dan pengakuan (Mapiare, 2009:18).
Menurut Norton (1997) suatu identitas dibangun melalui suatu hubungan.
Identitas merupakan cara seseorang memahami hubungannya dengan sosial dan
masyarakat (Almeciga, 2012:48). Pada dasarnya seseorang berhubungan melalui
interaksi sosial dan masyarakat melalui banyak faktor, salah satunya melalui
hubungan kebahasaan. Bahasa sebagai identitas merujuk pada penggunaan
keahlian bahasa, afiliasi bahasa, dan warisan bahasa (Blok, 2007).
Maksud dari keahlian bahasa merujuk pada kemahiran berbahasa,
penggunaan dialek bahasa, dan sosiodialek bahasa. Sedangkan konsep afiliasi
merujuk pada penggunaan dialek bahasa dan dialek sosial. Kemudian yang
terakhir adalah warisan bahasa. Konsep warisan bahasa adalah suatu bahasa yang
diperoleh melalui warisan keluarga dan warisan kelompok. Warisan bahasa
tersebut mempunyai penggunaan dialek bahasa dan dialek sosial yang khas.
Bucholtz dan Hall memberikan penjelasan lebih detail tentang bahasa dan
identitas. Bucholtz dan Hall menggunakan istilah “kesamaan” dan “perbedaan”.
Guna melihat kesamaan identitas dengan suatu kelompok. Setiap individu diminta

19
mencatat kemungkinan yang membuat meraka memiliki kesamaan dalam satu
kelompok. Kemudian perbedaan adalah penanda jarak yang membuat mereka
berbeda dari kelompok. Guna mengatur kesamaan dan perbedaan mereka
menggunakan konsep tanda. Konsep tanda memungkinkan seseorang memahami
kesamaan dan perbedaan (Almeciga, 2012:48).
Hubungan wacana identitas dan pendidikan dapat dilihat dalam penelitian
Almeciga (2012:51). Di Colombia wacana identitas pendidikan digunakan untuk
meningkatkan kompetensi pembelajaran bahasa Inggris. Dengan menggunakan
indikator bahasa dan identitas, dapat memperoleh model pembelajaran yang baik,
khususnya pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Wacana identitas
pendidikan juga terdapat dalam tetralogi novel Laskar Pelangi. Tokoh yang
terdapat dalam tetralogi novel Laskar Pelangi membentuk identitas baru khusunya
tentang pendidikan.
Kajian wacana identitas dalam novel merupakan kajian penting. Karya
sastra (novel) mengungkapkan masalah sosial yang ada di masyarakat. Pengarang
menggunakan media bahasa untuk menyampaikan gagasan dan ide-idenya ke
dalam karya sastra (novel). Gagasan dan ide yang dimiliki pengarang disampaikan
melalui alur, setting, tokoh dan konflik. Masalah sosial di masyarakat
disampaikan oleh pengarang ke dalam novel melalui alur, setting, tokoh dan
konflik. Tokoh-tokoh tersebut melakukan hubungan interaksi satu dengan lainnya
sehingga dapat membentuk wacana identitas. Bentuk wacana identitas dalam
tetralogi novel Laskar Pelangi berkaitan dengan wacana pendidikan. Wacana
pendidikan dalam novel diangkat dengan tujuan memberikan pesan dan
membentuk pandangan baru tentang pendidikan kepada pembaca.
Pada karya sastra wacana identitas pendidikan dapat diperoleh dalam
kegiatan membaca. Menurut Tarigan (1995:7), membaca adalah proses untuk
memperoleh pesan dari penulis atau pengarang. Dengan memperoleh pesan
melalui proses membaca, diharapkan dapat memetik dan memahami makna yang
terkandung di dalamnya (Somadyo, 2011:1). Melalui proses pemaknaan pesan
ketika membaca, karya sastra mempengaruhi pandangan, pola pikir, prinsip, dan
prilaku para pembacanya.
1.4.5 Konstruksi Pendidikan Keluarga

20
Keluarga dapat didefinisikan hubungan darah daging yang terdiri dari
orang tua dan anak. Menurut Frank dan Sydney (1982:264), secara sederhana
keluarga didefinisikan dengan ikatan dua orang atau lebih yang terikat hubungan
darah atau perkawinan. Keluarga merupakan satu kesatuan terkecil dalam
kehidupan sosial (Soelaeman, 2001:115). Definisi keluarga dapat disebut keluarga
fatih dan keluarga luas (Horton dan Hunt, 1999:269).
Pada tetralogi novel Laskar Pelangi ikatan keluarga juga dibangun
berdasarkan hubungan darah daging. Unit-unit keluarga yang ditampilkan dalam
novel memiliki karakteristik yang beraneka ragam. Misalnya keluarga A ling yang
ditampilkan sebagai keluarga keturunan Tionghoa yang berprofesi sebagai
pedagang. Keluarga Arai yang ditampilkan menjadi keluarga miskin yang bekerja
sebagai nelayan. Kemudian keluarga Ikal ditampilkan sebagai keluarga miskin
yang bekerja sebagai buruh timah.
Hubungan kelurga Ikal tidak hanya dibangun berdasarkan ikatan darah
daging, melainkan juga dibangun berdasarkan kekerabatan. Arai yang tidak
mempunyai hubungan darah dengan Ikal dan orangtunya diangkat menjadi bagian
keluarga. Diangkatnya Arai menjadi bagian dari keluarga Ikal bemula pada saat
orang tua Arai meninggal saat bekerja. Meskipun sebagai anak angkat, Arai
mendapatkan perlakuan yang sama dengan Ikal di dalam keluarga.
Keluarga sebagai sistem sosial memiliki subsistem di dalamnya.
Subsistem sosial dalam keluarga memiliki keterkaitan dengan unit-unit subsistem
(Adiwikarta, 1988:68). Unit dalam keluarga terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anak.
Kualitas keluarga dipengaruhi oleh hubungan unit-unit keluarga. Kualitas
interaksi antara ayah dengan anak, ibu dengan anak, dan anak dengan anak
dipengaruhi oleh kualitas interaksi ayah dengan ibu. Pola interaksi yang baik
antara ayah dan ibu akan membuat interaksi yang baik terhadap ayah dengan anak
dan ibu dengan anak.
Kemudian pola interaksi yang baik antara orang tua dengan anak akan
berdampak pada interaksi yang baik antara anak dengan anak. Keluarga yang
memiliki interaksi yang baik antar unit-unit keluarga dapat mendukung proses
pendidikan anak. Kolaborasi keluarga dan sekolah memberikan kontribusi yang

