Anda di halaman 1dari 29

PROPOSAL KUALITATIF

USAHA PERILAKU WARIA YANG INGIN MENJADI NORMAL

PROPOSAL

Disusun Oleh:

ASHABUL KAHFI

Dosen Pembimbing : Jaelani Kunni,S.Pd.M.Pd

IAI DDI POLMAN

TAHUN 2018

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan kharunia-Nya kepada kita semua sehingga sampai saat ini

kita semua masih bisa menjalankan semua aktivitas kita dengan baik.

Proposal yang disusun kali ini merupakan pelengkap dari tugas yang

diberikan. Adapun isi dari laporan ini adalah mengenai data dan informasi

subyek yang melakukan Tes Pauli sebagai penyempurna dari laporan ini.

Penyusun berharap bahwa dengan adanya proposal ini dapat

membantu penyelesaian tugas atau proposal pada semester berikutnya,

namun tak lupa pula dengan mengucapkan terima kasih kepada dosen

serta asisten yang telah membimbing, serta teman-teman angkatan yang

juga melakukan hal yang serupa, terima kasih atas saran dan masukan

yang telah disampaikan yang juga membantu dalam proses penyelesaian

penyusunan proposal ini.

Polewali Mandar, 21 Januari 2018

penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dunia ini sudah sangat sering kita menjumpai seorang laki-laki

yang berpenampilan seperti seorang perempuan, Secara fisik mereka

adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun mereka

merasa dirinya perempuan, dan berpenampilan tidak ubahnya seperti

kaum perempuan lainnya (Koeswinarno, 2004). Menurut data

Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan Departemen

Dalam Negeri, jumlah waria di Indonesia tahun 2005 lalu, mencapai

400.000 jiwa. Jumlah ini masih berupa fenomena gunung es, karena

masih banyak waria yang belum masuk dalam hitungan, dan disinyalir

angka ini akan terus bertambah setiap tahunnya (Sujatmiko dalam

Tempointeraktif, 2005). Sebagai individu maupun mahluk sosial, waria

berusaha untuk mendapat bagian dalam berbagai ruang sosial

(Koeswinarno, 2004).

Pembentukan “waria” tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan

proses yang cukup panjang. Munculnya fenomena kewariaan tidak

lepas dari kebiasaan-kebiasaan pada masa anak-anak ketika mereka

dibesarkan di dalam keluarga, yang kemudian mendapat penegasan

pada masa remaja, yang menjadi penyumbang terciptanya waria.

Tidak satu pun waria yang “menjadi waria” karena proses mendadak

3
(Nadia, 2005). Hidup sebagai waria adalah hasil akhir dari akumulasi

masalah-masalah yang dihadapi semasa proses “menjadi waria”, yang

berlangsung dari masa anak-anak hingga ia mencapai dewasa

(Koeswinarno, 2004).

Berbagai cara mereka lalui untuk mendapat pengakuan atas

keberadaan mereka, diantaranya adalah munculnya penyelenggaraan

kontes Miss Waria, baik di tingkat daerah maupun nasional dan

munculnya berbagai figur waria ke permukaan, baik melalui keahlian

dan kecerdasan mereka. Munculnya berbagai figur waria ke

permukaan merupakan langkah awal usaha untuk diterima di

masyarakat. Baik melalui keahlian, kecerdasan dan lain sebagainya.

Sebut saja Merlyn Sopjan, seorang penulis buku ”Jangan Lihat

Kelaminku”.

Waria lulusan Institut Teknologi Nasional Malang ini, pernah

mencalonkan diri sebagai anggota legislatif Kota Malang mewakili

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia pada tahun 2003. Waria

cantik kelahiran Kediri ini bahkan dianugerahi gelar Doktor HC dari

Northern California Global University Amerika karena keterlibatannya

sebagai aktivis sosial HIV/AIDS. Ketua Ikatan Waria Malang ini pernah

menyandang gelar Ratu Waria Indonesia 1995 (Suara Merdeka dalam

STUDIA, 2006). Megie Megawatie, adalah waria yang berjuang keras

agar kaumnya tidak terpinggirkan, yaitu melalui kontes waria. Selain

itu, ada Shunniyah R.H, waria berkerudung, yang menulis

4
buku”Jangan Lepas Jilbabku.” Dia adalah alumni Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta, jurusan sosial politik dengan predikat Cum Laude,

yang menyelesaikan bangku kuliah dalam waktu hanya 3 tahun 40

hari (Muslichan, Wiramada, & Galih dalam Indosiar ”Hitam Putih”,

2006). Namun, sampai saat ini, waria masih mendapat perlakuan yang

negatif dari berbagai pihak. Hal ini terjadi karena sebagian besar

masyarakat memiliki pemahaman atau konsep yang salah mengenai

kaum minoritas ini (Yash, 2003).

