Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

GANGGUAN ORIENTASI SEKSUAL

Disusun Oleh :
Agastya Bayuasa Rattananda G4A021072
Lisa Nurfaizah Rosyadi G4A021077
Ariska Pranastiara Putri Eliana G4A021089
Haniy Thri Afifaningrum G4A021050

Pembimbing:
dr. Mohamad Fahmi Irwansyah, Sp.KJ., M.Kes.

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2023
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
“GANGGUAN ORIENTASI SEKSUAL”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di
SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

Disusun Oleh:
Agastya Bayuasa Rattananda G4A021072
Lisa Nurfaizah Rosyadi G4A021077
Ariska Pranastiara Putri Eliana G4A021089
Haniy Thri Afifaningrum G4A021050

Disetujui dan disahkan pada:


Purbalingga, Juli 2023
Dokter Pembimbing,

dr. Mohamad Fahmi Irwansyah, Sp.KJ., M.Kes.

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3
A. Homoseksual .................................................................................................... 3
B. Biseksual ...........................................................................................................6
C. Parafilia ...........................................................................................................16
D. Lainnya ...........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 25

ii
BAB I. PENDAHULUAN

Orientasi seksual merupakan pola ketertarikan seksual, romantis, atau


emosional untuk berhubungan dengan orang lain (laki-laki, wanita, atau keduanya)
(American Psychological Association, 2013). Sebelumnya telah dikenal tiga bentuk
orientasi seksual, yaitu heteroseksual, biseksual, dan homoseksual (Supratiknya,
1995). Heteroseksual merupakan ketertarikan secara seksual pada seseorang dengan
jenis kelamin yang berbeda, perempuan tertarik pada laki-laki, dan sebaliknya.
Sementara, kedua bentuk yang lain, atau yang kerap dikenal sebagai LGBT (Lesbian,
Gay, Biseksual, dan Transgender) merupakan bentuk orientasi seksual yang
dipandang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Lesbian meruoakan istilah bagi wanita yang mencintai atau merasakan
rangsangan seksual terhadap sesama jenisnya. Gay adalah golongan yang dilahirkan
secara biologis sebagai laki-laki, namun tertarik kepada sesama laki-laki yang lain,
baik dari segi kecenderungan perasaannya maupun keinginan seksualnya (Nugroho,
2008). Biseksual adalah sebuah orientasi seksual seseorang yang menyukai dua jenis
kelamin, baik pria maupun wanita. Sedangkan transgender adalah orientasi seksual
seorang pria/wanita dengan mengidentifikasikan dirinya menyerupai keduanya (Rizal,
2016). Transgender berbeda dengan golongan gay, lesbian dan biseksual karena
golongan transgender tidak berorientasi pada dominasi kecenderungan perasaan
maupun seksual pada sesama jenis, melainkan lebih kepada aspek identitas diri
(Nugraha, 2014).
Hingga saat ini penyebab terjadinya orientasi seksual ini belum dapat
dipastikan secara pasti. Tetapi prevalensinya mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Para ilmuwan memperkirakan bahwa ada 10% populasi LGBT yang ada
diseluruh dunia, yaitu 750 juta dari 7,5 milyar penduduk yang ada di dunia. Amerika
Serikat merupakan negara dengan jumlah komunitas LGBT terbanyak didunia, dan
sudah melegalkan pernikahan sejenis tahun 2015 (ConQ, 2015). Menurut penelitian
Rokhman (2015) jumlah populasi LGBT di Indonesia berada pada urutan ke-5 di

1
dunia setelah China, India, Eropa, dan Amerika. Sebanyak 3% penduduk Indonesia
dari 250 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 7,5 juta penduduknya adalah LGBT.
Perilaku seksual ditentukan oleh interaksi berbagai faktor yang kompleks,
seperti hubungan dengan orang lain, serta lingkungan dan kultur dimana seseorang
tinggal. Selain itu, seksualitas seseorang dipengaruhi oleh faktor kepribadian, susunan
biologis dan sense of self. El-Qudah dan Hamid (2015) mengatakan dampak yang
terjadi dari orientasi seksual menyimpang ini adalah dampak kesehatan, dampak
sosial, dampak pendidikan dan dampak keamanan. Sebanyak 78% pelaku
homoseksual terjangkit penyakit kelamin menular seperti kasus Human
Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrom (HIV/AIDS).
Dampak lain dari perilaku seksual menyimpang yaitu dampak sosial seperti
mempunyai pasangan lebih dari 20-106 orang pasangan per tahunnya. Sedangkan
dampak pendidikan diantaranya yaitu siswa-siswi yang menganggap dirinya sebagai
penyuka sesame jenis menghadapi permasalahan putus sekolah 5 kali lebih besar
daripada siswa normal karena mereka merasakan ketidakamanan (Ihsan, 2016).

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Homoseksual

1. Definisi
Istilah "homoseksual" paling sering digunakan untuk menggambarkan
perilaku jelas seseorang orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.
Hawkin menulis bahwa istilah "gay" dan "lesbian" dimaksudkan pada
kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah tersebut
mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi
bagian dari kelompok sosial yang memiliki label sama. Kartono (2009)
menjelaskan “Homoseksual ialah relasi seks dengan jenis kelamin sama: atau
rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama. Jumlah pria yang
homoseksual itu diperkirakan 3-4 kali lebih banyak daripada jumlah wanita
homoseksual”. Seperti yang dijelaskan oleh Kartono yaitu jumlah pria
homoseksual dengan wanita homoseksual, lebih banyak jumlah pria
homoseksual. Terlihat dari banyaknya pelaku-pelaku yang terlihat di
lingkungan sekitar. Pelaku homoseksual wanita masih jarang ditemukan
walaupun sekarang sudah mulai bertambah jumlahnya. Namun berkembangan
jumlah pelaku pria homoseksual saat ini memang cukup pesat semenjak isu-
isu LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender) yang merebak, oleh karena itu
jumlah pelaku homoseksual pria yang 3-4 kali pelaku homoseksual wanita.
Ekspresi homoseksual ada tiga yaitu, aktif, pasif, dan bergantian peranan
(Kartini Kartono, 2009, h.248). Ada tiga ekspresi pada perilaku homoseksual.
Yaitu pasif, aktif, dan bergantian peranan. Pada ekspresi aktif yaitu pelaku
homoseksual berperan sebagai pria yang agresif terhadap pasangannya.
Kemudian ekspresi pasif, yaitu pelaku homoseksual yang berperan sebagai
wanita yang pasif dan feminin. Dan ada yang bergantian peran, dalam sebuah
hubungan yang dijalani oleh pelaku-pelaku homoseksual ada yang selayaknya
pasangan normal, ada yang berperan sebagai lakilaki dan ada juga yang

