Anda di halaman 1dari 13

Tinjauan Kasus Transgender dari Segi Etika,

Hukum, dan Agama

DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Rr.Sri Endang Puji Astuti, SKM. MNS

DISUSUN OLEH :
1. Gracia Ayu Christina ( P1337420617004 )
2. Damar Darmawan ( P1337420617061 )
3. Istinganatul Muyassaroh ( P1337420617083 )

PRODI S1 TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
2017/2018
Tinjauan Kasus Transgender dari Segi Etika, Hukum,
dan Agama

A. Latar Belakang
Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep
kesetaraan dan keragaman. Konsep kesetaraan biasanya dihubungkan dengan
gender, status, tingkatan sosial, dan hal lain yang mencirikan persamaan dan
perbedaan. Sedangkan konsep keragaman merupakan hal wajar terjadi pada
kehidupan manusia yang memiliki perbedaan satu sama lain.

Pada dasarnya Allah swt. menciptakan manusia menjadi laki-laki dan


perempuan. Namun, pada kenyataannya selain dua jenis kelamin tersebut ada
sebagian manusia yang mengalami kebingungan dalam menentukan jenis
kelaminnya. Kebingungan yang dimaksud adalah tidak adanya kesesuaian antara
jenis kelamin dan kejiwaannya yang dipengaruhi oleh faktor hormonal dan
lingkungan.

Dewasa ini, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan


dan mensosialisasikan perilaku “kebancian” di berbagai program acara talkshow,
parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan legitimasi
dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau
bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual.

Akhir-akhir ini kita juga sering mendapatkan berita di media tentang beberapa
orang yang beralih gender dari wanita menjadi pria atau sebaliknya. Kebanyakan
dari mereka merasa dirinya terperangkap di dalam tubuh yang salah. Seperti yang
terjadi pada penyanyi cilik Dena ‘Renaldy’ Rahman. Dia dikenal sebagai Renaldy
saat menjadi penyanyi cilik (laki-laki) di era 90-an. Namun, setelah sekian lama
tidak terdengar kabarnya, kini namanya mulai mencuat lagi setelah isu tentang
perubahan jalan hidupnya dalam kasus transgender yang mulai merebak dan
menjadi perbincangan hangat di media maupun dunia maya.
Selain kasus transgender yang terjadi pada Dena ‘Renaldi’ Rahman, beberapa
bulan yang lalu dan sebelumnya telah banyak kasus transgender yang mencuat ke
permukaan seperti Sammuel Brodie karena sering di-bully semasa kecilnya, Alter
& Jane yang ditentang pernikahannya hingga masuk ke ranah hukum, dan kasus
transgender yang terjadi pada Siti Maemunah yang berubah menjadi lelaki (Agus)
dan berhasil mendapatkan pengakuan gendernya setelah keluar putusan hukum
dari Pengadilan Negeri Semarang.

Banyak kisah pada kasus transgender yang terjerumus kehidupan malam,


narkoba, dan sejenisnya karena mencari pelarian dari perasaan terabaikan
utamanya dari keluarga yang tidak dapat menerima perilaku mereka. Padahal
sebenarnya banyak diantara kasus transgender ini yang bisa menjalani kehidupan
mereka secara normal setelah mereka merasa telah diterima oleh lingkungan. Jadi
salahkah para transgender tersebut memutuskan pilihan mereka? Kehidupan ini
tidak sepenuhnya salah atau benar. Namun merupakan jalan kehidupan yang bisa
menjadikan pelajaran hidup antara yang satu dengan yang lainnya.

Fenomena kasus yang dikenal dengan sebutan transgender ini masih


menimbulkan banyak pro dan kontra baik ditinjau dari segi etika, hukum maupun
agama. Oleh karena itu, penulis akan mengangkat masalah ini untuk dijadikan
sebagai pembahasan utama dalam makalah berjudul “Tinjauan Kasus Transgender
dari Segi Etika, Hukum dan Agama”.

