Anda di halaman 1dari 23

Pola Kepemimpinan Bu Shinta

dan Pola Interaksi Anggota Pondok Pesantren Waria Al-Fattah


Disusun untuk memenuhi mata kuliah Penelitian Kualitatif

Disusun oleh :
Faizal Iqbal Tamsil
13/347989/SP/25742
Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik
Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2014
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Fenomena

keberadaan

waria/transgender

di

masyarakat

masih

terdiskriminasi dan termarjinalisasi. Stigma negatif selalu melekat padanya. Mulai


dari kehidupan jalanan sampai kehidupan malam dan prostisusi. Sebagian
masyarakat masih sedikit takut apabila berbicara atau bertemu denangan waria.
Beragam perlakuan masyarakat mulai dari sikap acuh, takut, pelecehkan harga
diri waria bahkan sampai tindakan kekerasan dan kriminal baik itu di dunia nyata
maupun di dunia maya.
Dari data yang Arus Pelangi kumpulkan pada tahun 2013 menyatakan bahwa
89.3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dimana 79.1% dalam bentuk
kekerasan psikis, 46.3% dalam bentuk kekerasan fisik, 26.3% dalam bentuk kekerasan
ekonomi, 45.1% dalam bentuk kekerasan seksual, dan 63.3% dalam bentuk kekerasan

Bentuk kekerasan budaya yang dialami LGBT di Indonesia termasuk


pengusiran dari rumah atau kos, dituntut untuk menikah, dan dipaksa untuk
menikah dengan orang yang tidak disukai; dan pelaku utama kekerasan budaya
adalah keluarga (76.4%) dan teman (26.9%) (Arus Pelangi 2013).1
Pada diri seorang waria sebenarnya juga dijumpai kebingungan pada hal
peribadatan. Pada sebagian besar agama di dunia juga hanya mengakui proses
peribadatan oleh dua jenis orang yakni laki-laki atau perempuan. Dan keberadaan
waria sendiri pada agama manapun menemui kebingungan. Apalagi pada agama
islam yang mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama ini. Bahkan dalam
islam keberadaan tentang waria tidak ada dalam Al-Quran maupun fiqih.
Melihat begitu peliknya permasalahan waria menjadikan kita prihatin
akan nasib mereka. Bahkan sebagian dari masyarakat sekarang ini masih tidak
1

http://www.megawatiinstitute.org/megawati-institut/kegiatan/kegiatan/155diskusi-kekerasan-seksual-pada-kelompok-lgbt.html

menganggap keberadaan waria dan kaum transgender lainya. Meskipun ada pula
sedikit yang tetap menghargainya bahkan memperjuangkan hak-hak mereka.
Salah satu pejuang kaum transgender muncul di Yogyakarta. Bu Shinta
begitu warga sekitar dan para waria biasa memanggil beliau. Bu Shinta Ratri lahir
di Yogyakarta 52 Tahun silam. Beliau merupakan tokoh besar sekaligus tokoh
yang berperan besar dalam mendirikan Pondok Pesantren Waria Al-Fattah yang
terletak di Kampung Notoyudan, Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan
Gedongtengan, Yogyakarta bersama rekannya yaitu Bu Maryani. Sebelum
mendirikan pondok pesantren ini mereka telah aktif terlebih dahulu di organisasi
IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta) dimana suatu organisai yang mewadahi
seluruh waria yang berada di Yogyakarta yang beranggotakan 200an orang.
Untuk menjadi seorang waria merupakan suatu pilihan sekaligus cobaan
dalam menjalani hidup. Menjadi waria mungkin suatu keinginan jiwa yang
terperangkap pada tubuh yang salah. Dalam momen awal kaum waria ini memiliki
rasa kegalauan yang dalam kerena terdapat pilihan yaitu mau mengikuti kehendak
hatinya tetapi nantinya akan termarjinalkan atau tetap mengikuti kondisi fisik
tubuhnya tapi tidak merasa nyaman. Akhirnya banyak diantara mereka yang
muncul kemauan dari diri sendiri yang sangat kuat untuk berubah menyesuakian
keinginan hatinya. Bu Shinta terlahir sebagai laki-laki tetapi sejak kelas 5 SD
beliau telah menunjukkan tanda-tanda perempuannya. Sejak saat itu beliau lebih
suka berdandan dan bergaul dengan teman wanita daripada bergaul dengan teman
laki-laki. Pada awalnya teman-temannya mengejek dan mengucilkan beliau
karena sifatnya yang aneh / diluar dari kebiasaan orang. Tetapi setelah lama
kelamaan