Dalam masyarakat, sebagian besar waria dikenal

keberadaannya karena mereka kerap beraksi menghentikan

kendaraan yang melintas di sejumlah pinggir jalan Jakarta, seperti di

kawasan Menteng Jakarta Pusat yang mereka sebut ”teli” atau ”taman

lawang”, kawasan Jalan Brawijaya Jakarta Selatan, serta ”kawasan

boker”, Jalan Raya Bogor. Mereka-mereka inilah sebagai penjaja

kenikmatan untuk mengumpulkan rupiah (Muslichan, Wiramada, &

Galih dalam Indosiar ”Hitam Putih”, 2006). Konstruksi sosial

masyarakat selama ini terbiasa melihat kehidupan waria yang selalu

identik dengan dunia pelacuran atau prostitusi. Pandangan ini secara

tidak langsung akan melahirkan pengasingan sosial dan penolakan

terhadap keberadaan waria (Nadia, 2005). Begitu juga dari segi religi,

secara umum agama-agama besar yang ada di Indonesia menolak

keberadaan mereka (STUDIA, 2006).

5
Waria Yani suyanto kelahiran 1971 dan waria yang bernama Viru

devana berusia 34 tahun yang merupakan salah satu anggota IWAMA

(Ikatan Waria Malang) yang ingin menikah. Yang mengejutkan, Viru

tak menampik bahwa menjadi waria memang merupakan sebuah

bentuk anomali karena waria memiliki fisik pria namun berperilaku

seperti wanita. “kalau waria sendiri memang kita sebagai waria adalah

laki-laki. Kadang mereka (para waria) beranggapan bahwa hati

mereka adalah perempuan” ungkap Viru. Meski begitu, Viru tak mau

menyebutkan waria sebagai hal yang “tidak normal” atau dilaknat

secara agama.

Hal ini karena Viru percaya bahwa waria bisa disembuhkan dan

bisa menjadi laki-laki. Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi

waria untuk kembali normal menjadi pria antara lain adalah faktor niat,

hidayah, dukungan orang disekitar, serta operasi plastik. “kalau waria

tidak melakukan perubahan pada tubuh mereka, sangat mudah untuk

kembali normal. Namun kalau mereka sudah operasi, sudah macem-

macem, suntik botox, dan lainnya, mereka sudah merasa seperti

wanita dan ingin memuaskan pria, itu sangat sulit”, tutur pria yang

telah menjadi waria selama 13 tahun ini. Ketika ditanya mengenai

niatnya untuk kembali normal menjadi pria, Viru menjawab dengan

tegas bahwa dia memiliki perasaan untuk kembali normal.

Namun untuk saat ini, dia masih membutuhkan waktu untuk

berproses. “saya sendiri pribadi untuk saat ini masih butuh proses.

6
Tapi kalau saya sendiri, saya yakin bisa. Saya memiliki niat untuk

kembali ke normal, untuk menikah. Suatu saat, kalau Allah memberi

hidayah, ada niat, saya pasti bisa”, jelasnya berapi-api. Meski proses

untuk kembali menjadi pria tak akan sama bagi semua waria, namun

Viru menekankan bahwa tak ada kat terlambat bagi waria untuk

kembali menjadi seorang pria. Selama ada niat yang kuat, usaha,

serta dukungan dari orang sekitarnya.

Kemala Atmojo (1986 dalam Nadia, 2005) menjelaskan bahwa,

waria adalah fenomena transseksualitas. Melalui pengamatan yang

dilakukan, diasumsikan bahwa sebagian besar dari mereka

merupakan transseksual. Istilah waria memang ditunjukkan untuk

seorang transseksual (seseorang yang memiliki fisik yang berbeda

dengan keadaan jiwanya). Ma’shum & Tyas (dalam Kompas, 2004)

memberikan pengertian sederhana mengenai waria. Waria secara fisik

ingin berpenampilan seperti wanita, dan secara psikologis dia

mengidentifikasikan dirinya sebagai wanita, namun secara biologis

adalah pria dengan organ reproduksi pria. Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan kata waria menggantikan transseksual atau

