Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan seksual merupakan suatu aspek kesehatan yang berhubungan dengan
organ-organ kelamin dan perilaku seksual. Kesehatan seksual yaitu pencegahan penyakit
menular seksual dan kehamilan yang tidak di inginkan, kenikmatan seks sebagai bagian
darihubungan intim dan kendali yang lebih besar terhadap keputusan seksual seseorang. Seks
merupakan aspek intim yang penting, dalam hubungan saling mencintai antara satu orang
dengan orang lain. Seks merupakan aspek hidup yang pribadi dan tersendiri yang jarang
dibahas dengan orang lain.
Perilaku seksual adalah bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu interaksi faktorfaktor yang kompleks. Seksualitas seseorang adalah terlibat dengan faktor kepribadian yang
lain, dengan susunan biologis dan dengan rasa umum tentang diri sendiri (sense of self). Ini
termasuk persepsi sebagi laki-laki atau wanita, yang mencerminkan perkembangan
pengalaman dengan seks selama siklus kehidupan.Seksualitas abnormal yaitu perilaku
seksual yang destruktif bagi diri sendiri maupunoranglain, yang tidak dapat diarahkan kepada
seseorang pasangan, yang diluar stimulasiorgan seks primer, dan yang di sertai dengan rasa
bersalah dan kecemasan yang tidak sesuai,atau konfulsif.
Bagi kebanyakan orang, banyak yang tidak peduli tentang apakah perilaku
seksualyang normal dan apakah jenis-jenis dan gangguan seksual. Gangguan seksual
merupakanmasalah dasar bagi pria dan wanita yang mengganggu kemampuan mereka untuk
menikmatiseks. Penyimpangan perilaku seksual sering di anggap perbuatan tidak bermoral
olehmasyarakat. Ada penderita yang merasa bersalah atau depresi dengan pemilihan objek
atauaktivitas seksual nya yang tidak normal. Namun banyak pula yang tidak merasa
terganggudengan penyimpangan tersebut kecuali bila ada reaksi dari masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan seksual?
2. Apa saja jenis-jenis gangguan seksual ?
3. Apakah penyebab terjadinya gangguan seksual ?
4. Bagaimana penanganan terhadap gangguan seksual ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian gangguan seksual ?
2. Untuk mengetahui jenis-jenis gangguan seksual ?
3. Dapat mengetahui penyebab terjadinya gangguan seksual ?
4. Bisa mengerti penanganan terhadap gangguan seksual ?

BAB II
2

PEMBAHASAN

Masalah-masalah yang muncul dalam konteks interaksi seksual dapat terjadi baik
didalam hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Ketidak mampuan untuk menjadi
terangsang atau mencapai orgasme terjadi sama seringnya dalam hubungan homoseksual
maupun heteroseksual. Tiga tahap utama siklus respon seksual yakni: (1) Fase Nafsu adalah
dorongan seksual muncul sebagai respon terhadap stimulus atau fantasi seksual. (2) Fase
Terangsang adalah kenikmatan seksual subjek dan tanda-tanda fisiologis keterangsangan
seksual: pada laki-laki, penis yang membesar (peningkatan aliran darah yang memasuki
penis); pada perempuan, vasocongestion (darah mengumpul di daerah pelvis) yang
mengakibatkan lubrikasi vagina dan pembesaran payudara (putting susu yang menegak). (3)
Fase Orgasme: pada laki-laki, perasaan akan mengalami ejakulasi yang tak terhindarkan yang
diikuti dengan ejakulasi; pada perempuan, kontraksi di dinding sepertiga bagian bawah
vagina (Durand dan Barlow, 2006).
A. Pengertian gangguan seksual
Disfungsi seksual adalah gangguan seksual dimana klien mengalami kesulitan untuk
berfungsi secara adekuat ketika melakukan hubungan seksual (Durand dan Barlow, 2006).
Gangguan-gangguan dalam bidang seks biasanya tidak melemahkan atau melumpuhkan
seperti yang terjadi pada kecemasan, depresi, dan skizofernia. Karena itu, gangguan ini sering
dilihat sebagai gangguan-gangguan yang kurang berat. Dalam beberapa bentuk gangguan itu
terlihat bahwa kepuasan seksual diperoleh dengan cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan yang
berbeda dari persetubuhan yang wajar merupakan satu-satunya bentuk kegiatan seks yang
lebih disukai. Gangguan-gangguan ini dapat sangat mengganggu karena pengaruh yang
ditimbulkannya terhadap orang lain. Hal ini terjadi, misalnya, bila gangguan-gangguan ini
melibatkan tindakan-tindakan, seperti pemerkosaan, sadism seksual, atau pelecehan seksual
terhadap anak-anak (Semiun, 2006).

Individu-individu dikategorikan sebagai orang-orang yang mengalami gangguan-gangguan


seksual kalau gangguan-gangguan tersebut bukanlah simtom dari sindrom-sindrom yang
lebih puas, misalnya skizofernia dan reaksi-reaksi obsesif. Pola-pola gangguan-gangguan
seksual hampir selalu merupakan akibat sejarah kesulitan yang panjang dalam perkembangan
psikoseksual yang disebabkan karena faktor-faktor lingkungan dan jarang sekali sebagai
akibat dari cacat-cacat konstitusional saja. Karena gangguan-gangguan seksual ini banyak
terjadi dalam masyarakat kita dan karena beberapa dari gangguan-gangguan itu sangat
berbahaya, maka penting dalam bagian ini akan dijelaskan jenis-jenis gangguan-gangguan
tersebut (Semiun, 2006).

PERILAKU SEKSUAL YANG NORMAL DAN ABNORMAL


Pola perilaku sosial yang dianggap abnormal di Inis Beag, seperti masturbasi, seks
premarital, dan seks oral-genital, adalah normal pada masyarakat amerika dilihat dari
frekuensi statisti. Sebagai contoh, survey nasional baru-baru ini, terhadap 3432 sampel yang
mewakili pria antara usia 18 dan 59 tahun, ditemukan bahwa 63% pria dewasa dan 42%
wanita dewasa yang disurvei melaporkan bahwa mereka telah melakukan masturbasi pada
tahun-tahun sebelumnya.
Sikap terhadap homoseksualitas (homosexuality) sangat bervariasi dari satu budaya ke
budaya lain dan dari waktu ke waktu.
Perilaku seksual dapat dianggap abnormal jika hal tersebut bersifat self-defeating,
menyimpang dari norma sosial, menyakiti orang lain, menyebabkan distress personal, atau
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfunsi secara normal.

B. GANGGUAN IDENTITAS GENDER


4

Identitas gender (gender identity) adalah seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau
wanita. Identitas gender

secara normal didasarkan pada anatomi gender. Pada keadaan

normal, identitas gender konsisten dengan anatomi gender. Namun, pada gangguan identitas
gender (gender identity disorder) terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan
identitas gendernya.
Gangguan identitas gender dapat berawal sejak masa kanak-kanak. Anak-anak dengan
gangguan ini menemukan bahwa anatomi gender mereka merupakan sumber distress yang
terus menerus dan intensif. Diagnosis tidak dgunakan hanya untuk melabel anak perempuan
tomboi dan anak laki-laki banci. Diagnosis ini diterapkan pada anak-anak yang secara
kuat menolak sifat anatomi mereka (anak perempuan yang memaksa untuk buang air kecil
sambil berdiri atau bersikeras tidak mau menumbuhkan buah dadanya; anak laki-laki yang
menolak penis dan testis mereka atau pada mereka yang terfokus pada pakaian atau aktivitas
yang merupakan stereotip dari gender lain.

PERSPEKTIF TEORITIS
Teoritikus psikodinamika menunjuk pada kedekatan hubungan ibu-anak laki-laki yang sangat
ekstrem, hubungan yang renggang antara ibu dan ayah, dan ayah yang tidak ada atau jauh
dari anaknya. Factor-faktor keluarga ini dapat menjadi penyebab munculnya identifikasi yang
kuat terhadap ibu dari para pria muda, mengakibatkan pembalikan dari identitas dan peran
gender yang diharapkan. Anak perempuan yang memiliki ibu yang lemah dan tidak
berpengaruh serta ayah yang kuat dan maskulin dapat mengidentifikasi dirinya secara
berlebihan pada sang ayah dan mengembangkan perasaan psikologis bahwa dirinya adalah
laki-laki kecil.

KARAKTERISTIK GANGGUAN IDENTITAS GENDER


5

Orang-orang

yang

mengalami

gangguan

identitas

gender, yang

kadang

disebut

transeksualisme, merasa bahwa jauh didalam dirinya, biasanya sejak awal masa kanakkanak , mereka adalah orang yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat in. mereka
tidak menyukai pakaian dan aktivitas yang sesuai dengan jenis kelamin merekan.
Penyebab Gangguan Identitas Gender
Anggapan bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki ciri maskulin dan feminin
sendiri sangat di pengaruhi padangan terhadap nilai dan stereotip sehingga menganggap pola
prilaku lintas gender pada anak-anak merupakan suatu yang abnormalitas yang tanpaknya
tidak dapat di benarkan.kenyataan belum lamanya berselang muncul pendapat bahwa GIG
di masa kanak-kanak harus di hapuskan sekaligus dari DSM karena,sebagian besar anakanak yang merasa kurang nyaman dengan peran gender yang di tetapkan secara social.
( Barlett,Vasey,Bukowski,2000)
Terapi Gangguan Identitas Gender
Ada dua tipe intervensi utama yaitu salah satu tipe berupaya untuk mengubah tubuh
agar sesuai dengan psikologi orang yang bersangkutan, tipe yang kedua dirancang untuk
mengubah psikologi agar sesuai dengan tubuh orang yang bersangkutan.
Perubahan tubuh
Orang yang mengalami GIG yang mengikuti program yang mencakup perubahan tubuh
umumnyauntuk menjalani psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai gender
yang di inginkan (Harry Berjamin International Gender Dysphoria Associantion,1998).Terapi
umumnya tidak hanya memfokuskan pada kecemasan dan depresi yang mungkin di alami
orang lain yang bersangkutan
Contohnya: beberpa orang yang mengalami GIG dapat memilih untuk hanya menjalani
operasi kosmetik,seorang transeksual laki-laki ke perempuan dapat menjalani elektrolisis
untuk menghilangkan bulu-bulu di wajah dan operasi untuk mengecilkan pipi dan jakun
banyak transeksual juga mengkomsumsi hormone agar tubuh mereka secara fisik lebih
mendekati keyakinan mereka tentang gender mereka.