teman-temannya

dapat memahami

kondisi beliau

dan dapat

menerimanya. Dan beliau begitu mantap untuk menjadi seorang waria pada saat
SMP. Pada hal berpakaian Bu Shinta kecil terkadang terpaksa untuk memakai
pakaian laki-laki agar bisa diterima oleh linkungan di sekitarnya. Tetapi ini jika
kondisi sudah terdesak. Karena latarbelakang pendidikan beliau banyak berkaitan
dengan Islam misalnya saja di muhammadiyah, dan madrasah diniyah suatu saat
beliau ingin mengetahui tentang kejelasan status kelaminnya yaitu waria yang
3

dikaji secara islam melalui fiqih. Dan sejak dulu beliau juga menginginkan
membentuk suatu lembaga yang bisa mewadahi kehidupan waria
Kehidupannya dijalani seperti biasa. Walapun sebenarnya pihak keluarga
agak keberatan dengan keputusan beliau tetapi pada akhirnya keluarga pun
membiarkannya. Beliau meyakini bahwa keputusannya menjadi seorang waria
merupakan takdir illahi yang tidak bisa diubah. Walaupun beliau waria, nyatanya
beliau bisa mencicipi bangku kuliah di fakultas Biologi UGM. Beliau masuk pada
tahun 1981 dan lulus tahun 1989. Setelah lulus kuliah beliau aktif sebagai aktifis
yang membela kaum transgender seperti dirinya yang memperjuangkan hak-hak
kaum mereka. Segala suka duka dialami ketika beliau menjadi aktifis. Setelah
menjadi aktifis selama bertahun-tahun akhirnya beliau bertemu dengan Bu
Maryani. Mereka menjadi rekan yang hebat dan mnjalin pertemanan yang baik.
Pada tahun 2006 terjadi bencana gempa dahsyat yang telah merenggut banyak
korban jiwa di Yogyakarta. Atas tujuan kemanusiaan Bu Maryani mengadakan
doa bersama yang diikuti oleh para waria seluruh Indonesia juga para pemuka
agama setempat. Dari sinilah gagasan untuk membuat pondok pesantren untuk
waria dimulai. Dan akhirnya pada tahun 2008 pondok pesantren ini benar-benar
didirikan. Pada awalnya anggota yang masuk hanya berjumlah 20 orang. Selain
dari kedua tokoh yang berkontribusi besar terhadap perkembangan organisasi ini
ternyata terdapat tokoh lain. Bu Nur Kamuja adalah santri pada masa awal
organisasi berdiri. Beliau banyak membantu dalam hal perekrutan anggota waria
lainnya agar mau bergabung kedalam organisasinyanya.
Banyak calon waria yang masih ragu dan terpaksa untuk menjadi seorang
waria betulan. Mereka masih merasa berdosa dan takut termarjinalisasi di
lingkungan masyarakat. Selain itu terdapat kekosongan dan keraguan iman di
dalam hati waria karena mereka belum menemukan status mereka baik dalam
fiqih maupun di Al-Quran. Dan mereka bingung bagaimana mereka beribadah
dengan status diri yang belum jelas. Yang demikian merupakan latarbelakang
organisasi ini dibentuk yaitu sebagai lembaga yang bisa membuat keimanan waria
bertambah juga sebagai rumah bagi para waria yang diusir oleh keluarganya
4

kemudian untuk mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki oleh anggotanya.
Pada perjalananya pondok pesantren ini mengalami pasang surut. Alat
pendukungnya tidak hanya berasal dari kaum waria itu sendiri, tetapi juga dari
beberapa ustads. Para ustads relawan itu dengan gigih membimbing para waria
agar memiliki iman yang kuat dan dapat lebih mendekatkan diri pada penciptaNya.