gender identity disorder, karena sebutan waria ini merupakan

representasi bahasa Indonesia (waria/wanita-pria) dan lebih mudah

dikenali dan dipahami oleh masyarakat secara umum. Berdasarkan

referensi klinis, terlihat bahwa laki-laki memiliki frekuensi enam kali

lebih tinggi dari wanita menjadi transsexual (Zucker et al. Dalam

7
Davidson, Neale & Kring, 2004). Masih dalam buku yang sama,

berdasarkan data American Psychiatric Association menyatakan

prevalensi gangguan ini berbeda tajam, satu di antara 30.000 laki-laki,

dan satu di antara 100.000-150.000 perempuan mengalami gangguan

ini. Pembentukan “waria” tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan

proses yang cukup panjang. Munculnya fenomena kewariaan tidak

lepas dari kebiasaan-kebiasaan pada masa anak-anak ketika mereka

dibesarkan di dalam keluarga, yang kemudian mendapat penegasan

pada masa remaja, yang menjadi penyumbang terciptanya waria.

Tidak satu pun waria yang “menjadi waria” karena proses

mendadak (Nadia, 2005). Hidup sebagai waria adalah hasil akhir dari

akumulasi masalah-masalah yang dihadapi semasa proses “menjadi

waria”, yang berlangsung dari masa anak-anak hingga ia mencapai

dewasa (Koeswinarno, 2004). Contohnya adalah bernama Shika

(dalam Koeswinarno, 2004), seorang waria yang dibesarkan dalam

keluarga Jawa yang sangat kental dan ketat. Menurut pengakuannya,

sejak kecil penampilannya sudah berbeda dibandingkan dengan

teman-teman laki-laki sebayanya. Shika masih ingat ketika ibunya

hendak pergi ke pasar Beringharjo, ia justru memesan kepada ibunya

perlengkapan permainan anak perempuan, bukan peralatan

permainan anak laki-laki. Peristiwa-peristiwa demikian ini terjadi

berulang kali dan di luar kesadaran orang tua terhadap perilaku

anaknya.

8
Tanda-tanda berbeda tersebut jarang disadari oleh orang tua

mereka, sehingga ketika perilaku itu menjadi perilaku yang menetap

pada masa menginjak remaja, baru orang tua menyadari ada yang

berbeda dengan anaknya. Sopjan (2005) mengalami hal yang serupa,

dalam bukunya yang berjudul “Jangan Lihat Kelaminku, Suara Hati

Seorang Waria”, mantan ratu waria ini mengungkapkan, sejak kecil dia

sudah merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Terlihat dari tokoh

pahlawan yang disukainya yang berjenis kelamin wanita,

kesukaannya memakai pakaian yang ketat. Tanda ‘berbeda’ itu baru

disadari ibunya saat dia berusia 18 tahun, surat cintanya pada

“cowok”nya dibaca oleh kakak perempuannya. “saat gue usia 18, ibu

gue tahu bahwa gue lain. Gara-gara surat buat cowok gue yang gue

simpan di lemari terbaca kakak perempuan gue. Gue inget banget,

sepulang sekolah ibu gue masuk ke kamar gue dengan raut wajah

yang gue gak bisa lukiskan”

Dalam proses menjadi waria, individu mengalami masa dimana

individu melakukan cross dressing (menggunakan pakaian lawan

jenisnya) secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dilakukan secara

rahasia, karena ada ketakutan akan terbongkarnya perilaku mereka,

dan adanya pertimbangan akan konsekuensi yang diterimanya jika

perilakunya terbongkar (Ekins, 1997). Kejadian ini dialami oleh

seorang waria (Koeswinarno, 2004) yang tidak disebutkan namanya

untuk alasan kerahasiaan.

9
“Ketika SMP, saya sering bercermin, memakai pakaian

perempuan milik kakak saya dengan cara sembunyi-sembunyi di

kamar. Sambil bergaya dan bicara sendirian, saya merasa ada hal

yang tidak sama dengan fisik saya. Sering pula saya mencuri lipstik

milik kakak perempuan saya atau ibu saya, sampai-sampai pernah

suatu ketika ketahuan bapak. Habislah saya. Saya dimarahi habis-

habisan. Meskipun tidak sampai memukul, tetapi kemarahan ayah

saya itu benar-benar menunjukkan ketidaksenangan kepada saya”

Seiring dengan adanya kesadaran bahwa waria memiliki orientasi

seksualnya berbeda, yang mungkin diketahuinya dari ulasan atau

artikel dari majalah atau telah bertemu dengan waria lainnya, terdapat

keinginan dan usaha yang semakin kuat untuk melakukan cross-

dressing (Walters & Ross, 1986). Selain memakai pakaian

perempuan, mereka juga memakai kosmetik, dan juga aksesoris

perempuan (Johnson & Gordon, 1980), menghilangkan bulu-bulu kaki,

dan bahkan merubah suaranya menyerupai warna suara perempuan

(Koeswinarno, 2004).

