Anda di halaman 1dari 10

STEREOTIP GENDER : STEREOTIP PEREMPUAN JAWA

Disusun untuk memenuhi tugas Psikologi Nusantara Kelas 3

Dosen Pengampu:
Dr. Prasetyo Budi Widodo, S.Psi., M.Si.
Vemita Sinantia, S.Psi., M.Si.

Disusun oleh :
Shoffiyah Salsabila
NIM. 15000122120053

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN

Perubahan zaman membawa banyak perubahan dan mendorong kehidupan semakin


modern. Sebagian praktik tradisional yang dulunya melekat, sekarang sudah banyak
ditinggalkan. Masyarakat lebih memilih hidup dengan kemajuan teknologi dan melepaskan
diri dari belenggu kuno. Salah Satu yang mulai memudar dalam masyarakat adalah budaya
patriarki dan stereotipe.
Memang sudah banyak bukti yang ditemui bahwa budaya patriarki dan stereotip
sudah mulai ditinggalkan. Hal ini terutamanya banyak ditemui pada masyarakat kota yang
sudah terbuka dengan perubahan. Namun apakah hal ini sudah terjadi secara menyeluruh
dalam masyarakat? Dalam kenyataannya, budaya patriarki dan stereotip masih kental ditemui
pada sebagian masyarakat terutama masyarakat Jawa. Sebagian masyarakat Jawa masih
menganut keyakinan bahwa wanita mempunyai posisi yang lebih rendah dan harus tunduk
serta melayani laki-laki. Pun dengan pelabelan negatif yang diterima perempuan Jawa juga
tidak main-main. Tak hanya dianggap rendah, tapi para perempuan juga dianggap lemah,
bergantung pada suami, dan dianggap hanya sebagai pemuas nafsu. Hal ini menjadi sesuatu
yang sangat menyayat hati apalagi terjadi pada zaman yang maju.
Untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji stereotip perempuan Jawa dan apa saja
bentuk dari stereotip tersebut. Selain itu peneliti juga mengkaji beberapa riset terkait untuk
menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai gambaran stereotip pada perempuan
Jawa.
BAB II
TOPIK DAN KAJIAN TEORI

1. Fenomena
Saat ini masih banyak berkembang di masyarakat mengenai posisi dan peran
perempuan yang dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Perkembangan zaman yang
semakin maju dan modern mungkin mengakibatkan fenomena seperti ini sudah sukar
ditemui, apalagi di perkotaan. Namun berbeda dengan masyarakat tradisional di desa,
tak jarang mereka masih menganggap martabat perempuan lebih rendah. Seperti yang
penulis temui di lingkungan tempat tinggal, yaitu di daerah Jawa Tengah. Ternyata
masih banyak banyak perempuan di lingkungan penulis yang mendapatkan perlakuan
tak adil sebagai akibat fenomena ini. Contohnya seorang wanita yang sudah menikah
kerap kali dipaksa untuk keluar dari pekerjaanya dengan tuntutan harus mengurus
rumah dan anak. Para perempuan juga kadang kali dibatasi oleh suami mereka untuk
keluar rumah. Hal yang semakin memprihatinkan adalah masih adanya kekerasan
yang diterima oleh perempuan dalam rumah tangga, tetapi masyarakat bersikap seolah
mendukung hal tersebut dan meminta perempuan untuk terus mempertahankan
hubungannya. Hal ini banyak terjadi karena tak sedikit masyarakat masih memegang
stereotip pada perempuan. Dengan fenomena yang penulis temui, memunculkan
ketertarikan yang besar untuk mencari tahu lebih dalam mengenai stereotip dan
bagaimana budaya Jawa melihat seorang perempuan.
2. Kajian Teoritik
Stereotip adalah gambaran umum yang dimiliki tentang sekelompok orang,
terkhusus tentang karakteristik psikologis ataupun ciri kepribadian yang mendasarinya
(Lee, Jussin, & McCauley, 1995). Stereotip ini terbagi menjadi dua jenis yaitu
autostereotypes dan heterostereotypes. Autostereotypes merupakan stereotip
seseorang tentang kelompoknya sendiri, sedangkan heterostereotypes merupakan
stereotip seseorang tentang kelompok lain. Autostereotypes ini lebih sulit diubah
karena sudah menjadi bagian dari sistem diri seseorang itu sendiri. Hal-hal ini
berkaitan dengan emosi seseorang, nilai atau norma budaya, dan inti diri, sehingga
sulit diubah setelah seseorang memperolehnya.