B. Definisi Transgender
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robet Stoller pada tahun 1968
untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang
bersifat sosial budaya, bukan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik
biologis. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI mengartikan
gender sebagai peran-peran sosial yang dikontribusikan oleh masyarakat, serta
tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan
masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya, laki-
laki dan perempuan. Gender bukan merupakan kodrat Tuhan ataupun ketentuan
Tuhan, oleh karena itu, gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata
nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka tinggal atau
lahir. Gender seseorang dapat berubah, sedangkan jenis kelamin biologis tetap
tidak berubah. (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 1992)

Transgender secara subjektif diartikan dengan orang yang terlahir memiliki


dua alat kelamin atau seseorang yang perilakunya berbeda dengan kodrat aslinya
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti hormonal dan lingkungan. Seseorang
yang tidak jelas dengan status kelaminnya disebut transgender, yaitu suatu gejala
ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk
fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat
kelamin yang dimilikinya. Transgender adalah istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda
dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir. (Winda Novtatika
Anggraeni, 2013)

C. Pembahasan

Faktor penyebab transgender


Adapun penyebab seorang pria menjadi seorang wanita atau waria atau
penyebab terjadinya transgender dapat diakibatkan 2 faktor yaitu
a. Faktor bawaan (hormon dan gen)
Faktor genetik dan fisiologis adalah faktor yang ada dalam diri individu
karena ada masalah antara lain dalam susunan kromosom, ketidak seimbangan
hormon, struktur otak, kelainan susunan syaraf otak.
b. Faktor lingkungan.
Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil
dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan,
pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma
pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri.
Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus
transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan),
menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis
jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak
memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan
berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan
nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat
Islam.
Sebenarnya pengidap transgender dapat disembuhkan. Jika seseorang
terlahir dengan dua alat kelamin harus ditentukan mana yang lebih dominan
kemudian mengambil tindakan secara medis melalui operasi kelamin. Berbeda
halnya dengan mereka yang menjadi transgender karena pengaruh dari
lingkungan, dalam upaya penyembuhannya dapat meminta bantuan psikolog yang
membantu secara kejiwaan serta berkonsultasi dengan pemuka agama agar
mengetahui dalil-dalil yang mengaturnya. (Winda Novtatika Anggraeni, 2013)
Kedudukan Kaum Transgender Ditinjau dari Segi Etika
Dari segi sosial, pandangan masyarakat terhadap transgender terbagi ke
dalam jenis kaum esensalisme dan kontruksionisme. Menurut pandangan
esensalisme, transgender merupakan sesuatu yang berjalan di luar kewajaran,
dianggap tidak benar dan membawa keburukan sehingga sering dikucilkan.
Sedangkan menurut pandangan kaum konstruksionisme, transgender tidak
melanggar etika karena masih merupakan bagian dari masyarakat dengan
berlandaskan kepada Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bentuk perlindungan
dari ketidakadilan yang sering terjadi di dalam masyarakat. (Arni Rahmawati
Fahmi Sholihah, 2011)
Tidak hanya pengucilan dari masyarakat, perlakuan diskriminatif terhadap
kaum transgender juga terjadi dalam dunia kerja. Mereka tidak dapat secara
leluasa bekerja dalam sektor-sektor yang formal. Jika ada, mereka diharuskan
untuk berpenampilan sebagai laki-laki atau perempuan pada umumnya. Oleh
karena itu, kebanyakan kaum transgender menggantungkan kelangsungan
hidupnya pada sektor-sektor non-formal, seperti usaha salon atau dunia hiburan.
Tetapi yang paling banyak adalah terperangkap dalam dunia pelacuran
(Koeswinarno, 2004)
Peranan dokter dan tenaga medis lainnya dalam operasi kelamin status
hukumnya disesuaikan dengan alasan yang berkaitan dengan kondisi dari alat
kelamin yang bersangkutan. Jika terbukti dengan sengaja menggagalkan operasi
tersebut, maka dokter dan tenaga medis melanggar kode etik profesinya.
Transgender dan Kedudukannya Ditinjau dari Segi Hukum
Dalam skala internasional, United Nation Commision on Human Rights
telah menolak Human Rights and Sexual Orientation pada tahun 2005 dan
Economic and Social Council juga menolak untuk memberi status konsultatif
kepada International Lesbian and Gay Association (ILGA) pada tahun 2006. Di