Tidak hanya mengubah penampilannya, waria juga berusaha

mengubah fisik mereka dengan berbagai cara. Baik melalui operasi

payudara, bibir (Nadia, 2005), dan melakukan usaha manipulasi

hormon (DSM-IV-TR, 2004). Untuk mengukuhkan diri sebagai

perempuan, beberapa waria melakukan tindakan medis yang ekstrim,

yaitu operasi penggantian kelamin, seperti yang dilakukan oleh Dorce

10
Gamalama, seorang entertainer terkenal di Indonesia. Dorce (dalam

Gamalama & Gunawan, 2005) melakukan operasi penggantian

kelamin di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya. Setelah itu, dia juga

mengurus pengubahan jenis kelaminnya secara hukum di Pengadilan

Negeri Surabaya, yang dikabulkan pada tahun 1986. Peran keluarga

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan

waria. Seorang waria yang dilahirkan dalam keluarga yang baikbaik,

taat beragama, berpendidikan, ditambah dengan keberadaan orang

tua yang pada akhirnya menerima keberadaan mereka secara

otomatis akan mempunyai pengaruh yang baik bagi perkembangan

waria. Karena, jika keluarga sudah menerima keberadaan mereka,

maka dukungan, baik itu secara moril atau pun materiil akan mereka

dapatkan. Kemungkinan untuk dapat diterima oleh masyarakat

dengan baik akan semakin tinggi pula.

Di Indonesia secara umum, hadirnya seorang waria tidak pernah

dikehendaki oleh keluarganya. Dalam banyak kasus, banyak waria

yang akhirnya pergi meninggalkan rumah dan keluarganya, setelah

keluarganya menyadari bahwa dia “berbeda” dengan laki-laki pada

umumnya. Tidak banyak waria yang diterima dengan baik oleh

keluarganya (Nadia, 2005). Selain keluarga, masyarakat juga

berperan penting dalam proses “menjadi waria”. Yash (2003)

mengemukakan, bahwa pandangan masyarakat memberi pengaruh

besar pada proses pencapaian eksistensi seorang waria. Masyarakat

11
Indonesia saat ini memiliki pemahaman yang salah terhadap waria

dikarenakan minimnya sumber informasi yang layak mengenai waria.

Koeswinarno (2004) menambahkan, tekanan-tekanan dari masyarakat

muncul lebih kompleks dibandingkan tekanan yang ada dalam

keluarga. Pandangan bahwa dunia waria identik dengan pelacuran,

melahirkan rekasi negatif dari masyarakat pada waria. Waria kerap

dikucilkan, dicemooh, diprotes, dan ditekan dengan aturan yang ketat

oleh lingkungan.

Berdasarkan data-data yang disebutkan tersebut sehingga

memotivasi peneliti ingin mengetahui bagaimana usaha dan bentuk

perilaku waria tersebut ketika ingin menjadi normal kembali atau

menjadi kodrat yang sesungguhnya.

B. Pertanyaan Peneliti

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka

peneliti tertarik untuk mengetahui “Bagaimana usaha perilaku waria

untuk menjadi normal”. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui :

1. Bagaimana kehidupan sehari-hari subjek?

2. Bagaimana tanggapan keluarga dan masyarakat tentang subjek ?

3. Bagaimana usaha yang dilakukan subjek untuk kembali normal?

12
C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kehidupan sehari-hari subjek

2. Mengetahui seperti apa tanggapan keluarga dan masyarakat

tentang subjek

3. Untuk mengetahui usaha serta bentuk perilaku subjek ketika ingin

menjadi normal

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu

psikologi khususnya psikologi kepribadian

b. Dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang

ingin mengadakan penelitian-penelitian lanjutan mengenai waria

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah: sebagai bahan referensi

atau acuan bagi kalangan yang tertarik dan terlibat dalam

kehidupan waria.

