Masailul Fiqhiyyah
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Harapan saya semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk
kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik.
Iwan Kurniawan
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR
………………………………………………………………………………………
…………………………… i
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………………………
…………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
………………………………………………………………………………………
……………….. 1
B. Rumusan Masalah
………………………………………………………………………………………
……………….. 2
C. Tujuan
………………………………………………………………………………………
……………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Transplantasi
………………………………………………………………………………………
…... 3
B. Pandangan Islam Terhadap Transplantasi Organ Tubuh
……………………………………………………… 5
BAB III PENUTUPAN
A. Kesimpulan
………………………………………………………………………………………
……………………………. 14
B. Saran
………………………………………………………………………………………
………………………………………… 14
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………………………………………
……………………………. 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transplantasi organ tubuh manusia merupakan masalah baru yang belum pernah
dikaji oleh para fuqaha klasik tentang hukum-hukumnya. Karena masalah ini adalah anak
kandung dari kemajuan ilmiah dalam bidang pencangkokan anggota tubuh, dimana para
dokter modern bisa mendatangkan hasil yang menakjubkan dalam memindahkan organ
tubuh dari orang yang masih hidup/ sudah mati dan mencangkokkannnya kepada orang
lain yang kehilangan organ tubuhnya atau rusak karena sakit dan sebagainya yang dapat
berfungsi persis seperti anggota badan itu pada tempatnya sebelum di ambil.
Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait
dengannya : pertama, donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang
masih sehat untuk dipasangkan kepada orang lainyang organ tubuhnya menderita sakit,
atau terjadi kelainan. Kedua, resipien, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor
yang karena satu dan lain hal, organ tubuhnya yang harus diganti. Ketiga, tim ahli, yaitu
para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada resipien.
Bertalian dengan donor, transplantasi dapat dikategori kepada tiga tipe, yaitu :
1. Donor dalam keadaan hidup sehat. Dalam tipe ini diperlakukan seleksi yang cermat dan
harus diadakan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap dan menyeluruh)
baik terhadap donor, maupun terhadap resipien. Hal ini dilakukan demi untuk
menghindari kegagalan transplantasi.
2. Donor dalam keadaan koma. Apabila donor dalam keadaan koma,atau di d uga kuat
akan meninggal segera, maka dalam pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat
kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya bantuan alat pernafasan khusus.
3. Donor dalam keadaan meninggal. Dalam tipe ini, organ tubuh yang akan dicangkokkan
diambil ketika donor sudah meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis.
Berdasarkan uraian diatas, maka timbul pertanyaan : “ bagaimana pandangan hukum
islam tentang transplantasi organ tubuh?” Inilah yag akan menjadi pokok masalah dalam
makalah ini.
4
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu transpalasi ?
2. Apa pandangan hukum islam mengenai transpalasi organ tubuh?
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Transplantasi
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu,
dari suatu tempat ke tempat lain, pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik.
Kemudian menurut Prof. Masjfu’ Zuhdi pengertian Transplantasi adalah
pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat, untuk menggantikan
organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik.
Transplantasi ditinjau dari prakteknya, dapat dibedakan menjadi:
1. Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam
tubuh orang itu sendiri.
2. Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke
tubuh orang lain. Dalam masalah ini ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi terkait
pendonor dan Resipien, dalam artian bisa jadi pendonor itu muslim dengan resipien non
muslim atau sebaliknya, Syekh Qardawi menjelaskan bahwa pendonoran itu termasuk
sedekah, dan sedekah menurut Beliau boleh di berikan kepada seorang muslim atau non
muslim tapi tidak boleh di berikan kepada si Kafir yang memusuhi Islam, seperti halnya
tidak boleh di berikan kepada orang Murtad, maka menurut beliau pendonoran kepada
non muslim itu di perbolehkan dengan ketentuan tersebut, tetapi jika terjadi dua orang
yang sama-sama membutuhkan pendonoran yang satu muslim dan yang lain non muslim,
maka orang muslim haruslah yang di utamakan. Kemudian mengenai bagaimana jika
Resipien adalah orang muslim apakah boleh menerima transplantasi organ tubuh dari non
muslim, maka masih menurut Beliau hal itu tetap di perbolehkan karena organ tubuh
tidaklah bisa di kategorikan muslim atau non muslim, bahkan menurutnya semua organ
tubuh manusia dan mahluk hidup seluruhnya itu bertasbih dan tunduk kepada Allah SWT
tanpa terkecuali organ –organ tubuh orang kafir.
3. Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari satu spesies ke
tubuh spesies lainnya. Dalam poin ini juga ada permasalahan yang patut di perhatiakan
mengingat Spisies- Spisies lain adalah tidak semuanya di hukumi suci. Masalah mungkin
6
muncul jika ternyata yang bertindak sebagai pendonor adalah spisies yang najis,
bolehkah?.. mengenai ini dalam Buku Fatwa- fatwa kontemporer kita diberi wacana
bahwasanya hal itu mestinya tidak perlu di lakukan kecuali dalam keadaan darurat, dan
ketika berbicara darurat maka kebolehan sesuatu karena darurat itu haruslah di ukur
dengan kadar daruratnya. Bisa jadi ada yang mengatakan bahwa yang di haramkan dari
hewan yang najis adalah memakannya, sedangkan mencangkokkan sebagian organ nya
itu tidak terbilang sebagai memakan melainkan hanya memanfaatkannya. Apabila syara’
memperbolehkan pemanfatan kulit bangkai asalkan tidak di makan, maka arah
pembicaraannya adalah memanfaatkan hewan najis tanpa memakannya. Tapi sampai sini
permasalahan belum selesai menyoal ketika hewan itu najis bagaimana mungkin patut di
masukkan ke dalam tubuh orang islam yang suci, .. Syekh Yusuf Qardawi memberikan
jawaban bahwasanya sesuatu yang najis itu tidak boleh di gunakan hanyalah ketika
berkaitan dengan anggota tubuh bagian luar, adapun di dalam maka tidak ada dalil yang
melarangnya, sebab justru anggota tubuh bagian dalam merupakan tempat berbagai
macam hal yang najis, dan manusia tetap melakukan sholat, thowaf, membaca al-Qur’an
dan lain-lainnya.
Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang
yang menerima disebut Resipien. Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ
tubuh tersebut karena penyembuhan/pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada
harapan kesembuhannya.
Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transpalntasi tidak dapat
dihindari dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik
transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya
keterampilan dokter – dokter dalam melakukan transplantasi, upaya transplantasi mulai
diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan yang cepat dan tuntas.
Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu cara penyembuhan suatu
penyakit tidak dapat bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan etik, moral,
agama, hokum, atau social budaya ikut mempengaruhinya.
Apa yang bisa di capai dengan teknologi belum tentu bisa di terima oleh agama
dan hukum yang hidup di masyarakat. Dari itu mengingat transplantasi adalah masalah
yang ijtihadi karena tidak ada hukumnya secara eksplisit di dalam al-Qur’an dan Hadits
dan juga merupakan masalah yang cukup kompleks menyangkut berbagai bidang studi
maka seharusnya masalah ini di analisis dengan menggunakan metode pendekatan
7
multidisplainer, misalnya kedokteran biologi, hukum, etika, dan agama agar dapat di
peroleh kesimpulan hukum ijtihadi yang proporsional dan mendasar.
B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Transplantasi Organ Tubuh
Kebanyakan dari para pemerhati masalah transpalnasi ini ketika membahas
hukum mereka akan mengklasifikasikan kapan transplantasi itu dilakukan, menurut Prof.
Masyfuk Zuhdi, Apabila pencangkokan tersebut dilakukan pada saat pendonor dalam
keadaan hidup sehat wal afiat, begitu juga sakit (koma) atau hampir meninggal, maka
hukumnya adalah dilarang (haram), sedangkan apabila di lakukan ketika pendonor sudah
meninggal maka hukumnya ada yang mengharamkan, Keharaman tersebut di dasarkan
pada adanya larangan untuk menyakiti si mayit sebagaimana menyakiti orang yang hidup.
Rasulullah saw bersabda:“Mematahkan tulang orang yang telah mati sama hukumnya
dengan memotong tulangnya ketika ia masih hidup”. Dan Merupakan suatu hal yang
tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari kepemilikan
serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun istrinya. Dengan
demikian, dia tidak lagi memiliki hak terhadap tubuhnya. Maka ketika dia memberikan
wasiat untuk mendonorkan sebagian anggota tubuhnya, berarti dia telah mengatur sesuatu
yang bukan haknya. Jadi dia tidak lagi diperbolehkan untuk mendonorkan tubuhnya.
Dengan sendirinya wasiatnya dalam hal itu juga tidak sah. Memang dibolehkan untuk
memberikan sebagian hartanya, walaupun harta tersebut akan keluar dari kepemilikannya
ketika hidupnya berakhir, tetapi kebolehan itu disebabkan karena syara’ memang
memberikan izin tentang hal itu. Dan itu merupakan izin khusus pada harta, dari itu tidak
dapat diberlakukan terhadap yang lain. Dengan demikian manusia tidak diperbolehkan
memberikan wasiat untuk mendonorkan sebagian anggota tubuhnya setelah dia mati.
Adapun ahli waris; sesungguhnya syara’ mewariskan pada mereka harta yang diwariskan
(oleh si mati). Namun syara’ tidak mewariskan jasadnya kepada mereka, sehingga
mereka tidak berhak untuk mendonorkan apapun dari si mati, juga ada yang
memperbolehkannya dengan syarat- syarat tertentu. Adapun syarat-syarat tersebut adalah
:
1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah
menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil.
