Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

MEDIKOLEGAL TRANSGENDER

Pembimbing: dr. Suryo Wijoyo, Sp.KF., MHK.,


Disusun oleh: Raditya Prasidya

KEPANITERAAN FORENSIK RSUD KABUPATEN CIBITUNG


PERIODE 24 FEBRUARI 2020 – 27 MARET 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

1
BAB I
PENDAHULUAN

Semua organisme di Kingdom Animalia, Kelas mamalia memiliki dua jenis


kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, namun pada kenyataannya untuk species
manusia, selain dua jenis kelamin tersebut ada yang mengalami kebingungan
dalam menentukan jenis kelaminnya. Kebingungan yang dimaksud adalah tidak
adanya kesesuaian antara jenis kelaminnya dan kejiwaannya. Tidak sesuainya
jenis kelamin dan kejiwaan ini bisa terjadi pada seseorang yang terlahir dengan
alat kelamin wanita yang sempurna dan tidak cacat, tetapi dia merasa bukan
seorang wanita melainkan seorang pria atau sebaliknya, keadaan seperti ini
disebut Transgender.1
Sebelum bicara lebih jauh tentang transgender, terlebih dahulu harus
dipahami konsep gender, dan membedakan kata gender dan seks. Seks (jenis
kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin (penyifatan) manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya
manusia berjenis kelamin (seks) laki-laki adalah manusia yang memiliki atau
bersifat bahwa laki-laki adalah yang memiliki penis dan memproduksi sperma.
Perempuan memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk melahirkan,
memproduksi sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk menyusui.
Hal tersebut secara biologis melekat pada manusia yang memiliki jenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Artinya, secara biologis alat kelamin atau jenis kelamin
tersebut tidak bisa dipertukarkan atau diganti. Gender adalah pencirian manusia
yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya, bukan
pendefisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis seperti seks (jenis kelamin).1,2
Gender adalah pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang
bersifat sosial budaya, bukan pendefisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis
seperti seks (jenis kelamin). Gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-
laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yaitu kelianan yang
diciptakan sendiri oleh suatu komunitas manusia, melalui proses kultural dan
sosial. Mereka beranggapan bahwa gender seseorang dapat berubah, sedangkan

2
jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah. Hal inilah yang membuat
seseorang dapat berubah orientasi seksnya bahkan ada dorongan untuk merubah
gendernya. Kaum transgender memiliki suatu ketidakpuasan terhadap dirinya
sendiri karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin
dengan kejiwaan. Ekspresi orang yang mengalami kebingungan jenis kelamin ini
bisa terlihat dalam bentuk dandanan, gaya bicara, tingkah laku, bahkan sampai
kepada keinginan untuk melakukan operasi penggantian kelamin (Sex
Reassignment Surgery).3
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992
Tentang kesehatan Pasal 37 ayat (2) bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh
bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma yang
dimaksud dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1992 Tentang kesehatan Pasal 37 ayat (2) adalah norma hukum, agama,
kesusilaan dan kesopanan, sedangkan dalam norma hukum tidak ada aturan
mengenai transgender. Dalam norma kesusilaan dan kesopanan, masalah
transgender atau kebingungan jenis kelamin masih dianggap sesuatu yang aneh
dan selalu mendapat cemooh dan hinaan dari masyarakat. Anggapan sebagai
transgender merupakan pilihan hidup yang salah masih sering dihadapi, sehingga
tidak mudah bagi kaum transgender untuk mengungkapkan jati diri yang
sebenarnya kepada keluarga sekalipun karena masih dianggap “tabu”. Hal inilah
yang menjadi penghalang atas eksistensi kaum transgender di Indonesia.2,3
Oleh karena itu, fenomena transgender penting dan menarik utnuk dikaji
dari berbagai perpektif ilmu, khususnya sosial budaya dan hokum termasuk
didalamnya hukum agama yang mempunyai kaitan serta implikasi langsung dan
tidak langsung. Terdapat keterkaitan dengan aspek kehidupan psikologis penderita
transgender serta sikap masyarakat luas terhadap operasi perubahan jenis
kelamin.1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Transgender
1. Definisi
Secara etimologi transgender berasal dari dua kata yaitu “trans” yang
berarti pindah (tangan; tanggungan); pemindahan dan “gender” yang berarti
jenis kelamin. Istilah lain yang digunakan dalam operasi pergantian kelamin
ialah “transseksual” yaitu merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris. Disebut
transseksual karena memang operasi tersebut sasaran utamanya adalah
mengganti kelamin seorang waria yang menginginkan dirinya menjadi
perempuan.19, 20
Sedangkan secara terminologi transgender atau transseksual diartikan
sebagai suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya
kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan, atau adanya
ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Beberapa ekspresi yang
dapat dilihat ialah bisa dalam bentuk dandanan(make up), gaya dan tingkah
laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment
Surgery).2
Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) –
III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome.
Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi
transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual. Tanda-tanda
transgender atau transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain:2
1. Perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi
seksnya;
2. Berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain;
3. Mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama
dua tahun dan bukan hanya ketika datang stress;
4. Adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal;
5. Dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu
menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam

4
reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri,
gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku
negativisme.

2. Faktor Penyebab
Adapun penyebab seorang pria menjadi seorang wanita atau waria atau
penyebab terjadinya transgender dapat diakibatkan 2 faktor yaitu:2
a) Faktor bawaan (hormon dan gen)
Faktor genetik dan fisiologis adalah faktor yang ada dalam diri individu
karena ada masalah antara lain dalam susunan kromosom,
ketidakseimbangan hormon, struktur otak, kelainan susunan syaraf otak.
b) Faktor lingkungan.
Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil
dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku
perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan
trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri.

Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada


kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang
(bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan
kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang
sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun
hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya
untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang
menyimpang dan tidak dibenarkan.2

3. Klasifikasi
Transgender ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu trans women (laki-
laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang perempuan)
dan trans men (perempuan yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya
adalah seorang laki-laki).21

5
4. Prevalensi
Angka kejadian transgender di dunia tidak dapat diukur secara pasti
karena belum ada perhitungan berbasis penelitian yang dilakukan. Selama ini
estimasi jumlah transgender hanya berdasarkan diagnosis gangguan identitas
gender, dan pasien yang mengunjungi klinik gender yang ada. Angka
perkiraan jumlah trans women sejumlah 1 dari 30.000 populasi sampai 6 dari
1000 populasi, sedangkan untuk trans men sejumlah 1 dari 100.000 sampai 1
dari 33.800 populasi. Hal ini didasari oleh terjadinya gangguan identitas
gender, dimana gangguan identitas gender terjadi 3 kali lebih besar pada pria
dibandingkan wanita.22, 23

5. Risiko Perilaku
Di seluruh dunia, risiko kesehatan akibat perilaku yang paling sering
terjadi pada transgender adalah penyakit menular sekual. Penyakit ini sering
terjadi akibat beberapa hal, seperti penggunaan obat suntik secara bergantian,
berganti pasangan seksual, kurangnya pendidikan, sejarah menjadi pekerja
seks komersial. Di Indonesia terutama di Semarang, Jumlah waria yang
terkena IMS memang belum diketahui jumlahnya, namun hasil Surveilans
Terpadu Biologis Terpadu di Kota Jakarta, Bandung, dan Surabaya dapat
dijadikan perbandingan. Hasil STBP dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya
menunjukkan adanya prevalensi IMS dan HIV yang tinggi di kalangan
transgender. Prevalensi HIV pada transgender di Bandung 14% dan di Jakarta
34%, prevalensi gonore rektal atau klamidia pada transgender di Jakarta 42%
dan di Bandung 55%, sedangkan prevalensi sifilis pada transgender berkisar
antara 25% (Jakarta dan Bandung) dan di Surabaya 30%. Selain penyakit
menular seksual, gangguan yang terjadi pada transgender adalah gangguan
kejiwaan, dimana para transgender sering mendapatkan diskriminasi dan
stigma buruk dari masyarakat, yang akan menyebabkan transgender tersebut
menggunakan obat obatan terlarang secara bergantian lalu akhirnya tertular
penyakit menular seksual terutama HIV, dan juga dapat menyebabkan
percobaan bunuh diri, dimana contohnya, 65% dari 300 transgender di
Virginia pernah memiliki ide untuk bunuh diri.24, 25, 26, 27, 28

6
2.2 Transgender Ditinjau Dari Aspek Hukum Indonesia
Dalam hukum Indonesia, belum ada perudang-undangan yang tegas
mengatur transgender atau transeksual. Namun, secara hukum, kaum transgender
dan transeksual memiliki hak yang sama dengan manusia pada umumnya sesuai
dengan undang-undang yang mengatur hak asasi manusia, diantaranya sebagai
berikut:6
 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia”.
 Pasal 28 D ayat 1, berbunyi :
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum”
 Pasal 28 I ayat 2, berbunyi:
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang diskriminatif itu”
Seorang transgender yang hendak melakukan perkawinan, harus
memperhatikan peraturan undang –undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan berbunyi:6
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Berdasarkan pasal tersebut, maka seorang pria dan wanita merupakan salah
satu penentu sahnya perkawinan (tidak perkawinan sejenis). Bagi kaum
transeksual yang telah mengalami operasi perubahan jenis kelamin, status
kewarganegaraan berubah dalam sisi jenis kelamin. Tidak masalah dalam hal jika
kaum transgender atau transeksual menikah selama ia menikah dengan jenis

7
kelamin yang berlawanan dengan jenis kelaminnya yang sah dan terdaftar (sesuai
Kartu Tanda Penduduk).7
Sampai saat ini belum ada KUHP yang mengatur tentang transgender atau
transeksual. Namun, transgender yang melakukan hubungan seksual dengan
sesama jenis seperti halnya kaum homoseksual atau lesbian, diatur dalam undang-
undang pasal 292 KUHP dan pasal 492 Rancangan Undang-Undang KUHP.7
 Pasal 292 KUHP, berbunyi:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”
 Pasal 492 Rancangan Undang-Undang KUHP berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang
sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18
tahun, dipidana dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 7
tahun.”

Dasar hukum atau tata cara seseorang dapat melakukan pergantian kelamin
atau kedudukan hukum seseorang yang telah melakukan pergantian jenis kelamin
dalam nasional adalah sebagai berikut:8
 Hukum Atas Pergantian Kelamin
Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur
pergantian kelamin (transgender) memang belum diatur khusus. Akan tetapi,
untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan
status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang
dialami oleh penduduk Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan peristiwa
penting menurut Pasal 1 angka 17 UU Adminduk berbunyi;8
“Kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian,
lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak,
pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status
kewarganegaraan.”

8
Dari definisi peristiwa penting di atas, memang pergantian jenis
kelamin ini tidak termasuk peristiwa penting yang disebut dalam Pasal 1
angka 17 UU Adminduk. Akan tetapi, pergantian jenis kelamin ini dikenal
dalam UU Adminduk sebagai “peristiwa penting lainnya”.8
Dalam Pasal 56 ayat 1 UU Adminduk diatur bahwa pencatatan
peristiwa penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas
permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapan
pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan
yang dimaksud dengan “peristiwa penting lainnya” dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 56 ayat 1 UU Adminduk sebagai berikut:8
“Yang dimaksud dengan "Peristiwa Penting lainnya" adalah peristiwa
yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi
Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin.”
 Konsekuensi Hukum Atas Pergantian Kelamin
Setelah seorang transgender melakukan operasi pergantian kelamin
bukan berarti masalah ketidak-jelasan kelamin yang dialaminya telah selesai,
masih ada konsekuensi hukum yang harus ditanggung atas pergantian
kelamin. Konsekuensi hukum yang harus ditanggung adalah perubahan data
kependudukan.6
 Perubahan Data Kependudukan
Berdasarkan pasal 77 UU No. 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi kependudukan, yang berbunyi:
“Tidak seorangpun dapat merubah/menganti/menambah
identitasnya tanpa ijin Pengadilan”
Dengan perubahan jenis kelamin tentunya seluruh juga ada
perubahan mengenai data kependudukan. Dan berdasarkan ketentuan
tersebut, sangat wajar apabila seorang yang telah melakukan operasi
ganti kelamin mengajukan perubahan data identitas kependudukannya
kepada pengadilan melalui sebuah Permohonan.7
Perubahan status hukum dari seorang yang berjenis kelamin laki-
laki menjadi seorang yang berjenis kelamin perempuan atau sebaliknya