13
BAB II

TINJAUAN TEORI

Waria adalah laki-laki yang berorientasi seks wanita dan

berpenampilan seperti wanita. Waria benar-benar pria yang menunjukkan

dirinya sebagai wanita. Waria, secara fisik ingin berpenampilan seperti

wanita dan secara psikologis mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai

wanita. Secara biologis, para waria adalah pria dengan organ reproduksi

pria meski ada beberapa waria yang kemudian berganti kelamin melalui

operasi. Namun demikian, organ reproduksi “baru” itu tidak bisa berfungsi

seperti organ reproduksi wanita. Misalnya, tidak bisa haid dan tidak bisa

hamil karena tidak punya sel telur dan rahim. Perlu diketahui bahwa

seorang pria yang berperilaku mirip perempuan, belum tentu memiliki

orientasi seksual homoseks. Banyak juga pria dengan perilaku seperti itu

yang orientasi seksualnya heteroseks. Kenapa dia bisa berperilaku seperti

itu, kemungkinan diakibatkan oleh pola asuh dan faktor hormonal. Waria,

dalam konteks psikologis, termasuk penderita transeksualisme, yakni

seorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna.

Namun secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan

jenis.

14
A. Teori Ekologis

Teori ini dikemukakan oleh Urie Bronfen Broiner (1917-2005).

Teori ini mempunyai asumsi awal bahwa semua sistem individu

mempunyai sistem yang beragam yang kompleks dalam konteks

sosial. Menurut teori ekologis oleh Urie Bronfen Brainer, keluarga,

teman, tetangga, guru sekolah disebut sebagai microsystem atau

orang yang berhubungan langsung dengan individu, yang sangat

mempengaruhi seorang individu. Menurut teori ekologis oleh Urie

Bronfen Brainer, keluarga, teman, tetangga, guru sekolah disebut

sebagai microsystem atau orang yang berhubungan langsung dengan

individu, yang sangat mempengaruhi seorang individu. Keluarga

dalam banyak literatur mengenai sosialisasi juga disebutkan sebagai

agen sosialisasi yang paling penting diantara semua agen-agen

sosialisasi.

B. Teori Sosialisasi

Sosialisasi adalah proses penanaman atau transfer kebiasaan

atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam

sebuah kelompok/masyarakat. Sosialisasi merupakan suatu kegiatan

yang bertujuan agar pihak yang dididik atau diajak, kemudian

mematuhi kaidah-kaidah, dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh

masyarakat. Tujuan pokok adanya sosialisasi tersebut bukanlah

semata-mata agar kaidah-kaidah dan nilai diketahui serta dimengerti.

15
Tujuan akhirnya adalah agar manusia bersikap dan bertindak sesuai

dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku serta agar yang

bersangkutan yang menghargainya. Dalam keluarga anak akan

mendapatkan fungsi sosialisasi yang akan membentuk kepribadian

dan penentu keberhasilan anak. Dan keluarga menjadi faktor penting

dalam memahami proses sosial secara umum karena keluarga

sebagai unsur inti dalam struktur sosial. Proses sosialisasi merupakan

proses belajar sosial yang berlangsung sepanjang hidup, bermula

sejak individu lahir hingga mati.

Dalam proses sosialisasi ini individu mendapatkan pengawasan,

pembatasan, hambatan dari manusia lain atau masyarakat. Tetapi

individu juga mendapatkan dorongan, bimbingan, stimulasi, dan

motivasi dari manusia lain atau masyarakatnya. Sampai saat ini

kehidupan waria masih belum bisa diterima oleh sebagian besar

masyarakat kita, bahkan keluarga mereka sendiri, padahal

pembentukan kepribadian seorang pria menjadi waria ternyata juga

dipengaruhi oleh sosialisasi yang salah oleh agen-agen sosialisasi

termasuk keluarga.

Untuk lebih jelasnya disini juga akan dijelaskan tentang peta

kelainan seksual dari perspektif psikologi. Ada empat kelompok besar

yang termasuk dalam gangguan psikoseksual, yaitu:

16
1. Gangguan Identitas Jenis

Gangguan ini ditandai dengan adanya perasaan tidak

senang terhadap jenis kelaminnya. Golongan ini adalah

transeksualisme, gangguan identitas jenis masa anak-anak.

2. Parafilia

Kelainan ini ditandai dengan adanya ketidak laziman pada

obyek serta situasi seksualnya. Umumnya ia lebih menyukai

pemakaian benda untuk merangsang dirinya sendiri dan tidak

jarang ia melakukan hubungan seks dengan pasangan yang justru

tidak dikehendakinya.. yang termasuk dalam golongan kelainan

ini, yaitu sexual masochism, zoophylia, voyeurism, exhibitionism,

transvetisme, dll.