Kendala-kendala

yang

dijumpai

antar

lain

seperti

sulit

untuk

mempertemukan waktu berkumpul, ustad yang terkadang berhalangan, jarak dan


aksesibilitas untuk mencapai lokasi dan sumber dana untuk menjalankan
organisasi. Tetapi cobaan paling besar yang dihadapi pondok pesantren itu adalah
meninggalnya pendiri ponpes yaitu Bu Maryani pada tanggal 21 Maret 2014.
Dengan meninggalnya beliau aktifitas ponpes sempat vakum beberapa bulan.
Tetapi atas usulan dan pemikiran Bu Shinta akhirnya ponpes itu dapat beraktifitas
lagi, walaupun tempatnya berpindah ke rumah Bu Shinta sendiri yaitu di Celenan,
Kota Gede, Yogyakarta. Jadi sebenarnya peran beliau adalah sebagai pengganti
pendiri Ponpes ini yaitu Bu Maryani. Walaupun lokasi ponpes yang baru lebih
terpencil dan harus melewati gang-gang sempit, para anggota tidak patah
semangat untuk melanjutkan kegiatan mereka agar menjadikan keimanan mereka
menjadi semakin bertambah dan kuat. Perlu diketahui walaupun mereka waria dan
sering termarjinalkan dalam kehidupan bermasyarakat tetapi mereka manusia juga
yang memiliki hak atas kesamaan hidup dengan orang pada umunya. Dalam hal
agama mereka juga memiliki hak untuk beribadah walaupun status mereka dalam
hadis masih membingungkan. Dan keberadaan waria seharusnya dapat terlindungi
seutuhnya seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Pakistan yang mengakui
waria sebagai jenis kelamin ketiga setelah laki-laki dan perempuan.
Pekerjaan sehar-hari beliau adalah perias penganten. Selain itu Bu Shinta
juga aktif di organisasi lainnnya seperti Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI), LBH untuk waria dll. Beliau juga memiliki seorang anak untuk
membantu mengelola organisasinya. Anaknya didapat dari hasil adopsi dari
suaminya yang memilih untuk berpisah dengan Bu Shinta. Sejak umur 3 bulan
anak itu di rawat hingga sekarang tumbuh dewasa. Patron kepemimpinan beliau