Operasi perubahan kelamin


Operasi yang mengubah alat kelamin yang ada agar lebih sama dengan kelamin lawan jenis
operas perubahan kelamin pertama kali di lakukan di eropa pada tahun 1930,sebuah studi
jangka panjang yang lebih mutakhir lagi menemukan bahwa para laki-laki muda yang telah
menjalani operasi perubahan kelamin tidak lagi mengalami disforia gender.mungkin dapat di
katakana bahwa sebagian besar pasien GIG yang telah berganti anatomi secra umum lebih
bahagia,meskipun beberapa di antaranya tidak demikian .mereka akhirnya menyadari bahwa
ketidakpuasan yang dirasakan terhadap hidup mereka tidak akan dapat di atasi dengan
mengubah aspek-aspek eksternal jenis kelamin biologis (Carroll,2000)

Perubahan Identitas Gender


Operasi dan pemberian hormon sebelumnya di anggap sebagai satu-satunya penanganan yang
dimungkinkan untuk gangguan identitas gender karena berbagai upaya psikologis untuk
mengubah identitas gender secara konsisten mengalami kegagalan.identitas gender
diasumsikan tertanam terlalu dalam untuk diubah.meskipun demikian,dilaporkan terdapat
sejumlah kecil prosedur mengubah identitas gender melalui terapi prilaku yang tampaknya
berhasil.

Parafilia
7

Dalam DSM-IV-TR, parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan


seksual terhadap seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak
pada umumnya. Dengan kata lain, terdapat devisi (para) dalam ketertarikan seseorang (filia)
fantasi,

dorongan

atau

perilaku

yang

berlangsung

setidaknya

Bulan

Contohnya: 50% laki laki menuturkan bahwa memiliki fantasi voyeuristik untuk mengintip
perempuan yang sedang tanpa busana
Fetishisme
Ketergantungan terhadap benda benda mati untuk menimbulkan gairah seksual, orang yang
mengidap

hampir

semua

laki

laki.

Memiliki

dorongan

seksual

berulang

Contoh : sepatu perempuan, jas hujan, sarung tangan


Fetishisme tranvestik
Seorang laki laki mengalami gairah seksual dengan memakai pakaian perempuan. Meskipun
ia tetap merasa seperti laki laki. Dorongan untuk memakai pakaian lawan jenis dapat menjadi
lebih serius dalam perjalanan waktu dan kadang di sertai disforia gender (merasa tidak
nyaman dengan jenis kelamin anatominya).
Pedofilia
Menurut DSM, pedofil(pedos berarti anak dalam bahasa Yunani) pedofilia adalah orang
dewasa yang mendapatkan kepuasan seksual melalui kontak fisik dan sering kali seksual
dengan

anak

anak

prapubertas

yang

tidak

memiliki

hubungan

darah.

Pedofilia lebih banyak diidap oleh laki laki daripada perempuan. Gangguan ini seringkali
komorbid dengan gangguan mood. Sejumlah kecil pedofil juga dapat di klasifikasikan
sebagai sadistis seksual/berkepribadian anti sosial. Menyakiti objek nafsu bahkan
membunuhnya.

Eksibisionisme

Preferensi tinggi dan berulang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan


memamerkan

alat

kelamin

kepada

orang

yang

tak

dikenal

yang

tidak

menginginkannya bahkan kadang kepada seorang anak. Gangguang ini umumnya


berawal di masa remaja (Murphy, 1997).
Kriteria Eksibisionisme dalam DSM-IV-TR: berulang, intens, dan terjadi
selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan, atau perilaku, yang menimbulkan
gairah seksual yang berkaitan dengan memamerkan alat kelamin kepada orang yang
tidak dikenal yang tidak menduganya. Orang yang bersangkutan bertindak
berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan
orang tersebut mengalami distress atau mengalami masalah interpersonal.
Karena dorongan tersebut bersifat impulsive, pemameran tersebut dapat
dilakukan cukup sering dan bahkan dilokasi yang sama serta pada waktu yang sama
dalam satu hari. Tampaknya para eksibisionis memiliki dorongan yang sangat kuat
sehingga pada saat melakukan tindakan tersebut, mereka biasanya tidak memedulikan
konsekuensi social dan hokum dari tindakan mereka (Stevenson & Jones, 1972).
Dalam keputusasaan dan ketegangan yang mereka rasakan pada saat itu, mereka dapat
mengalami sakit kepala dan jantung yang berdegup kencang serta timbul rasa
ketidaknyataan (derealisasi). Setelah melakukan tindakan itu mereka langsung
gemetar dan menyesalinya (Bond & Hutchinson, 1960).

Froteurisme
Adalah gangguang yang berkaitan dengan melakukan sentuhan yang berorientasi
seksual pada bagian tubuh seseorang yang tidak menaruh curiga akan terjadinya hal
itu. Froteur bisa menggosokkan penisnya ke paha atau pantat seorang perempuan atau
menyentuh payudara atau alat kelaminnya. Tindakan ini umunya dilakukan di tempat
umum, seperti di dalam bis yang penuh penumpang atau trotoar yang penuh pejalan

kaki, yang memudahkan pelaku untuk melarikan diri. Gangguang ini berlangsung
secara berulang, intens, dan terjadi dalam perilaku minimal 6 bulan.

Sadisme Seksual dan Masokisme Seksual


Preferensi kuat untuk mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan psikologis (seperti dipermalukan) pada
orang lain merupakan karakteristik utama sadisme seksual. Preferensi kuat untuk
mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan menjadikan diri sendiri
sebagai subyek rasa sakit atau kopndisi dipermalukan merupakan karakteristik utama
Masokisme seksual. Kedua gangguang ini terjadi dalam hubungan heteroseksual dan
homoseksual.
Etiologi parafilia
1. Perspektif Psikodinamika. Parafilia dipandang oleh teoritikus psikodinamika
sebagai tindakan defensif, melindungi ego agar tidak menghadapi rasa takut dan
memori yang direpres dan mencerminkan fiksasi di tahap pregenital dalam
perkembangan psikoseksual. Orang yang mengidap parafilia di pandang sebagai
orang yang merasa takut terhadap hubungan heteroseksual yang wajar, bahkan
terdapat hubungan heterososial yang tidak melibatkan seks.
2. Perspektif behavioral dan kognitif. Beberapa teoris yang memiliki paradigma
behavioral berpendapat bahwa parafilia terjadi karena pengondisian klasik yang
secara tidak sengaja menghubungkan gairah seksual dengan sekelompok stimuli
yang tidaak tepat. Sebagian besar teori behavioral dan kognitif mengenai parafilia
yang ada saat ini bersifat multidimensioal dan berpendapat bahwa parafilia terjadi
bila sejumlah faktor terdapat dalam diri individu, riwayat masa kanak-kanak
individu yang mengidap parafilia mengungkap bahwa sering kali mereka sendiri
merupakan korban pelecehan fisik dan seksual dibesarkan dalam keluarga dimana
hubungan orang tua-anak mengalami gangguan (Mason, 1997, Murphy, 1997)
3. Perspektif biologis. Karena sebagian besar pengidap parafilia adalah laki-laki,
terdapat spekulasi bahwa androgen, hormon utama pada laki-laki, berperan dalam
gangguan ini. Karena janin manusia pada awalnya terbentuk sebagai perempuan
dan kelelakian ditimbulkan oleh pengaruh hormonal terkemudian, mungkin dapat
terjadi suatu kesalahan dalam perkembangan janin. Meskipun demikian temuan
10

mengenai perbedaan hormonal antara orang normal dan orang yang mengidap
parafilia tidak meyakinkan.

