Anda di halaman 1dari 13

PERGANTIAN DAN PENYEMPURNAAN ALAT KELAMIN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Masailul Fiqhiyyah

NAMA : NABILA ZULFA

NPM : 1813020006

JURUSAN : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DOSEN : Bpk. Ahmad Ibrohim, Lc, MA

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM ATTAHIRIYAH JAKARTA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Harapan saya semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini

Jakarta, 20 Januari 2021

Nabila Zulfa
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tuhan telah menciptakan manusia dalam dua bentuk yaitu pria dan wanita,
dengan Adam dan Hawa sebagai cikal bakalnya, dan sama halnya seperti Romeo dan
Juliet. Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada sekelompok
orang yang sangat kecil jumlahnya-mungkin sejuta satu karena dalam statistik belum
pernah diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut. Berbeda dengan
jumlah lelaki atau perempuan yang sering diinformasikan, dimana jumlah lelaki 43%
dari jumlah penduduk Indonesia dan jumlah kaum perempuan 57%. Mereka itu adalah
makhluk Tuhan yang disebut Waria. Mereka sepertinya belum mendapatkan perhatian
dan seperti dibiarkan hidup pada habitatnya mencari dan berjuang mempertahankan
hidup menurut maunya. Mereka seperti belum tersentuh hukum, tapi mereka
terkadang dicari bila dibutuhkan atau diperlukan untuk suatu kepertingan atau tujuan
sesaat.
Beberapa waktu yang lalu kita mendengar berita yang cukup menggegerkan.
Tepatnya pada tanggal 22 Desember 2009 PN Batang telah mengesahkan status Agus
wardoyo yang sebelum nya pria menjadi seorang wanita bernama Nadia Ilmira
Arkadea. Bahkan Agus Wardoyo telah melakukan operasi kelamin di RSUD
DR.Sutomo Surabaya untuk mewujudkan impiannya tersebut.
Lantas bagaimana kah pandangan islam terhadap masalah ini? Bolehkah
seorang melakukan operasi ganti kelamin? Kalau boleh bagaimana syarat-syaratnya?
Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba untuk menjelaskan masalah masalah
tersebut diatas.
Belakangan ini semakin banyak fenomena waria yang berkeliaran di jalanan
untuk mengadu nasib khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka
yang menodai atribut muslimah dengan ikut memakai kerudung. Selain itu ironisnya,
di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan dan
mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara talkshow,
parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan legitimasi dan
figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan
perubahan orientasi dan kelainan seksual.
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut
juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala
ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik
dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin
yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan
tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment
Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III,
penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome.Penyimpangan ini
terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transseksual, a-seksual, homoseksual,
dan heteroseksual.
Khusus untuk tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara
lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya;
berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami
guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun; adanya
penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya
kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of
Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala
pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku
negativisme.
Dalam hukum Indonesia sendiri belum ada ketentuan yang jelas mengatur
mengenai kedudukan masalah transseksual maupun kedudukan para waria.Padahal
dengan semakin meningkatnya globalisasi di dunia, masalah-masalah seperti ini
semakin sering muncul.  Para waria dengan mudah dapat ditemui di berbagai sudut
kota. Bahkan di Thailand, secara rutin dalam setahun diadakan kontes kecantikan
untuk para waria yang belakangan rupanya juga telah ada di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari pemaparan di atas, maka dalam tulisan ini Saya berniat untuk
membahas beberapa masalah, yaitu :
1. Bagaimanakah kedudukan hukum dari operasi pergantian kelamin ?
2. Apa konsekuensi hukum dari pergantian kelamin itu ?
3. Bagaimana menganalisa operasi pergantian kelamin itu ?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang sudah ditentukan maka makalah ini mempunyai
tujuan untuk :
1. Untuk mengetahui hukum operasi pergantian kelamin
2. Untuk mengetahui konsekuensi dari pergantian kelamin
3. Untuk mengetahui analisa operasi pergantian kelamin
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Transgender
Pada hakikatnya , masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut
juga sebagai gejala transexsualisme atau transgender merupakan gejala ketidak puasan
seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin
dengan kejiwaan ataupun adanya ketidak puasan dengan alat kelamin yang
dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, gaya dan tingkah laku, bahkan
sampai kepada operasi penggantian kelamin.
Transeksual dapat diakibatkan oleh faktor bawaan[hormon dan gen] dan
faktor lingkungan. Perlu dibedakan penyebab transeksual kejiwaan dan bawaan. Pada
kasus transeksual karena bawaan, menyeimbangkan kondisi hormonal guna
mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang
sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetika maupun hormonal dan
memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan
hawa nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat
islam.

B. Kedudukan Hukum Dari Operasi Pergantian Kelamin


Secara umum, transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen)
dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada
masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku
perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma,
trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab
transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan
hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna
mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang
sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan
memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan
dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan bahkan tidak
dibenarkan menurut syariat Islam.
Dalam dunia kedokteran modern sendiri, dikenal tiga bentuk operasi kelamin
yaitu:
1. Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir
memiliki kelamin normal;
2. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang
yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti alat kelamin yang tidak berlubang
atau tidak sempurna;
3. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang
yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin.

