Anda di halaman 1dari 4

Antropologi of Gender

June 4, 2011

Antropologi of Women and Antropologi


of Gender
Antropologi of Women and Antropologi of Gender
Antropologi wanita yang baru dimulai pada awal tahun 1970-an, muncul akibat sebuah kritik
terhadap bias endosentris dalam antropologi ketika mengkaji status perempuan dalam
masyarakat. Sebagaimana dikatakan Moore (1998:10-11), masalah pertama yang segera
teridentifikasi adalah bias laki-laki, yang terlihat memiliki tiga tingkatan bias. Bias pertama
adalah bisa yang muncul dari para antropolog, yang membawa ke dalam penelitian mereka
berbagai asumsi dan harapan mengenai hubungan antara wanita dan pria serta signifikansi
hubungan-hubungan tersebut untuk memahami masyarakat yang lebih luas. Bias kedua adalah
bias yang terdapat pada kelompok masyarakat yang sedang diteliti. Lalu bias ketiga terbentuk
karena adanya bias yang melekat dalam kebudayaan Barat. Dari ketiga bias yang memunculkan
kajian ini, menurut saya bias kedua lah yang paling menarik untuk dijadikan fokus analisis.
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalam
relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding
perempuan. Hal ini didukung oleh Handayani dan Novianto (2004) yang menyatakan bahwa
dalam budaya Jawa yang cenderung paternalistik, laki-laki memiliki kedudukan yang istimewa.
Indrawati menambahkan bahwa perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang
selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam sistem
kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). Hal ini senada dengan pendapat Widyastuti (2005) yang
mengutip Kusujiarti, perempuan Jawa lebih banyak menjadi sasaran ideologi gender yang
hegemonik yang menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.
Istilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti wani ditata (berani ditata).
Pengertian ini telah mencirikan adanya tuntutan kepasifan pada perempuan Jawa. Selain itu
istilah putra mahkota (bukan putri mahkota), kawin paksa, dan babakan pingitan yang
diberlakukan kepada perempuan yang akan menikah, ditangkap Widyastuti (2005) sebagai
persoalan gender yang dihadapi perempuan Jawa.
Mulai dari awal pemilihan pasangan hidup, laki-laki Jawa biasanya disarankan untuk tidak
memilih perempuan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya
dalam perkawinan, istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur akan
mewarnai kehidupan perkawinan pasutri Jawa. Konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga

ikut, ke neraka pun turut) juga menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai
seorang istri (Handayani dan Novianto, 2004).
Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang tetap tampak lembut
dan berperan dengan baik di rumah sebagai ibu maupun istri, di dapur maupun di tempat tidur.
Masyarakat Jawa berharap perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan
setia. Ia diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun.
Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor
publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi suami. Kalaupun kemungkinan
untuk tampil tersedia, perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat
mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan
suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi,
dan memenuhi segala kebutuhan suami.
Namun demikian, ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa sistem bilateral, dan bukan
paternalistik, yang justru tampak dalam praktik hidup sehari-hari pada masyarakat Jawa.
Sebagian orang menganggap perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang tinggi mengingat
sumbangannya yang umumnya cukup besar dalam ekonomi keluarga yang dicapai melalui
partisipasi aktif mereka dalam kegiatan produktif (Widyastuti, 2005). Handayani & Novianto
(2004) juga menyebutkan fungsi istri sebagai manajer rumah tangga justru membuat posisi
kontrol perempuan Jawa menjadi lebih kuat.
Selain itu adanya konsep istri sebagai sigaraning nyawa, bukan sekedar konco wingking juga
memberikan gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter terhadap perempuan Jawa
(Handayani & Novianto, 2004). Istilah konco wingking pun tidak selalu lebih rendah, tergantung
bagaimana perempuan Jawa memaknainya. Sama seperti sutradara yang bekerja di belakang
layar dan tidak pernah terlihat dalam filmnya tetapi dapat menentukan jalannya film.
Handayani & Novianto juga berpendapat bahwa perempuan Jawa bukannya tidak memiliki
otoritas pribadi. Hanya saja ia harus mencari cara agar kehendaknya terpenuhi tanpa
mengacaukan harmoni dengan keluar dari tatanan budaya. Oleh karena itu pengabdian total
perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk mempunyai otoritas dan mendapatkan apa
yang menjadi harapannya. Jadi secara struktur formal, mereka terlihat tidak berpengaruh. Namun
secara informal, pengaruh mereka sangat besar. Bahkan lama kelamaan suami yang akan
tergantung kepada istrinya terutama secara emosional. Pada posisi inilah, perempuan Jawa akan
banyak menentukan keputusan-keputusan dunia publik melalui suaminya.
Selain itu, Indrawati (2002) berpendapat saat ini memang telah terjadi pergeseran kedudukan dan
relasi gender masyarakat Jawa. Menurutnya, modernisasi, emansipasi perempuan, dan masuknya
pengaruh budaya Barat, telah menggeser pola relasi gender mengarah kepada persamaan derajat
dan kedudukan. Sedikit banyak diperkirakan pergeseran pola relasi gender ini dapat pula
mempengaruhi kehidupan perkawinan masyarakat Jawa meskipun belum ada penelitian empiris
mengenai hal ini.