Terapi parafilia
Ada beberapa metode untuk meningkatkan motivasi pengidap parafilia untuk tekun menjalani
terapi (Miller & Rollnick, 1991) yaitu
1. Terapis dan berempati terhadap terhadap keengganan si pelaku untuk mengakui
bahwa iya seorang penjahat sehingga mengurangi devensifitas dan kekerasan.
2. Terapis dapat menunjukan kepada si pelaku berbagai penanganan yang dapat
membantunya mengendalikan perilakunya secara lebih baik dan menekankan
konsekuensi negatif yang timbul karena menolak menjalani penanganan(antara lain
dipindahkan ke lokasi penjara yang lebih tidak menyenangkan) dan jika melakukan
lagi tindakan tersebut(antara lain hukuman yang lebih berat).
3. Setelah menjabarkan manfaat penanganan yang mungkin diperoleh , terapis dapat
menerapkan intervensi parodoksikal dengan menunjukan keraguan bahwa si pelaku
termotivasi untuk menjalani atau melanjutkan penanganan sehingga menantang si
pelaku untuk membuktikan bahwa keraguan terapis, yang semula di tantangnya tidak
berdasar.
4. Terapis dapat menjelaskan bahwa akan dilakukan pengukuran psikovisiologis
terhadap gairah seksual si pasien, yang dapat mengungkap kecenderungan seksual
pasien tanpa ia harus membuat pengakuan tentang hal itu(Garland & Dougher, 1991)
Terapi psikoanalisis. Sebuah pandangan psikoanalisis tentang parafilia yang banyak
dianut adalah gangguan itu timbul karena adanya gangguan karakter, yang dahulu disebut
gangguan kepribadian, sehingga sangat sulit untuk di tangani dengan keberhasilan yang
cukup memadai. Pandangan psikoanalisis berdampak terhadap pandangan mengenai
penyebab, hanya sedikit berkontribusi terhadap terapi yang efektif bagi gangguan ini.
Teknik behavioral. Para terapis perilaku kurang tertarik dengan gangguan kepribadian
yang berakar dalam dikalangan orang-orang yang mengidap paravilia dan lebih
memfokuskan pada polaseksual tertentu yang tidak wajar. Pada masa-masa awal terapi
perilaku, paravilia dipandang secara sempit sebagai ketertarikan pada objek dan aktifitas
yang tidak pada tempatnya.

11

Penanganan kognitif. Secara umum, pendekatan kognitif dan behavioral sudah semakin
canggih dan lebih luas lingkupnya sejak tahun 1960an ketika paravilia hampir
sepenuhnya dianggap sebagai katertarikan seksual yang telah dikondisikan secara klasik
terhadap stimuli lingkungan yang tidak tepat.
Penanganan biologis. Berbagai upaya biologi untuk mengendalikan perilaku paravilik
yang melanggar hukum dan secara sosil tidak di terima baru baru ini mencakup
penggunaan obat-obatan salah satunya adalah medroksiprogesteron asetat yang
menurungkan kadar testosteron pada laki laki. Dengan mengurangi frekuensi ereksi dan
ejakulasi, penggunaan obat ini diasumsikan menghambat gairah seksual (baik karna
stimuli yang wajar atau tidak wajar) dan mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki.
Hukum megan. Yaitu mengijinkan masyarakat untuk menggunakan komputer
dikepolisian untuk mengetahui apakah idividu itu tinggal dilingkungan tempat tinggal
mereka. Konsekuensi hukum megan yang tidak di kehendaki adalah orang-orang yang
pernah ditangkap bertahun-tahun lalu karena hubungan seks homoseksual tanpa paksaan
telah dihubungi oleh pihak kepolisian untuk memaksa mereka mendaftar sebagai penjahat
seksual sehingga keberadaan mereka dilingkungan tempat tinggal mereka dapat diketahui
meskipun hukum yang berlaku pada saat mereka ditangkap sudah dihapuskan, dan
meskipun isu saat ini adalah melindungi masyarakat dari para predator seksual, bukan
dari orang-orang yang melakukan hubungan homoseksual tanpa paksaan dengan sesama
orang dewasa. Tidak mengherankan bila hukum ini ditentang oleh berbagai kelompok
hak-hak sipil.

PERKOSAAN
Dalam bidang hukum,perkosaan di bagi dalam dua kategori secara paksa dan secara
hukum.Perkosaan secara paksa adalah hubungan seksual dengan orang yang tidak bersedia
melakukannya.Perkosaan secara hukum adalah hubungan seksual dengan seseorang yang
berusia di bawah umur dewasa.Perkosaan secara hukum tidak melihatkan pemaksaan,hanya
hubungan seks dengan seseorang di bawah umur dewasa yang di laporkan ke pihak
kepolisian.

12

KEJAHATAN PERKOSAAN
Beberapa perkosaan di rencanakan,dan beberapa di antaranya di anggap
implusif,suatu kejahatan yang di lakukan secara spontan.Beberapa perkosaan di motivasi oleh
hasrat untuk mengendalikan orang lain.Beberapa kasus lain lagi jelas lebih di motivasi kasus
seksual(Groth&Burgess,1977;Hudson & ward 1997).Dalam beberapa kasus yang kadang di
sebut perkosaan sadistik,pemerkosa membuat korbannya terluka parah, contohnya , dengan
memasukan

benda

asing

ke

dalam

vaginanya

atau

menarik

dan

membakar

payudaranya,beberapa pelerkosa juga membunuh korbannya.

KORBAN,SERANGAN,DAN PASCA KEJADIAN


Korban perkosaan biasanya menjadi trauma oleh serangan fisik maupun mental
(Calhoun,Atkeson,& Resick, 1982; Resick,1993;Resick dkk.,1986 ;Routhbaun & Foa,1992).
Dua minggu setelah diperkosa 94 persen perempuan menderita gangguan stress akut, dan 9
bulan kemudian 42 persen menderita GSPT penuh (Rothbaum & Foa, 1993).

Selama beberapa minggu atau bulan setelah diperkosa banyak korban yang merasa amat
sangat tegang dan malu. Mereka merasa bersalah karena tidak mampu melawan, dan berpikir
untuk balas dendam. Depresi dan hilangnya harga diri umum terjadi. Beberapa korban
bahkan mengalami phobia untuk keluar rumah, merasa takut jika sendirian, dan jika ada
orang yang berjalan dibelakang mereka. Kadang perkosaan tersebut menyebabkan kehamilan
yang tidak diinginkan, dan kekhawatiran mengenai penyakit menular seksual termasuk AIDS.
Perkosaan merupakan trauma yang bisa menyebabkan terjadinya stress gangguan pasca
trauma.
13

PEMERKOSA
Pemerkosaan dalam peperangan sejak saat ini akan menarik perhatian masyarakat
internasional, dan mengurangi kemungkinan bahwa hal itu secara diam-diam akan diabaikan
atau dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari satu bangsa atau kelompok yang
saling berperang (simons,1996).
Siapakah si pemerkosa?

Seorang

mempermalukan seorang perempuan melalui intimidasi bahkan menyerangan brutal


Seorang yang memiliki ego lemah yang merasa tidak adekuat setelah dikecewakan

psikopat

yang

mencari

kesenangan

dengan

mendominasi

dan

dan ditolak dalam pekerjaan atau cinta, melampiaskannya pada orang yang tidak

dikenal.
Seorang laki-laki yang berkuasa dan dihargai, bahkan dihormati yang memanfaatkan

posisi kekuasaannya untuk menggagahi seorang perempuan


Remaja lelaki yang tergoda oleh gadis remaja yang menggoda dan tampaknya dapat

disentuhnya.
Seorang mahasiswa yang ketidakmampuannya untuk mengekspresikan kemarahan
setelah teratasi oleh alcohol.

Dorongan untuk memperkosa diperkuat oleh persaan kesepian, kemarahan, dipermalukan,


tidak adekuat, dan ditolak (McKibben,Proulx,&Lusignan,1994). Bermasaalh dalam
membedakan keramahan dan sikap menggoda dan tidak mempu secara akurat membaca
tanda-tanda yang ditunjukkan perempuan bahwa ia menginginkan keintiman tersebut
dihentikan. Kurang memiliki keterampilan sosial, harga diri rendah, dan memiliki sidikit
empati kepada korbanya. Pemerkosa dapat di dorong oleh pornografi yang menggambarkan
perempuan yang menikmati hubungan seksual dengan paksaan.

TERAPI BAGI PEMERKOSA DAN KORBAN PERKOSAAN

14

Terapi untuk pemerkosa, teknik-teknik kognitif yang bertujuan meluruskan distorsi


keyakinan dan mengubah sikap yang tidak benar terhadap perempuan, sebagai upaya untuk
meningkatkan empati mereka terhadap korbannya, manajemen kemarahan, berbagai teknik
untuk meningkatkan harga diri, dan upaya untuk mengurangi penyalahgunaan zat.
Terapi untuk korban perkosaan, menormalkan reaksi emosional korban, mendorong
korban untuk membantunya mengatasi berbagai masalah yang mendesak, tujuan utamanya
adalah membantu korban menyelesaikan berbagai masalah dan menghadapi situasi segera
setelah kejadian traumatic tersebut (Calhoun & Atkeson, 1991 ; Sorenson &Brown, 1990).
Mencegah untuk menyalahkan diri sendiri juga merupakan hal penting (Frazier, 1990),
terutama jika pemerkosa adalah orang yang dikenal korban (Stewart dkk., 1987).
Kemungkinan korban terkena HIV juga harus di pertimbangkan.
Terapi untuk korban pemerkosaan memiliki kesamaan besar dengan terapi untuk
GSPT. Korban diminta untuk menceritakan secara detail peristiwa yang menakutkan tersebut
kepada terapis, mungkin juga membayangkannya secara jelas. Pemaparan ulang pada trauma
dirancang untuk menghilangkan rasa takut. Depresi dapat ditangani dengan membantu pasien
mengevaluasi ulang perannya dalam peristiwa tersebut. Topik yang jarang di teliti adalah
kemarahan dan kegeraman yang dirasakan para korban terhadap penyerangannya; perempaun
seringkali takut atau diajari untuk tidak mengekspresikan perasaan semacam itu (Calhoun &
Atkeson, 1991).