3
berperan sebagai wanitanya, dan terus seperti itu perannya dan tidak berubah.
Namun, ada juga yang bergantian peran seperti yang dikatakan oleh Kartono
Kartini, pasangan yang bergantian peran, yaitu kedua–duanya yang bisa
berperan sebagai laki-laki ataupun perempuan.
2. Prevalensi
Penelitian besar pertama mengenai insidensi homoseksualitas dilakukan
oleh Alfred C. Kinsley pada tahun 1948; Ia menemukan bahwa 10% laki-laki
adalah homoseksual. Untuk wanita angka tersebut adalah 5 persen. Kinsley
juga menemukan bahwa 37 persen dari semua orang melaporkan suatu
pengalaman homoseksual pada suatu saat dalam kehidupannya, termasuk
aktivitas seksual remaja.
Sejak tahun 1948, sejumlah survei telah merevisi angka tersebut dengan
kecenderungan menurun. Survei pada tahun 1988 oleh U.S. Bureau of the
Census menyimpulkan bahwa angka prevalensi laki-laki untuk
homoseksualitas adalah 2 sampai 3 persen. Penelitian University of Chicago
pada tahun 1989 menemukan bahwa kurang dari 1 persen kedua jenis kelamin
adalah semata-mata homoseksual. Pada tahun 1993 Alan Guttmacher Institute
menemukan bahwa persentasi laki-laki yang melaporkan aktivitas seksual
yang semata-mata homoseksual dalam tahun sebelumnya adalah 1 persen dan
2 persen melaporkan riwayat memiliki pengalaman homoseksual semasa
hidupnya.
Beberapa homoseksual, khususnya laki-laki, melaporkan merasakan daya
tarik romatik dengan jenis kelamin yang sama sebelum pubertas. Menurut
data Kinsley, kira-kira setengah dari semua anak laki-laki prapubertas
memiliki pengalaman genital dengan pasangan jenis kelamin yang sama.
Tetapi, pengalaman tersebut sering kali bersifat eksplorasi khususnya jika
dilakukan dengan teman sebaya, bukan seorang dewasa dan biasanya tidak
memiliki komponen afektif yang kuat. Sebagian besar homoseksual laki-laki
mengingat onset daya tarik romantik dan erotik terhadap pasangan dengan
jenis kelamin sama selama masa remaja awal. Bagi wanita onset perasaan

4
romantis terhadap pasangan dengan jenis kelamin sama mungkin juga dalam
masa praremaja. Tetapi, pengenalan jelas minat terhadap pasangan dengan
jenis kelamin sama biasanya terjadi pada masa remaja pertengahan sampai
akhir atau tidak sampai masa dewasa awal. Lebih banyak wanita homoseksual
dibandingkan laki-laki homoseksual yang tampaknya memiliki pengalaman
heteroseksual selama karir homoseksual primernya. Pada satu penelitian 56
persen sampel lesbian melakukan hubungan heteroseksual sebelum
pengalaman homoseksual genital-nya yang pertama, dibandingkan dengan 19
persen sampel homoseksual laki-laki yang melakukan hubungan
heteroseksual pada awalnya. Hampir 40 persen lesbian pernah melakukan
hubungan heteroseksual selama tahun sebelum survei.
3. Faktor Penyebab
Penyebab homoseksual ada beberapa hal beberapa pendekatan biologi
menyatakan biologi menyatakan bahwa faktor genetik atau hormon
mempengaruhi mempengaruhi perkembangan perkembangan homoseksualitas.
Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku
homoseksual. Diantaranya karena ketidakseimbangan hormon yang dikatakan
dapat menyebabkan perilaku homoseksual. Ketidakseimbangan hormon dapat
disembuhkan dengan menyeimbangkan hormon yang ada. Bisa dengan
menambahkan hormon yang kurang sehingga dapat seimbang.
Kemudian pengaruh ligkungan sekitar, yang sangat berpengaruh bagi
perkembangan kematangan seksual pada seseorang. Lingkungan yang baik
akan membawa pengaruh positif, dan tidak mempengaruhi untuk melakukan
hal-hal yang menyimpang. Karena semua yang terjadi tidak lepas dari peran
lingkungan sekitar, bisa hobi, makanan favorit, dan lain-lain. Hingga masalah
orientasi seksual pun dapat di tentukan oleh lingkungannya. Terlalu nyaman
dengan teman yang sejenis pun dapat menjadi awal mulai perilaku
homoseksual. Maka dari itu berteman yang sewajarnya dan tetap ada aturan-
aturan yang tidak boleh dilanggar, aturan itu yang nanti akan membentengi
pada saat-saat tertentu.

5
Pengalaman buruk dengan lawan jenis pun dapat menjadi alasan
mengapa seseorang menjadi pelaku homoseksual. Karena pengalaman yang
sangat traumatis membuatnya menjadi sangat membenci atau menjauhi lawan
jenisnya. Yang akhirnya demi memuaskan hasratnya ia menyukai sesama jenis.
Kasus yang disebabkan oleh masalah ini juga cukup banyak ditemui.
Rowland & Incrocci (2008) menjelaskan “Sexual orientation is
obviously more complex in humans, combining social, familial, environmental,
endocrine, and genetic factors. Geneticists became interested in sexual
orientation when evidence began to suggest a genetic predisposition to
homosexuality” Menurut Rowland dan Incrocci bahwa orientasi seksual jelas
lebih kompleks pada manusia, yang menggabungkan sosial, keluarga,
lingkungan, endokrin, dan faktor genetik.