Stereotip ini bisa bersifat positif maupun negative. Sebagai contohnya


stereotip positif bahwa suku jawa lemah lembut, mudah senyum dengan siapapun, dan
sangat menjaga sopan santun. Sedangkan contoh stereotip negatif suku minang adalah
orang yang sangat perhitungan. Stereotipe tersebut secara umum bisa benar ataupun
sepenuhnya salah, karena stereotip merupakan anggapan umum seseorang mengenai
kelompok lain, terlebih mengenai karakteristik psikologis atau kepribadian dasar
individu.

Stereotipe ini merupakan proses psikologi yang normal yang dialami


sehari-hari, termasuk perhatian selektif, atribusi, pembentukan konsep, dan memori.
Stereotipe ini terjadi karena seseorang mengkategorikan konsep. Konsep adalah
kategori mental yang digunakan untuk mengklasifikasikan peristiwa, objek, situasi,
perilaku, dan bahkan anggapan kita sebagai sifat umum. Pembentukan konsep dan
kategorisasi ini memberi kita cara untuk mengatur keragaman dunia sekitar ke dalam
jumlah kategori yang terbatas karena tentu kita memiliki representasi kategoris
tentang banyak objek di dunia, dan kita tidak mungkin bisa melihat dunia tanpa
konsep dan kategorisasi ini. Stereotipe ini merupakan aspek yang tidak bisa
terhindarkan dalam kehidupan psikologis seseorang. Oleh karena itu juga stereotipe
ini menjadi alat bantu yang sangat berharga, membantu kita mengatur informasi
tentang dunia dalam representasi mental kita. Meskipun stereotip ini berguna sebagai
kategorisasi dalam membantu kita mengatur informasi, stereotipe tersebut berbahaya
jika diterapkan pada orang-orang secara seragam tanpa mengakui banyaknya
perbedaan individu yang terjadi dalam kelompok budaya atau etnis mana pun.