Tiga alasan keengganan untuk melaporkan perkosaan, yaitu:


1. Menganggap perkosaan sebagai masalah pribadi
2. Takut akan menerima pembalasan dari si pemerkosa atau keluarga dan temantemannya
3. Meyakini bahwa polisi akan bertindak tidak efisien, tidak adil, dan tidak sensitive
(Wright, 1991)

Difungsi Seksual
Definisi normal dan di inginkan dalam perilaku seksual manusia bervariasi sesuai zaman dan
tempat. Pandangan Modern, yaitu hambatan ekspresi seksual mendasari abnormalitas dapat di
15

pertentangkan dengan pandangan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di dunia barat, di mana ekses
di anggap sebagai penjahat. Sebuah analisis feminis mengenai disfungsi seksual baru-baru ini
berpendapat bahwa DSM memberikan terlalu sedikit perhatian terhadap komponen hubungan dalam
seksualitas manusia, terutama bagi perempuan. Usulannya adalah semestinya diberikan definisi yang
lebih berpusat pada perempuan yang mencakup ketidaksukaan atau ketidakpuasan dalam aspek
emosional, fisik, atau relasional dari pengalaman seksual (Tiefer, Hall, & Tavris, 2002,hlm. 228229). Kita harus ingat mengenai norma-norma temporal dan budaya yang bervariasi ini ketika
mempelajari disfungsi seksual manusia.
Masalah psikologi tidak hanya mempengaruhi mereka yang mengalaminya, namun juga
orang-orang yang memiliki hubungan dengan mereka. Aspek masalah emosional manusia ini sangat
penting dalam pertimbangan mengenai disfungsi seksual, yang biasanya terjadi dalam konteks
hubungan pribadi yang intim. Sebuah perkawinan akan bermasalahbila salah satu pasangan merasa
takut atau menghindari untuk berhubungan seks. Dan sebagian besar di antara kita, untuk sesuatu
kebaikan atau keburukan, mendasarkan sebagian konsep diri kita pada seksualitas kita. Apakah kita
menyenangkan orang yang kita cintai, apakah kita memuaskan diri kita sendiri, atau lebih sederhana,
apakah kita mampu menikmati pemenuhan dan relaksasi yang dapat diperoleh melalui pengalaman
seksual yang menyenangkan? Disfungsi seksual dapat menjadi sangat parah sehingga menghilangkan
sensitivitas seksual itu sendiri, apalagi kepuasan yang lebih intens dalam hubungan seks.

Disfungsi Seksual dan Siklus Respons Seksual Manusia


DSM-IV-TR membagi disfungsi seksual menjadi empat kategori utama : Gangguan nafas
seksual, gangguan gairah seksual, gangguan orgasme dan gangguan nyeri seksual. Masalah yang
dialami harus menetap dan berulang, penilaian klinis yang disebutkan dalam DSM mencakup
subjektivitas dalam kadar tertentu. Gangguan tersebut juga harus mengkibatkan distress mendalam
atau menimbulkan masalah interpesonal. Ini merupakan kriteria baru dalam DSM dan memungkinkan
reaksi orang yang bersangkutan terhadap , katakanlah, tidak adanya minat seksual berperan dalam hal
apakah perlu ditegakkan diagnosis. Diagnosis disfungsi seksual tidak ditegakkan jika gangguan
tersebut diyakini disebabkansepenuhnya oleh penyakit medis ( seperti diabetes lanjut, yang dapat
menyebabkan masalah ereksi pada laki-laki ) atau jika di sebabkan oleh gangguan aksis I lainnya
(seperti depresi mayor).
16

Sebagian besar konseptualisasi kontemporer mengenai siklus respons seksual merupakan


penyempunaan teori Masters dan Johnson (1966) dan Kaplan (1974). Karya Masters dan Johnson
hampir 40 tahun silam menandai revolusi dalam karakteristik dan intensitas penelitian mengenai dan
fokus perhatian klinis pada seksualitas manusia. Para peneliti tersebut memperluas terobosan berbasis
wawancara yang dikembangkan oleh kelompok Kinsey (Kinsey dkk., 1948, 1953) dengan melakukan
observasi langsungdan pengukuran fisiologis terhadap orang-orang yang sedang melakukan
masturbasi dan sedang berhubungan seks. Empat fase dalam siklus respons seksual manusia secara
umum dapat diindentifikasi; fase tersebut dianggap tidak jauh berbeda pada laki-laki perempuan.
1. Keinginan (Appetitive). Dikemukakan oleh Kaplan (1974), tahap ini merujuk minat atau
nafsu seksual, yang sering kali berhubungan dengan fantasi yang menimbulkan gairah
seksual.
2. Kegairahan (Excitement). Merupakan tahap awal dalam konsep Masters dan Johnson, yaitu
seuatu pengalaman subjektif tentang kenikmatan seksual yang di hubungkan dengan
perubahan fisiologis yang disebabkan meningkatnya aliran darah ke alat kelamin dan pada
perempuan juga ke payudara. Pembengkakan tersebut, yaitumengalirnya darah ke jaringanjaringan, terlihat dalam bentuk ereksi penis pada laki-laki dan pada perempuan pembesaran
payudara dan perubahan dalam vagina, seperti meningkatnya lubrikasi.
3. Orgasme. Pada fase ini kenikmatan seksual mencapai puncaknya dengan cara yang
mempesona para penyair dan orang-orang awam seperti kita selama ribuantahun. Pada lakilaki ejakulasi di rasakan tak terhindarkan dan memang hampir selalu terjadi (dalam beberapa
kasus yang jarang terjadi beberapa laki-laki dapat mengalami orgasme tanpa ejakulasi, dan
sebaliknya). Pada perempuan, tepi-tepi bagian luar ketiga pada vagina mengalami kontraksi.
Pada kedua jenis kelamin terjadi ketegangan otot pada umumnya dan sentakan pada panggul
yang terjadi dengan sendirinya.
4. Resolusi. Tahap akhir dalam konsep Masters dan Johnson merujuk pada relaksasi dan rasa
nyaman yang biasanya mengikuti orgasme. Pada laki-laki terjadi periode pengerasan, di mana
ereksi dan gairah lebih jauh tidak mungkin terjadi, namun selama kurun waktu yang berbedabeda pada setiap individu dan bahkan pada individu yang sama pada saat yang berbeda-beda.
Perempuan seringkali hampir secara langsung mampu kembali

merespons kenikmatan

seksual, yang memungkinkan terjadinya orgasme ganda.

Penting untuk dicatat bahwa versi siklus respons seksual manusia ini adalah suatu kotrak
sebagai suatu cara untuk mengonseptualisasikan serangkaian pikiran, perasaan, perilaku, dan
reaksi-reaksi biologis yang berkesinambungan ke dalam tahap-tahap yang berbeda.
Pandangan empat tahap ini adalah salah satu dari banyak cara yang dimungkinkan untuk
mengorganisasi dan membahas sekumpulan informasi yang relevan (Gagnon, 1977; Kuhn,
17

1962). Kita akan segera melihat bagaiman DSM menggunakan skema ini untuk
menggambarkan disfungsi seksual.

Deskripsi dan Etiologi Disfungsi Seksual


Prevalensi gangguan yang kadang terjadi dalam fungsi seksual cukup tinggi. Sebuah survei
terhadap 3000 laki-laki dan perempuan yang ditanya apakah mereka pernah mengalami berbagai
simtom disfungsi seksual dalam 12 bulan terakhir (Laumann, Paik, & Rosen, 1999). Prevalensi
total adalah 43 persen pada perempuan dan 31 persen pada laki-laki. Karena simton-simtom ini
sangat tinggi tingkat kejadiannya, orang-orang tidak merasa bahwa mereka membutuhkan
penanganan bila suatu saat mereka mengalami salah satu masalah atau lebih dari satu masalah
yang di sampaikan dalam bab ini. Dalam kriteria diagnostik untuk setiap disfungsi seksual kalimat
terus-menerus atau berulang di gunakan untuk menggaris bawahi fakta bahwa seuatu masalah
memang harus serius agar dapat diteggakkan sesuatu diagnosis. Selain itu, terdapat tingkat
komorbiditas yang cukup tinggi pada berbagai disfungsi seksual. Contohnya, hampir separuh lakilaki dan perempuan yang didiagnosis mengalami gangguan nafsu seksual hipoaktif (rendahnya
nafsu seksual) juga mengalami minimal satu disfungsi lainnya (Segraves & Segraves, 1991). Saat
kita mengkaji berbagai gangguan ini, saling keterkaitan di antara gangguan tersebut akan tampak
jelas.

Pada dasarnya disfungsi seksual dapat terjadi baik pada pria ataupun wanita, etiologi
disfungsi seksual dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a) Faktor fisik
Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu
atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang terganggu dapat menyebabkan
disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006).
Faktor fisik yang sering mengganggu seks pada usia tua sebagian karena penyakitpenyakit kronis yang tidak jelas terasa atau tidak diketahui gejalanya dari luar. Makin tua
usia makin banyak orang yang gagal melakukan koitus atau senggama (Tobing, 2006).
Kadang-kadang penderita merasakannya sebagai gangguan ringan yang tidak perlu
diperiksakan dan sering tidak disadari (Raymond Rosen., et al, 1998).
Dalam Product Monograph Levitra (2003) menyebutkan berbagai faktor resiko untuk
menderita disfungsi seksual sebagai berikut:
18

1) Gangguan vaskuler pembuluh darah, misalnya gangguan arteri koronaria.