21
penting dalam pembelajaran dan perkembangan interaksi sosial anak (Garbacz
dan Sheridan, 2011).
Pola interaksi yang terjadi dalam keluarga Arai dan Ikal berjalan dengan
baik. Ayah dalam keluarga berperan sebagai pemimpin dan pencari nafkah. Selain
itu, ayah dalam keluarga memberi contoh dan memberi semangat kepada anak-
anaknya. Ibu dalam keluarga menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Ibu juga
menjadi guru dalam bersikap dan berprilaku di masyarakat. Nilai-nilai yang
ditanamkan oleh kedua orang tua menjadi bekal bagi Ikal dan Arai dalam
mewujudkan mimpi agar dapat kuliah di Prancis.
Ibu adalah pembentuk identitas yang penting bagi perkembangan anak.
Hal ini dikarenakan Ibu mempunyai hubungan biologis yang terikat sebelum anak
lahir ke dunia (Ceka dan murati, 2016:62). Menurut Ceka dan Murati (2016:63),
Ibu memiliki dua peran penting kepada anaknya; peran pembelaan anak dan
perkembangan anak. Ayah dalam keluarga mempunyai peran yang sangat penting.
Ayah dalam keluarga berperan sebagai pimpinan keluarga. Sebagai pimpinan
keluarga, ayah akan menjadi contoh bagi seluruh unit keluarga. Dalam memimpin
keluarga, ayah harus menghadirkan suasana yang aman dan nyaman. Suasanan
aman dan nyaman dalam keluarga akan menguntungkan bagi anak-anaknya (Ceka
dan Murati, 2016:63).
Costantine mengatakan pengaruh peran ibu untuk pendidikan lebih besar
daripada peran ayah. Ibu lebih siap mengambil peran pendidikan terhadap anak-
anaknya. Kualitas pendidikan ibu mempengaruhi perkembangan kognitif anak
(Jackson, Kiernan, dan McLanahan, 2017). Seorang ayah lebih berperan Memberi
kekuatan atau motivasi dan menantang anaknya melakukan kegiatan lebih baik
(Ceka dan Murati, 2016;63).
Isu penting dalam keluarga terkait perannya dalam pendidikan adalah cara
mendidik anak. Terdapat tiga gaya dalam mendidik anak dalam keluarga menurut
(Adiwikarta, 1988:73). Ketiga gaya tersebut, yaitu (a) otoriter, (b) kontinuum, dan
(c) moderat. Gaya otoriter lebih cenderung tidak memberikan kebebasan kepada
anak. Orang tua menjadi pedoman yang harus ditaati oleh anaknya. Sikap, prilaku,
dan cara berpikir anak harus mengikuti orang tuanya. Pada gaya otoriter ini, anak
cenderung tertekan dan tidak memiliki kebebasan.

22
Gaya kontinuum cendurung memberikan kebebasan penuh kepada anak.
Orang tua pada gaya mendidik ini mengikuti semua kehendak anak. semua sikap,
prilaku, dan cara berpikir anak diikuti oleh orang tuanya. Gaya kontinuum
cenderung memanjakan anaknya. Dampak negatifnya, tidak ada kontrol moral dan
nilai dalam keluarga pada diri anak. Kemudian gaya moderat cenderung
memberikan contoh, petunjuk, kesempatan, pujian, dan larangan kepada anaknya.
Mendidik anak pada gaya ini memberikan kebebasan sekaligus memberikan
kontrol.
Selain yang dipaparkan di atas, keluarga dapat menjadi sumber
mentransfer nilai, sikap, dan norma (Mifflen dan Mifflen, 1982; 268). Nilai
merupakan kepercayaan yang telah diyakini. Nilai merupakan sikap dari penilaian
suatu objek yang telah disepakati perorangan atau masyarakat. Konsep nilai dalam
perkembangannya dibagi menjadi dua. Kedua konsep tersebut, yaitu pengakuan
nilai dan pembentukan nilai (Mifflen dan Mifflen, 1982; 282). Pengakuan nilai
lebih mengarah pada ranah aplikasi. Anak-anak belajar pengakuan nilai dari orang
tua dan lingkungan sekitarnya. Seorang anak dapat membela nilai baik, buruk, dan
jahat karena orang tua telah mengatakan dan mengajarkan kepadanya.
Pembentukan nilai lebih mengarah pada proses perkembangan nilai. Seseorang
yang telah memahami nilai-nilai yang dianut dengan orang lain dan memahami
akibat ketika mendukung suatu nilai, pada akhirnya memilih untuk mendukung
atau tidak mendukungnya. Nilai-nilai yang dapat diajarkan dalam keluarga, yaitu
nilai religius, moral, kebenaran, dan keindahan.
Nilai religius merupakan nilai yang bersumber dari ajaran agama. Melalui
penanaman nilai religius diharapkan dapat mengubah prilaku dan tindakan
manusia (Rifa’i, 2016:120). Sementara itu, Muhaimin (2009:111), menjelaskan
bahwa akhlak yang mulia merupakan salah satu dari implementasi nilai religius.
Penanaman nilai-nilai religius dalam kehidupan bermasyarakat akan memberikan
dampak bagi nilai moral suatu masyarakat.
Nilai moral merupakan tolak ukur dari baik tidaknya manusia. Manusia
dapat dipandang sebagai manusia bila memiliki nilai moral yang baik (Suseno,
1987:19). Sementara Bartenz (2007:4) mendefinisikan moral sebagai bagian dari
kebiasaan dan adat yang telah disepakati di masyarakat. Nilai moral perlu