9
sampai dengan saat ini belum ada pengaturan dalam hukum, dengan
demikian dalam masyarakat yang tidak diatur oleh hukum sehingga
menimbulkan suatu kekosongan hukum;8
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi:
"Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”
Pasal 10 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tersebut mengamanatkan
bahwa Pengadilan melalui Hakim sebagai dari representasi Pengadilan
sebagai pilar terakhir untuk menemukan keadilan bagi masyarakat dan
demi kepentingan hukum yang beralasan kuat, wajib menjawab
kebutuhan hukum masyarakat dengan menemukan hukumnya jika tidak
ada pengaturan hukum terhadap perkara yang ditanganinya, sepanjang
tidak bertentangan dengan hukum yang ada, kepatutan dan kesusilaan;
Sehingga Penetapan ganti kelamin merupakan sebuah jawaban dan
sebuah penemuan hukum, karena belum ada suatu aturan yang mengatur
tentang hal tersebut,sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.6

 Perubahan Mengenai Status Ahli Waris


Pada awalnya ketika seseorang dilahirkan dikenal dengan
keberadaannya sebagai perempuan namun dalam perkembangannya ada
kelainan mengenai jenis kelaminnya, jika tidak melakukan operasi
tentunya akan susah untuk
menentukan jenis kelaminnya, dan sebagai solusi yaitu melakukan perga
ntian kelaminsebagaimana. Dalam Hukum Islam yang menganut
perbedaan bagian warisan antaraahli waris perempuan dan laki-laki.
Dengan pergantian kelamin tersebut memperjelas berapa bagian yang
akan di terima ahli waris tersebut yang telah melakukan perubahan
kelamin.7
2.3 Transgender Ditinjau Dari Aspek Etika Klinis

10
Secara sederhana, etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi
terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan
moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang.
Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan
manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti ’hak’, ’tanggung jawab’,
dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’), ’benar’ dan
’salah’, ’sesuai’ dan ’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah
bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana
melakukannya (doing). Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba
memberikan kriteria rasional bagi orang untuk menentukan keputusan atau
bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain.14
Etika klinis adalah disiplin praktis yang membahas pendekatan struktural
untuk membantu dokter dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan
menyelesaikan isu etika dalam kedokteran klinis. Praktek kedokteran klinis
memerlukan pengetahuan mengenai isu-isu etika seperti informed consent,
kejujuran, kerahasiaan, end-of-life care, dan hak-hak pasien. Dalam mengambil
keputusan tindakan medis, dari segi etik dianjurkan untuk mengamalkan etika
klinis yang merupakan etika terapan untuk mengenal, menganalisis, dan
menyelesaikan masalah etik dalam pelayanan klinik. Pada tahun 1982, Jonsen,
Siegler, dan Winslade mempublikasikan Clinical Ethics, dimana mereka
mendeskripsikan pendekatan “empat kuadran”, sebuah metode untuk
menganalisis kasus etika klinis. Pendekatan empat kuadran tersebut menggunakan
empat topik yaitu:10, 11, 12
1. Indikasi medis (medical indications)
2. Preferensi pasien (patient preferences)
3. Kualitas hidup (quality of life)
4. Gambaran kontekstual (contextual features)

Indikasi Medis
Indikasi medis menganut prinsip beneficence dan nonmaleficence, dan merupakan seluruh temuan klinis, mencakup diagnosis,

prognosis, dan pilihan penatalaksanaan, serta penilaian tujuan perawatan. Pokok pembicaraan ini mencakup konten umum diskusi klinis:

11
diagnosis dan penatalaksanaan kondisi patologis pasien. “Indikasi” merujuk pada hubungan antara keadaan patofisiologi pasien dengan

diagnosis dan intervensi terapeutik yang “diindikasikan”, yang tepat untuk mengevaluasi dan mengurangi masalah. Walaupun hal ini sering

diulas pada presentasi masalah klinis setiap pasien, diskusi etika tidak hanya akan meninjau fakta-fakta medis, namun juga membahas tujuan

dari intervensi yang diindikasikan.11

1. Apakah masalah medis pasien? Apakah masalah tersebut tergolong akut?


Kronik? Kritis? Reversible? Darurat? Teminal?
2. Apa tujuan dari penatalaksanaan?
3. Dalam keadaan seperti apa penatalaksanaan medis tidak diindikasikan?
4. Bagaimana probabilitas keberhasilan berbagai pilihan penatalaksanaan?
5. Sebagai ringkasan, bagaimana cara pasien agar perawatan medis
menguntungkan bagi pasien dan bagaimana cara mencegah terjadinya
kerugian?