Indonesia sendiri belum ada peraturan yang spesifik menjelaskan masalah
transgender, namun secara hukum kaum transgender memiliki hak yang sama
dengan manusia pada umumnya sesuai UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. (Arni Rahmawati Fahmi Sholihah, 2011).
Bagi kaum transgender yang telah menjalani operasi kelamin, status
kewarganegaraannya berubah (dalam sisi jenis kelamin) jika permohonan untuk
mengubah jenis kelaminnya tersebut disetujui oleh Hakim Pengadilan sesuai
aturan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena
itu, tidak ada masalah jika kaum transgender menikah selama ia menikah dengan
jenis kelamin yang berlawanan dan jenis kelaminnya yang sah dan terdaftar sesuai
dengan dokumen kependudukannya sesuai aturan dalam UU No. 24 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
Transgender dan Kedudukannya Ditinjau dari Segi Agama
Menurut ajaran Protestan, transgender dianggap sebagai dosa karena
cenderung menolak ketetapan Tuhan. Namun, hal ini dianggap sebagai fenomena
yang terjadi bukan karena Tuhan yang menciptakan orang-orang seperti itu,
melainkan karena manusia sudah berdosa sejak semula (konsep dosa awal).
Menurut ajaran Katolik dalam KGK 2297, penggantian kelamin dianggap
melanggar penghormatan terhadap integritas tubuh manusia. Menurut KGK 369,
pria dan wanitalah diciptakan, artinya dikehendaki Allah dalam persamaan yang
sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan
dan kewanitaannya. Ajaran Hindu memandang keberadaan tiga jenis kelamin,
yaitu pums-prakriti (pria), stri-prakriti (perempuan), tritiya-prakriti (seks ketiga).
Jenis seks ketiga ini terdiri dari shanda (male to female) dan shandi (female to
male). Karena adanya pengakuan, pemilik tritiya-prakriti diijinkan hidup bebas
dan terbuka. Contohnya dalam kisah Baratayudha terdapat masa dimana Arjuna
berperan sebagai Brihannala. Dengan begitu, operasi pergantian kelamin pun
bebas dilakukan. Ajaran Budha juga menyimpan akar kebudayaan Hindu yang
menguasai jenis kelamin ketiga. Siapapun yang telah banyak mengembangkan
kebajikan dengan badan, ucapan dan pikiran, setelah meninggal dunia mempunyai
kesempatan terlahir di alam bahagia tanpa terpengaruh oleh jenis kelamin.
Meskipun begitu, dalam tripitaka dinyatakan bahwa seorang waria tidak berhak
ditasbihkan sebagai bhiksu atau bhiksuni. (Arni Rahmawati Fahmi Sholihah,
2011)
Menurut pandangan Islam, transgender menimbulkan banyak kontra terkait
dengan kurangnya rasa syukur manusia terhadap penciptaan Allah melalui
tubuhnya. Dalam sebuah Hadits dijelaskan bahwa “Allah mengutuk laki-laki yang
menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Hadits
tersebut diperkuat dengan ayat Al-Qur’an terkait dengan transgender sebagai salah
satu bentuk mengubah ciptaan-Nya, Allah SWT berfirman: “dan saya (setan)
benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan
kosong pada mereka (memotong telinga-telinga hewan ternak), lalu mereka benar-
benar memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah),
maka mereka sungguh mengubahnya. Barang siapa yang menjadikan setan
menjadi pelindung selain dari Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian
yang nyata.” (Q.S. An-Nisaa: 119)
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam yang harus diperinci
persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga
bentuk operasi kelamin yaitu:
(1) Operasi penggantian jenis kelamin yang dilakukan terhadap orang yang
sejak lahir memiliki kelamin normal;
(2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau
vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.;
(3) Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin. (Winda
Novtatika Anggraeni, 2013)
Operasi pertama diharamkan dalam Islam karena merupakan unsur
kesengajaan mengubah ciptaan Allah SWT. Sehingga, ketentuan terkait syariat
seperti shalat dan lainnya dikembalikan kepada kondisi kelamin semula. Operasi
nomor dua tentunya diperbolehkan, bahkan dianjurkan karena termasuk
mengobati dan menjaga kesehatan fisik. Operasi dalam kondisi ini tidak
mendatangkan masalah dalam hal syariat karena jenis kelamin yang bersangkutan
tidak berubah. Operasi nomor tiga diperbolehkan jika dilakukan dengan tujuan
tashih (perbaikan) atau takmil (penyempurnaan). Jika selama ini penentuan
hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas
kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin
menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas dan
mengacu pada status yang baru. (Abuddin Nata, 2004)
Dokter dan tenaga medis harus bisa mengambil langkah yang tepat dalam
menjalankan tugasnya secara profesional, jika operasi tersebut dinyatakan haram
(dari segi agama) maka ia ikut berdosa karena termasuk “tolong-menolong dalam
dosa” dan jika sesuai syariat Islam dan diperbolehkan maka ia mendapat pahala
karena termasuk “bekerjasama dalam ketakwaan dan kebajikan.” (Q.S. Al-
Maidah: 2)
Contoh fenomena Transgender