23
disosialisasikan kepada generasi muda. Proses sosialisasi perlu didukung oleh
lingkungan sosial yang baik agar nilai moral tertanam dan diaplikasikan dalam
kehidupan masyarakat (Budiningsih, 2008:7).
Membicarakan nilai keindahan maka tidak lepas dari estetika. Istilah
estetika mempunyai hubungan yang erat dengan konsep Yunani. Konsep nilai
keindahan dapat didefinisikan secara sempit dan luas (Kartika dan Perwira,
2004:3). Pada pengertian sempit nilai keindahan hanya tertuju pada benda yang
dapat dilihat dan pada warna. Kemudian secara luas pengertian keindahan dapat
merujuk pada watak, hukum, dan kebiasaan. Istilah estetika juga dapat dikaitkan
dengan seniman, proses penciptaan seni dan karya seni (Kartika dan Perwira,
2004).
1.4.6 Konstruksi Pendidikan Sekolah
Sekolah diartikan sebagai lembaga formal pendidikan. Sebagai lembaga
pendidikan formal, sekolah dipercaya masyarakat sebagai tempat menuntut ilmu.
Sekolah dilihat dari konsep maknanya memiliki tiga pandangan. Ketiga konsep
makna tersebut memiliki hubungan satu dengan lainnya (Adiwikarta, 1988:85).
Ketiga makna tersebut, yaitu (a) sekolah sebagai suatu tempat, (b) sekolah suatu
proses belajar, dan (c) sekolah sebagai suatu organisasi. Ketiga pengertian yang
dijelaskan Adiwikarta saling berhubungan, karena proses belajar akan
berlangsung bila terdapat sebuah tempat atau bangunan yang mempunyai struktur
dan tujuan tertentu.
Sekolah sebagai suatu bangunan atau tempat dipandang sebagai bentuk
dari lingkungan fisik dan perlengkapan untuk menyelenggarakan pendidikan.
Sekolah dalam makna yang pertama berarti sarana dan prasarana atau fasilitas
dalam menyelenggarakan pendidikan. Sarana yang dibutuhkan oleh sekolah dapat
diidentifikasi menjadi empat kategori, yaitu (1) bangunan sekolah, (2) lahan, (3)
ruangan sekolah, (4) perabot, dan (5) alat dan media pendidikan.
Pertama, Bangunan sekolah yang dimaksud adalah wujud keseluruhan
gedung sekolah. Kedua, lahan yang dimaksud adalah tempat untuk mendirikan
sekolah. Lahan sekolah mempunyai dua fungsi, yaitu lahan kegiatan praktek dan
lahan pengembangan. Ketiga, ruangan sekolah digunakan sebagai pusat dari
aktivitas belajar dan mengajar. Ruangan di sekolah dilihat dari fungsinya dibagi