Kasus transgender berdasarkan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder) IV disebut juga dengan gender identity disorder (GID).
Penyakit ini termasuk gangguan psikiatris. Protokol pengobatan untuk GID adalah
terapi hormonal (cross-gender hormonal treatment) dan terapi pembedahan (sex
reassignment surgery). Tujuan dari terapi-terapi tersebut adalah pengubahan
gender dan perubahan organ kelamin. Terapi hormonal diberikan selama 2 tahun,
setelah itu baru dilakukan terapi pembedahan, dan kembali dilanjutkan terapi
hormonal hingga 5 tahun. Setelah terapi hormonal dan terapi pembedahan,
penyesuaian hingga pembentukan sikap dan gaya yang sesuai pun tetap harus
dilakukan dan memakan waktu sampai tahunan. Pada operasi pengubahan jenis
kelamin perempuan menjadi laki-laki sulit dilakukan dan memiliki angka
kegagalan dan kematian pasien yang tinggi. Namun, bukan berarti operasi laki-
laki menjadi perempuan pun tidak berisiko.13
Menurut Fitzgibbons, Sutton, dan O’Leary (2009), SRS melanggar prinsip
dasar medis dan etika, dan maka dari itu tidak tepat secara etis ataupun medis.
Alasan yang dikemukakan antara lain:29

12
(1) SRS ‘merusak’ suatu tubuh sehat yang tidak berpenyakit. Melakukan
pembedahan pada tubuh yang sehat melibatkan risiko yang tidak perlu; oleh
karena itu, SRS melanggar prinsip primum, non nocere, “first, do no harm”.29
(2) Pasien yang akan dilakukan SRS beranggapan bahwa mereka terjebak
dalam tubuh yang memiliki jenis kelamin yang salah, dan karenanya
menginginkan dan menuntut dilakukannya SRS; anggapan ini terbentuk akibat
gangguan persepsi pada diri sendiri. Anggapan yang menetap dan irasional lebih
tepatnya disebut dengan delusi. Maka dari itu, SRS merupakan “sesuatu yang
salah”–hal tersebut memberikan solusi pembedahan untuk masalah psikologis
seperti kegagalan untuk menerima maskulinitas atau feminitas, kurangnya
kedekatan hubungan antara seorang anak dengan teman sebayanya atau dengan
orangtuanya, penolakan diri sendiri, gangguan identitas gender (gender identity
disorder/gender dysphoria) yang tidak diobati, kecanduan masturbasi dan fantasi,
citra tubuh yang buruk, kemarahan yang berlebih, dan psikopatologis berat pada
orangtua.29
(3) SRS tidak mencapai apa yang dituntut untuk dicapai. Secara fisiologis,
tidak mungkin mengubah jenis kelamin seseorang, dimana jenis kelamin pada tiap
individu dikode oleh gen–XX pada wanita, dan XY pada pria. Pembedahan hanya
menciptakan gambaran jenis kelamin lain, namun tidak mengubah jenis kelamin
seseorang; oleh karenanya, tidak memberikan manfaat yang berarti. George
Burou, seorang dokter di Maroko yang telah mengoperasi lebih dari tujuh ratus
laki-laki Amerika, menjelaskan, “Saya tidak mengubah laki-laki menjadi
perempuan. Saya mengubah alat kelamin laki-laki menjadi alat kelamin yang
memiliki aspek perempuan. Selebihnya terdapat dalam pemikiran pasien.”29
(4) SRS merupakan suatu upaya bedah yang “permanen” dan sering tidak
memuaskan, yang dilakukan untuk mengubah sesuatu yang mungkin hanya
sebuah kondisi psikologis/psikiatris sementara.29

Preferensi Pasien
Preferensi dan nilai-nilai pasien menganut prinsip respect for autonomy, dan merupakan alasan utama dalam menentukan

penatalaksanaan terbaik untuk pasien. Dalam semua penatalaksanaan medis, preferensi pasien berdasarkan nilai-nilai pasien sendiri dan

penilaian personal mengenai manfaat dan bahaya yang relevan secara etika. Pada setiap kasus klinis, pertanyaan yang pasti timbul adalah:

13
“Apa tujuan pasien? Apa yang pasien inginkan?” Ulasan sistematis pada topik ini memerlukan pertanyaan lebih lanjut. “Apakah pasien telah

diberikan infomasi yang cukup? Apakah pasien mengerti? Apakah pasien paham adanya ketidakpastian pada setiap rekomendasi medis dan

beragam pilihan yang ada? Apakah pasien setuju secara sukarela? Apakah pasien dipaksa?” Pada beberapa kasus, jawaban dari pertanyaan-

pertanyaan ini mungkin adalah “Kami tidak tahu karena pasien tidak mampu menyatakan suatu preferensi.” Apabila pasien tidak mampu

secara mental pada saat keputusan harus dibuat, kita harus bertanya, “Siapa yang memiliki kewenangan untuk menentukan keputusan pada

pasien ini? Bagaimana batas-batas etika dan legal pada kewenangan tersebut? Apa yang harus dilakukan apabila tidak ada seorangpun yang

dapat mewakilkan?”11

1. Apakah pasien telah diinformasikan mengenai manfaat dan risiko, mengerti


informasi ini, dan memberikan persetujuan?
2. Apakah pasien kompeten secara mental dan legal, dan adakah tanda-tanda
ketidakmampuan?
a. Apabila pasien mampu secara mental, terapi seperti apa yang lebih
dipilih pasien?
b. Jika tidak mampu, apakah pasien telah menyatakan keinginannya
sebelumnya?
c. Siapa wakil yang tepat untuk membuat keputusan bagi pasien yang
tidak mampu?
d. Apakah pasien enggan atau tidak dapat kooperatif dengan
penatalaksanaan medis? Jika ya, mengapa?