3. Disfungsi psikoseksual

Gangguan yang termasuk dalam kelompok ini adalah

impotensi, ejakulasi, dll.

4. Gangguan psikoseksual lainnya.

Keberadaan waria sebagai mahluk yang kurang sempurna,

secra fisik maupun psikis. Untuk lebih jelasnya lagi Waria sendiri

ada bermacam-macam gejalanya, yaitu :

a. Homoseksual

Homoseksual adalah relasi seks dengan jenis kelamin

yang sama, atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang

sama secara perasaan atau secara erotik, baik secara

17
predominsn maupun ekslusif terhadap orang-orang yang

berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik.

Jadi pada intinya homoseksual merupakan seorang laki-laki

yang normal dari segi fisik maupun psikisnya. Dia tetap

merasa kalau dirinya adalah laki-laki sehat, akan tetapi

orientasi seksualnya yang bermasalah atau mengalami

gangguan, yaitu ketertarikannya terhadap sesame laki-laki

lebih dominant. Yang membedakan homoseksual dengan

waria adalah dalam segi berpakaian dan berpenanmpilan,

seorang homoseks tidak perlu berpenampilan selayaknya

penampilan seorang perempuan. Munculnya gejala perilaku

homoseksual ada yang berpendapat bahwa hanya merupakan

tren atau gaya hidup dari masyarakat modern. Jadi problem

perilaku homoseksual merupakan sebab dari factor

lingkungan.

b. Hermafrodit

Hermafrodit adalah keadaan ekstrem interseksualitas

dengan gangguan perkembangan pada proses pembedaan

kelamin, apakah akan dibuat perempuan atau laki-laki. Pada

kelompok hermafrodit kesulitan utama adalah ketika ia harus

ditentukan jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan. Waria

hermafrodit jelas secara fisik-biologis dia mengalami kelainan.

Pada kenyataannya keberadaan kaum hermafrodit merupakan

18
cacat yang diderita semenjak lahir (karena berkaitan dengan

fisik) dan bisa dikembalikan normal sesuai dengan jenis

kelaminnya. Dalam kasus hermafrodit, para medis

menyatakan bahwa setiap 20.000 kelahiran akan selalu

didapati kasus semacam ini. Hermafrodit sendiri dibagi

menjadi dua macam, yaitu :

1) Hermafrodit Sejati, adalah keadaan bahwa seseorang

mempunyai alat kelamin dalam perempuan dan alat

kelamin laki-laki sekaligus.

2) Hermafrodit Palsu, adalah seseorang yang memiliki alat

kelamin dalam, dari satu jenis kelamin, namun beralat

kelamin luar, dari jenis kelamin lawannya. Hermafrodit

palsu ini ada tiga macam, yaitu:

a) Pseudohermafrodit laki-laki bersifat laki-laki

(Masculinizing male pseudohermafrodi)t. Secara

umum tampak seperti laki-laki atau seperti

perempuan, memiliki testis yang tidak sempurna, alat

kelamin luar meragukan tetapi kira-kira penis,

payudara tidak berkembang, tubuh berambut seperti

laki-laki.

b) Pseudohermafrodit laki-laki bersifat perempuan

(Feminizing male pseudohermafrodit). Secara umum

tampak seperti perempuan, payudara berkembang.

19
Ada yang mempunyai perilaku seks seperti

perempuan, meskipun tanpa sadar, jelas mempunyai

testis tanpa jaringan ovarium tetapi kurang sempurna

karena rangsangan feminisasi, penisnya menyerupai

klitoris yang besar, tidak terdapat haid karena tidak

ada jaringan ovarium.

c) Pseudohermafrodit perempuan. Secara umum tampak

seperti laki-laki, alat kelamin luar meragukan,

mempunyai ovarium akan tetapi tidak sempurna.