24
menjadi tiga, yaitu (1) ruang pendidikan, (2) ruangan administrasi, dan (c)
ruangan penunjang. Ruang pendidikan dapat dikalsifikasi sebagai barikut; (a)
ruangan kelas, (b) ruangan perpustakaan, (c) ruangan laboraturium, dan (d)
ruangan kesenian. Kemudian ruangan administrasi dapat diklasifikasi sebagai
berikut; (a) ruangan kepala sekolah, (b) ruangan guru, (c) ruangan tata usaha, dan
(d) gudang. Ruangan yang terakhir adalah ruangan penunjang. Ruangan
penunjang dapat dikalsifikasi sebagai berikut; (a) ruangan ibadah, (b) ruangan
serbaguna, (c) ruangan UKS, (d) ruangan OSIS, dan (e) ruangan kamar mandi.
Keempat, perabot disekolah digunakan untuk mendukung seluruh kegiatan
di sekolah. Perebot diihat dari fungsinya dibagi menjadi tiga. Ketiga fungsi
perabot, yaitu (a) pendidikan, (b) administrasi, dan (c) penunjang. Perabot
pendidikan yang dimasud adalah segala bentuk barang yang berkaitan dengan
proses pembelajaran di kelas. Perabot administrasi yang dimaksud adalah segala
barang yang dapat mendukung keperluan kantor. Kemudian perabot penunjang
segala barang yang dibutuhkan di perpustakaan, OSIS, dan UKS. Kelima, alat dan
media pendidikan yang digunakan dalam proses pembelajaran. Adapun yang
dibutuhkan adalah buku dan alat peraga yang dapat digunakan dalam proses
pembelajaran.
Sekolah sebagai pusat kegiatan belajar berkaitan dengan peran struktur
organisasi. Struktur organisasi yang terlibat dalam kegiatan belajar adalah guru
dan kepala sekolah. Guru mempunyai peran sentral dalam kegiatan pembelajaran
di sekolah. Pada kasus tertentu, kepala sekolah dapat berperan sebagai pendidik
(guru). Sekolah sebagai suatu organisasi berarti melihat sekolah sebagai struktur
yang terdiri dari orang-orang yang memiliki tugas tertentu (Adiwikarta,1988:85).
Kepala sekolah, guru, pegawai, pesuruh, dan siswa merupakan struktur material
yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing (Nasution, 1999:72).
Berdasarkan dari pembagian peran kepala sekolah mempunyai peran yang
paling tinggi dari struktur organisasi sekolah. Kepala sekolah dalam struktur
sekolah memiliki empat tugas (Nasution, 1999:76). Ketujuh tugas kepala sekolah
dipaparkan sebagai berikut; (1) kepala sekolah merupakan perantara atasan
pendidikan (mentri pendidikan dan kanwil) dengan guru, (2) kepala sekolah
sebagai konsultan yang memberikan nasehat, dan saran pada guru, (3) kepala

25
sekolah harus mampu memberi pimpinan tentang sekolah ketika berhadapan
dengan murid, guru, pegawai, dan sosial masyarakat, dan (4) kepala sekolah juga
dapat berfungsi menjadi seorang guru, dan pegawai administrasi di sekolah kecil
dan terpencil.
Peran guru di sekolah berkaitan dengan proses pendidikan memiliki peran
yang sangat penting. Guru berperan sebagai pendidik dan pengajar di sekolah
(Nasution, 1999:91). Dilihat dari fungsi perannya seorang guru memili fungsi
manifes dan fungsi laten (Damsar, 2015:156). Fungsi manifes adalah tindakan
yang diharapkan dapat dilakukan oleh guru telah disadari oleh masyarakat.
Kemudian fungsi laten adalah tindakan yang tidak diharapkan dilakukan oleh
seorang guru.
Fungsi manifes dan laten menurut (Damsar, 2015:156), dikelompokkan
menjadi tiga. Ketiga kelompok fungsi manifes, yaitu (a) guru sebagai pengajar,
(b) guru sebagai pendidik, dan (c) guru sebagai teladan. Kemudian ketiga fungsi
laten, yaitu (a) guru sebagai pelabel, (b) guru sebagai penyambung dari kelas
menengah atas, dan (c) guru sebagai pengekal status quo.
Guru sebagai fungsi pengajar bertugas mensosialisasikan ilmu
pengetahuan kepada peserta didik. Proses pembelajaran yang dilakukan guru
harus dilakukan dengan perencanaan yang baik. Menurut Idi dan Safarina
(2010:136), terdapat sembilan prinsip proses edukasi antara pendidik dan peserta
didik. Kesembilan proses tersebut, yaitu (1) motivasi, (2) persepsi, (3)
pemfokusan, (4) keterpaduan, (5) pemecahan masalah, (6) menacari, menemukan,
dan mengembangkan, (7) belajar sambil mengaplikasikan, (8) hubungan sosial,
dan (9) perbedaan individu.
Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, melainkan juga sebagai
pendidik. Sebagai pendidik guru tidak hanya mengajarkan siswa tentang ilmu
pengetahuan. Guru harus menyiapkan peserta didik menjadi pribadi yang baik dan
dapat menghadapi sendiri persoalan kehidupan dimasyarakat. Menurut Damsar
(2015:156), tugas guru sebagai pendidik, yaitu membina budi pekerti (akhlak),
spft skill, budaya, simbolik, dan spiritual. Tugas guru sebagai pendidik dapat
dilaksanakan dalam pembelajaran. Bentuk pelaksanaannya bisa berupa
memotivasi siswa, cara menjelaskan, dan berdiskusi (Damsar, 2015:156).