dalam menjalankan ponpes begitu kuat. Beliau menentukan segala kebijakan dan
arah berjalannya organisasi. Misalnya beliau menentukan kegiatan yang akan
dibuat, ustad yang akan diundang, panti asuhan yang akan diberi bantuan dsb.
Beliau juga mempunyai jiwa sosial tinggi yang tercermin dari banyaknya eventevent yang beliau adakan dalam rangka untuk menjalin solidaritas antar waria dan
membantu kaum termarjinalkan lainnya dalam bidang kemiskinan. Contonya
yaitu seperti memperingati hari jadi IWAYO, memperingati hari Transgender
nasional, bakti sosial dll. Tetapi uniknya dalam perekrutan anggotannya beliau
tidak menetapkan syarat yang sulit diterima. Bagi anggota yang ingin bergabung
diberi kebebasan dan keleluasaan. Beliau juga menyewakan beberapa kamar bagi
waria yang tidak memiliki rumah dan ingin tinggal disitu. Tentunya dengan harga
yang relatif murah. Bahkan di beberapa momen beliau rela memfasilitasi anggota
jika mereka membutuhkan bantuan dalam hal keuangan misalnya karena Bu
Shinta menganggap anggotanya layaknya anaknya sendiri yang perlu di bina dan
dibantu kehidupannya.
Lebih lanjut dalam hal pengelolaan pondok pesantren waria ini Bu Shinta
mempertegas kedudukannya juga menerapkan prinsip kesetaraan dimana semua
santri dipandang sama. Dalam hal keuangan dan sumebr dana Bu Shinta juga
berperan sangat besar dimana beliau mencarikan sumber-suber dana bahkan tak
jarang beliau menalangi terlebih dahulu. Proses semua itu dicatat dan dikelola
secara transparan. Program-program disusun dalam jangka waktu 6 bulan sekali.
Dalam menyusun proposal bantuan dan program-programnya, Bu Shinta dibantu
oleh Kyai Muhaimin dan Pembina UNISNU dari Jepara.
Pondok pesantren waria ini legal dan menurut yang Bu Shinta tuturkan,
pihak ponpes telah mendaftarkan diri kepada notaris agar organisasi yang
dikelolanya dapat terdaftar sebagai organisasi yang legal. Dan agar diakui
seutuhnya oleh pemerintah pihak ponpes perlu mendaftarkan organisasinya ke
dinas perijinan atau DPRD Yogyakarta. Tetapi sampai sekarang pihak ponpes
sendiri masih berusaha untuk mendaftarkan organisasinya. Sebelumnya pernah

dilakukan tetapi terkendala dengan birokrasi yang rumit DPRD Yogyakarta karena
sebenarnya masih kurang menerima organisasi tersebut.
Bu Shinta menginginkan agar organisasi yang dipimpinnya dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para anggotanya. Tidak hanya
untuk urusan agama, organisasi ini juga mengembangkan beberapa keterampilan
seperti : memasak, merias pengantin, merias salon, tata boga, musik dsb yang bisa
memberikan keterampilan lebih dan berdampak positif. Beliau menuturkan bahwa
sebagian besar waria bekerja sebagai pengamen yang hidup di jalanan dan sebagai
PSK yang berkeliaran. Pekerjaan itu tentu hanya membutuhkan sedikit
keterampilan. Tentu Bu Shinta agak sedih dengan jenis pekerjaan ini tetapi beliau
tidak dapat melarang anggotanya untuk memilih pekerjaan seperti itu karena
memang itu pilihan mereka. Pada anggota ponpes rata-rata umur mereka yaitu 40an tahun dan memiliki anggota termuda yakni berumur 21 tahun.
Kegiatan rutin yang dilakukan ponpes ini yaitu kajian fiqih mengenai dalil
tentang keberadaaan waria yang diisi oleh ustad, membaca Al-Quran bersama,
sholat berjamaah dsb. Khusus untuk sholat berjamaah keberadaan imam harus
dari laki-laki asli dan tidak boleh dari waria karena ini sesuai dengan ketentuan di
Al-Quran . Dalam menjalankan organisasinya dibentuk struktur kepengurusan
yang jelas. Seperti :
Penasehat : KH. Abdul Muhaimin
Pembina : Fakultas Syariah dan Hukum UNISNU Jepara (lembaga)
Ketua : Shinta Ratri
dan dibantu oleh sie-sie dibawahnya yang membuat organisasinya berjalan baik.
Bu Shinta dalam mengembangkan organisainya bekerja sama dengan
berbagai pihak misalnya LSM Kebaya (diprakarsai oleh Mami Vin) yang bergerak
dalam bidang kesehatan dalam penyakit seksual seperti HIV/AIDS dan penyakit
mental yang sangat dibtuhkan pertolongannya. Selain itu ada LBH untuk waria
yang berfungsi sebagai lembaga yang memberikan bantuan secara hukum jika ada
7