Pertama: Masalah seseorang yang ingin mengubah jenis kelaminnya


sedangkan ia lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya dan bagi
perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium, maka pada umumnya tidak
dibolehkan atau banyak ditentang dan bahkan diharamkan oleh syariat Islam untuk
melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang
Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun
diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama
dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada dalil-dalil
diantaranya yaitu Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai
wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh karena itu kasus
ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan
dengan merubah ciptaan Tuhan melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan
(spiritual and psychological therapy).
Kedua: Jika operasi kelamin yang dilakukan bersifat perbaikan atau
penyempurnaan dan bukan penggantian jenis kelamin, maka pada umumnya itu masih
bisa dilakukan atau dibolehkan. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang
berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan/atau sperma, maka operasi untuk
memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga
menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit
yang harus diobati.
Para ulama seperti Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam
bukunya Shafwatul Bayan (1987:131) memberikan argumentasi hal tersebut bahwa
orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan
sosial sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat
normal serta kadang mencari jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria
atau melakukan homoseks dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam
berdasarkan hadits Nabi saw.: “Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual”
(HR.al-Bukhari). Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan
kelamin boleh dilakukan. Dalam kaidah fiqih dinyatakan “Adh-Dhararu Yuzal”
(Bahaya harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari dan
menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam.
Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw.: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah!
Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula
obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad)
Ketiga: Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, maka untuk
memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat
kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah
satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki alat kelamin pria dan wanita,
sedangkan pada bagian dalam tubuhnya ia memiliki rahim dan ovarium yang menjadi
ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh menghilangkan
alat kelamin prianya untuk memfungsikan alat kelamin wanitanya dan dengan
demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena
keberadaan zakar yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu
dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan
kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun
dari segi kehidupan sosialnya. Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan
kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang
mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan
Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang
Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren
Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Khusus mengenai kasus yang terakhir ini, Pengadilan Negeri Purwokerto telah
mengeluarkan putusan yang berkaitan dengan penggantian jenis kelamin atas Aan,
seorang bocah berusia 6 tahun.Pada awalnya, bocah ini hanya memiliki alat kelamin
wanita.Namun selang 10 hari setelah kelahirannya, dukun bayi yang membantu saat
bocah ini dilahirkan melihat adanya munculnya alat kelamin laki-laki pada bayi
tersebut.Dalam perkembangannya, Aan memiliki dua alat kelamin sehingga dilakukan
pemeriksaan secara medis di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, dan diketahui bahwa
Aan tidak memiliki rahim.Maka tidak adanya rahim dalam tubuh Aan menjadi salah
satu pertimbangan PN Purwokerto untuk lebih menetapkan Aan sebagai pria dan
bukan sebagai wanita.
Tidak adanya aturan hukum yang jelas yang mengatur mengenai kedudukan
pergantian kelamin ini menyebabkan banyak kesalahan persepsi yang terjadi di
kalangan masyarakat mengenai boleh atau tidaknya melakukan operasi
kelamin.Banyak yang berpendapat bahwa melakukan operasi pergantian kelamin itu
sah-sah saja karena itu merupakan hak asasi tiap orang. Namun, jika perubahan
kelamin itu hanya untuk menuruti hasrat atau kemauan dari subjek itu sendiri, maka
berarti dia telah menyalahi dan berusaha untuk mengubah apa yang telah dikodratkan
Tuhan kepadanya.
Namun kita bisa berangkat dari keputusan PN Purwokerto yang mengabulkan
permintaan untuk melakukan operasi kelamin atas bocah yang bernama Aan tadi,
maka kita bisa berkesimpulan jika operasi pengubahan kelamin itu dilakukan demi
kebaikan demi tercapainya status hukum yang jelas atau agar tidak membahayakan
kesehatan, maka operasi penggantian kelamin dapat dilakukan.

C. Konsekuensi Hukum Dari Pergantian Kelamin


Tidak hanya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, operasi
penggantian jenis kelamin juga dapat menimbulkan masalah hukum bagi subjek yang
melakukan operasi itu sendiri. Masalah hukum yang paling umum timbul atau
dipermasalahkan adalah mengenai hukum waris. Dengan adanya pergantian kelamin
yang dilakukan oleh seseorang, maka secara langsung akan mempengaruhi
kedudukannya dalam pembagian harta warisan, terutama jika orang yang
bersangkutan adalah seorang muslim. Dengan bergantinya jenis kelamin seseorang
dari pria menjadi wanita ataupun sebaliknya maka kedudukan dan haknya sebagai
penerima waris juga akan berganti. Dalam hal ini, kejelasan mengenai jenis kelamin
seseorang sangat diperlukan. Jika terjadi kasus seperti yang telah disebutkan di atas
(seseorang yang memiliki alat kelamin ganda), maka akan sulit ditentukan apakah ia
memperoleh bagian warisan seperti layaknya bagian pria atau wanita. Maka agar tidak
terjadi kekeliruan, operasi penggantian kelamin sebaiknya dilakukan.
D. Analisa Operasi Pergantian Kelamin