26
Selain sebagai pengajar dan pendidik, guru juga sebagi teladan terutama
untuk sekolah tingkat kana-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) (Damsar,
2015:157). Guru bagi peserta didik pada tingkat TK dan SD dipandang sebagai
orang yang mulia. Maka tidak jarang peserta didik pada tingkat TK dan SD lebih
menenuruti kata-kata gurunya daripada orang tuanya. Oleh karena itu, hendaknya
guru pada tingkat ini memberikan contoh yang baik, memberikan saran yang baik,
menyuruh anak untuk melakukan yang baik, dan membiasakan anak berprilaku
baik.
Sebagai lembaga formal yang mengajarkan pendidikan, sekolah memiliki
wacana perspektif yang berbeda dalam memandang pendidikan. Perbedaan
perspektif dipengaruhi oleh sistem dan struktur yang telah dijalankan di sekolah.
Sekolah memandang pendidikan tidak hanya sebagai proses sosialisasi ilmu
pengetahuan, melainkan juga proses penanaman etika kepada peserta didik.
Keberhasilan pendidikan juga tidak semata-mata dilihat dari nilai, melainkan juga
dilihat dari sikap dan prilaku peserta didik.
Pengertian perspektif menurut KBBI merujuk pada sudut pandang
terhadap suatu benda. Sedangkan menurut wikipedia bahasa Indonesia perspektif
dapat merujuk pada empat kategori, yaitu visual, grafis, kognitif, dan geometri.
Perspektif visual muncul dari pandangan mata manusia terhadap suatu objek atau
keadaan. Kemudian perspektif kognitif merupakan ekspresi dari bentuk pilihan
atau legitimasi dari suatu kepercayaan, ideologi, paradigma, dan kenyataan.
Wacana perspektif pendidikan di lembaga formal bermula dari sekolah
dasar hingga perguruan tinggi. Wacana perspektif yang dibangun di sekolah dasar
tentu berbeda dengan yang dibangun di SMP, SMA dan perguruan tinggi.
Perbedaan perspektif tentang pendidikan setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor.
Pertama, tingkat usia, kepribadian dan kognisi peserta didik. Kedua, tujuan
pembelajaran dan cara guru mengajar. Ketiga, kondisi sosial dan kemasyarakatan.
1.4.7 Kontruksi Pendidikan Budaya
Kebudayaan menurut Horton dan Hunt (1999:58), dapat dikategorikan
menjadi kebudayaan materi dan kebudayaan nonmateri. Pertama, kebudayaan
dalam pengertian materi segala bentuk benda yang diciptakan manusia untuk
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian kebudayaan dalam pengertian

27
nonmateri merupakan hasil dari pemikiran manusia yang dijadikan pedoman
kehidupan di masyarakat (Saleh dan Mundzir, 2006:231).
Hasil dari kebudayaan materi berupa benda-benda misalnya, mobil,
bangunan, jalan, jembatan, irigasi, dan segala benda yang dapat dipergunakan dan
dipakai oleh orang-orang dalam masyarakat. Kemudian hasil dari kebudayaan
nonmateri terdiri, adat istiadat, kenyakinan, dan kebiasaan yang telah di anut oleh
masyarakat (Horton dan Hunt 1999:58). Budaya merupakan gaya hidup seseorang
yang diperoleh secara sosial yang dipengaruhi oleh kelompok
Kebudayaan dan masyarakat mempunyai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya (Soekanto, 1976:63). Setiap masyarakat memiliki
kebudayaan yang dianut, bagitu juga setiap kebudayaan dianut oleh kelompok
masyarakat. Kebudayaan melahirkan sistem nilai dan norma yang menjadi aturan
dalam kehidupan masyarakat. Nilai merupakan bagian penting dari kebudayaan.
Suatu tindakan dikatakan benar jika sesuai dengan moral di masyarakat dan sesuai
dengan nilai-nilai yang disepakati (Harton dan Hunt, 1999:71). Nilai yang
diperoleh dari suatu budaya berupa pola pikir, prilaku dan kebiasaan (Birokou,
Giorgini, dan Giunchiglia, 2009:)
Nilai merupakan ide atau gagasan penting yang dipikirkan oleh manusia
dan bersifat abstrak. Nilai mengacu pada keindahan, prilaku dan penilaian benar
atau salah (Fraenkel, 1977:6). Sementara itu menurut Horton dan Hunt (1999:71),
nilai merupakan gagasan tentang pengalaman yang berarti atau tidak. Suatu
kebudayan disatukan oleh nilai-nilai budaya yang telah disepakati. Menurut
Holden (2006:14), terdapat tiga konsep nilai budaya, yaitu nilai intrinsik, nilai
instruental dan nilai institusional.
Nilai intrinsik merupakan nilai yang bersifat subjektif terhadap suatu
budaya seperti nilai intelektual, nilai emosional, dan nilai spiritual. Nilai
instrumental merupakan nilai yang dijadikan sebagi pedoman dalam
melaksanakan sesuatu. Nilai instrumental belum bermakna bila belum dikaitkan
dengan konteks kebudaan tertentu. Kemudian nilai institutional berkaitan dengan
nilai yang diadopsi dan dibuat oleh lembaga. Nilai ini digunakan untuk
meningkatkan etos kerja dan sikap kerja berkaitan dengan ranah publik.