B. Biseksual

1. Definisi
Biseksualitas didefinisikan sebagai kapasitas untuk ketertarikan
emosional, romantis, dan/atau fisik lebih dari satu jenis kelamin atau gender
yang mungkin dapat berasal dari dirinya dalam interaksi seksual (American
Psychiatric Association, 2020). Biseksual menurut PPDGJ-III (2000)
termasuk dalam golongan gangguan maturitas seksual, yakni ketika individu
mengalami ketidakpastian mengenai identitas jenis kelaminserta orientasi
seksual yang dapat berujung kecemasan atau depresi.
Pengertian biseksual yang diambil dari kata “bi” yang berarti dua dan
“seksual” yang berarti persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Jadi
biseksual adalah orang yang tertarik kepada dua jenis kelamin (baik laki-laki
maupun perempuan). Menurut Sa’abah (dalam buku Kejahatan Dan
Penyimpangan Seksual) biseksal artinya orang yang memiliki respons seksual
terhadap dua jenis kelamin. Banyak ahli yakin bahwa sebagian besar
biseksualitas pada orang dewasa adalah heterokseksual atau homoseksual.
Walaupun sebagian kecil mempertahankan hubungan seks dengan pria dan

6
wanita secara serentrak dalam cara yang sama, sebagian besar dari pelaku
biseksual menghabiskan lebih banyak waktu dengan salah satu jenis kelamin
dibandingkan jenis kelamin lain (Sulistiani 2016).
Biseksualitas adalah salah satu dari tiga klasifikasi utama orientasi
seksual, bersama dengan heteroseksualitas dan homoseksualitas, yang masing
masing merupakan bagian dari rangkaian kesatuan heteroseksual –
homoseksual. Suatu identitas biseksual tidak harus memiliki ketertarikan
seksual yang sama besar pada kedua jenis kelamin., biasanya, orang-orang
yang memiliki ketertarikan pada kedua jenis kelamin tetapi miliki tingkat
ketertarikan yang berbeda juga mengidentifikasikan diri mereka sebagai
biseksual.
Dari beberapa pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan
bahwa biseksual adalah kecenderungan untuk tertarik dengan sesama jenis
maupun lawan jenis. Istilah “bisexual” muncul belakangan, tepatnya, setelah
diketahui bahwa ada orang yang mempunyai orientasi seksual terhadap
sesama jenis dan lawan jenis. Walaupun sebagian orang beranggapan bahwa
biseksual sebenarnya adalah kaun gay atau lesbian yang takut atau malu untuk
menyatakan diri. sebagai gay, istilah ini tetap bertahan dan dipakai dalam
banyak pembicaraan (Sinyo, 2014).

Berdasarkan kamus lengkap Psikologi tertulis bisexuality (biseksualitas,


seksualitas ganda) memiliki ciri-ciri karakteristik anatomis dan psikologis dari
kedua jenis kelamin. Keadaan merasa tertarik sama kuatnya pada kedua jenis
kelamin, perempuan maupun laki-laki (Chaplin, 2006). Sedangkan dalam
buku Mengenal Perilaku Abnormal dijelaskan Biseksual, yaitu orang-orang
yang mempraktikkan baik homoseksualitas maupun heteroseksualitas
sekaligus (Kanisius, 1995). Coleman (dalam Kanisius, 1995) biseksual yaitu
orang-orang yang mempraktikkan baik homoseksualitas maupun
heteroseksualitas sekaligus.

7
Gambar 2.1 Skala Kinsey

Skala Kinseydigunakan dalam penelitian untuk menggambarkan


orientasi seksual seseorang berdasarkan keinginan atau pengalaman seseorang
pada suatu saat waktu. Skala berkisar dari 0 sampai 6, dengan "0" mewakili
orang-orang yang secara eksklusif menginginkan pengalaman seksual dengan
lawan jenis dan "6" mewakili mereka yang secara eksklusif menginginkan
pengalaman seksual dengan sesama jenis. Mereka yang hasrat seksualnya
berkisar dari 1 hingga 5 adalah dianggap memiliki berbagai tingkat hasrat atau
pengalaman dengan kedua jenis kelamin, termasuk hasrat "kebetulan" atau
"sesekali" untuk aktivitas seksual dengan jenis kelamin yang sama. Skala
tersebut tidak mengacu pada apakah mereka "diidentifikasi" sebagai
heteroseksual, biseksual, atau homoseksual (APA, 2020)

Saat ini memang sudah cukup banyak kaum biseksual yang mau terbuka
tentang keadaannya yang Biseksual, namun masih juga ada yang enggan
terbuka dan jumlahnya mungkin jauh lebih besar dari yang bisa terbuka.
Untuk kaum biseksual yang terbuka, mereka mau membuka diri terhadap
pergaulan sekitarnya, mereka juga tidak malu lagi memperlihatkan
keberadaan dirinya dengan kaum biseksual lainnya bahkan mereka juga tidak
malu jika terlihat sedang bersama pasangannya yang satu jenis kelamin
dengannya.

8
Apalagi saat ini sudah didukung dengan perkembangan teknologi yang
bisa lebih spesifik dapat membantu biseksual satu dengan biseksual lainnya
bertemu, Facebook, Twitter, Blog hal seperti itu sudah pasti digunakan oleh
mereka namun melalui aplikasi percakapan sosial khusus biseksual yang
dengan bebas dapat di unduh oleh siapapun semakin mempermudahnya.
Semua itu mereka lakukan untuk tetap dapat membangun sebuah hubungan di
dunia maya. Untuk di dunia nyata sendiri, biseksual ini sering menunjukkan
bahwa mereka itu ada dengan muncul dan sering bergaul di tempat tempat
ramai (Sukma, 2014).
2. Faktor Penyebab Biseksual
Menurut (Eko, 2010) Beberapa ahli lain juga berpendapat bahwa
kemungkinan faktor penyebab seseorang menjadi biseksual:
a. Faktor Biologis
Kelainan di genetik dan hormonal. Faktor hormonal bisa menjadi
salah satu pendorong pria maupun perempuan untuk menjadi gay
maupun lesbian bahkan biseksual. Ada jenis hormon tertentu dalam
dirinya yang lebih dominan. Namun faktor biologis hanyalah pendorong
orang untuk berbuat, bukan yang menentukan jenis perbuatan yang harus
dilakukan.
b. Faktor Psikodinamik
Gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak dan
perkembangan seksual yang dilihat dari motivasi, emosi, dan aspek-
aspek internal lainnya.
c. Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan
sesama jenis maupun berlawanan jenis menjadi erat. Perilaku seseorang
tentu mencerminkan informasi yang dia serap tentang perbuatan itu dari
lingkungan sekitarnya. Faktor lingkungan dan mental psikologis lebih
besar efeknya bagi terciptanya orientasi seksual. Seseorang menjadi gay,
atau lesbi, atau homo, atau biseks bisa dicermati dari dua penyebab.