3. Riset
a. Karakteristik Kebahasaan Perempuan Jawa dalam Film “Tilik”
Penelitian ini dilakukan oleh Hasanah dan Wicaksono (2021). Secara garis
besar penelitian bertujuan untuk menggambarkan kebahasaan perempuan Jawa
dalam film tilik. Terdapat 5 hasil yang berhasil dibawakan peneliti dari
penelitiannya, yaitu :
-Perempuan lebih sering menggunakan kata makian secara halus.
Kata-kata ini keluar dari seorang perempuan untuk mengungkapkan
kemarahan, kekesalan, dan rasa tidak suka pada suatu hal. (Contohnya
amit-amit, ya ampun, dan lainnya)
- Perempuan sering menggabungkan pertanyaan dengan pernyataan
untuk memastikan persetujuan (Contohnya menambahkan yo ra?, hoo
ra?, bener ra?, dan lainnya dalam sebuah kalimat)
- Perempuan menggunakan hedges untuk mengungkapkan
ketidakyakinan terhadap suatu hal (Contoh kata hedges :
krungu-krungu, ketok e, ojok-ojok, dan lainnya).
- Perempuan menggunakan Intensifiers untuk menegaskan dan
menekankan suatu hal yang penting.
- Representasi perempuan Jawa dalam penuturan tokoh. Penelitian ini
juga menemukan beberapa hal yang dapat menggambarkan perempuan
jawa, yaitu senang bergosip, cerewet, dan inferior.
b. Perjuangan Tokoh Perempuan Jawa dalam Novel “The Chronicle of
Kartini”
Penelitian ini dilakukan oleh Muslimah, Suyitno, dan Purwadi (2019).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan diskriminasi gender
perempuan jawa, emansipasi perempuan jawa, dan nilai pendidikan karakter.
Hasil yang didapat dari penelitian ini, yaitu :
- Perempuan Jawa mengalami ketidakadilan gender dalam bentuk
marginalisasi, subordinasi (menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak penting), stereotip (pemuas nafsu, penghasil anak, keibuan,
lemah lembut), dan kekerasan (fisik dan emosional).
- Bentuk emansipasi yang dilakukan oleh perempuan Jawa adalah
dengan kebebasan memilih (pekerjaan, pasangan hidup, dan
pendidikan), perjuangan perempuan, kemandirian, serta ketegasan
perempuan.
- Terdapat 18 nilai pendidikan karakter dalam novel ini, yaitu, religius,
toleransi, kreatif, demokratis, mandiri, jujur, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, rasa ingin
tahu, menghargai prestasi, cinta tanah air, dan semangat kebangsaan.
c. Posisi Wanita dalam Ideologi Kanuragan Warok Ponorogo
Penelitian ini dilakukan oleh Krismawati (2018). Isi dari penelitian ini adalah
mendeskripsikan konsekuensi istri dari seorang warok. Hal ini berkaitan
dengan adanya gemblak atau pendamping warok yang menggeser peran
perempuan yang menjadi istri warok. Hasil dari penelitian ini menemukan
bahwa posisi istri warok berada dalam titik lemah karenanya adanya gemblak
dan ditambah lagi dengan budaya jawa yang patriarkal. Masyarakat
menempatkan wanita pada posisi rendah dan dituntut untuk selalu patuh dan
tunduk pada suami dengan konsep wanita itu “wani ditata”. Hadirnya gemblak
juga semakin melemahkan posisi perempuan. Karena gemblak akan
menggeser tugas wanita dalam pemenuhan hak seksual dan mengambil alih
posisi untuk memutuskan suatu hal dalam internal rumah tangga.
d. Representasi Perempuan Jawa dalam “Bumi Manusia” dan “Pengakuan
Pariyem”
Penelitian ini dilakukan oleh Fadhilla dan Ilma (2021). Tujuan dari penelitian
ini adalah menggambarkan representasi perempuan Jawa pada Bumi Manusia
dan Pengakuan Pariyem. Secara singkat, perempuan Jawa di Bumi manusia
digambarkan dengan tokoh Nyai Ontosoroh yang kuat dengan nilai budaya
Jawa yang sopan, memiliki estetika, baik hati dan berpendidikan. Nyai
Ontosoroh juga memegang nilai keadilan pada para pekerja, baik itu laki-laki
atau perempuan. Sedangkan Pariyem digambarkan sebagai seorang pembantu
yang cerdas. Ia memang tidak berpendidikan, tetapi PAriyem memiliki moral
dan sopan santun yang baik. Dapat disimpulkan bahwa kedua tokoh tersebut
sama-sama menggambarkan perempuan Jawa yang dikenal dengan kesopanan,
lemah lembut, serta kebaikan hatinya. Dengan ini stereotip yang digambarkan
adalah stereotip yang positif.
e. Bentuk-bentuk Pelabelan Negatif Terhadap Perempuan dalam Novel
“Gadis-gadis Amangkurat : Cinta yang Menikam”
Penelitian ini dilakukan oleh Firmansyah (1017). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menjelaskan bentuk-bentuk pelabelan negatif pada tokoh
perempuan dalam novel dan dampak yang ditimbulkan karena adanya
pelabelan negatif pada tokoh perempuan dalam novel. Secara garis besar,
penelitian ini memiliki hasil, yaitu :
- Pelabelan negatif yang diberikan pada tokoh perempuan dalam novel
antara lain pelayan laki-laki, cantik, lemah lembut, dan bersifat
keibuan. Pelabelan ini adalah akibat mengenai pandangan pada gender
yang salah sehingga menimbulkan ketidakadilan.
- Dampak yang ditimbulkan atas pelabelan ini antara lain, para
perempuan mengalami penderitaan yang teramat sangat, depresi yang
menyebabkan para perempuan mengakhiri hidupnya.
BAB III
PEMBAHASAN