28
Suatu kebudayaan perlu diwariskan kepada generasi muda. Mewariskan
nilai-nilai budaya kepada generasi muda memerlukan proses sosialisasi. Proses
sosialisasi memerlukan agen untuk mentransfer nilai-nilai budaya. Agen yang
dapat mensosialisasikan biasanya tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat
merupakan representasi dari kebudayaan yang diyakini. Menurut Surbakti
(1992:40), tokoh masyarakat adalah orang yang disegani, dipercaya, dan
dihormati secara luas. Kehadiran tokoh masyarakat sebagai pemersatu antar unit-
unit kebudayaan. Tokoh masyarakat menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari suatu kebudayaan. Tokoh masyarakat mempunyai peran yang besar dan
mempunyai kekuasan dalam keanggotaan masyarakat. Sering kali anggota
masyarakat meminta masukan dan saran untuk melaksanaan adat istiadat kepada
tokoh masyarakat.
Kategori tokoh masyarakat menurut Hanafi (dalam Koentjaraningrat,
1983), terdiri dari tokoh formal dan informal. Tokoh formal biasanya menduduki
jabatan struktural di masyarakat. Adapun yang tergolong tokoh formal, yaitu
kepala desa, camat, RT dan RW. Kemudian tokoh informal dianggap menjadi
tokoh karena pengaruh dan kekuasaannya di masyarakat. Adapun tokoh informal,
yaitu tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh kepemudaan.
Nasution (1999:151), membagi masyarakat menjadi dua golongan, yaitu
masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Perbedaan masyarakat pedesaan
dan perkotaan disebabkan oleh keadaan lingkungan yang berbeda (Solaeman,
2001:131). Masyarakat pedesaan dan perkotaan umumnya dapat dibedakan dari
segi mata pencahariannya. Mata pencaharian masyarakat pedesaan kebanyakan
adalah petani, tukang genteng, dan tukang kayu. Sedangkan mata pencaharian
orang kota pada umumnya adalah pegawai, perdagangan dan industri (Soekanto,
2002:153). Selain mata pencaharian, perbedaan masyarakat pedesaan dan
perkotaan dapat dilihat dari keperluan hidup. Keperluan hidup masyarakat
pedesaan memfokuskan pada kebutuhan fisik dan biologis. Sedangkan masyarakat
kota juga mementingkan kebutuhan sosial. Kebutuhan fisik dan biologis
masyarakat kota dinilai berdasarkan kebutuhan sosialnya.
Masyarakat pedesaan memegang prinsip yang kuat terhadap nilai-nilai
agama, sikap dan prilaku. Masyarakat pedesaan penduduknya tergolong homogen.

29
Oleh karena itu, bila terdapat sikap, prilaku, dan praktik keagamaan yang
menyimpang, segera mendapatkan teguran dan nasehat. Masyarakat perkotaan
memiliki sikap yang lebih heterogen. Kebanyakan penduduknya telah memiliki
intelektual yang baik. masyarakat perkotaan lebih terbuka terhadap budaya dan
kebiasaan baru. Oleh karena itu, mereka lebih terbuka terhadap sikap, prilaku,
pikiran, moral, dan pergaulan yang baru.
Suatu budaya dalam masyarakat dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan
kontak kebudayaan (Nasution, 1999:62). Lingkungan fisik yang mempengaruhi
suatu budaya masyarakat misalnya, iklim, kekanyaan alam, dan topografi.
Kebudayaan daerah hutan berbeda dengan kebudayaan daerah pantai. Kebudayaan
daerah industri berbeda dengan kebudayaan daerah gurun. Pada tetralogi novel
Laskar Pelangi lingkungan kebudayaan diungkapkan melalui kebudayaan
masyarakat industri dan kebudayaan masyarakat nelayan. Kebudayaan masyarakat
industri ditandai dengan pabrik PN timah. Masyarakat yang tidak bekerja di PN
timah, memilih menjadi sebagai nelayan. Kedua lingkungan kebudayaan di atas,
menjadi latar dalam kebudayaan yang diungkapkan dalam tetralogi novel Laskar
Pelangi.
Nasution (1999:63), membagi kebudayaan menjadi dua golongan, yaitu
kebudayaan eksplisit dan implisit. Kebudayaan eksplisit mengacu pada sesuatu
yang berupa verbal maupun nonverbal yang dapat diamati secara langsung.
Contoh kebudayaan eksplisit misalnya, interkasi murid dengan guru, suami
dengan istri, atasan dengan bawahan, dan anak dengan orang tua. Kemudian
contoh dari kebudayaan implisit adalah nilai-nilai dan norma-norma. Selain itu,
kepercayaan juga termasuk di dalam kebudayaan implisit seperti; pengetahuan,
pikiran, takhayul, mitos dan dongeng-dongeng.
Budaya, masyarakat dan pendidikan saling melengkapi. Masyarakat tidak
dapat berjalan tanpa pendidikan begitu pula sebaliknya. Pada masyarakat,
pendidikan berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial (Turkkahraman,
2012:38). Pendidikan dalam konsep masyarakat dijadikan sebagai sarana.
Sedangkan masyarakat merupakan tujuan dari proses pendidikan.

30
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian ini meliputi (a) pendekatan dan jenis penelitian, (b) data
dan sumber data, (c) teknik pengumpulan data, (d) instrumen penelitian, (e)
analisis data, (f) teknik validasi temuan penelitian, dan (g) tahap-tahap penelitian.
1.5.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian ini bertujuan menemukan makna tentang konstruksi
pendidikan yang terdapat dalam tetralogi novel Laskar Pelangi. Penggunaan
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan data yang digunakan oleh
peneliti. Data penelitian berupa teks dari tetralogi novel Laskar Pelangi.
Pendekatan penelitian kualitatif menurut Bogdan & Biglen (2003:35), memiliki
lima karakteristik.
Kelima karakteristik penelitian kualitatif, yaitu (1) pendekatan kualitatif
menggunakan latar alamiah, (2) data penelitian bersifat deskriptif karena wujud
data berupa dialog, monolog, deskripsi, dan narasi yang terdapat dalam teks
sastra, (3) penelitian mengutamakan proses dan hasil, karena hasil penelitian
kualitatif dikatakan valid ketika melalui proses penelitian yang benar, (4) analisis
data dimulai dengan logika induktif dengan mengabstraksikan data secara
kontekstual, dan (5) makna yang terdapat dalam dialog, monolog, deskripsi, dan
narasi yang terdapat dalam novel dipandang sesuatu yang esensial, artinya analisis
data dan temuan penelitian bermakna dalam konteksnya. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini berupa kajian teks. Teks yang dianalisis berupa
karya sastra (novel). Pengkajian teks memusatkan pada rekonstruksi makna yang
terdapat dalam teks. Selanjutnya makna dalam teks ditafsirkan dan dikaitkan
dengan konteks maknanya.
Kontruksi pendidikan bertujuan untuk mendeskripsikan peran keluarga,
sekolah dan budaya terhadap pendidikan. Penelitian ini menggunakan teori
wacana kritis, teori sosiologi pendidikan dan teori sosiologi sastra. Teori sosiologi
pendidikan dalam penelitian ini digunakan untuk melihat peran keluarga, sekolah
dan budaya terhadap pendidikan. Teori sosiologi sastra digunakan untuk
mengungkap fenomena-fenomena sosial dan masyarakat yang terdapat dalam