Sebelum dilakukannya terapi hormonal dan SRS (sexual reassignment


surgery), dokter harus memberitahu pasien mengenai apa itu terapi hormonal dan
SRS beserta manfaat dan efek samping yang mungkin terjadi setelah pemberian
terapi dan pembedahan. Pasien harus dipastikan mengerti akan informasi tersebut.
Setelah pasien benar-benar paham, barulah diminta untuk menandatangani lembar
informed consent yang disediakan.14
Pasien juga harus kompeten secara mental, atau dengan kata lain pasien
sadar penuh dan memang ingin melakukan terapi tersebut atas kemauannya
sendiri, bukan atas paksaan orang lain. Pasien juga harus dipastikan statusnya sah
secara legal untuk dilakukannya terapi. Di Thailand, pasien yang dibolehkan
untuk melakukan terapi adalah yang berusia di atas 18 tahun. Sedangkan di

14
Indonesia, belum ada undang-undang yang mengatur tentang terapi penggantian
gender tersebut.15

Kualitas Hidup
Kualitas hidup menganut prinsip beneficence, nonmaleficence, dan respect for autonomy. Tujuan utama dari seluruh temuan klinis

adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Adanya trauma atau penyakit yang mencederai pasien yang dapat menyebabkan penurunan

kualitas hidup, bermanifestasi pada gejala dan tanda penyakit mereka. Tujuan dari seluruh intervensi medis adalah untuk mengembalikan,

memelihara, atau meningkatkan kualitas hidup. Maka dari itu, pada setiap situasi medis, pembahasan mengenai kualitas hidup pasti muncul.

Beberapa pertanyaan mengenai hal ini antara lain: “Apa yang dimaksud dengan “kualitas hidup” secara umum? Bagaimana seharusnya hal

tersebut dipahami pada kasus-kasus tertentu? Bagaimana cara orang selain pasien mempersepsikan kualitas hidup pasien dan bagaimana

relevansi etis pada persepsi mereka? Yang terpenting, bagaimana kaitan antara kualitas hidup dengan penilaian etika?” Pada topik ini, yang

tidak banyak dibahas di literatur etika medis dibanding dua topik sebelumnya, sangat berisiko untuk terjadinya bias dan prasangka. Namun,

hal ini tetap harus dikemukakan pada analisis masalah etika klinis.11

1. Bagaimana prospek ke depannya, dengan atau tanpa penatalaksanaan,


untuk kembali ke kehidupan normal, dan apa saja defisit fisik, mental, dan
sosial yang mungkin dialami pasien apabila penatalaksanaan berhasil?
2. Atas dasar apa seseorang dapat berpendapat bahwa kualitas hidup pasien
tidak akan seperti yang diinginkan pada pasien yang tidak dapat
menyatakan pendapatnya?
3. Apakah terdapat bias terhadap penilaian yang diberikan penyelenggara
pelayanan kesehatan terhadap kualitas hidup pasien?
4. Apakah isu etik yang timbul mengenai peningkatan atau perbaikan kualitas
hidup pasien?
5. Apakah penilaian kualitas hidup menimbulkan pertanyaan terkait
perubahan rencana penatalaksanaan, seperti melepas terapi penopang-
hidup?
6. Apa rencana dan dasar pemikiran untuk melepas terapi penopang-hidup?
7. Bagaimana status legal dan etika bunuh diri?

Pada pasien transgender, setelah dilakukan terapi hormonal serta terapi


pembedahan, kualitas hidupnya mungkin akan membaik dibandingkan saat
sebelum dilakukannya terapi. Sebelum terapi, pasien akan merasakan pergolakan

15
batin di dalam dirinya, karena apa yang dia rasakan berbeda dengan apa yang ada
pada dirinya saat itu. Pasien akan merasa tidak nyaman ataupun tidak puas dengan
tubuhnya sendiri, terutama dengan anatomi alat kelaminnya. Ketidakpuasan dan
ketidaknyamanan ini tentu akan mengganggu aktivitas hidupnya sehari-hari.
Apabila terapi hormonal dan terapi pembedahan berhasil, kualitas hidup pasien
akan meningkat karena pasien merasa puas dengan jenis kelamin barunya saat ini
yang memang sesuai dengan keinginannya. Pasien akan lebih nyaman menjalani
hidup karena sudah menemukan jati dirinya.11

Gambaran Kontekstual
Topik ini menganut prinsip justice dan fairness. Seluruh temuan klinis yang terjadi di dalam konteks sosial yang lebih luas selain

dokter dan pasien, mencakup keluarga, hukum, kultur, aturan rumah sakit, perusahaan asuransi dan hal finansial lain, dan sebagainya. Pasien

datang ke dokter karena mereka memiliki masalah yang mereka harapkan dokter dapat membantu mengatasinya. Dokter melakukan

perawatan terhadap pasien dengan tujuan berusaha untuk membantu mereka. Pembahasan mengenai indikasi medis, preferensi pasien, dan

kualitas hidup merupakan hal yang penting pada kasus medis. Namun, setiap kasus juga dicampurtangani oleh sekumpulan orang, institusi,

aturan finansial, dan aturan sosial. Perawatan pasien, baik secara positif maupun negatif, dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Pada saat yang

sama, hal-hal tersebut pun dipengaruhi oleh keputusan yang dibuat oleh pasien: keputusan ini berdampak psikologis, emosional, finansial,

legal, ilmiah, edukasional, agama pada orang lain. Pada setiap kasus, relevansi fitur kontekstual harus ditentukan dan dinilai. Fitur kontekstual

ini sangat penting untuk pemahaman dan penyelesaian kasus.11

1. Apakah terdapat kepentingan profesional, luar profesional, atau bisnis yang


dapat menimbulkan konflik kepentingan penatalaksanaan klinis pasien?
2. Apakah terdapat pihak selain dokter dan pasien, seperti anggota keluarga,
yang memiliki kepentingan dalam keputusan klinis?
3. Apa saja batas-batas kerahasiaan pasien yang dikenakan oleh kepentingan
sah pihak ketiga?
4. Apakah terdapat faktor finansial yang menimbulkan konflik kepentingan
dalam keputusan klinis?
5. Apakah terdapat masalah alokasi sumber daya yang langka yang dapat
mempengaruhi keputusan klinis?
6. Apakah terdapat isu agama yang dapat mempengaruhi keputusan klinis?
7. Isu legal apa yang dapat mempengaruhi keputusan klinis?
8. Apakah terdapat pertimbangan mengenai riset klinis dan pendidikan yang

16
dapat mempengaruhi keputusan klinis?
9. Apakah terdapat isu kesehatan dan keamanan masyarakat yang
mempengaruhi keputusan klinis?
10. Apakah terdapat konflik kepentingan dengan institusi atau organisasi
(seperti rumah sakit) yang dapat mempengaruhi keputusan klinis dan
kesejahteraan pasien?