Operasi kelamin adalah pergantian jenis kelamin, bisa berupa perbaikan atau
penyempurnaan kelamin terhadap orang yang cacat kelamin, pembuangan salah satu
kelamin (kelamin ganda) atau operasi pergantian jenis kelamin yang dilakukan
terhadap orang yang memiliki kelamin normal, sedangkan masalah kebingungan jenis
kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun
transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak
adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya
ketidak puasan dengan alat kelamin yang dimilikinya, transeksual dapat diakibatkan
faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan.
Menurut MUI dalam musyawarah Nasional II tahun 1980 memutuskan fatwa:
1. Merubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya hukumnya
haram, karena bertentangan dengan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 19 dan
bertentangan pula dengan jiwa syara’. Ayat Al-Qur;an yang dimaksud adalah: “...
Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (Q.S. An-Nisa’:10)

2. Orang yang kelaminya diganti kedudukan hukum jenis kelaminya sama dengan
jenis kelamin semula sebelum diubah.

3. Seorang khuntsa (banci) yang laki-lakinya lebih jelas boleh disempurnakan


kelaki-lakianya. Demikian pula sebaliknya, dan hukumnya menjadi positif (laki-
laki).

Operasi yang boleh dilakukan atau hukum melakukan operasi kelamin


tergantung kepada keadaan kelamin luar dan dalam misalnya apabila seseorang punya
organ kelamin dua atau ganda: penis dan vagina, maka untuk memperjelas identitas
kelaminnya, ia boleh melakukan operasi mematikan salah satu organ kelaminnya dan
menghidupkan organ kelamin yang lain yang sesuai dengan organ kelamin bagian
dalam contohnya yaitu seseorang mempunyai dua kelamin penis dan vagina, dan
disamping itu ia juga mempunyai rahim dan ovarium yang merupakan ciri khas dan
utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh dan disarankan untuk mengangkat
penisnya demi mempertegas identitas jenis kelamin wanitanya, dan ia tidak boleh
mematikan vaginanya dan membiarkan penisnya karena berlawanan dengan organ
bagian dalam kelaminnya yakni rahim dan ovarium.Dan juga apabila seseorang punya
organ kelamin satu yang kurang sempurna bentuknya, misalnya ia memiliki vagina
yang tidak berlubang dan ia mempunyai rahim dan ovarium, maka ia boleh bahkan
dianjurkan oleh agama untuk operasi memberi lubang pada vaginanya, begitu juga
sebaliknya.
Operasi kelamin yang bersifat tashih dan takmil (perbaikan atau
penyempurnaan) dan bukan pergantian jenis kelamin, menurut para ulama dibolehkan
menurut syariat. Bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena
kelainan yang seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah apabila penggantian
kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah
ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah
dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang
melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian
warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami
kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil
(perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas
dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhubahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi
orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan
sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita,
hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan
penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan
status hukumnya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka kesimpulan yang
dapat Saya sampaikan adalah :

1. Operasi penggantian jenis kelamin dapat dilakukan dengan catatan untuk


memberikan penegasan status kepada subjek yang bersangkutan dalam hal terjadi
jenis kelamin ganda. Namun jika hanya untuk menuruti kemauan dan hasrat
seseorang, maka sebaiknya tidak dilakukan karena pada dasarnya dengan
melakukan hal itu berarti  yang bersangkutan telah menyalahi kodrat yang
dianugerahkan Tuhan YME kepadanya.
2. Masalah hukum yang pada umumnya timbul karena pergantian jenis kelamin ini
adalah mengenai masalah waris, Karena biasanya tidak dapat ditentukan apakah
subjek yang bersangkutan berhak untuk memperoleh bagian warisan seperti pria
atau wanita. Karena itulah dalam hal ini, operasi penggantian jenis kelamin
dianjurkan untuk dilakukan demi kepastian hukum subjek yang bersangkutan.

B.  Saran

Saran yang dapat Saya berikan adalah sebagai berikut :

1. Sebaiknya di Indonesia diadakan peraturan khusus yang mengatur perihal


pergantian kelamin ini karena hal ini mempengaruhi kehidupan masyarakat
Indonesia secara langsung.
2. Jika hal di atas dapat terwujud, maka di dalamnya perlu dijelaskan status dan
konsekuensi hukum yang diperoleh oleh mereka yang melakukan operasi
pergantian kelamin.
DAFTAR PUSTAKA

Masykuri,Abdul Aziz.2004. Masalah Keagamaan (hasil muktamar NU ke 1-30 ) .


Depok: Qultum media

Tim majlis tarjih dan tasdid pimpinan pusat Muhamadiyah.2006. Tanya Jawab
Agama 1: suara muhamadiyah

http//majalah baitulmalfkam.com

http//www.dakwatuna.com

http//www.percikaniman.org

http//multazam-einstein.blogspot.com/2013/01/hukum-operasi-ganti-kelamin-
menurut.html#

Anda mungkin juga menyukai