31
tetralogi novel Laskar Pelangi. Fenomena sosial dan masyarakat difokuskan untuk
mengungkapkan wacana pendidikan yang terdapat dalam novel.
Guna mengkaji interaksi sosial dan interaksi kebahasaan dalam konstruksi
pendidikan, maka digunakan teori analisis wacana kritis perspektif Fairclough.
Fairclough (1989:26), membagi analisis teks ke dalam tiga tahapan, yaitu
deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi. Tahap deskripsi terdiri dari dua tahapan,
yaitu kosa kata dan gramatika. Kosakata dan gramatia digunakan untuk
mengungkap fenomena ideologi dan kekuasaan yang terdapat dalam novel. Tahap
interpretasi berkaitan dengan hubungan dalam teks dan interaksi dalam teks. Pada
tahapan ini konteks sosial dihubungkan dengan teks. Tahap eksplanasi berkaitan
dengan konteks interaksi dan sosial. Pada tahapan ini dijelaskan mengenai bentuk
sosial dan bentuk bahasa yang digunakan dan yang tidak digunakan.
1.5.2 Data dan Sumber Data
Data penelitian dalam penelitian ini berupa dialog, monolog, deskripsi,
dan narasi yang berkaitan dengan peran keluarga, sekolah, dan budaya terhadap
pendidikan pada tokoh-tokoh tetralogi novel Laskar Pelangi. Adapun sumber data
dari penelitian ini terdiri dari tetralogi novel Laskar pelangi. Novel pertama
berjudul Laskar Pelangi (terbit tahun 2015 cetakan ketiga puluh satu). Novel
kedua berjudul Sang Pemimpi (terbit tahun 2013 cetakan kedua puluh tujuh).
Novel ketiga berjudul Edensor (terbit tahun 2017 cetakan kedua belas). Novel
keempat berjudul Maryamah Karpov (terbit tahun 2014 cetakan ketujuh).
1.5.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik dokumentasi. Penggunaan teknik dokumentasi dalam
penelitian ini dikarenakan sumber data berupa teks novel. Selain itu, data
penelitian yang digunakan berupa interpretasi dari sebuah teks. Pengumpulan data
dilakukan dengan menyusun kriteria berdasarkan teori sosiologi pendidikan.
Kriteria yang telah disusun berdasarkan teori digunakan untuk
mengklasifikasi dan mengidentifikasi konstruk pendidikan dalam tetralogi novel
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Kriteria tersebut meliputi tiga aspek,
konstruksi pendidikan keluarga (peran ayah sebagai pemimpin dalam keluarga,
peran ibu sebagai pendidik dalam keluarga, sumber nilai pendidikan keluarga, dan

32
gaya mendidik anak dalam keluarga), konstruksi pendidikan sekolah (tugas kepala
sekolah, fungsi guru di sekolah, sekolah sebagai lembaga pendidikan, dan
perspektif sosio-kultural sekolah), dan konstruksi pendidikan budaya (tokoh
pendidikan yang mensosialisasikan, cara mensosialisasikan, pendidikan pada
masyarakat pedesaan, dan pendidikan pada masyarakat perkotaan).
Berdasarkan pembagian kriterisa tersebut, peneliti menggunakan teknik
dokumentasi yang berupa tetralogi novel Laskar Pelangi. Adapun langkah-
langkah yang digunakan dalam proses pengumpulan data sebagai berikut ini. (1)
peneliti melakukan proses pembacaan secara berulang-ulang terhadap teks, (2)
mengidentifikasi unit-unit teks yang mengandung konstruksi pendidikan meliputi
keluarga, sekolah, dan budaya, (3) mengklasifikasi data, dan (4) pengkodean data
berdasarkan klasifikasi yang telah dibuat.
1.5.4 Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen kunci. Peneliti
menggunakan tabel instrumen dalam pengumpulan data dan pemaknaan data.
Adapun tabel instrumen yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut.
Tabel 1.1 Instrumen Pengumpulan Data
Fokus Subfokus Aspek Kode Data
Keluarga Peran ayah sebagai Memberi teladan KPK/PA/MT
pemimpin dalam
Memotivasi KPK/PA/MM
keluarga
Mencari nafkah KPK/PA/MN