Dena Rachman menegaskan telah mantap mengambil keputusan mengubah


kondisi fisiknya menjadi seorang perempuan. Dena yang dikenal sebagai
presenter Krucil di salah satu tv swasta ketika masih kecil dulu merasa bahwa
dirinya bukan seorang laki-laki.
Dena menjalani proses transgender seperti sekarang ini bukan main-main,
ikut-ikutan, atau nafsu sejenak. Ini langkah pencarian jati diri hidup sejak lahir
dan step-by-step. Hidup itu memang sebuah perjalanan untuk menjadi baik lagi.
Dia menjelaskan, perjalanan untuk berpenampilan perempuan seperti
sekarang tidak mudah. Sebelum memutuskan menjalani implantasi, dia
melakukan konsultasi dan beberapa tes untuk memantapkan hati. "Dimulai
menjalani tes hormon dan terbukti secara klinis saya memiliki hormon perempuan
yang tinggi. Menemui psikolog di Kuala Lumpur yang mengklaim saya ini
perempuan. Dasar demi dasar keputusan harus dilakukan demi Dena yang lebih
baik lagi," jelasnya panjang lebar. Sebelum memutuskan implantasi, Dena
Rachman mengungkapkan kepada publik mengenai perubahan kondisinya saat
masih kecil dan setelah dewasa.
Setelah menjalani tes, Dena pun mengambil keputusan. Apalagi implantasi
tersebut tidak dipungut biaya alias gratis. Sebab, Dena Rachman didapuk pihak
rumah sakit untuk menjadi salah seorang model dan duta promosi selama setahun.
Dia menyatakan puas dengan hasilnya. Sebab, dia punya ciri fisik seperti
perempuan lain meski tidak asli.
Soal efek samping, Dena Rachman mengungkapkan bahwa gel yang
terpasang di dadanya adalah yang terbaik. "Jadi, saya tidak khawatir. Saya juga
ditangani dokter profesional," ucap dia yang di-support keluarga dan teman-
teman. Memang, dia merasakan sesak selama beberapa hari pascaoperasi. Selain
itu, dia sakit di bagian dada barunya
Terakhir, Dena Rachman mengaku tidak akan lagi menjalani operasi
perubahan bentuk tubuh. Bagi dia, memiliki payudara sudah memperjelas jati
dirinya sebagai seorang perempuan seutuhnya. "Tidak ada operasi lagi,"
tandasnya.
Pandangan Kelompok Terhadap Fenomena Transgender
Menurut pandangan kita bahwa telah kita ketahui kebanyakan masyarakat
memandang seorang yang terkait kasus transgender seperti waria memiliki
pandangan negatif, karena mereka menganggap bahwa seorang transgender itu
telah mengubah kodrat yang diberikan Tuhan sejak lahir dan itu merupakan
larangan agama.
Memang ini sangat dilarang oleh agama dan sangat bertentangan apalagi
sampai mengubah atau mengoperasi alat kelamin. Adapun hukum operasi kelamin
dalam syariat Islam yang diperbolehkan dan dalam dunia kedokteran modern
dikenal tiga operasi kelamin yaitu :
1. Operasi pergantian jenis kelamin yang dilakukan terhadap orang yang
sejak lahir memiliki kelamin normal.
2. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap
orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau
vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.
3. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda,yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ /jenis kelamin (penis
dan vagina)
Untuk kasus yang pertama itu memang sangat diharamkan oleh agama
karena merubah kodrat, tetapi sebagai masyarakat kita jangan sampai menjauhi
mereka tetapi kita harus mengadakan pendekatan untuk perubahan yang terbaik
untuk pelaku transgender tersebut. Jangan sampai sebagai warga negara yang
memiliki HAM yang sama, kita akan  membunuh hak mereka. Kita bisa lakukan
pendekatan dengan pendekatan agama, moral dan sosial. Serta jangan cemooh