9
Pertama, bersifat temporer. Seseorang menjadi gay atau lesbi atau homo
saat ia berada dalam lingkungan kehidupan sesama jenisnya. "Seseorang
yang mendekam di penjara hanya bersama pria lama-lama bisa saja
memiliki perilaku seksual gay," ujarnya. Kedua, bersifat permanen, yakni
seseorang berperilaku seksual gay sejak akil balig. Pilihan menjadi gay
biasanya dalam waktu lama. Jika melepas ke-gay-annya ia sudah
termakan usia saat menyulam tali pernikahan bersama wanita. Begitu
pula dengan kaum biseksual.
d. Coba-coba
Perilaku coba-coba untuk memperoleh pengalaman seksual baru
sering dilakukan antar sahabat. Percobaan seksual dalam hubungan
antara sahabat baik, cukup umum di antara wanita dan bisa pula terjadi
antara dua pria berteman baik, atau seorang pria homoseks dapat
mengembangkan hubungan seksual dari hubungan yang biasa, namun
bersahabat, dengan seorang wanita.
Laki-laki yang telah beristri mencoba pengalaman seksual baru
dengan sahabat laki-lakinya. Demikian juga perempuan yang telah
bersuami, mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat
perempuannya. Perilaku biseksual ini dapat juga muncul dari hasil coba-
coba antara laki-laki homoseksual dengan sahabat perempuannya atau
antara perempuan lesbian dengan sahabat laki-lakinya. Jadi, fenomena
orientasi seksual itu memang kompleks atau pelik dan tidak dapat dilihat
hanya pada perilaku yang tampak di permukaan (overt behavior).
Seks berkelompok adalah tempat lain untuk percobaan biseksual.
Akhirnya, beberapa orang mengambil filosofi biseksual sebagai hasil
pertumbuhan sistim kepercayaan pribadi. Misalnya, seorang wanita yang
selama ini aktif dalam gerakan wanita menemukan bahwa mereka
menjadi dekat dengan wanita lain lewat pengalaman dan menerjemahkan
kedekatan ini ke dalam ekspresi seksual. Kemudian contoh yang lain
seorang gadis berciuman dengan kawan perempuannya. Kemudian

10
setelah gadis itu berciuman dengan kawan perempuannya, bisa jadi –
menurut Weston – ia akan berkata pada dirinya sendiri: "Ok, saya telah
mencobanya dan ternyata tidak benar-benar mendapatkan gairah seks
atau ketertarikan secara seksual dengannya. Dan saya ragu apakah akan
melakukannya lagi.." Bila keadaannya begini, gadis tadi masih
dikategorikan sbg heteroseks sepenuhnya, meski pun pernah mencoba
cara lain.
e. Seks bebas (free sex)
Para penganut seks bebas seringkali mengadakan pesta seks yang
dihadiri banyak orang dengan berbagai ragam orientasi seksual. Dalam
keadaan semacam ini sangat terbuka kemungkinan coba-coba melakukan
hubungan biseksual. Bila dalam melakukan hubungan itu mengalami
kenikmatan seperti diharapkan, perilaku tersebut cenderung diulang-
ulang, sehingga ia dapat berkembang menjadi orang yang memiliki
perilaku biseksual.
f. Kebutuhan emosional yang tak terpenuhi
Hasil penelitian tentang seksualitas ganda menunjukkan bahwa para
wanita biseksual mempunyai beberapa kebutuhan emosional yang hanya
dapat dipenuhi oleh laki-laki, sementara beberapa kebutuhan emosional
lainnya menurut mereka hanya dapat dipenuhi perempuan. Untuk
memenuhi seluruh kebutuhan emosional tersebut mereka memiliki peran
seksualitas ganda. "Saya mencintai pasangan laki-laki saya, tetapi tidak
mendapatkan kepuasan emosional yang saya butuhkan darinya.
Hubungan saya dengan seorang perempuan dimulai sebagai persahabatan.
Dalam dua tahun kami semakin erat, dan sangat intim secara emosional.
Kami menjadi tertarik secara fisik satu sama lain.
Kemudian pada suatu hari, hal itu terjadi. Kami berciuman dan tidak
berhenti sampai disitu. (Secrets of Better Sex)."Kami berdua merasa
malu dan bersalah setelahnya.Beberapa hari kami takut membicarakan
hal itu.Itu bukan kebiasaan kami, karena kami selalu membicarakan

11
segala sesuatunya secara langsung. Kami memutuskan tidak akan
membiarkan hal itu terjadi lagi, tetapi kami kembali melakukannya. Hal
itu telah berjalan bertahun-tahun sampai sekarang.Kami tidak berpikir
untuk meninggalkan pasangan laki-laki kami.Ini hanya sesuatu yang
kami butuhkan, sesuatu yang tidak kami dapatkan dari laki-laki."
Studi yang dilakukan di Australia dan dipublikasikan pada bulan
Mei 2002 ini dalam British Journal of Psychiatry menemukan bahwa
orang dewasa yang menjalani kehidupan seksual ganda akan mengalami
perasaan-perasaan seperti cemas, depresi dan rasa bersalah yang sangat
mendalam karena melakukan kehidupan seks tidak normal. Kondisi yang
sama juga dialami kaum homoseksual tapi tidak sehebat tekanan mental
yang dialami kaum biseksual. Pada situasi yang semakin tidak terkendali
para biseksual yang harus menjalani kehidupan seksual ganda -karena
mereka juga punya pasangan resmi- akan semakin bingung dan
cenderung melakukan usaha bunuh diri atau melukai diri sendiri secara
sengaja.
g. Kebutuhan akan variasi dan kreativitas
Hasil penelitian terhadap biseksual menunjukkan bahwa
kebanyakan mereka menjadi biseksual karena ingin memenuhi
kebutuhan akan adanya variasi dan kreativitas untuk mendapatkan
kepuasan dan kenikmatan dalam melakukan hubungan seksual. Dari
beberapa pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor penyebab biseksual adalah Pengalaman seksual yang
didapatkan dari suatu hubungan persahabatan antara laki-laki dan
perempuan yang sangat dekat, kelompok-kelompok yang membentuk
pergaulan biseksual, lingkungan, faktor biologis, faktor psikodinamik,
faktor lingkungan, coba-coba, seks bebas, kebutuhan emosional yang tak
terpenuhi, kebutuhan akan variasi dan kreativititas