Stereotip Gender
Stereotip gender adalah keyakinan mengenai karakteristik perempuan dan laki-laki
yang terdiri dari sifat-sifat positif dan negatif (Branscombe & Baron, 2017). Stereotip masing
masing-masing gender sangat bertolak belakang antara yang positif dan negatif. Misalnya,
dalam sisi positif seorang perempuan digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang
dan penuh perhatian. Namun dalam sisi negatif, seorang perempuan digambarkan sebagai
sosok yang bergantung, lemah, dan emosional. Pun dengan laki-lai, mereka juga memiliki
stereotip dari sisi positif dan negatif. Hilary M Lips (dalam Suyanto & Astuti, 2013) dalam
Sex and Gender menyebutkan terdapat 5 teori yang mendasari stereotip gender. Teori pertama
yaitu teori psikoanalisis yang berfokus pada perkembangan kepribadian. Teori kedua yaitu
teori struktur sosial yang berfokus pada peran laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial
dan kultural. Teori ketiga menekan pada asal usul gender. Dua teori terakhir adalah teori
pembelajaran sosial dan pengembangan kognitif yang fokus bagaimana perbedaan gender
dapat mempengaruhi perilaku.
Di Indonesia sendiri stereotip gender lebih melekat pada kaum perempuan. Hal ini
dikarenakan budaya patriarki yang mengakar di negeri ini. Meskipun patriarki ini perlahan
memudar, namun bukan tidak mungkin bahwa budaya tersebut sudah terinternalisasi oleh
masyarakat Indonesia. Secara garis besar perempuan di Indonesia dianggap memiliki
martabat yang lebih rendah dari seorang laki-laki. Tak heran jika masyarakat kita kerap kali
melihat perempuan hanya dari sisi kecantikan, tugas dalam rumah tangga, dan reproduksi.
Dengan begitu perempuan dipandang sebagai sosok yang lemah, tak berkuasa, dan pasrah.
Stereotip gender yang paling banyak dibahas di Indonesia adalah mengenai stereotip
perempuan dalam bidang karir. Hal ini dikarenakan karena masih banyak masyarakat yang
mempersepsikan laki-laki dari sisi maskulin yang mempunyai jiwa kompetitif tinggi,
sedangkan perempuan dilihat dari feminisme yang identik dengan kasih sayang. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rahayu dkk, 2019), yang menyatakan bahwa
70% perusahaan di Indonesia memiliki pimpinan seorang laki-laki. Dari data tersebut
tergambar bahwa masih banyak perusahaan di Indonesia yang menyisihkan perempuan dari
posisi pemimpin. Penelitian tersebut juga menyebutkan hasil yang mendukung bahwa
seorang perempuan cocok menjadi seorang pemimpin perusahaan. Hasil tersebut yaitu
perusahaan dengan pemimpin seorang perempuan mempunyai kinerja yang lebih tinggi
dibandingkan perusahaan yang dipimpin oleh seorang laki-laki. Dengan hal itu sudah
sepatutnya jika perempuan juga harus diberi hak yang sama dengan laki-laki dalam hal karir.

Nilai-Nilai Budaya Jawa Mengenai Perempuan


Banyak nilai jawa yang membahas konsep perempuan. Tetapi banyak dari nilai-nilai tersebut
membahas perempuan sejati yang dilihat dari bentuk tubuh dan kodrat seorang perempuan.
Seperti contohnya nilai yang diambil dari ajaran Nyi Hartati tentang “lima kias jari” (Budiati,
2010). Ajaran tersebut mengkiaskan perempuan sebagai lima jari dan cenderung
merendahkan. Jari jempol dikiaskan sebagai seorang istri yang harus menyerahkan diri
sepenuhnya pada suami, jari telunjuk dikiaskan sebagai seorang istri yang tidak boleh
membantah perintah atau petunjuk suami, jari tengah dikiaskan sebagai seorang istri yang
harus selalu menjaga martabat dan kedudukan suami, jari manis dikiaskan sebagai seorang
istri yang harus selalu memasang wajah yang manis saat melayani suami, dan jari kelingking
dikiaskan sebagai seorang istri harus terampil dalam melayani suami. Selain ajaran dari Nyi
Hartati, konsep perempuan jawa juga digambarkan dalam Serat Panitisastra yang berisi
seorang perempuan hanya dilihat dari sisi reproduktifnya. Konsep lain juga tertulis dalam
Serat Candrarini, yang menggambarkan perempuan dalam 9 konsep, yaitu : rela dimadu, setia
pada laki-laki, mencintai dan mengasihi sesama, terampil dalam pekerjaan, sederhana, pandai
merawat diri dan berdandan, pandai melayani suami, perhatian pada mertua, suka membuka
pengetahuan baru dengan buku (A.P Murniati daam Budiati, 2010).