Pada kasus transgender, perlu dianalisis apakah terdapat kepentingan pihak-


pihak lain selain pasien, seperti dari pihak keluarga maupun institusi profesional.
Selain itu, kasus ini juga perlu dianalisis dari isu legal serta isu agama. Di
Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
terapi hormonal dan terapi pembedahan pada pasien transgender. Isu legal ini jelas
akan mempengaruhi keputusan klinis dokter. Dari sudut pandang agama di
Indonesia, agama Islam, Protestan, dan Katolik memandang transgender
merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan, apalagi hingga dilakukan terapi
untuk pengubahan gender. Namun, menurut agama Hindu dan Buddha, operasi
penggantian alat kelamin tidak masalah untuk dilakukan. Perbedaan sudut
pandang dari beberapa agama ini juga akan mempengaruhi keputusan klinis
dokter dalam menatalaksana pasien transgender.11,15
Thailand saat ini merupakan pusat operasi transgender di dunia dan menjadi
salah satu negara yang paling ‘bersahabat’ dengan perihal homoseksual dan
transeksual, dengan dibuatnya konstitusi yang melindungi hak-hak para
homoseksual dan transeksual. Berdasarkan instruksi dari dewan medis di
Thailand, persyaratan untuk operasi penggantian kelamin antara lain (1) pasien
setidaknya berusia 18 tahun; (2) dokter bedah hanya boleh mengoperasi pasien
yang terdiagnosis mengalami gender identity disorder oleh dua psikiater dan
diindikasikan untuk menjalani pembedahan. Dari persyaratan tersebut jelas
diasumsikan bahwa operasi penggantian kelamin merupakan terapi untuk gender
identity disorder.15

2.4 Transgender Ditinjau Dari Aspek Kesehatan

17
Transgender istilah umum bagi orang-orang yang identitas gender, ekspresi
gender, atau perilaku tidak sesuai dengan yang biasanya terkait dengan seks yang
mereka ditugaskan saat lahir. Identitas gender mengacu pada perasaan internal
seseorang “makna menjadi” laki-laki, perempuan, atau sesuatu yang lain. Ekspresi
gender merujuk pada cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain melalui
identitas gender melalui perilaku, pakaian, gaya rambut, suara, atau karakteristik
tubuh.16
Berdasarkan peneliltian yang dilakukan oleh Rekers, sebanyak kurang lebih
70 orang anak laki-laki yang mengalami gangguan identitas gender yang dijadikan
objek penelitian, ia menemukan bahwa tidak dideteksi hal yang sifatnya abnormal
secara fisik dan tidak ada bukti bahwa pemberian hormon sewaktu seorang wanita
mengandung atau adanya ketidakseimbangan hormonal pada diri ibu dapat
menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya gangguan identitas gender pada
seorang anak. Jadi, dapat ditarik kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa
seseorang yang mengalami gangguan identitas gender tidak mengalami gangguan
atau keabnormalan secara fisik.17
Saat mereka merasakan perasaan ketidak cocokkan antara identitas gender
yang mereka terima sejak lahir dengan tubuh yang kita diami, di dalam
masyarakat telah dibuktikan tidak ada kedudukan yang pasti atau peran yang
dapat diambil untuk jenis ekspresi gender seperti ini, bahkan suatu
konflik biasanya akan menyeruak atau timbul dalam masyarakat tersebut. Hal ini
tidak dapat diterima sebagai sesuatu yang normal dalam masyarakat.18
Sebagai manusia yang normal, individu transgender dan transseksual
memiliki kebutuhan yang sama dengan manusia normal lainnya. Tetapi,
dikarenakan terdapat adanya penyimpangan perilaku yang mereka perlihatkan,
mengakibatkan mereka mengalami berbagai bentuk konflik baik yang mereka
dapatkan dari pihak keluarga maupun dari segelintir masyarakat dikarenakan
sudut pandang yang telah terbentuk selama ini mengindikasikan bahwa kaum
mereka merupakan kaum yang selalu terlibat dalam hal negatif, seperti menjadi
seorang pekerja seks komersial. Perilaku kaum transeksual/transgender dalam
mencari pertolongan kesehatan relatif sudah mengarah pada perilaku positif,

18
dimana mereka secararutin melakukan pemeriksaan kesehatan.Baik kepada tenaga
kesehatan yang telah disediakan oleh yayasan yang menaunginya maupun kepada
dokter umum biasa.16, 17
Individu transgender mungkin mengalami rasa malu dan kecemasan atas
tubuh mereka dan jika dilihat secara klinis, tidak harus diminta untuk membuka
pakaian kecuali benar-benar diperlukan. Hal lain yang penting untuk diingat
adalah bahwa stereotip kelelakian atau keperempuanan dari tubuh seseorang
bukan merupakan indikasi dysphoria gender yang dialami oleh individu. Di
Inggris, jenis kelamin pada akta kelahiran seseorang adalah seks seseorang untuk
hidup, bahkan jika seseorang menjalani operasi pergantian jenis kelamin.16, 18
Transeksual hidup sebagai lawan jenis dan akan berusaha untuk mengubah
penampilan luar mereka untuk sesuai dengan identitas batin mereka melalui
penggunaan hormon seks dan kemungkinan operasi pergantian. Ada beberapa
protokol pengobatan untuk terapi hormonal dan pembedahan untuk individu
transeksual. The Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association’s
standards, menerangkan bahwa transseksualisme sendiri bukanlah gangguan
mental atau penyakit medis, dan penekanannya adalah pada aksesibilitas dan
kontrol pasien atas keputusan-keputusan, selain itu dibahas juga pedoman dan
rekomendasi untuk kesiapan konsumen untuk terapi hormonal, operasi estetika
dan operasi pergantian gonad serta komentar tentang pedoman.17, 18
Pada masa lampau perkembangan teknologi yang ada masih belum memberi
keleluasaan penggantian gender. Namun, dengan teknologi yang telah ada
sekarang, penggantian gender telah dapat dilakukan, bahkan hingga penggantian
organ kelamin.16