12
3. Pembentukan Identitas Diri Biseksual
Berdasarkan Jurnal psikologi oleh Dian (2010) terdapat empat tingkatan
pada biseksual dalam menghadapi identitas mereka:
a. Kebingungan awal (Initial Confusion)
Merupakan periode yang sangat membingungkan, ragu dan
berjuang dengan identitas mereka sebelum mendefinisikan diri mereka
sendiri sebagai biseksual. Biasanya merupakan langkah awal dalam
proses menjadi biseksual. Bagi beberapa biseksual, periode ini dilewati
dengan perasaan seksual yang kuat terhadap kedua jenis kelamin yang
sangat mengganggu, tanpa orientasi, dan terkadang menakutkan.
b. Menemukan dan menerapkan label (Finding and Applying the Label)
Pada beberapa orang yang awalnya belum mengenal istilah
biseksual, biasanya mereka mendapatkan istilah tersebut dengan
mendengar, membacanya di suatu sumber, atau mempelajarinya dari
komunitas biseksual. Penemuan ini membuat perasaan mereka menjadi
lebih bermakna sehinga hal ini kemudian menjadi titik balik dalam
kehidupan mereka. Dilain pihak ada pula yang sudah memiliki
pengetahuan tentang biseksual namun belum dapat melabelnya pada diri
mereka. Hal ini terjadi pada mereka yang awalnya merasakan dirinya
sebagai homoseksual. Selain itu ada pula yang tidak menjalani titik balik
yang spesifik dalam kehidupannya namun perasaan seksual terhadap
kedua jenis kelamin terlalu sulit untuk disangkal. Mereka pada akhirnya
menyimpulkan untuk tidak memilih. Faktor terakhir yang mengarahkan
seseorang untuk memakai label biseksual adalah dorongan yang datang
dari teman-teman yang telah mendefinisikan diri mereka sebagai biseksual.
c. Menetapkan kedalam identitas (Settling into the identity)
Tingkatan ini dikarakteristikkan dengan transisi yang lebih rumit
dalam self-labeling. Pada tingkat ini mereka lebih dapat menerima diri,
tidak begitu memperhatikan sikap negatif dari orang lain

13
d. Ketidakpastian (Continued uncertainity)
Banyak pria dan wanita yang meragukan identitas biseksual mereka
karena hubungan seksual yang eksklusif. Setelah terlibat secara eklusif
dengan pasangan berbeda jenis dalam waktu tertentu, beberapa diantara
mereka mempertanyakan sisi homoseksual dari seksualitas mereka.
Sebaliknya, setelah terlibat dengan pasangan sejenis, mereka mulai
mempertanyakan komponen heteroseksual dalam seksualitas mereka.
4. Kondisi Kesehatan Mental
a. Orang biseksual kurang terwakili di penelitian tentang kesehatan mental,
meskipun biseksual dianggap sebagai segmen terbesar dari komunitas
LGBTQ
b. Peningkatan pengalaman depresi dan bunuh diri pada individu biseksual
dibandingkan dengan heteroseksual, gay atau lesbian dilaporkan.
c. Tingkat gangguan mood/kecemasan seumur hidup adalah lebih tinggi di
antara wanita yang teridentifikasi biseksual (58,7% untuk gangguan
mood, 57,8% untuk gangguan kecemasan) dibandingkan dengan lesbian
(44,4% untuk mood gangguan, 40,8% untuk gangguan kecemasan) dan
wanita heteroseksual (30,5% untuk gangguan mood, 31,3% untuk
gangguan kecemasan).
d. Tingkat gangguan mood/kecemasan seumur hidup juga lebih tinggi di
antara laki-laki yang teridentifikasi biseksual (36,9% untuk gangguan
mood, 38,7% untuk gangguan kecemasan) dibandingkan dengan pria
heteroseksual (19,8% untuk gangguan mood, 18,6% untuk gangguan
kecemasan), tetapi tingkatnya mirip dengan laki-laki gay (42,3% untuk
suasana hati gangguan, 41,2% untuk gangguan kecemasan).

14
e. Risiko bunuh diri pada populasi biseksual lebih tinggi daripada individu
dengan heteroseksual, gay, dan lesbian

f. Laki-laki biseksual lebih mungkin dibandingkan heteroseksual. Laki-laki


mengalami kekerasan fisik dan atau seks non-konsensual di masa kecil
mereka. Mereka melakukannya karena 14-20% kemungkinan terancam
atau terluka dengan senjata dibandingkan dengan laki-laki heteroseksual.
Sekitar 24-57% lebih mungkin menderita bentuk-bentuk intimidasi
dibandingkan dengan secara eksklusif laki-laki homoseksual.
g. Wanita biseksual juga melaporkan hal yang lebih buruk kesehatan mental
dan bunuh diri daripada lesbian dan wanita heteroseksual.
h. Dibandingkan dengan wanita heteroseksual dan lesbian, wanita biseksual
lebih mungkin untuk melaporkan perasaan yang luar biasa kecemasan,
kelelahan, dan keputusasaan. Selain itu, jumlahnya hampir 21 kali lipat
kemungkinan besar telah mempertimbangkan bunuh diri di tahun
sebelumnya dibandingkan dengan wanita heteroseksual.

15
i. Wanita biseksual lebih dari dua kali kemungkinan untuk memiliki
gangguan makan dibandingkan dengan lesbian
5. Rencana Terapi Biseksual
Berdasarkan American Psychiatric Association (2020) Individu
biseksual mungkin mencari pelayanan kesehatan mental untuk kekhawatiran
tentang orientasi seksual mereka lebih jarang daripada teman gay dan teman
lesbian mereka; dan mungkin menilai layanan ini lebih rendah membantu dari
rekan-rekan mereka. Orang biseksual mengalami stres minoritas dan isolasi
sosial sebagai akibat dari seksual mereka identitas yang terpinggirkan, yang
seharusnya diakui dalam pengobatan. Saat memberikan layanan kesehatan
mental kepada biseksual individu penting untuk:
a. Hindari mengungkapkan penilaian, memberhentikan atau biseksualitas
yang patologis.
b. Tawarkan praktik positif yang mungkin mencakup penggunaan
pertanyaan terbuka dan mengungkapkan reaksi positif atau netral
terhadap pengungkapan.
c. Tidak menggunakan praktik-praktik negatif seperti mengajukan
pertanyaan yang mengganggu atau berlebihan.