Dari kenyataan yang ada ini lah, bias kedua sangat mempengaruhi munculnya kajian yang
menarik bagi anthropology of women dalam kehidupan masyarakat Jawa. Bagaimana kondisi,
peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Jawa. Dari dalam masyarakat itu sendiri lah
yang memunculkan bias ini terjadi, dan menarik untuk dijadikan fokus analisis.
Selain menarik bagi anthropology of women, peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat
Jawa juga menarik bagi anthropology of gender. Anthropology of gender tidak hanya membahas
mengenai perempuan Jawa saja, tetapi juga hubungan perempuan dengan laki-laki, peran gender
dalam membentuk masyarakat, ideologi gender, sistem ekonomi dan struktur politiknya.
Pembagian kerja yang terjadi antara laki-laki dan perempuan didasari oleh pranata perkawinan
masyarakat Jawa. Laki-laki yang membeli perempuan bisa bebas memberikan tugas apa saja
terhadap perempuan. Ada pekerjaan yang identik dengan jenis kelamin pria yang berhubungan
dengan ranah publik. Pekerjaan perempuan bertugas untuk merawat dan mengasuh anak,
memasak, membersihkan rumah, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan ranah domestik.
Sebagaimana dikatakan Sherry B. Ortner (1974:73-74), perempuan dikatakan lebih dekat dengan
alam, sedangkan laki-laki lebih dekat dengan kebudayaan. Selain itu juga dapat dilihat
bagaimana pengelompokan berdasarkan jenis kelamin ini berdampak terhadap ruang yang
diterima, laki-laki ruang publik dan perempuan ruang domestik.
Perempuan Jawa sangat bergantung dengan laki-laki, baik dalam hal memperoleh pasangan
hidup maupun hal ekonomi. Ketergantungan tersebut memunculkan sikap perempuan yang
lemah dan mudah diatur. Jika melihat pada pembagian kerja perempuan yang diatur oleh
seorang pria, maka kata ketidak-adilan lah yang muncul. Tidak adanya pemberontakan oleh
perempuan yang disebabkan pembelian pada saat pernikahan juga memunculkan ketidakadilan
di dalam kehidupan bermasyarakat di sini.
Perempuan disini sangat merepresentasikan gender perempuan, yaitu feminim yang dinilai
memiliki sifat lemah lembut, keibuan, dan sebagainya dianggap tidak memiliki kekuatan yang
kuat sehingga mereka bergantung terhadap laki-laki yang lebih memiliki power.
Ideologi gender yang tertanam di masyarakat sangat berpengaruh di dalam kehidupan
masyarakat Jawa. Bagaimana posisi perempuan yang diakibatkan oleh sikap yang dibangung
sejak kecil berdasarkan jenis kelamin dan gendernya. Perempuan yang feminim dianggap lemah
dan mudah diatur oleh para laki-laki. Ironisnya, keluarga dan adat Jawa sendiri lah yang
membentuk dan mengkonstruksi pembagian wilayah serta kerja berdasarkan gender ini. Adanya
kewajiban dan hak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan berdasarkan ideologi gender
membuat kedudukan dan peran atas perempuan dan laki-laki pun dibedakan satu sama lain. (Sri
Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia)

Reference

http://antropologiui.wordpress.com/tag/antropologi-of-gender/

Anda mungkin juga menyukai