1. Gender-Reassignment
Gender reassignment merupakan suatu proses atau mekanisme
perubahan gender. Metode ini banyak ditempuh oleh kaum transseksual untuk
memenuhi hasrat dan ketidaknyamanannya atas gender yang dimilikinya
sejak semula.Proses ini tidak merupakan tahapan-tahapan yang bebas
dilakukan oleh siapapun yang menginginkan perubahan gender. Tahap ini
harus didahului oleh wawancara klinis oleh tim ahli terhadap pasien yang

19
diduga menderita transseksualisme dan berkeinginan untuk beralih gender.
Dalam tahap ini, pemeriksaan kelainan genetis dan hormonal merupakan hal
yang seharusnya dilakukan. Hasil positif kedua tahap ini dilanjutkan dengan
evaluasi psikologis untuk melihat beberapa hal penting sebagai berikut:18
 Ketiadaan kelainan mental.
 Motivasi pasien untuk berganti gender.
 Kesediaan pasien untuk menerima segala kondisi dan konsekuensi akibat
pengubahan gender.
 Ketiga tahap pendahuluan di atas merupakan upaya deteksi dan justifikasi
legal adanya fenomena transseksualisme dalam suatu individu. Jika hasil
evaluasi pada ketiga tahap tadi adalah positif, maka secara
medis, gender-reassignment boleh dilakukan.
Gender-reassignment sendiri secara umum dilakukan dalam 2 tahapan
utama. Pertama, dilakukan cross-gender hormones treatment. Pemberian
hormon dari jenis kelamin yang berlawanan ini biasanya dilakukan selama 2
tahun untuk mengkondisikan fisiologis pada pasies. Setelah dianggap siap,
maka dilakukan sex-reassignment surgery.18

2. Sex-Reassignment Surgery
Sex reassignment surgery merupakan suatu prosedur operasi medis
pengubahan organ kelamin antar jenis kelamin. Tujuan sex reassignment
surgery adalah sebagai berikut:18
 Perbaikan organ kelamin yang tidak sempurna.
 Penghilangan salah satu kelamin pada kasus kelamin ganda.
 Transseksual
Operasi pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki sangat
sulit dilakukan dan memiliki kemungkinan kegagalan atau kematian pasien
yang tinggi. Dalam hal ini, sangat riskan untuk membuat clitoris menjadi
gland penis yang ukurannya jauh lebih besar dan harus dilakukan operasi
tambahan histerektomi dan ooforektomi. Bagi MtF (male to female) pun,

20
operasi tidak dilakukan tanpa resiko. Berikut adalah beberapa komplikasi
yang dapat terjadi:18
 Pendarahan/hematoma
 Infeksi
 Masalah penyembuhan luka
 Recto-vaginal fistula (lubang berkembang antara kolon dan vagina)
 Urethra-vaginal fistula
 Pulmonary thromboembolism
 Necrosis parsial/menyeluruh pada flap
 Pertumbuhan rambut intravaginal
 Ketakutan hipertrofik
 Vagina pendek
Setelah SRS dilakukan pun, dibutuhkan waktu tahunan untuk benar-
benar berganti gender dari hal pembentukan sikap dan gaya yang sesuai.
Selain itu, terapi hormon tetap harus dilakukan. Biasanya hal ini memakan
waktu hingga 5 tahun. Praktisi medis juga seringkali menolak untuk
melakukan operasi pada penderita HIV/hepatitis C karena tingkat kesulitan
dan kegagalan yang lebih tinggi.18
Terlepas dari banyaknya perbedaan pandangan
atas transseksualisme dan aplikasi teknologi biologis-kedokteran yang
digunakan untuk memfasilitasinya, fenomena ini merupakan fenomena yang
sangat tidak sulit ditemukan. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga
bentuk operasi kelamin yaitu:17
1. Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang
sejak lahir memiliki kelamin normal;
2. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar
(penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.

21
3. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis
dan vagina).
Sex-reassignment surgery merupakan ujung dari proses gender
reassignment. Pelaksanaan SRS melibatkan aplikasi teknologi biologi-
kedokteran yang membutuhkan tenaga ahli dengan kemampuan yang baik.
Prosedur SRS harus diambil dengan benar untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya komplikasi medis yang tidak diinginkan. Meskipun secara medis
telah dimungkinkan, aturan pelaksanaan dan status legalitas SRS dan
pengubahan gender secara keseluruhan sangat bergantung pada kebijakan
masing-masing negara. Meskipun begitu, peran serta masyarakat dengan
berbagai pandangannya justru menjadi lebih penting dan berperan, khususnya
di negara yang tidak dengan jelas dan tegas menetapkan peraturan atas hal ini,
seperti Indonesia.17
Terlepas dari kenyataan bahwa efek samping dapat terjadi, sebagian
besar waria akan transisi tanpa menderita efek samping yang serius. Terapi
hormonal juga menyebabkan perubahan fisik dan psikologis yang membuat
pasien merasa lebih seperti identitas gender mereka, membatasi morbiditas
psikiatri dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Sebaliknya, menolak untuk
mengelola terapi hormon untuk pasien merupakan faktor risiko untuk
pengobatan diri dengan hormon yang diperoleh secara ilegal dan penggunaan
jarum suntik untuk pengobatan hormon.16
Bagi FtM (Female ToMale) transeksual mendapat terapi hormonal
dengan testosteron. Pemberian testosteron akan menyebabkan terhentinya
menstruasi umumnya dalam bulan pertama, pendalaman suara, peningkatan
rambut wajah dan tubuh, peningkatan ukuran klitoris, peningkatan libido, dan
kemampuan untuk membangun dan mempertahankan massa otot. Penting
untuk diingat bahwa testosteron tidak akan mengurangi ukuran payudara.
Pria transeksual banyak akan lulus sebagai laki-laki (yaitu terlihat laki-laki ke
dunia luar) setelah satu tahun pengobatan, tetapi efek penuh testosteron yang
dapat memakan waktu hingga 10 tahun.16