2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien
dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
8
Menurut Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi Ada beberapa dalil yang di nilai sebagai dasar
pengharaman transplantasi organ tubuh ketika pendonor dalam keadaan hidup, antara
lain:
ََوأَ ْنفِقُوا فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َواَل تُ ْلقُوا بِأ َ ْي ِدي ُك ْم إِلَى التَّ ْهلُ َك ِة َوأَحْ ِسنُوا إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِين
Artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan”
Hadits Rasulullah:
Pendonor yang masih hidup berarti mengorbankan atau merusak dirinya dengan
cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain dan demi kemaslahatan
orang lain, yakni Resipien. Dan itu tidaklah sesuai dengan kaidah hukum tersebut.
Kaidah Hukum Islam:
9
Penjelasan yang berbeda akan kita temukan mengenai transplantasi organ tubuh
ini ketika kita membaca buku Fatwa- Fatwa Kontemporer yang di tulis oleh syiekh
Yusuf Qardawi yang memberikan penjelasan di mana kita akan sampai pada kesimpulan
bahwa menurut Beliau transplantasi adalah suatu hal yang di perbolehkan baik itu di
lakukan di masa pendonor masih hidup ataupun sudah meninggal, akan tetapi kebolehan
tersebut bukanlah suatu kebolehan yang bersifat mutlak tanpa syarat melainkan ada
ketentuan –ketentuan yang harus di perhatikan.
Beliau mengawali pembahasan seputar transplantasi dengan mengajak kita untuk
memahamiapakah seseorang itu memiliki tubuhnyasendiri sehingga ia dapat mempergun
akannya sekehendak hati, misalnya dengan mendonorkan atau lainnya, Atau apakah
tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh di pergunakan kecuali dengan
izin-Nya.
Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat (bahaya) itu harus
dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang
yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, terluka, kelaparan, mengobati orang yang sakit,
dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun
lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar
(bencana, bahaya) yang menimpa seseorang, tetapi dia tidak berusaha
menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha
menghilangkannya menurut kemampuannya.
Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk
menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk
memadamkan kebakaran, maka diperbolehkan pula seorang muslim mempertaruhkan
sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain
yang membutuhkannya. Maka dari itu dengan jelas Syaekh Yusuf Qardawi mengatakan
bahwa upaya menghilangkan penderitaan seorang Muslim dengan cara memberikan
donor organ tubuh yang sehat kepadanya adalah merupakan tindakan yang di
perkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Akan
tetapi yang harus di perhatikan, masih menurut Beliau kebolehan ini bukanlah bersifat
mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan ini bisa di benarkan jika memang tidak
menimbulkan mudarat (bahaya) bagi si pendonor. Dalam kata lain jika seseorang
melakukan donor dan ternyata itu mengakibatkan bahaya, kesengsaraan pada dirinya
maka tindakan itu tidak bisa di benarkan syara’. Abdul Qadim Zallum,dalam kitabnya
10
Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, Al Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul
In’asy Ath Thibbiyah, Al Hayah wal Maut, menjelaskan bahwa: Syarat kemubahan
menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang
disumbangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelangsungan hidup pihak
penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan
penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang,
yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan
membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain untuk
membunuh dirinya.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh
yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak
mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan
menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya.
Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
"Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan,"
dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan
menimbulkan dharar pula."
Para Ulama Ushul Fiqh menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian:
tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama
atau yang lebih besar daripadanya. Karena itu tidak di perbolehkan mendermakan
organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu
adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri
sendiri yang lebih besar.
Kemudian mengenai wasiat pendonoran organ tubuh ketika seseorang sudah
meninggal Syekh Yusuf Qardawi memberikan pengertian dengan mengajak kita untuk
memahami lagi tentang pendonoran yang di lakukan oleh pendonor yang masih hidup di
mana ada kemungkinan kemudaratan yang menimpa si pendonor dan itu hukumnya tetap
di perbolehkan. Maka dengan itu, pendonoran yang di lakukan dalam keadaan tanpa
resiko mudarat /bahaya yang menimpa pendonor yang sudah meninggal adalah upaya
yang lebih berhak untuk di perkenankan. Sebab yang demikian itu akan memberikan
manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/
kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya (si mayit), karena organ-organ tubuh orang
yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa
hari setelah dikubur. Dan menurutnya Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang
11
mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika
ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dan dalam kasus ini dalil
tersebut (dalil yang mengharamkan) tidak dijumpai.
Kemudian ketika menyinggung permasalahan kehormatan mayit di mana dalam
konteks ini Rasulullah SAW pernah bersabda yang kurang lebih artinya : "Mematahkan
tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup." dalam artian apakah
mendonorkan organ tubuh si mayit itu tidak termasuk mengabaikan kehormatan mayit?,
Beliau Yusuf Qardawi menekankan bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh
mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara'. Sebab yang dimaksud
dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya,
sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan
seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan
penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.