C. Parafilia

Parafilia (Paraphilia) berasal dari kata “para” yang berarti penyimpangan


dan “philia” berarti sesuatu yang membuat orang tertarik. Parafilia meliputi
sekumpulan gangguan yang terkait dengan ketertarikan seksual pada objek yang
tidak seharusnya, dengan kata lain parafilia adalah kegiatan seksual yang
abnormal (Fatmawati, 2019). Menurut (American Psychiatric Association, 2013)
gejala dari parafilia biasanya ditunjukkan dengan adanya ketertarikan seksual
yang terjadi secara intens dan terus menerus namun ketertarikan ini di luar dari
rangsangan atau perilaku seksual yang normal, dewasa secara fisik dan adanya
persetujuan antar pasangan.

16
Adapun dalam (American Psychiatric Association, 2013) parafilia yang
umum ditemukan dituliskan berurutan sesuai kelompoknya. Kelompok yang
pertama digolongkan berdasarkan aktivitas preferensi menyimpang, yang terbagi
ke dalam courtship disorders (penyimpangan dalam suatu hubungan) yaitu
voyeurism, eksibisionisme, dan frotteurisme. Lalu, algolagnic disorders
(kepuasan didapat dengan melibatkan rasa sakit dam rasa menderita) yang
meliputi masokisme dan sadisme. Kelompok yang kedua digolongkan
berdasarkan preferensi target yang menyimpang. Hal ini berarti penyimpangan
tersebut membutuhkan korban yang tidak memiliki hubungan dengannya.
Kelompok ini terbagi menjadi pedofilia, fetishistisme, dan transvertisme.
1. Veyourisme

Voyeurisme adalah gangguan yang membuat individu mengamati atau


melihat secara diam-diam pada orang yang telanjang, sedang melakukan
aktivitas seksual, atau sedang membuka pakaian. Hal ini merupakan bentuk
perwujudan dari fantasi, dorongan seksual dan menjadi kebiasaan.
Penderita akan merasakan gairah seksual dari aktivitas tersebut. Gangguan
ini umumnya diderita oleh individu yang telah berusia 18 tahun.
Kemungkinan gangguan ini diderita oleh pria ialah 12% dan pada
perempuan sebesar 4% (American Psychiatric Association, 2013).
Dalam PPDGJ-III, F65.3 Voyeurisme didefinisikan sebagai
kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang
sedang berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti sedang
menanggalkan pakaian. Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan
seksual dan mastrubasi, yang dilakukan tanpa orang yang dintip
menyadarinya (Maslim, 2019).
2. Ekshibisionalisme
Eksibisionisme merupakan bentuk dari fantasi dan dorongan seksual
yang membuat seseorang memiliki kebiasaan menunjukkan alat
kelaminnya kepada orang asing tanpa adanya persetujuan dari orang tesebut

17
sehingga ia mendapatkan kepuasan seksual. Penderita ini umumnya
melakukan aksinya di depan umum namun dalam kondisi dimana korban
tidak dapat menjangkaunya. Jika penderita menargetkan anak-anak sebagai
korbannya, ada kemungkinan ia juga menderita parafilia. Kemungkinan
lelaki menderita gangguan ini adalah 2% hingga 4%. Sedangkan pada
wanita masih belum diketahui pasti namun diyakini jauh lebih rendah
(American Psychiatric Association, 2013).
Dalam PPDGJ-III, Ekshibisionisme didefinisikan sebagai
kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat
kelamin kepada asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang
banyak di tempat umum, tanpa ajakan atau niat untuk berhubungan lebih
akrab. Hampir terbatas pada pria laki-laki heteroseksual yang memamerkan
pada wanita, remaja, atau dewasa, biasanya menghadap mereka dalam jarak
yang aman di tempat umum. Apabila ada yang menyaksikan itu terjekut,
takut, atau terpesona, kegairahan penderita menjadi meningkat. Pada
beberapa penderita, ekshibisionisme merupakan satu-satunya penyaluran
seksual, tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini dilanjutkan bersamaan
(simultaneously) dengan kehidupan seksual yang aktif dalam suatu jalinan
hubungan yang berlangsung lama, walaupun demikian dorongan menjadi
lebih kuat pada saat mengnadapi konflik dalam hubungan tesebut.
Kebanyakan penderita ekshibisionisme mendapatkan kesulitan dalam
mengendalikan dorongan tesebut dan dorongan ini bersifat “ego-alien”
(suatu benda asing bagi dirinya) (Maslim, 2019).
3. Frottuerisme
Frotteurisme ialah perilaku menyimpang dimana seseorang
mendapatkan kepuasan dengan cara menempelkan atau menggosokkan alat
genitalnya kepada orang lain dengan sengaja tanpa persetujuan orang
tersebut. Gangguan ini dapat terjadi pada 30% pria dewasa dalam populasi
umum (American Psychiatric Association, 2013).