Stereotip Perempuan dalam Masyarakat Jawa


1. Tugas Perempuan Sebagai Individu, Istri, dan Ibu
Sistem patriarki masih erat dipegang oleh orang Jawa. Kuatnya patriarki
yang dipegang berdampak pada tugas seorang perempuan, yang tidak hanya bertugas
sebagai seorang individu saja tetapi juga memiliki tanggung jawab yang tak kalah
besar sebagai istri dan ibu. Dalam hal ini para perempuan seolah dituntut untuk
menjalankan tugas-tugasnya tanpa cacat sedikitpun. Misalnya sebagai seorang istri,
jika suami terlihat makan di luar, maka sang istri dicap sebagai pemalas yang tidak
mau memasak untuk suaminya. Pun sebagai seorang ibu, jika anaknya berbuat satu
kesalahan, ibu menjadi tameh terdepan untuk disalahkan oleh masyarakat dan
dianggap tidak bisa mendidik anaknya dengan baik. Dengan mengacu pada hal
tersebut, perempuan (khususnya dalam konteks Jawa) memiliki tugas dan persyaratan
fisik-psikis dan sosial yang teramat berat (Pratiwy, 2022).
Dalam hal ini budaya Jawa mempunyai 3 sifat yang harus dimiliki seorang
perempuan dalam mengurus rumah tangga, yaitu merak ati, gemati, dan luluh. Merak
ati berarti seorang perempuan harus pandai dalam menjaga kecantikan, baik lahir
maupun batin. Kecantikan lahir digambarkan perempuan yang pandai dalam memilih
dan memadukan pakaian untuk digunakan, luwes gerak-geriknya, dan murah senyum.
Sedangkan kecantikan batin digambarkan dengan seorang perempuan yang harus
menjaga sopan santunnya dalam bertutur kata serta perilaku yang ditunjukkan sesuai
dengan irama. Gemati berarti seorang perempuan harus bisa menjalankan tugasnya
dalam mengurus anggota keluarga, yaitu suami dan anak. Sebagai seorang istri
perempuan harus melayani setiap keinginan suami dan bisa mengatur urusan rumah
tangga dengan baik. Sebagai seorang ibu, perempuan harus bisa mengasihi
anak-anaknya sesuai naluri keibuannya. Luluh berarti seorang perempuan harus
memiliki kesabaran tinggi, hati luas, dan menerima setiap masalah dengan lapang
dada. Perempuan juga diharuskan untuk bersikap lembut, halus, dan rela untuk
menderita.

2. Lemah dan Bergantung pada Suami


Stereotip ini juga tidak lepas kaitannya dengan sistem patriarki yang masih
dipegang masyarakat Jawa. Dalam hal ini posisi perempuan didudukkan di bawah
laki-laki dan tidak boleh lebih dari laki-laki sehingga harus menurut dan dibuat seolah
hanya bisa bergantung. Hal ini membuat banyak perempuan Jawa yang hanya
melakukan urusan domestik rumah tangga seakan terkurung di dalam rumah. Dengan
ini perempuan Jawa dicap sebagai perempuan yang lemah dan rendah. Beberapa
anggapan masyarakat Jawa yang terkesan merendahkan perempuan yaitu :
- Perempuan hanya bertugas mengurus anak dan mengurus urusan rumah
tangga seperti memasak, mencuci, dan lainnya.
- Surga atau neraka seorang istri ditentukan oleh sang suami.
- Perempuan dianggap hanya bisa memasak, beranak, dan dandan (make-up).
- Istilah dapur, pupur, kasur, dan sumur yang sangat melekat pada diri
perempuan.
Namun seiring perkembangan zaman, posisi perempuan tidak selalu
ditempatkan di bawah laki-laki. Banyak perempuan di zaman sekarang yang
memegang peran di masyarakat, seperti menjadi politisi dan pemimpin. Meskipun
sudah tampil di kancah publik, perempuan akan tetap menjalankan tugasnya dengan
baik dalam rumah tangga, yaitu sebagai istri dan sebagai ibu.