Menjadi pembimbing KPK/PA/MP

Peran ibu sebagai Membela anak KPK/PI/MB


pendidik dalam
Merawat anak KPK/PI/MW
keluarga
Menjadi guru KPK/PI/MJ

Sumber nilai Nilai religius KPK/SN/NR

33
Fokus Subfokus Aspek Kode Data
pendidikan keluarga Nilai moral KPK/SN/NM

Nilai keindahan KPK/SN/KD

Gaya mendidik anak Gaya otoriter KPK/GM/GO


dalam keluarga
Gaya kontinum KPK/GM/GK

Gaya moderat KPK/GM/GT

Sekolah Tugas kepala Perantara atasan KPS/KP/PA


sekolah
Konsultan KPS/KP/KN

Memimpin KPS/KP/MN

Guru dan pegawai KPS/KP/MP

Fungsi guru di Mengajar KPS/FG/MR


sekolah
Mendidik KPS/FG/MK

Memberi teladan KPS/FG/MT

Sekolah sebagai Wujud bangunan KPS/ST/WB


lembaga pendidikan
Lahan sekolah KPS/ST/LS

Ruangan sekolah KPS/ST/RS

Perabot sekolah KPS/ST/PS

Alat dan media KPS/ST/AM

Perspektif sosio- SD dan SMP KPS/WP/SD


kultural sekolah
SMA KPS/WP/PA
Perguruan Tinggi KPS/WP/PT
Budaya Tokoh pendidikan Tokoh adat KPB/TM/TT

34
Fokus Subfokus Aspek Kode Data
yang Tokoh agama KPB/TM/TA
mensosialisasikan
Tokoh kepemudaan KPB/TM/TN

Tokoh pemerintah KPB/TM/TH

Cara Kepercayaan KPB/CM/KN


mensosialisasikan
Kesenian KPB/CM/KI

Adat istiadat KPB/CM/AI

Pendidikan pada Lingkungan budaya KPB/MD/LB


masyarkat pedesaan
Nilai KPB/MD/SN

Adat istiadat KPB/MD/AI

Kepercayaan KPB/MD/KN

Prilaku KPB/MD/PU

Pendidikan pada Lingkungan budaya KPB/MP/LB


masyarakat
Nilai KPB/MP/SN
perkotaan
Adat istiadat KPB/MP/AI

Kepercayaan KPB/MP/KN

Prilaku KPB/MP/PU

1.5.5 Analisis Data

35
Analisis data penelitian merupakan proses untuk mengidentifikasi data
penelitian berdasarkan konstruksi pendidikan keluarga, konstruksi pendidikan
sekolah, dan konstruksi pendidikan masyarakat. Prosedur yang dilakukan dalam
menganalisis data adalah sebagai berikut.
(1) Tahapan analisis data dimulai dengan melakukan pengumpulan data
penelitian dan mengelompokkan berdasarkan fokus penelitian, yaitu
tentang konstruksi pendidikan keluarga, konstruksi pendidikan sekolah,
dan konstruksi pendidikan budaya.
(2) Melakukan identifikasi data dan kalsifikasi data berdasarkan fokus
penelitian. Guna mempermudah proses Indentifiksi dan klasifikasi data,
digunakan tabel penelitian. Selain itu, tabel penelitian digunakan untuk
melihat kelengkapan data penelitian.
(3) Melakukan penafsiran kembali terhadap data yang telah diidentifikasi dan
diklasifikasi untuk melihat kesesuaian data dan kepaduan data dari
masing-masing fokus masalah penelitian.
(4) Bila terdapat data yang belum sesuai dengan fokus penelitian, maka
peneliti kembali melakukan langkah-langkah prosedur analisis data dari
awal.
1.5.6 Pengecekan Keabsahan Penelitian
Penggunaan keabsahan data penelitian digunakan untuk memvalidasi
temuan data dalam penelitian. Adapun langkah-langkah atau prosedur penggunaan
pengecekan keabsahan penelitian dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut.
(1) Melakukan pembacaan secara cermat dan berulang-ulang untuk
memahami, menafsirkan dan menghayati isi teks tetralogi Novel Laskar
Pelangi.
(2) Menemukan data dari fokus permasalahan yang dikaji berkaitan dengan
konstruksi pendidikan dari aspek keluarga, sekolah dan budaya.
(3) Mengkonsultasikan isi temuan data kepada dosen pembimbing.
(4) Melalakukan proses pengoreksian dengan teman sejawat yang memiliki
pengetahuan tentang kajian wacana pendidikan dalam novel dan sosiologi
pendidikan.
(5) Penggunaan triangulasi penelitian.

36
1.5.7 Tahapan-tahapan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat tiga tahapan penelitian yang digunakan. Ketiga
tahapan penelitian tersebut dipaparkan sebagai berikut.
1) Tahap Awal
a. Menyusun draf proposal yang berisi tentang ide-ide atau pokok-pokok yang
berkaitan dengan topik penelitian.
b. Mengkonsultasikan draf proposal yang telah disusun kepada dosen
pembimbing.
c. Menyusun secara detail proposal berdasarkan referensi dari buku bacaan
yang berkaitan dengan topik penelitian.
d. Melaksanakan seminar proposal.
2) Tahap Pelaksanaan
a. Melakukan pengumpulan data penelitian dari sumber data yang telah
ditentukan berdasarkan fokus masalah dalam penelitian.
b. Melakukan analisis data penelitian dari sumber data yang telah
dikumpulkan berdasarkan fokus masalah dalam penelitian.
c. Mengkonsultasikan kepada dosen pembimbing.
3) Tahap Akhir
a. Melakukan perbaikan penulisan laporan penelitian.
b. Melakukan penggandaan laporan hasil penelitian.

37

Anda mungkin juga menyukai