mereka yang hendak melakukan perubahan, karena latar belakang mereka yang
terdahulu. Tetapi pelaku transgender untuk kasus kedua dan ketiga itu
diperbolehkan menurut syariat agama karena demi kesehatan dan kesempurnaan
status yang tidak jelas dengan melakukan operasi kelamin.
Tetapi sebagai orang yang beragama, pelaku transgender seperti waria harus
tetap kembali kepada kodratnya. Karena tindakannya itu melanggar agama dan
telah merubah kodrat yang ditetapkannya sejak lahir. Tetapi hal itu bisa disikapi
agar mereka tetap berada dijalan Allah SWT dengan mengajak mereka pada
pendekatan agama.
Peran Perawat dalam Menyikapi Fenomena Transgender tersebut
Peranan seorang perawat harus memahami konsep diri yang sehat
merupakan bagian dari proses keperawatan yang memandang individu secara
holistik, meliputi aspek fisik, psiko-sosial-cultural. Pengaruh konsep diri dalam
pelayanan kesehatan sangatlah penting khususnya dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada klien. Dalam hal ini diperlukan kemampuan perawat untuk
memahami tentang konsep diri.
Dalam pelayanan keperawatan, perawat dapat menemukan permasalahan
yang berkaitan dengan konsep diri seperti :
1. Harga diri rendah
2. Menarik diri (khususnya pada pasien dengan gangguan jiwa)
3. Koping klien inefektif yang mungkin terkait dengan proses penyakitnya
4. Kecemasan klien terkait dengan prosedur atau proses penyakitnya.
5. Kurangnya dukungan/koping keluarga dalam proses penyembuhan
penyakit klien, dll.
Perawat diharapkan tidak hanya dapat memahami tetapi dapat membangun
dan mengembangkan konsep dirinya sendiri dengan pengembangan konsep diri
yang bersifat positif dalam kehidupan sehari-hari. Ini sangatlah penting, karena
diharapkan perawat dapat mengembangkan konsep diri yang sehat (positif)
sebelum dapat membantu pasien dalam meningkatkan pemahaman tentang konsep
diri yang sehat.
Pada tahun 1999 Departemen Kesehatan Masyarakat Massachusetts
mendanai proyek yang disebut "Gay, Lesbian, Kesehatan Proyek Akses Biseksual
dan Transgender" yang mengembangkan standar praktek untuk perawatan kualitas
penduduk LGBT. Standar didasarkan pada penghapusan diskriminasi, penuh dan
akses yang sama kepelayanan, perawatan kesehatan bagi semua pasien,
penghapusan stigmatisasi, dan penciptaan lingkungan perawatan kesehatan
dimana semua pasien merasa aman datang dan keluar terhadap pelayanan
kesehatan. Berikut ini adalah beberapa saran khusus untuk penyedia layanan
kesehatan.
 Kedua perawat dan dokter wawancara harus tidak menghakimi dan non-
heterosexist.
 Perawat harus jujur dan menyadari kemampuan diri sendiri, dan jika
seorang perawat merasa tidak mampu memberikan perawatan penuh kasih
bagi seorang Transgender, kemudian ia merujuk pasien ke seorang
perawat yang mampu.
 Penerimaan, tidak menghakimi, komunikasi terbuka dan kepercayaan
mengarah kesejarah yang lebih rinci dan akurat. Hal ini pada gilirannya
akan mengarah pada perawatan yang lebih baik dan lebih sesuai untuk
semua pasien.
 Sertakan keluarga atau kerabat pasien Transgender dalam perencanaan
kesehatan dan pengambilan keputusan.
 Tanyakan orang bagaimana mereka ingin disebut, dan menggunakan kata
ganti mencerminkan identitas gender pasien 'daripada seks biologis
mereka.
 Kerahasiaan sangat penting bagi seorang Transgender yang masih rentan
terhadap diskriminasi. Diskusikan masalah kerahasiaan dengan pasien dan
tidak mencatat orientasi seksual dalam grafik pasien tanpa persetujuan.
 Jadilah berpengetahuan dalam kebutuhan perawatan kesehatan seorang
Transgender.