2) Penyakit sistemik, antara lain diabetes melitus, hipertensi (HTN), hiperlipidemia
(kelebihan lemak darah).
3) Gangguan neurologis seperti pada penyakit stroke, multiple sklerosis.
4) Faktor neurogen yakni kerusakan sumsum belakang dan kerusakan saraf.
5) Gangguan hormonal, menurunnya testosteron dalam darah (hipogonadisme) dan
hiperprolaktinemia.
6) Gangguan anatomi penis seperti penyakit peyronie (penis bengkok).
7) Faktor lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, dan obesitas.
Beberapa obat-obatan anti depresan dan psikotropika menurut penelitian juaga dapat
mengakibatkan

terjadinya

benzodiazepin, selective

disfungsi

serotonin

seuptake

seksual,

antara

inhibitors (SSRI),

lain:
lithium,

barbiturat,
tricyclic

antidepressant (Tobing, 2006).

b) Faktor psikis
Faktor psikoseksual ialah semua faktor kejiwaan yang terganggu dalam diri penderita.
Gangguan ini mencakup gangguan jiwa misalnya depresi, anxietas (kecemasan) yang
menyebabkan disfungsi seksual. Pada orang yang masih muda, sebagian besar disfungsi
seksual disebabkan faktor psikoseksual. Kondisi fisik terutama organ-organnya masih
kuat dan normal sehingga jarang sekali menyebabkan terjadinya disfungsi seksual
(Tobing, 2006).
Tetapi apapun etiologinya, penderita akan mengalami problema psikis, yang
selanjutnya akan memperburuk fungsi seksualnya. Disfungsi seksual pria yang dapat
menimbulkan disfungsi seksual pada wanita juga ( Abdelmassih, 1992, Basson, R, et al.,
2000).
Masalah psikis meliputi perasaan bersalah, trauma hubungan seksual, kurangnya
pengetahuan tentang seks, dan keluarga tidak harmonis (Susilo, 1994, Pangkahila, 2001,
2006, Richard, 1992).
1. Gangguan Nafsu Seksual.
19

DSM-IV-TR membedakan dua jenis gangguan nafsu seksual. Gangguan nafsu seksual
hipoaktif merujuk pada kurangnya atau tidak adanya fantasi dan dorongan seksual; gangguan
keengganan seksual mencerminkan bentuk gangguan ini yang lebih ekstrem, di mana seseorang
secara aktif menghindari hampir semua kontak genital dengan orang lain. 20 hinga 30 persendari
populasi orang dewasa umum, lebih banyak pada perempuan di banding pada laki-laki,
kemungkinan mengalami gangguan nafsu seksual hipoaktif (Laumann dkk., 1994), meskipun
estimasi yang akurat sulit di peroleh karena kesulitan yang tidak terhindarkan untuk membuat
orang bersedia menuturkan secara akurat mengenai suatu masalah yang sangat pribadi seperti
disfungsi seksual, lebih dari separuhnya mengeluhkan rendahnya nafsu seksual; di antara mereka
gangguan tersebut sering kali komorbid dengan gangguan orgasme. Tingkat kejadian nafsu
seksual hipoaktif meningkat dalam sampel klinis laki-laki dan perempuan dari tahun 1970-an
hingga 1990-an (Beck,1995).

Dari semua diagnosis DSM-IV-TR, gangguan nafsu seksual, sering kali di sebut dorongan
seks rendah dalam bahasa percakapan (seperti di gambarkan dalam kasus pada awal bab ini),
tampaknya paling problematik. Seberapa sering seharusnya seseorang menginginkan seks? Dan
dengan intensitas atau urgensi seberapa tinggi? Alasan seseorang mendatangi ahli klinis sejak
pertama kalinya dan akhirnya mendapatkan diagnosis ini kemungkinanadalah karena ada orang
lain yang merasa tidak puas dengan hasrat seks orang tersebut. Kategori nafsu hipoaktif muncul
pertama kali dalam DSM-III pada tahun1980, dengan judul hambatan nafsu seksual dan dapat
disebabkan oleh ekspektasi tinggi yang dimiliki beberapa orang dalam seksualitas. Adalah hal
yang mengejutkan bahwa semua bukucontohnya Lelblum dan Rosen (1998)telah membahas
tentang gangguan ini yang 20 tahun silam hampir tidak pernah disebutkan dalam lingkungan
seksologi profesional. Data menunjukkan pentingnya faktor-faktor subjektifdalam hal sejauh
mana seseorang meyakini bahwa ia memiliki dorongan seksual rendah; contohnya, gangguan
nasfu seksual hipoaktif lebih sering dilaporkan oleh kaum laki-laki Jerman (Arentewicz &
Schmidt, 1983).
Tidak banyak yang diketahui mengenai penyebab gangguan nafsu seksual hipoaktif atau
gangguan keengganan seksual. Karena para perempuan yang mengalami gangguan tersebut
mununjukkan respons seksual normal terhadap stimuli seksualdalam berbagai studi laboratorium,
tidak tampak bahwa mereka tidak mampu untuk merasakan gairah sepenuhnya (Kaplan, 1997).
20

Diantara berbagai penyebab dorongan seks rendah pada orang-orang yang di tangani secara klinis
adalah ortodoksitas agama, mencoba melakukan hubungan seks dengan orang yang tidak berjenis
kelamin sesuai yang diinginkan, tkut kehilangan kendali, takut hamil, depresi, efek samping
konsumsi obat seperti antihipertensi dan penenang, kurangnya rasa tertarik yang di sebabkan oleh
faktor-faktor seperti kurangnya kebersihan diri pasangan.
Faktor-faktor hubungan juga dapat menjadi bagian dari gangguan tersebut karena perempuan
yang mengalami gangguan nafsu seksual menuturkan bahwa komunikasi dengan suami mereka
tidak lancar dan mereka tidak puas dengan cara penyeleseian konflik dalam hubungan
mereka(Stuart dkk., 1987). Kemungkinan penyebab lain adalah adanya riwayat trauma seksual,
seperti perkosaan atau pelecehan seksualdi masa kanak-kanak (Stuart & Greer, 1984), dan takut
terkena penyakit seksual menular, seperti AIDS (Katz dkk., 1989).

2. Gangguan Gairah Seksual


Beberapa orang jarang atau tidak mengalami kesulitan nafsu seksual, namun mengalami
kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan gairah seksual, yang merupakan tahap berikutnya
dalam siklus respons seksual yang di gambarkan oleh Masters dan Johnson. Dua subkategori gagguan
gairah adalah gangguan gairah seksual perempuan dan gangguan ereksi laki-laki. Gangguan yang
pertama sebelumnya disebut frigiditas, dan yang kedua disebut impotensi.
Perebuhan istilah impotensi dan frigiditas menjadi gangguan gairah seksual dapat diangap
sebagai suatu kemajuan. Impotensi memiliki makna bahwa laki-laki yang bersangktan tidak memiliki
kekuatan, dalam kendali, atau benar-benar maskulin, dan mendukung konsep kejantanan dalam
maskulinitas yang dewasa ini di tentang banyak orang. Frigiditas memiliki arti bahwa perempuan
yang bersangkutan memiliki emosi yang dingin, mengambil jarak, tidak simpatik, dan tidak
berperasaan. Kedua istilah tersebut bersifat merendah.
Diagnosis gangguan gairah ditegakkan bagi seorang perempuan bila secara konsisten tidak
terjadi lubrikasi vagina yang memadai untuk melakukan hubungan seksual secara nyaman dan bagi
laki-laki bila secara terus-menerus terjadi kegagalan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi
hingga selesainya aktivitas seksual. Tikat prevalensi gangguan gairah pada perempuan adalah sekitar
20 persen (Laumann dkk., 1994). Pada gangguan ereksi prevalensi diperkirakan antara 3 dan 9 persen
21

(a.l.,Ard. 1997 ; Frank, Anderson, & Rubenstein, 1978) dan meningkat tajam pada orang-orang
dewasa yang lebih tua (Feldman dkk., 1994; Kinsey dkk., 1948). Sekitar separuh dari keluhan kaum
laki-laki dan perempuan yang ingin mendapatkan bantuan untuk masalah disfungsi seksual adalah
masalah gairah (Frank, Anderson, & Kupfer, 1976; Renshaw, 1988).

3. Gangguan Orgasme
Tiga jenis gangguan orgasme tercantum dalam DSM-IV- TR. satu jenis terdapat pada
perempuan dan dua jenis pada laki-laki.
Gagguan Orgasme pada perempuan. Gangguan orgasme pada perempuan merujuk pada
ketiadaan orgasme setelah satu periode kenikmatan seksual normal. Tingkat prevalensi gangguan
orgasme perempuan yang di publikasikan sangat bervariasi.
Terdapat perbedaan penting antara masalah yang dapat di alami perempuan dalam mengalami
gairah seksual dan masalah yang dapat dialaminya dalam mencapai orgasme. Meskipun sebanyak 10
persen perempuan dewasa tidak pernah mengalami orgasme (Anderson, 1983), jauh lebih sedikit
yang di yakini tetap tidak mengalami fairah selama melakukan aktivitas seksual .
Berbagai penyebab telah di kemukakan untuk menjelaskan masalah ini. Mungkin banyak
perempuan, tidak seperti laki-laki, harus belajar untuk dapat mengalami orgasme, yaitu kemampuan
untuk mengalami orgasme mungkin tidak dengan sendirinya dimiliki perempuan seperti halnya pada
laki-laki. Pada laki-laki, ejakulasi, yang hampir selalu disertai dengan orgasme, penting untuk proses
reproduksi dan dapat di pahami bahwa hal itu merupakan karakteristik bawaan yang memiliki
keuntungan evolusioner (menganak-pinakkan spesies).
Faktor lain adalah perempuan memiliki ambang batas orgasme yang berbeda. Meskipun
beberapa perempuan mengalami orgasme dengan cepat tanpa banyak stimulasi klitoral, yang lain
tampaknya membutuhkan stimulasi intens dan lama dalam perangsangan awal (fore play) atau kontak
kelamin. Karena seorang laki-laki dapat merasa bahwa ia serta kelaminnya tidak adekuat jika si
perempuan meminta untuk distimulasi atau melakukan stimulasi manual sendiri pada klitorisnya
selama kontak kelamin, reaksi pasangan si perempuan tersebut dapat berkontribusi terhadap masalah
ini.
Gangguan Orgasme Laki-laki dan Ejakulasi Prematur (dini). Gangguan orgasme laki-laki
dan ejakulasi dini adalah dua gangguan orgasme pada laki-laki yang terdaftar dalam DSM-IV-TR.
Gangguan orgasme laki-laki, atau kesulitan mengalami ejakulasi, relatif jarang, dialami oleh 4 hingga
10 peren pasien yang menjalani penanganan (Spector & Carey, 1990). Berbagai penyebab yang di
kemukakan antara lain takut bila pasangan hamil, menyembunyikan rasa cinta, mengekspresikan
22