Istilah Jawa Sebagai Penggambaran Stereotip Perempuan dalam Masyarakat Jawa


1. Surga Nunut, Neraka Katut
Istilah ini memiliki maksud surga dan neraka seorang perempuan bergantung pada
laki-laki. Dalam hal ini dimaksudkan seorang istri akan “mengikuti” suami baik ke
surga maupun ke neraka. Hal ini mengisyaratkan pula bahwa seorang perempuan
adalah seorang yang hanya bisa bergantung dan tergantung pada laki-laki.
2. Wong Wadon Cowek Gopel
Istilah ini memiliki arti perempuan itu seperti cobek yang rusak. Sama seperti barang
rusak yang pantas dibuang, perempuan yang sudah rusak (perilaku atau hatinya),
pantas untuk dibuang.
3. Wedi-Gemi dan Gemati
Istilah ini menggambarkan bahwa seorang perempuan harus memiliki sisi feminisme.
Dalam hal ini sisi feminisme digambarkan dengan sikap pasrah, tidak boros, dan
penuh kasih sayang.
4. Kanca Wingking
Istilah ini memiliki arti “teman belakang”. Menggambarkan bahwa derajat seorang
perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
5. Kenes Ora Etes
Istilah ini memiliki arti bahwa perempuan itu seorang yang centil tapi bodoh. Centil
disini berarti seorang perempuan itu menggoda sehingga bisa menjerumuskan
laki-laki dalam kesalahan.
6. Estri
Diambil dari kata estren dan memiliki makna “perempuan yang hebat di samping
laki-laki yang hebat”.
BAB IV
PENUTUP

Budaya patriarki memang sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia. Namun
tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak stereotip yang melekat pada perempuan, terutama
perempuan di Jawa. Stereotip adalah keyakinan pada suatu kelompok baik itu bersifat positif
maupun negatif. Beberapa stereotip yang melekat pada perempuan Jawa, antara lain lemah,
bergantung pada suami, tempat pemuas nafsu, pasrah, dan dianggap rendah oleh
masyarakat.Dalam kenyataannya, fenomena ini dapat ditemui dalam bentuk pembatasan karir
bagi perempuan dan dilarangnya perempuan untuk keluar rumah. Tak hanya di kehidupan
nyata, stereotip pada perempuan Jawa juga banyak digambarkan dalam film dan novel.
Dalam karya-karya tersebut perempuan Jawa banyak digambarkan sebagai sosok yang suka
bergosip, cerewet, pemuas nafsu, rendah, lemah lembut, keibuan, dan memiliki sopan santun.
REFERENSI

​Aw, S., Sri, D., & Astuti, P. (2013). Stereotip Perempuan dalam Bahasa Indonesia dalam
Ranah Rumah Tangga. Semiotika, 14(1), 79–90. ​
Baron, R. A. (2017). Social Psychology, Global Edition.
​Budiati, A. C. (2010). Aktualisasi Diri Perempuan Dalam Sistem Budaya Jawa (Persepsi
Perempuan terhadap Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Mengaktualisasikan Diri).
Pamator, 3.
​Covinda, R., & Firmansyah, W. (2017). Bentuk-bentuk Pelabelan Negatif Terhadap
Perempuan dalam Novel Gadis-gadis Amangkurat Cinta yang Menikam Karya Rh.
Widada.
​Dwiana Muslimah, N. (2019). Perjuangan Tokoh Perempuan Jawa dalam Novel The
Chronicle Of Kartini Karya Wiwid Prasetyo (Kajian Feminisme dan Nilai
Pendidikan Karakter). BASASTRA Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya,
7(1).
​Fadhilla, I., & Ilma, A. (2023). Representasi Perempuan Jawa Dalam Novel Bumi
Manusia Dan Pengakuan Pariyem. Jurnal Inovasi Dan Kreativitas (JIKa), 3(1),
44–55. https://doi.org/10.30656/jika.v3i1.6257
Hasanah, H., & Wicaksono, N. H. (2021). Bahasa dan Gender: Karakteristik
Kebahasaan Perempuan Jawa dalam Film “Tilik.” Jurnal Budaya FIB UB, 2(1),
7–16. https://jurnalbudaya.ub.ac.id7
​Krismawati, N. U. (2018). Posisi Wanita dalam Ideologi Kanuragan Warok Ponorogo.
PALASTREN, 11(2).
​Mangesti Rahayu, S., Ramadhanti, W., Sulistyowati Rahayu, D., Indrayanto, A., &
Author, C. (2019). Gender Stereotypes in Indonesian Public Companies’
Performance. Universitas Brawijaya Journal of Applied Management (JAM, 17(1).
https://doi.org/10.21776/ub.jam.2019.017.01.01

Matsumoto, D., & Juang, L. (2008). Culture and psychology 5th Edition. Wadsworth
Cengage Learning, 449–496.

​Pratiwy, D. (2022). Stereotype dan Peran Perempuan pada Masyarakat Jawa dan
Jepang: Sebuah Kajian Komparasi Budaya.

Anda mungkin juga menyukai