D. Penutup

Kesimpulan
Dari segi etika, operasi kelamin yang dilakukan kepada kaum transgender
oleh dokter dan tenaga medis bukan merupakan sebuah pelanggaran kode etik,
kecuali jika dokter dan tenaga kesehatan tersebut menggagalkan operasinya dan
masuk ke dalam kasus malpraktek. Dari segi etika sosial, masih melanggar dan
menimbulkan sanksi moral berupa pengucilan dari masyarakat. Dari segi hukum,
transgender diperbolehkan jika sudah ada izin dari Hakim Pengadilan dan
pemohon langsung mengurus dokumen kependudukannya yang baru. Dari segi
agama, transgender diharamkan karena termasuk tabdil dan taghyir, yaitu
mengubah ciptaan Allah kecuali ada alasan tertentu seperti berkelamin ganda
(khuntsa) dan cacat kelamin yang jika dibiarkan bisa berakibat fatal terhadap
kesehatan reproduksinya.
Saran
Penulis memberikan saran bagi masyarakat untuk tidak mengucilkan kaum
transgender dan melihatnya dari sisi negatifnya saja. Indonesia juga harus
menyempurnakan hukum mengenai transgender agar status dan kedudukannya
menjadi jelas. Kita harus menjaga agar tidak terdapat banyak kesenjangan hak dan
kewajiban antara laki-laki dan perempuan yang membuat seseorang menjadi ingin
melakukan transgender dan operasi kelamin. Mendekatkan diri kepada Allah swt.
adalah jalan utama untuk lebih percaya diri, menerima segala kelebihan dan
kekurangan, serta mendalami ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai bentuk
rasa syukur terhadap apa yang telah diberikan oleh-Nya.

E. Referensi
Chiskaoktaviani. 2015. Transdenger atau Transseksual.
http://chiskaoktaviani.blogspot.co.id/2015/11/makalah-transgender-atau-
transeksual.html diakses pada 30 Oktober 2017

Kalsum, Umi. 2014. Tinjauan Kesehatan Hukum dan Etika.


http://umikalsum27.blogspot.co.id/2014/11/etika-dan-hukum-kesehatan-
tinjauan.html diakses pda 30 Oktober 2017

Anda mungkin juga menyukai