18
4. Sadomasokisme
Masokisme ialah gairah atau kepuasan seksual yang didapatkan
dengan melibatkan kekerasan seperti diikat, dipermalukan, dipukuli atau
dibuat menderita. Konsekuensi dari masokisme ialah bisa jadi kematian.
Hal ini disebabkan karena praktek asfiksiofilia atau aktivitas berbahaya lain.
Asfiksiofilia ialah pencapaian kepuasan seksual dengan cara merasakan
sesak napas atau tercekik, terkadang hingga hilang kesadaran. Jumlah kasus
masokisme belum diketahui pasti, namun di Australia, diperkirakan bahwa
2,2% pria dan 1,3% wanita telah terlibat dalam kegiatan sadomasokisme
(American Psychiatric Association, 2013)
Sadisme umumnya berpasangan dengan masokisme. Pengidap
gangguan ini akan merasakan kepuasan seksual dari penderitaan fisik
maupun psikologis yang dialami lawannya. Hal ini bisa juga terjadi tanpa
adanya persetujuan dari korban yang diberikan kekerasan. Pada suatu studi
dilaporkan bahwa perempuan menyadari ia memiliki minat terhadap
sadomasokisme setelah beranjak dewasa. Sedangkan pada laki-laki usia
rata-rata kemunculan gangguan ini ialah 19,4 tahun (American Psychiatric
Association, 2013)
Dalam PPDGJ-III, F65.5 Sadomasokisme merupakan preferensi
terhadap aktivitas seksual yang melibatkan atau menimbulkan rasa sakit
atau penghinaan, (individu yang lebih suka untuk menjadi reisipien dari
perangsangan demikian disebut “masochisme”, sebagai pelaku disebut
“sadism”. Seringkali individu mendapatkan rangsangan seksual dari
aktivitas sadistik maupun masokistik. Kategori ini hanya digunanakan
apabila aktivitas sadomasokistik merupakan sumber rangsangan yang
penting untuk pemuasan seks. Harus dibedakan dari kebrutalan dalam
hubungan seksual atau kemarahan yang tidak berhubungan dengan erotisme
(Maslim, 2019).

19
5. Pedofilia
Pedofilia ialah fantasi, tindakan secara berulang yang membangkitkan
gairah seksual dengan cara melibatkan aktivitas dewasa dengan anak-anak
atau anak pra- remaja yaitu umumnya usia 13 tahun atau bahkan lebih
muda. Pengidap gangguan ini setidaknya berusia 16 tahun atau setidaknya
5 tahun lebih tua dari usia yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan
catatan individu di usia remaja akhir yang terlibat hubungan seksual yang
berkelanjutan dengan anak usia 12 atau 13 tahun tidak termasuk dalam
kategori gangguan ini. Pedofilia terbagi atas tipe spesifik (hanya tertarik
pada anak-anak) dan tipe non-spesifik (tertarik pada anak-anak dan dewasa).
Pengidap gangguan ini bisa saja hanya tertarik pada lelaki, hanya tertarik
pada perempuan atau tertarik pada keduanya. Kemungkinan prevalensi
tertinggi untuk gangguan pedofilia pada populasi pria adalah sekitar 3%
sampai 5%. Sedangkan pada wanita lebih tidak pasti, tetapi kemungkinan
lebih kecil dibanding pada pria (American Psychiatric Association, 2013)
Dalam PPDGJ-III, F65.4 Pedofilia didefinisikan sebagai preferensi
seksual terhadap anak-anak, biasanya pra pubertas atau awal masa pubertas,
baik laki-laki maupun perempuan. Pedofilia jarang ditemukan pada
perempuan. Preferensi tersebut harus berulang dan menetap. Termasuk laki-
laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual dewasa, tetapi
karena mengalami frustasi yang kronis untuk mencapai hubungan seksual
yang diharapkan, maka kebiasaannya beralih kepada anak-anak sebagai
pengganti (Maslim, 2019).
6. Fetishisme
Fetishisme ialah perilaku seksual berulang dan intens yang diperoleh
dari penggunaan benda mati atau fokus yang sangat spesifik pada bagian
tubuh non-genital. Objek fetish tidak berupa pakaian yang dikenakan dalam
cross-dressing (seperti pada gangguan transvestik) atau perangkat yang
dirancang khusus untuk tujuan stimulasi genital. Biasanya parafilia
berkembang pada masa pubertas tetapi fetishisme dapat berkembang

20
sebelum masa remaja. Gangguan fetishisme dapat berupa kegiatan
multisensor, seperti menyentuh, meraba, menggesek, atau mencium objek
fetish saat masturbasi, atau lebih memilih pasangannya mengenakan objek
fetish selama melakukan hubungan suami istri. Beberapa individu bisa saja
mengoleksi objek fetish yang sangat diinginkan. Meskipun gangguan
fetishisme relatif jarang terjadi di antara pelaku kejahatan seksual dengan
gangguan parafilia yang ditangkap, laki-laki dengan gangguan fetishisme
dapat mencuri dan mengumpulkan objek hasrat fetish khusus mereka
(American Psychiatric Association, 2013)
Dalam PPDGJ-III, F65.0 Fetishisme didefinisikan sebagai
mengandalkan bedan mati (non-living object) sebagai rangsangan untuk
membangkitkan keinginan seksual dan memberikan kepuasan seksual.
Kebanyakan benda tersebut (objek fetish) adalah ekstensi dari tubuh
manusia, seperti pakaian atau sepatu. Diagnosis ditegakkan apabila objek
fetish benar-benar merupakan sumber yang utama dari rangsangan seksual
atau penting sekali untuk respon seksual yang memuaskan. Fantasi
fetihistik adalah lazim, tidak menjadikan suatu gangguan kecuali apabila
menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya
sampai menganggu hubungan seksual dan menyebabkan penderitaan bagi
individu. Fetishisme terbatas hampir hanya pada pria saja (Maslim, 2019).
7. Transvertisme Fetishistik
Gangguan transvetisme ialah gairah atau kepuasan seksual yang
didapat dengan cara berpenampilan seperti lawan jenis atau cross-dressing.
Transvetisme yang diikuti dengan fetishisme ialah apabila terangsang
secara seksual oleh kain atau pakaian. Adanya fetishisme menurunkan
kemungkinan gangguan identitas gender pada pria dengan gangguan
transvestik. Gangguan transvetisme berbeda dengan fetishisme. Pada
fetishisme, pengidap tidak sepenuhnya berpenampilan seperti lawan
jenisnya untuk mendapatkan gairah seksual (American Psychiatric
Association, 2013)

21
Dalam PPDGJ-III, F65.1 Transvertisme Fetihistik mengenakan
pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasan
seksua. Gangguan ini harus dibedakan dengan Fetishisme (F65.0) dimana
pakaian sebagai objek fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk
menciptakan penampilan seorang dari lawan jenis kelaminnya. Biasanya
lebih dai satu jenis barang yang dipakai dan seringali suatu perlengkapan
yang menyeluruh, termasuk rambut palsu dan tata rias wajah. Dibedakan
juga dengan transvetisme transsexual oleh adanya hubungan yang jelas
dengan bangkitnya gaiah seksual dan keinginan/hasat yang kuat untuk
melepaskan baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsangan
seksual menurun. Adanya riwayat transvetisme fetihistik biasanya
dilaporkan sebagai suatu fase awal oleh penderita transeksualisme dan
kemungkinan suatu stadium dalam perkembangan transseksualisme
(Maslim, 2019).