22
Beberapa efek samping dari testosteron adalah meningkatnya kulit
berminyak, jerawat, berat badan, dan sakit kepala. Risiko kesehatan dari
pengobatan testosteron adalah hepatotoksisitas, resistensi insulin, perubahan
negatif dalam profil lipid (penurunan HDL dan peningkatan trigliserida) dan
homosistein, polisitemia pada mereka yang berisiko karena efek
erythropoeitic, dan Sindrom ovarium polikistik mungkin ada terus menjadi
setidaknya risiko teoritis untuk payudara, ovarium, endometrium dan kanker
serviks.16
Pembedahan termasuk mastektomi bilateral atau sedot lemak,
metoidoplasty (membuat penis mikro dengan memutuskan ligamen
suspensorium yang mengelilingi klitoris yang membesar) atau Phaloplasti
(menggunakan kulit dan transfer jaringan muscle dari pangkal paha, lengan
atau paha), vaginectomy, histerektomi ditambah salpingo-ooforektomi,
scrotoplasty, dan perpanjangan uretra.Untuk perawatan kesehatan lanjutan
dari seorang priatranseksual, pedoman skrining standar harus diikuti untuk
semua organ yang dimiliki pasien.17

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Olvionita, R.W. (2013) Transgender [online] Sumber:
http://eprints.ums.ac.id/27535/2/3._BAB__I.pdf (Diakses 17 September
2015)
2. Juwilda (2010) Transgender “Manusia Keragaman Dan Kesetaraannya”
[online] Sumber:
https://juwilda.files.wordpress.com/2010/10/transgender_manusia-
keragaman-dan-kesetaraannya__.pdf (Diakses 17 September 2015)
3. Rasan, L.A. (2013) Status Keperdataan Kaum Transgender Yang Melakukan
Operasi Kelamin [online] Sumber: http://e-
journal.uajy.ac.id/4923/2/1HK09922.pdf (Diakses 17 September 2015)
4. Wikipedia The Free Encyclopedia (2015) Caitlyn Jenner [online] Sumber:
https://en.wikipedia.org/wiki/Caitlyn_Jenner (Diakses 25 September 2015)
5. Wikipedia Ensiklopedia Bebas (2014) Dena Rachman [online] Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Dena_Rachman (Diakses 25 September 2015)
6. Arshavin, D. (2014) Status Hukum Transgender [online] Sumber:
https://www.scribd.com/doc/245638623/Status-Hukum-Transgender (Diakses
16 September 2015)
7. Juparman, D.T. (2012) Pergantian Jenis Kelamin Ditinjau Dari Pasal 77
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan Dihubungkan Dengan Kedudukan Hukum Pelaku Ganti Jenis
Kelamin [online] Sumber: http://repository.fhunla.ac.id/?q=node/169
(Diakses 16 September 2015)
8. Pramesti, T.J.A. (2009) Prosedur Hukum Penggantian Jenis Kelamin [online]
Sumber:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5499758a512e5/prosedur-
hukum-jika-ingin-berganti-jenis-kelamin (Diakses 16 September 2015)
9. Rahmah, N.J.P.M. (2014) Isu-Isu Dalam Bioetika Transgender [online]
Sumber: http://nandajpmr.blogspot.co.id/2014/12/tugas-makalah-bioetika-
transgender.html (Diakses 26 September 2015)
10. Hanafiah, M.J. dan Amir, A. (2009) Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan,
Ed. 4, Jakarta: EGC

24
11. University of Washington School of Medicine (2014) Ethics In Medicine
[online]. Sumber: https://depts.washington.edu/bioethx/tools.html (Diakses
19 September 2015)
12. Sokol, D.K. (2008) ‘The ‘‘four quadrants’’ approach to clinical ethics case
analysis; an application and review’, J Med Ethics, vol. 34, p. 513-516
13. Hume, M.C. (2011) ‘Sex, Lies, and Surgery: The Ethics of Gender
Reassignment Surgery’, Res Cogitans, vol. 2, p. 37-48
14. William, J.R. (2009) World Medical Association: Medical Ethics Manual 2 nd
Edition. Ferney-Voltaire Cedex: Ethics Unit of the World Medical
Association
15. Hongladarom, S. (2012) Ethics of Sex Change Operation: When Biology
Becomes a Choice [congress] International Conference on Human
Enhancement Technologies, Singapura, 7-8 Juni
16. American Psychological Association (2015) Transgender [online]. Sumber:
http://www.apa.org/topics/lgbt/transgender.aspx (Diakses 21 September
2015)
17. Suryadi, I. (2010) Transgender [online]. Sumber:
http://www.academia.edu/5028772/Transgender (Diakses 21 September
2015)
18. Transgender Care (2015) Guidance/Transition [online]. Sumber:
www.transgendercare.com/guidance/ (Diakses 21 September 2015)
19. Partanto, P.A. dan Barry, M.D.A. (1994) Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola
20. Mahjuddin (2005) Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum
Islam Kini, Jakarta: Kalam Mulia

25

Anda mungkin juga menyukai