Dengan demikian hermafrodit termasuk dalam kelainan

seksualitas jika dilihat dari kacamata biologis-medis. Seperti

yang telah dijelaskan bahwasanya hermafrodit disebabkan

oleh kelaianan ketidak seimbangan hormon saat lahir.

c. Transvetisme

Transvetisme adalah sebuah nafsu yang patologis untuk

memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya. Dan dia akan

mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian dari

jenis kelamin lainnya. Dalam transvetisme yang lebih

ditonjolkan adalah kepuasan seks seseorang yang didapat

dari cara berpakaian yang berlawanan dengan jenis

kelaminnya. Jika seseorang itu berjenis kelamin laki-laki maka

ia akan mendapatkan kepuasan seks dengan memakai

pakaian perempuan. Sebaliknya, jika seseorang itu berjenis

20
kelamin perempuan, ia akan mendapatkan kepuasan seks

hanya dengan memakai pakaian laki-laki. Pakaian baginya

adalah sebaga alat untuk meningkatkan dan menimbulkan

gairah seks. Seorang transvetis yang diserang pada umumnya

adalah daya khayalnya, yakni bahwa dengan imajinasi dan

intuisi melalui cara berpakaian lawan jenisnya, ia merasakan

sebuah kenikmatan seksual. Disini seorang transvetisme tetap

berusaha untuk mempertahankan identitas kelaminnya, meski

ia memakai pakaian yang bukan untuk jenisnya. Dengan

demikian transvetisme termasuk dalam gangguan

psikoseksual parafilia yang sampai saat ini belum dapat

diketahui penyebabnya.

d. Transeksual

Pada waria, sebagai seorang transeksualis, memiliki

karakteristik yang berbeda. Seorang transeksualis, secara

jenis kelamin sempurna dan jelas, tetapi secara psikis

cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis. Transeksual

lebih banyak dialami oleh kaum laki-laki dibanding kaum

perempuan. Kaum transeksual adalah kondisi psikis bukan

dari pakaian yang mereka kenakan, sehingga kaum

transeksual sering dianggap sebagai orang yang terjebak

pada jenis kelamin yang salah karena identitas kelaminnya

yang terganggu. Sebagai gejala transeksualisme, yakni gejala

21
merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur

fisiknya, keinginan untuk mengubah jenis kelaminnya lebih

banyak ditentukan oleh factor psikis. Maka berbagai cara

dilakukan untuk mengubah dirinya menjadi seorang

perempuan. Adapun ciri-ciri kaum waria transeksual adalah

sebagai berikut :

1) Identifikasi transeksual harus sudah menetap minimal 2

tahun dan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain

seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelaiana

intersesk, genetic atau kromosom.

2) Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota

dari lawan jenisnya biasanya disertai perasaan risih dan

ketidakserasian anatomi tubuhnya.

3) Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal

dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip

mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.

Pada waria transeksual pun masih dibagi menjadi

beberapa tipe, yaitu :

1) Transeksual yang aseksual, yaitu seorang transeksual

yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual

yang kuat.

2) Transeksual homoseksual, yaitu seorang transeksual

yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin

22
yang sama sebelum ia sampai ke tahap transeksual

murni.

3) Transeksual yang heteroseksual, yaitu seorang

transeksual yang pernah menjalani kehidupan

heteroseksual sebelumnya

23
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian tentang “bagaimana usaha dan bentuk perilaku waria

ketika ingin menjadi normal” ini menggunakan metode pendekatan

kualitatif. Penelitian kualitatif artinya data yang diperoleh akan

dikumpulkan dan diwujudkan secara langsung dalam bentuk deskripsi

atau gambaran tentang suasana/keadaan objek secara menyeluruh

dan apa adanya berupa kata-kata lisan atau tertulis dari orang atau

perilaku yang diamati (Moleong, 1988:3). Jenis penelitian kualitatif

adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata

tertulis yang merupakan deskripsi tentang suatu hal. Data-data

tersebut diperoleh melalui kegiatan pengamatan di lapangan, dan

wawancara. Dengan metode ini diharapkan agar data yang sudah

terkumpul selanjutnya dapat disusun menjadi sebuah penelitian

ilmiah.

B. Batasan istilah

Dalam rangka menghindari kesalahan interpretasi dan anggapan

yang keliru dari berbagai pihak terhadap judul dan pembahasan ini,

makan peneliti perlu merumuskan batasan istilah yang digunakan.

24
Adapaun batasan istilah yang dimaksudkan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Waria adalah laki-laki yang berorientasi seks wanita dan

berpenampilan seperti wanita.

2. Normal adalah suatu kondisi yang sesuai dengan kondisi yang

seharusnya.

C. Informan Penelitian

Informan penelitian adalah orang yang narasumber dalam

penelitian, berdasarkan judul yang ingin diteliti adalah usaha perilaku

waria yang ingin menjadi normal, maka peneliti mengambil dua

informan pada penelitian ini. dikarenakan informan penelitian yang

peneliti temukan terbatas.

D. Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti akan melakukan

penelitian terhadap subyek. Dalam penelitian ini, peneliti memilih

lokasi di wilayah Makassar.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai alat

pengumpulan data utama. Hal ini dilakukan karena peneliti ingin

memahami kaitan antara kenyataan yang ada di lapangan. Peneliti

25
sebagai perencana, pelaksana, menganalisis, menafsirkan, hingga

melaporkan hasil penelitian. Buku catatan lapangan yang diperoleh

langsung dari lokasi penelitian merupakan bagian dari instrumen

penelitian.

F. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang sesuai dengan penelitian

diperlukan teknik pengumpulan data dengan cara menggunakan

peranan manusia sebagai instrumennya, mulai dari observasi hingga

wawancara, Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai

berikut :

1. Observasi

Pengamatan (observasi), yaitu cara pengumpulan data

dengan melibatkan hubungan interaksi sosial antara peneliti dan

informan dalam suatu latar penelitian (pengamatan objek

penelitian di lapangan). Pengamatan dilakukan dengan

mengamati dan mencatat semua peristiwa. Cara ini bertujuan

untuk mengetahui kebenaran/fakta yang ada di lapangan

(Moleong, 1988:125-126). Metode observasi ini peneliti lakukan

terutama pada kehidupan waria pada kesehariannya

2. Wawancara

Wawancara yaitu cara penelitian dengan wawancara antara

peneliti dan informan secara nonformal, artinya peneliti melakukan

26
tanya jawab dengan informan menggunakan bahasa santai seperti

berbicara biasa. Hal ini bertujuan agar antara peneliti dan

informan tidak ada jarak sehingga tanya jawab berlangsung santai

(Moleong, 1988:136).

G. Teknik Analisi Data

Ada beberapa cara yang digunakan untuk menganalisis data.

Menurut Usman dan Akbar (Dewi, 2004) terdapat tiga langkah dalam

menganalisis data, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Reduksi Data

Reduksi data dilakukan dengan memilih hal-hal pokok yang

sesuai dengan fokus penelitian, kemudian data-data yang telah

direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil

pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya jika

sewaktu-waktu diperlukan. Reduksi data dapat pula membantu

memberikan kode-kode pada aspek tertentu.

2. Display Data

Data yang menumpuk kurang dapat memberikan gambaran

secara menyeluruh. Oleh sebab itu diperlukan display data yang

menyajikan matriks grafik atau sketsa tentang bagian penting

data.

3. Mengambil Keputusan dan Verifikasi

27
Data yang telah melalui proses display dan telah

diidentifikasi dengan data yang lain, maka akan dicari hubungan,

pola, dan persamaan yang sering muncul, kemudian menarik

kesimpulan berdasarkan data tersebut. Kesimpulan yang ditarik,

harus diverifikasi lebih awal sebelum berakhirnya penelitian. Hal

ini diperlukan dalam rangka mengantisipasi terjadinya kekeliruan

dalam pengambilan data, analisis dan penarikan kesimpulan.

H. Keabsahan Data

Untuk mengecek validitas temuan, maka pengecekan validitas

yang digunakan adalah validitas permukaan. Pengertian Validitasi

menurut H. Hadari Nawawi (1987) bahwa validitas pengumpulan data

ini dinyatakan melalui bagaimana kelihatannya suatu alat

pengumpulan data itu dalam mengungkapkan data yang diperlukan

untuk memecahkan suatu masalah. Terkait dengan permasalahan

yang akan diteliti, maka peneliti menggunakan validitas permukaan,

yaitu dengan meneliti kesesuaian terjemahan butir-butir pertanyaan

yang tercantum dalam instrument penelitian berdasarkan variabel

yang diteliti. Dengan kata lain apakah alat atau instrument itu benar-

benar kelihatan dan dapat mengungkapkan fenomena-fenomena dan

atau gejala-gejala yang hendak diteliti.

28
DAFTAR PUSTAKA

Junaidi, Iskandar dan Dorce Tandung. 2012. Anomali Jiwa. Yogyakarta:


Penerbit Andi.

NN. TT. Waria yang ingin menjadi normal. http://www.gunadarma.ac.id. 11


Desember

NN. TT. Hasil penelitian tentang waria. http://digilib.unsby.ac.id. 11


Desember

29

Anda mungkin juga menyukai