Lebih dari itu Beliau menjelaskan kebolehan praktek transplantasi dari
organ si mayit tidaklah hanya terbatas pada kasus adanya wasiat dari si mayit,
dalam arti pendonoran organ tubuh dari seorang yang sudah meninggal itu di
perbolehkan sekalipun si mayit tidak pernah berwasiat sebelumnya. Hal itu dapat
di fahami karena Syariat telah memberikan hak kepada wali untuk menuntut
hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika terjadi pembunuhan
dengan sengaja, sebagaimana difirmankan oleh Allah:
"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)
Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan hukum
qishash jika mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut
pembayaran diat, sedikit atau banyak. Atau memaafkannya secara mutlak
karena Allah, pemaafan yang bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti yang
disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:
"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang
baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)
Dari itu maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka wali atau Ahli
waris mempunyai hak mempergunakan sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya
dapat memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi mudarat kepada si
mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai kadar manfaat
yang diperoleh orang sakit yang membutuhkannya meskipun si mayit tidak
berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat pahala karena
tanamannya dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain, atau karena
12
ditimpa musibah, kesedihan, atau terkena gangguan, hingga terkena duri
sekalipun ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat --setelah meninggal
dunia-- dari doa anaknya khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta
dengan sedekah mereka untuknya. Akan tetapi transplantasi berkaitan organ
tubuh orang yang meninggal ini bisa berubah hukum menjadi haram atau tidak di
perbolehkan jika memang si mayit pernah berwasiat supaya organ tubuhnya tidak
boleh ada yang di donorkan ketika meninggal. Karena itu merupakan haknya dan
wasiat itu wajib di laksanakan selama tidak merupakan kemaksiatan.
Demikianlah pembahasan terkait hukum transplantasi organ tubuh dengan
berbagai kemungkinannya di mana perbedaan pendapat pun masih kita temukan
dalam bahasan-bahasannya, meski demikian ketika kita berusaha memahami
kajian-kajian tersebut lebih–lebih apa yang telah di uraikan oleh Syekh Yusuf
Qardawi kita akan menemukan alur pemikiran yang tidak terlalu rumit untuk di
mengerti dan pantas untuk di jadikan acuan menyoal Transplantasi organ tubuh
ini, di mana pada intinya menurut beliau transpalntasi dengan berbagai
kemungkinan prakteknya adalah suatu hal yang di perkenankan syara’ selama
tidak ada kemaslahatan besar yang terabaikan, atau selama tidak mendatangkan
bahaya atau kemudaratan.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari
suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik.
Hukum transplantasi organ tubuh dalam beberapa kemungkinan prakteknya
masih di warnai perbedaan pendapat, Mengenai praktek transplantasi dari seorang yang
meninggal ada yang berpendapat hal itu di bolehkan tapi ada juga yang berpendapat tidak
di perbolehkan karena hal itu di nilai dapat mengabaikan kehormatan si mayit, lebih dari
itu orang yang sudah meninggal tidak bisa di katakan memiliki tubuhnya, maka sekalipun
ketika si mayit pernah berwasiat untuk mendonorkan organ tubuhnya maka wasiat
tersebut tidaklah sah. Akan tetapi menurut Yusuf Qardawi transplantasi dengan
berbagai kemungkinan prakteknya adalah suatu hal yang di perkenankan syara’ selama
tidak ada kemaslahatan besar yang terabaikan, atau selama tidak mendatangkan bahaya
atau kemudaratan, terkecuali praktek pendonoran kepada orang kafir yang memusuhi
islam, atau pendonoran dari organ tubuh si mayit yang pernah berwasiat melarang
pendonoran organ tubuhnya ketika meninggal, maka transplantasi tersebut tidaklah boleh
di lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Sarimin, M.H, pandangan hukum islam terhadap transplantasi organ tubuh dan tranfusi
darah. http://pabondowoso.com
Qardawi, Yusuf, Fatwa fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, jilid 2, 1995 ,
Zallum , Abdul Qadim, Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, ......, Beirut,
Libanon: Daar Al- Ummah, Cet 1, 1997
Zuhdi, Masjfuk, Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah, Jakarta : CV Haji
Mas Agung, Cet IV, 1993
14
Zuhdi, Masjfuk , Inseminasi Buatan pada Hewan dan Manusia di tinjau dari Hukum
Islam, makalah seminar Universitas Malang, 2 april 1987.
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/transplantasi-organ/
http://nursing-transplan.blogspot.com/
http://osolihin.wordpress.com/2008/05/10/nasyrah-hukum-syara-transplantasi-organ-
tubuh/
15