kekasaran, dan seperti halnya pada gangguan orgasme perempuan , takut untuk melepas kendali.
Dalam beberapa kasus masalah tersebut dapat ditelusuri hingga ke penyebab fisik, seperti cedera saraf
tulang belakang atau penggunaan obat penenang tertentu (Pryor, 2002).
Terdapat bukti yang di peroleh dari penelitian laboratorium bahwa laki-laki mengalami hal
tersebut lebih responsif terhadap stimulasi dengan sentuhan daripada laki-laki yang tidak mengalami
masalah tersebut (Rowland dkk., 1996).
Kekhawatiran mengalami ejakulasi terlalu dini dapat merupakan akibat alamiah dari
penekanan yang berlebihan pada kontak kelamin dalam hubungan seks di kalangan heteroseksual.
Masalah pada pasangan yang mengagungkan kontak kelamin dalam hubungan seks konvesional di
atas semua aktivitas seksual lain adalah karena ereksi yang di alami laki-laki secara perlahan melemas
setelah mengalami ejakulasi, pasangannya mungkin tidak dapat mencapai orgasme.

4. Gangguan Nyeri Seksual


Dua gangguan rasa nyeri yang berhubungan dengan seks tercantum dalam DSM: dispareunia
dan vaginismus. Dispareunia didiagnosis bila rasa sakit selalu atau berulang kali dialami ketika
melakukan kontak kelamin. Gangguan ini jarang didiagnosi pada laki-laki. Beberapa perempuan
menuturkan bahwa rasa nyeri terjadi ketika kelamin laki-laki mulai memasuki kelamin perempuan,
sedangkan yang lain menuturkan bahwa rasa sakit hanya terjadi setelah penetrasi (Meana dkk., 1997).
Vaginismus di tandai kejang yang terjadi dengan sendirinya pada bagian luar ketiga pada
vagina hingga ke tingkat yang tidak memungkinkan terjadinya kontak kelamin. Hal itu juga dapat
terjadi sebagai respons terhadap penetrasi dengan jari serta dalam pemeriksaan ginekologis. Meskipun
tidak mampu melakukan kontak kelamin, perempuan yang mengalami Vaginismus merasakan gairah
seksual normal dan mengalami orgasme melalui stimulasi manual atau oral tanpa penetrasi.
Rasa sakit genital yang berhubungan dengan kontak kelamin biasanya di sebabkan oleh
masalah medis, seperti infeksi pada vagina, kandung kemih, atau rahim atau ukuran penis
(McComick, 1999; Meana dkk., 1997).

Teori-teori umum mengenai Difungsi Seksual


23

Difungsi seksual secara umum dipandang sebagai akibat kemunduran moral.


Masturbasi yang berlebihan di masa kanak-kanak secara luas diyakini menyebabkan
timbulnya masalah seksual dimasa dewasa.
Von Krafft-Ebing (1902) dan Havelock Ellis (1910) mengemukakan teori
bahwa masturbasi pada usia dini merusak organ seksual dan menghabiskan
simpanan energi seksual yang terbatas, mengakibatkan berkurangnya

kemampuan untuk berfungsi secara seksual dimasa dewasa.


Pandangan umum era Viktoria adalah nafsu seksual pada dasarnya berbahaya

sehingga harus dibatasi.


Pandangan psikoanalisis mengasumsikan bahwa difungsi seksual merupakan
simtom-simtom dari konflik yang direpres yang mendasari masalah tersebut.

Karena difungsi seksual menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa sakit


psikologis bagi individu dan pasangannya, dan karena seksualitas yang tidak
mengalami gangguan dengan sendirinya memberikan kenikmatan, tema kemarahan
dan agresi yang direpres.
- Seorang laki-laki yang berejakulasi terlalu dini sehinggga membuat pasangannya
frustasi kemungkinan mengekspresikan agresivitas yang direpres terhadap
-

perempuan yang secara tidak disadari mengingatkannya pada ibunya.


Seorang perempuan yang mengalami vaginismus kemungkinan mengekspresikan
agresivitas terhadap laki-laki, mungkin sebagai akibat pelecehan seksual dimasa
kanak-kanak atau yang lebih langsung karena perilaku suaminya yang dominan.
Penjelasan paling komprehensif mengenai etiologi disfungsi seksual manusia
dikemukakan oleh masters dan johnson. Model teoretis masters dan johnson,
menggunakan model yang terdiri dari dua bagian, yaitu penyebab dimasa kini dan
historis untuk mengonseptualisasi etiologi ketidakadekuatan seksual manusia.
Penyebab di Masa Kini
Penyebab di masa kini atau proksimal dapat dibagi menjadi dua : takut
terhadap performa dan mengambil peran pengamat. Takut terhadap
performa merujuk kondisi dimana seseorang memiliki kekhawatiran
berlebihan mengenai bagaimana ia akan berperforma selama
berhubungan seksual. Peran pengamat merujuk pada seseorang yang
menjadi pengamat dan bukannya sebagai peserta dalam pengalaman
seksual. Keduanya mencakup pola perilaku dimana terfokusnya individu
24

pada performa seksual dan kekhawatirannya mengenai hal itu menghambat


respons seksual alami.

Penyebab Historis
Penyebab di masa kini atau proksimal dari difungsi seksual dihipotesis
memiliki satu antesen historis atau lebih.
-

Kekolotan dalam beragama. Pendidikan agama yang konservatif


memandang rasa curiga pada seksualitas yang dilakukuan untuk

mendapatkan kesenangan, terutama diluar perkawinan.


Trauma psikoseksual. Beberapa disfungsi dapat ditelusuri ke
perkosaan atau peristiwa penistaan lain. Seorang pasien laki-laki
Masters dan Johnson menuturkan bahwa seorang PSK mengatakan
ia tidak akan pernah mampu menyelesaikan pekerjaan ini
dengan perempuan lain bilaia tidak menyelesaikannya di sini dan

saat ini juga dengan seorang profesional.


Kecenderungan homoseksual. Dapat dipahami bila kenikmatan
seksual

menjadi

kurang

jika

seseorang

yang

memiliki

kecenderungan homoseksual mencoba melakukan heteroseksual.


Konseling yang tidak adekuat. Merupakan eufemisme untuk
berbagai komentar yang disampaikan oleh para profesional yang
tidak benar dan destruksif, seperti seorang petugas perawatan
kesehatan yang mengatakan pada seorang laki-laki sehat yang

berusia 65 tahun untuk melupakan seks.


Konsumsi alkohol yang berlebihan. Jika seorang laki-laki yang
sedang mabuk tidak dapt mencapai atau mempertahankan ereksi, ia
mungkin mulai measa takut bahwa masalah ereksinya akan
berulang dan bukannya mengatribusikan masalah tersebut pada
alkohol. Karena ia dipenhi dengan kekhawatiran terhadap
kemungkinan tidak dapat mempertahankan ereksi, ia mulai
25

mengambil peran pengamat. Empati dari pasangannya dapat


diinterpretasi

sebagai

penghinaan

dan

ancaman

terhadap

maskulinitasnya dan daya tarik seksual secara keseluruhan.


Hubungan menjadi buruk, dan masalah ereksi yang pada dasarnya
-

disebabkan oleh alkohol menjadi pervasif dan serius.


Penyebab biologis. Faktor-faktor biologis mencakup penyakit
vaskular ( pembuluh darah ),penyakit yang mempengaruhi sistem
saraf seperti diabetes, multi sklerosis, dan cedera saraf tulang
belakang, rendahnya kadar testoteron atau estrogen, seperti
disebutkan diatas, konsumsi alkohol yang berlebihan ( meskipun
efek negatifnya dapat dimediasi oleh terganggunya hubungan
interpersonal yang sering kali terjadi karena penyalahgunaan
alkohol ), penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi dan

terutama anti depresan jenis SSRI, dan merokok belebihan.


Faktor-faktor sosiokultural. Ekspektasi dan kekhawatiran pada
perempuan berbeda dengan laki-laki dan merupakan suatu kelas
sosial. Contohnya, laki-laki diberkahi, bahkan dituntut oleh
masyarakat untuk mengembangkan ekspresivitas seksual dan
mengalmi inisiatif. Terlepas dari perubahan yang diakibatkan oleh
gerakan feminis selama lebih dari 30 tahun, namun tetap menjadi
pernyataan apakah hal ini juga terjadi pada perempuan.