22
D. Lainnya

1. Transgender & Transeksual


Transgender adalah istilah yang merujuk pada orang-orang yang
menampilkan identitas gender yang berbeda dengan jenis kelamin bawaan
lahirnya ataupun orang- orang yang mengekspresikan peran gendernya
berbeda secara signifikan dengan seperti apa gender tersebut diasosiasikan.
Transgender terbagi atas dua jenis yaitu female to male transgender (FtM),
dan male to female transgender (MtF) (IOM, 2011). Di Indonesia, male to
female transgender ini lebih akrab disebut dengan waria (Nadia, 2005 ).
Yash (2003) mengartikan transseksual sebagai masalah indentitas jenis
kelamin, kesadaran mental yang dimiliki individu tentang jenis kelaminnya,
laki-laki atau perempuan. Dimana identitas jenis kelamin yang dimiliki
seorang transseksual ini berlawanan dengan jenis kelamin yang ”dikenakan”
kepadanya berdasarkan genital fisiknya. Pengertian yang lebih sederhana
dikemukakan oleh Devault & Lyarber, transseksual adalah individu yang
identitas gender dan anatomi seksualnya tidak cocok. Seorang transseksual
merasa terjebak dalam tubuh dan anatomi seksual yang salah. Walters & Ross
menyebutkan bahwa transseksual berusaha untuk diterima menjadi anggota
dari kelompok jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan definisi yang
dikemukakan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa waria adalah
individu yang merasa identitas jenis kelaminnya berbeda dengan jenis
kelamin yang dimilikinya secara fisik, dimana ia berusaha untuk diterima
sebagai anggota jenis kelamin yang berbeda dari jenis kelamin yang
dimilikinya secara fisik
2. Necrofilia
Necrofilia merupakan kepuasan seksual yang didapatkan dari
berhubungan seks dengan orang mati. Salah satu praktik abnormal yang
paling aneh, ganjil, dan memberontak serta sensualitas yang menyimpang
yang juga dikenal sebagai necrophilism, necrolagnia, necrocoitus,

23
necrochlesis dan thanatophilia, dapat dilihat sendiri atau berkaitan dengan
sejumlah paraphilia lainnya, yaitu sadisme, kanibalisme, vampirisme (praktik
meminum darah dari seseorang atau hewan), nekrofagia (memakan daging
orang mati), nekropedofilia (ketertarikan seksual pada mayat anak-anak) dan
nekrozoofilia (ketertarikan seksual pada mayat atau pembunuhan orang).
hewan – juga dikenal sebagai necrobestiality). DSM-IV-TR1 tidak
menetapkan kode khusus atau unik untuk necrophilia. Sebaliknya bersama
dengan beberapa paraphilia lain yang tidak biasa (tujuh di antaranya diberi
nama khusus), necrophilia dikelompokkan di bawah kode 302.9 (paraphilias
tidak ditentukan lain) (Aggrawal, 2009).
3. Zoofilia/Bestialty
Bestially, adalah kelainan seks yang diderita seseorang dimana kepuasan
seks bisa dirasakan saat melakukan hubungan seks dengan binatang. Manusia
yang suka melakukan hubungan seksual dengan binatang seperti kambing,
kerbau, sapi, kuda, ayam, bebek, anjing, kucing, dan lain sebagainya.
Beberapa pelaku bestiality ada kalanya melakukanya sebagai kegiatan tetap,
suatu tindakan menghindari hubungan heterosesksual (dengan seorang wanita)
karena khawatir gagal dan kecewa senggama dengan Wanita (Gufron, 2017).
Zoophilia, adalah kelainan seks yang hampir sama dengan bestiality
dimana pelakunya bisa mendapatkan kepuasan seks hanya dengan mengelus
hewan atau melihatnya sedang melakukan aktivitas seks. Sedangkan menurut
Moh Rosyid Zoofilia adalah rasa cinta manusia yang abnormal kepada
binatang, biasanya cara pemuasan seks dengan jalan bersenggama, mengelus-
elus binatang, melihat aktivitas seks binatang, tidur bersama, mencium dan
memanipulasi tubuh binatang atau juga dengan menggunakan kulit binatang
sebagai jimat atau symbol seks (fetshisme) (Gufron, 2017).

24
DAFTAR PUSTAKA

Aggrawal . 2009. A new classification of necrophilia. Journal of Forensic and Legal


Medicine 16 (2009) 316–320
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders Fifth Edition. In Encyclopedia of Applied Psychology, Three-Volume
Set.
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric Publishing.
Washinton DC.
American Psychiatric Association. 2020. Mental Health Fact in Bisexual Popoulation.
ConQ.me. 2015. LGBT Survey Edisi 1 Demografi Psikografi: ConQ; 2015
Dian, V., T. 2010. Konsep diri pada biseksual. Medan: Jurnal Psikologi No 10502300.
El-Qudah dan Hamid, A. 2015. Kaum Luth Masa Kini. Jakarta: Yayasan Islah Bina
Umat
Fatmawati, F. 2019. Bunga Rampai: Apa Itu Psikopatologi? “Rangkaian Catatan
Ringkas Tentang Gangguan Jiwa”. 53(9).
Fatoni, Gufron (2017) Penyimpangan seksual dalam pandangan Al-qur'an:study
analisis tafsir Al- unir. Masters thesis, UIN Raden Intan Lampung.
Ihsan, D. 2016. Dampak LGBT dan Antisipasinya di Masyarakat. Jurnal Nizham, Vol.
05, No. 01 Januari-Juni 2016
Maslim, R. 2013. Buku Saku Dignosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa-FK Unika.
Nugraha, M. T. 2014. Kaum LGBT dalam Sejarah Peradaban Manusia. Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.
Nugroho, R. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia. Cetakan
Pertama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Rizal, K. 2016. Penanggulangan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender).
Sulistiani, S. 2016. Kejahatan Dan Penyimpangan Seksual. Bandung : Penerbit
Nuansa Aulia.
Supratiknya. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Kanisius.

25

Anda mungkin juga menyukai