26

Kategori Disfungsi Seksual


Ikhtisasi terhadap kategori-kategori DSM-IV untuk disfungsi seksual seperti terlihat
pada table dibawah ini.
No

Tipe Gangguan

Laki Laki

1.

Nafsu / Hasrat

Gangguan nafsu seksual

2.

seksual

hipoaktif (nafsu kecil atau

3.

Rangsangan

sama sekali tidak ada

4.

Perempuan

Gangguan nafsu seksual hipoaktif


(nafsukecil atau tidak

ada nafsu

seksual)
Gangguan aversi seksual (aversi

Orgasme

untuk melakukan

Rasa nyeri/sakit

hubungan seksaul)
Gangguan aversi seksual

dan penghindaran terhadap seks).


Gangguan rangasangan seksual

(aversi dan penghindaran

pada perempuan (kesulitan untuk

terhadap seks).
Gangguan ereksi pada

mencapai atau mempertahankan

laki-laki (kesulitan untuk

vagina).
Hambatan orgasme pada

perempuan.
Dispareunia

mencapai atau
mempertahankan ereksi

penis).
Hambatan orgasme pada

laki-laki
Ejakulasi dini.
Dispareunia (nyeri yang
berhubungan dengan
aktivitas seksual)

27

lubrikasi atau respons pembesaran

berhubungan

(nyeri

yang

dengan

aktivitas

seksual)
Vaginismus (spasme otot vagina
yang mengganggupenetrasi penis).

Pada kedua jenis kelamin, gangguan-gangguan seksual dengan versi-versinya hampir


sama. Hanya ada beberapa gangguan yang spesifik, seperti ejakulasi dini pada laki-laki dan
vaginismus hanya terjadi pada perempuan.
A. Ganggun Nafsu/Hasrat Seksual
Dua gangguan merefleksikan maalah-masalah yang terkait dengan nafsu darisiklus
respon seksual. Masing-masing gangguan ditandai oleh sedikitnya atau tidak adanya
minat terhadap seks yang menimbulkan masalah dalam suatu hubungan.
Dorongan seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormon testosteron,
kesehatan tubuh, faktor psikis dan pengalaman seksual sebelumnya. Jika di antara faktor
tersebut ada yang menghambat atau faktor tersebut terganggu, maka akan terjadi
ganggaun dorongan seksual (GDS) (Pangkahila, 2007), berupa:
1. Gangguan Nafsu seksual hipoaktif
The Diagnostic and Statistical Manual-IV memberi definisi dorongan seksual
hipoaktif ialah berkurangnya atau hilangnya fantasi seksual dan dorongan secara
persisten atau berulang yang menyebabkan gangguan yang nyata atau kesulitan
interpersonal. Minat terhadap kegiatan atau fantasi seksual yang sangat kurang yang
mestinya tidak diharapkan bila dilihat dari umur dan situasi kehidupan orang yang
bersangkutan.
2. Gangguan Aversi seksual
Perasaan tidak suka yang konsisten dan ekstrim terhadap kontak seksual atau kegiatan
serupa itu.
Diduga lebih dari 15 persen pria dewasa mengalami dorongan seksual hipoaktif. Pada
usia 40-60 tahun, dorongan seksual hipoaktif merupakan keluhan terbanyak. Pada
dasarnya GDS disebabkan oleh faktor fisik dan psikis, antara lain adalah kejemuan,
perasaan bersalah, stres yang berkepanjangan, dan pengalaman seksual yang tidak
menyenangkan (Pangkahila, 2006).

28

B. Gangguan Rangsangan Seksual


Gangguan ereksi pada laki-laki: ketidakmampuan sebagian laki-laki untuk
mencapai atau mempertahankan ereksi penis sampai aktivitas seksual selesai dan keadaan
ini terjadi berulang kali.
Gangguan rangsangan seksual pada perempuan: ketidakmampuan sebagian
perempuan untuk mencapai atau mempertahankan lubrikasi vagina dan respons
keterangsangan seksual yang membuat vagina membesar sampai aktivitas seksual selesai
dan keadaaan ini terjadi berulang kali.
Disfungsi ereksi (DE) berarti ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan
ereksi penis yang cukup untuk melakukan hubungan seksual dengan baik (Pangkahila,
2007).
Disfungsi ereksi disebut primer bila sejak semula ereksi yang cukup untuk melakukan
hubungan seksual tidak pernah tercapai. Sedang disfungsi ereksi sekunder berarti
sebelumnya pernah berhasil melakukan hubungan seksual, tetapi kemudian gagal karena
sesuatu sebab yang mengganggu ereksinya (Pangkahila, 2006).
Pada dasarnya DE dapat disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis.
Penyebab fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal, faktor vaskulogenik,
faktor neurogenik, dan faktor iatrogenik (Pangkahila, 2007). Faktor psikis meliputi semua
faktor yang menghambat reaksi seksual terhadap rangsangan seksual yang diterima.
Walaupun penyebab dasarnya adalah faktor fisik, faktor psikis hampir selalu muncul dan
menyertainya (Pangkahila, 2007).

29

C. Gangguan Orgasme
Disfungsi orgasme adalah terhambatnya atau tidak tercapainya orgasme yang bersifat
persisten atau berulang setelah memasuki fase rangsangan (excitement phase) selama
melakukan aktivitas seksual.
Hambatan orgasme dapat disebabkan oleh penyebab fisik yaitu penyakit SSP seperti
multiple sklerosis, parkinson, dan lumbal sympathectomy. Penyebab psikis yaitu
kecemasan, perasaan takut menghamili, dan kejemuan terhadap pasangan. Pria yang
mengalami hambatan orgasme tetap dapat ereksi dan ejakulasi, tapi sensasi erotiknya
tidak dirasakan.
1. Fitur-fitur gangguan orgasme meliputi:
a. Keterlambatan atau tidak terjadinya orgasme yang persisten atau berulang kali
terjadi menyusul fase perangsangan seksual normal.
b. Distres yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena ketidakmampuan ini.
c. Ketidakmampuan ini bukan lebih menjadi bagian menjadi penentu bagi gangguan
lain (misalnya: gangguan suasan perasaan, kecemasan, kognitif) dan bukan
disebabkan karena efek-efek fisiologis obat atau pengalahgunan obat.
2. Gangguan ejakulasi
1. Ejakulasi dini (premature ejaculation)
Ada beberapa pengertian mengenai ejakulsi dini (ED). ED merupakan
ketidakmampuan mengontrol ejakulasi sampai pasangannnya mencapai orgasme,
paling sedikit 50 persen dari kesempatan melakukan hubungan seksual.
Berdasarkan waktu, ada yang mengatakan penis yang mengalami ED bila
ejakulasi terjadi dalam waktu kurang dari 1-10 menit.
Untuk menentukan seorang pria mengalami ED harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut: ejakulasi terjadi dalam waktu cepat, tidak dapat dikontrol, tidak
30

dikehendaki oleh yang bersangkutan, serta mengganggu yang bersangkutan dan


atau pasangannya (Pangkahila, 2007).
ED merupakan disfungsi seksual terbanyak yang dijumpai di klinik,
melampaui DE. Survei epidemiologi di AS menunjukkan sekitar 30 persen pria
mengalami ED.
Ada beberapa teori penyebab ED, yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
penyebab psikis dan penyebab fisik. Penyebab fisik berkaitan dengan serotonin.
Pria dengan 5-HT rendah mempunyai ejaculatory threshold yang rendah sehingga
cepat mengalami ejakulasi. Penyebab psikis ialah kebiasaan ingin mencapai
orgasme dan ejakulasi secara tergesa-gesa sehingga terjadinya ED (Pangkahila,
2006).

2. Ejakulasi terhambat
Berlawanan dengan ED, maka pria yang mengalami ejakulasi terhambat (ET)
justru tidak dapat mengalami ejakulasi di dalam vagina. Tetapi pada umumnya
pria dengan ET dapat mengalami ejakulasi dengan cara lain, misalnya masturbasi
dan oral seks, tetapi sebagian tetap tidak dapat mencapai ejakulasi dengan cara
apapun.
Dalam 10 tahun terakhir ini hanya 4 pasien datang dengan keluhan ET.
Sebagian besar ET disebabkan oleh faktor psikis, misalnya fanatisme agama sejak
masa kecil yang menganggap kelamin wanita adalah sesuatu yang kotor, takut
terjadi kehamilan, dan trauma psikoseksual yang pernah dialami.
D. Gangguan nyeri Seksual
Sexual pain disorder adalah nyeri genital yang berulang kali terjadi, baik yang
dialami oleh laki-laki maupun perempuan sebelum, selama, atau setelah hubungan
seksual.
Dyspareunia adalah rasa nyeri/sakit atau perasaan tidak nyaman selama
melakukan hubungan seksual. Salah satu penyebab dispareunia ini adalah infeksi pada
kelamin. Ini berarti terjadi penularan infeksi melalui hubungan seksual yang terasa sakit
itu. Pada pria, dispareunia hampir pasti disebabkan oleh penyakit atau gangguan fisik
31

berupa peradangan atau infeksi pada penis, buah pelir, saluran kencing, atau kelenjar
prostat dan kelenjar kelamin lainnya.
Vaginismus adalah spasme (kejang urat) pada otot-otot di pertiga luar vagina,
yang terjadi diluar kehendak, yang mengganggu hubungan seksual, dan keadaan ini
berulang kali terjadi.
Fitur-fitur dyspareunia meliputi:
1. Nyeri genital yang terkait dengan hubungan seksual baik pada laki-laki maupun
perempuan, yang persisten atau berulangkali terjadi.
2. Distress yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena ketidakmampuan ini.
3. Nyeri tidak disebabkan secara eksklusif oleh vaginismus atau kekurangan lubrikasi
dan bukan bagian yang lebih menjadi penentu bagi gangguan lain (misalnya:
gangguan suasana perasaan, kecemasan, kognitif), dan bukan disebabkan oleh
efek-efek fisiologis obat atau penyalahgunaan obat.
Fitur-fitur vaginismus meliputi:
1. Spasme (kejang urat) pada otot-otot di sepertiga luar vagina, yang terjadi di luar
kehendak, yang mengganggu hubungan seksual, dan keadaan ini bersifat persisten
atau berulang kali terjadi.
2. Distres yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena spasme ini.
3. Spasme itu tidak disebabkan oleh gangguan lain (misalnya: gangguan somatisasi),
dan bukan disebabkan secara eksklusif oleh efek-efek kondisi medis secara
umum.
Penyebab dan Penanganan Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual baik yang terjadi pada pria ataupun wanita dapat dapat mengganggu
keharmonisan kehidupan seksual dan kualitas hidup, oleh karena itu perlu penatalaksanaan
yang baik dan ilmiah.
Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan wanita adalah sebagai
berikut (Susilo, 1994; Pangkahila, 2001; Richardson, 1991):
a. Membuat diagnosa dari disfungsi seksual
b. Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
c. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
32

d. Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari pengobatan bedah dan
pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex theraphy, obat-obatan, alat bantu seks,
serta pelatihan jasmani).
Pada kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa masalah disfungsi seksual.
Diantara yang paling sering terjadi adalah pasien tidak dapat mengutarakan masalahnya
semua kepada dokter, serta perbedaan persepsi antara pasien dan dokter terhadap apa yang
diceritakan pasien. Banyak pasien dengan disfungsi seksual membutuhkan konseling seksual
dan terapi, tetapi hanya sedikit yang peduli (Philips, 2000).
Oleh karena masalah disfungsi seksual melibatkan kedua belah pihak yaitu pria dan
wanita, dimana masalah disfungsi seksual pada pria dapat menimbulkan disfungsi seksual
ataupun stres pada wanita, begitu juga sebaliknya, maka perlu dilakukan dual sex theraphy.
Baik itu dilakukan sendiri oleh seorang dokter ataupun dua orang dokter dengan wawancara
keluhan terpisah (Barry, Hodges, 1987).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terapi atau penanganan disfungsi seksual
pada kenyataanya tidak mudah dilakukan, sehingga diperlukan diagnosa yang holistik untuk
mengetahui secara tepat etiologi dari disfungsi seksual yang terjadi, sehingga dapat dilakukan
penatalaksanaan yang tepat pula.
Perspektif Teoretis
Seperti kebanyakan gangguan psikologis, disfungsi seksual merefleksikan interaksi dari
faktor-faktor biologis, psikologis, dan lainnya.
Perspektif Biologis
Banyak kasus disfungsi seksual berasal dari faktor biologis atau dari kombinasi faktor
biologis dan psikologis (Carey, Wincze & Meisler, 1998). Kurangnya produksi testosteron
dan aktivitas tiroid yang berlebihan atau di bawah standar adalah salah satu di antara banyak
kondisi biologis yang dapat menyebabkan hendaya hasrat seksual (Kresin, 1993). Kondisi
medis juga dapat mengganggu keterangsangan seksual pada pria dan wanita.
Faktor biologis dapat memainkan peran yang penting pada kurang lebih 70% sampai 80%
kasus disfungsi ereksi (Brody, 1995b). Faktor biologis lainnya dapat menggangu hasrat,
keterangsangan seksual, dan orgasme meliputi kondisi saraf yang rusak seperti multiple
33

sclerosis; gangguan paru-paru; gangguan ginjal; masalah pernapasan, kerusakan yang


disebabkan karena penyakit menular seksual; dan efek samping dari berbagai obat-obatan
(Brondy, 1995b; Segraves, 1998; Spark, 1991).

Perspektif Psikodinamika
Hipotesis psikodinamika secara umum mempertimbangkan dugaan adanya konflik pada
tahap phallic(Fenichel, 1945). Seksualitas genital yang matang dipercaya membutuhkan
penyelesaian total dari Oedipus complex dan Electra complex. Pria dengan disfungsi seksual
diduga secara tidak sadar menderita kecemasan akan kastrasi.
Pada wanita, penis envy yang tidak terselesaikan menghasilkan rasa permusuhan terhadap
pria. Wanita yang tetap terfiksasi pada tahap phallic, menghukum pasangannya karena
memiliki penis yang tidak membiarkan organ tersebut untuk memberikan kenikmatan
padanya, yang disebut dengan gangguan rangsangan seksual wanita.

Perspektif Belajar
Teoretikus belajar memusatkan perhatian pada peran kecemasan terkondisi dalam
perkembangan disfungsi seksual. Terdapatnya pengalaman fisik atau psikologis yang
menyakitkan yang dihubungkan dengan aktivitas seksual dapat menyebabkan seseorang
merespons hubungan seksual dengan kecemasan yang cukup kuat yang dapat mencegah
kenikmatan dan performa seksual.
Pemenuhan seksual juga didasarkan pada belajar keterampilan seksual. Keterampilan atau
kompetensi seksual, seperti jenis keterampilan lainnya, didapat melalui kesempatan untuk
belajar hal baru. Kita belajar mengenai bagaimana tubuh kita dan pasangan kita berespons
secara seksual dalam berbagai cara, termasuk coba-coba (trial and error) dengan pasangan
kita, dengan belajar tentang respons seksual kita melalui self-exploration (seperti dalam
masturbasi), dengan membaca tentang teknik seks, dan mungkin dengan berbicara pada orang
lain atau menonton film atau rekaman seks.

34

Perspektif Kognitif
Albert Ellis (1977b) menekankan bahwa kepercayaan dan sikap yang irasional dapat
memberikan kontribusi pada disfungsi seksual. Pertimbangan kepercayaan irasional bahwa
setiap saat kita harus mendapat persetujuan dari setiap orang yang penting bagi kita dan
bahwa kita harus benar-benar kompeten dalam setiap hal yang kita lakukan. Jika kita tidak
dapat menerima kekecewaan orang lain, kita dapat membesar-besarkan signifikansi dari satu
episode frustasi seksual. Jika kita memaksakan bahwa setiap pengalaman seksual harus
sempurna, kita membuat tahapan untuk menjadi gagal secara tak terelakkan.
Sebagian besar pria memberikan respons pada rangsangan seksual dengan emosi positiff,
seperti rasa senang dan hangat. Tetapi bagi pria yang disfungsi seksual, rangsangan seksual
tidak lagi berhubungan dengan emosi positif (Rowland, Cooper, & Slob, 1996). Psikolog
David Barlow (1986) mengatakan bahwa kecemasan dapat berpengaruh dalam mengurangi
atau meningkatkan respons seksual tergantung pada proses berpikir seseorang

Terapi Difungsi Seksual


1. Mengurangi kecemasan Masturbasi terarah
2. Prosedur untuk Mengubah Sikap dan Pikiran
3. Pelatihan keterampilan dan Komunikasi
4. Terapi Pasangan
5. Teknik dan Persektif Psikodinamika
6. Prosedur Medis dan Fisiologis

BAB III
35

PENUTUP

Kesimpulan
Kita dapat menamai perilaku seksual sebagai abnormal ketika hal tersebut
bertentangan dari norma sosial, dan bersifat self defeating, merusak/menggangu orang
lain, menyebabkan distress personal, atau mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk berfungsi secara optimal. Namun kita harus menyadari bahwa perilaku seksual
yang dianggap normal pada suatu budaya belum tentu dapat dianggap normal pada
budaya lain (Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
Disfungsi seksual meliputi sejumlah gangguan dimana orang merasa kesulitan
untuk berfungsi secara adekuat selama berhubungan seksual. Disfungsi seksual dapat
berasal dari faktor biologis, psikologis, dan faktor sosiokultual. Disfungsi seksual
berhubungan dengan sikap-sikap negative tentang yang ditularkan secara sosial, yang
berinteraksi dengan kesulitan interaksi saat ini, dan kecemasan yang difokuskan pada
aktifitas seksual.
Parafilia merupakan penyimpangan seksual yang melibatkan timbulnya
rangsangan terhadap stimulus tertentu seperti objek non manusia (misalnya, sepatu
atau pakaian), penghinaan atau pemberian rasa sakit pada diri sendiri atau pasangan,
atau anak-anak (Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
Perkembangan parafilia berhubungan dengan defisiensi dalam rangsangan
seksual orang dewasa berdasarkan suka sama suka, defisiensi dalam keterampilan
sosial orang dewasa berdasarkan suka sama suka, fantasi seksual yang menyimpang
yang mungkin berkembang sebelum atau selama masa pubertas, dan usaha yang
dilakukan individu yang bersangkutan untuk menekan pikiran yang berhubungan
dengan pola-pola rangsangan tersebut. Penanganan psikososial parafilia, termasuk
covert sensitization, orgasmic conditioning, dan relapse prevention.

DAFTAR PUSTAKA
36

Durand, V. M dan Barlow, D. H. 2006. Psikologi Abnormal (Edisi Keempat), Yogyakarta:


Pustaka Pelajar
Nevid, J.F, Rathus, S. A dan Greene B. 2003. Psikologi Abnormal (Edisi Kelima), Jakarta:
Erlangga
Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 2, Yogyakarta: Kanisius

37

Anda mungkin juga menyukai