anggota ponpes yang tersangkut masalah hukum. Selanjutnya PKBI badan yang
memperjuangkan hak-hak kaum transgender dan sebagai lembaga yang
memberikan bantuan berupa sumber dana bagi Pondok Pesantren Al-Fatah ini.
Selanjutnya LSM waria lain yang berfokus pada pengembangan potensi olahraga
yang letaknya di Sidomulyo. Bahkan organisasi ini telah bekerjasama dan
menandatangani MoU dengan perguruan tinggi seperti UNISNU Jepara dan
UKDW Yogyakarta. Tujuannya yaitu untuk menyosialisasikan kepada civitas
akademis bahwa keberadaan kaum transgender seperti dirinya perlu diakui dan
didukung.
Sebenarnya jika ditelisik lebih jauh dalam lubuk hati kaum waria memiliki
keinginan agar bisa bekerja di lingkungan pemerintahan atau di sektor informal
yang dihormati masyarakat seperti : karyawan toko, karyawan perusahaan,
karyawan rumah makan, dsb. Penulis meyakini jika mereka diberi kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan yang layak, mereka bisa bersaing dan
berkompetensi dengan baik. Potensi ilmu pengetahuan mereka juga baik dan
seperti pada orang umumnya. Jadi anggapan kita selama ini salah tentang sifat dan
keberadaan mereka adalah salah. Tapi jika dilihat pada kondisi yang sebenarnya
pemerintah masih belum mau menerima mereka sebagai kaki-tangan birokrasinya.
Hal ini bisa dijumpai pada masalah administrasi pada pendaftaran CPNS dimana
tidak terdapat jenis kelamin waria dalam pilihannya. Sebenarnya esensi dalam
melayani kepentingan masyarakat tidak boleh dilihat dari kategori tertentu saja
seperti jenis kelamin, agama, ras, suku, golongan dll. Semua warga negara
memilii hak yang sama untuk menjadi pelayan masyarakat. Oleh karena itulah
sebabnya banyak diantara mereka yang lebih memilih untuk mencari pekerjaan di
sektor informal bahkan cenderung memprihatinkan dan rendahan misalnya
bekerja sebagai pengamen di jalanan dan menjadi PSK.
Menurut penuturan dari Bu Shinta pada tanggal 20 November 2014 telah
dilaksanakan konferensi Waria Nasioanal yang bertempat di Jakarta. Konferensi
ini pada akhirnya menghasilkan petisi-petisi yang intinya pemerintah perlu
mengakui keberadaan waria sebagai gender ketiga agar mempermudah dalam
8

proses administrasi dalam pemerintahan misal seperti pembuatan KTP, SIM,


Kartu Kesehatan, Jamsostek dsb. Skema mengenai petisi ini yaitu waria kota
Jakarta akan membawa dan mengajukan petisi ini lalu disampaikan kepada
pemerintah pusat. Tetapi untuk responnya belum ada tindak lanjut dari
pemerintah.
Bu Shinta memiliki komitmen yang kuat untuk terus menjalankan dan
memperuangkan

organisasinya

sampai

suatu

saat

dia

tidak

bisa

lagi

mengelolanya.
Kategorisasi :

Kepemimpinan Bu Shinta dalam menjalankan Pondok Pesantren Waria


Al-Fattah.

Pola relasi sosial antara penghuni Pondok Pesantren Waria Al-Fattah.

1.2 Pertanyaan penelitian :

Bagaimana kepemimpinan Bu Shinta dalam menjalankan Pondok


Pesantren Waria Al-Fattah.

1.3 Landasan Konseptual.

1.3.1 Kepemimpinan.
Pengertian Kepemimpinan.
Dalam suatu organisasi, kepemimpinan merupakan salah satu faktor utama
yang mendukung kesuksesan organisasi dalam mencapai suatu tujuan. Banyak
ahli yang mencoba untuk mendefinisikan kepemimpinan. Kepemimpinan dapat
didefinisikan sebagai proses mempengaruhi suatu kelompok yang terorganisasi
untuk

mencapai

tujuan

bersama.

Hughes

(2006)

menyatakan

bahwa

kepemimpinan merupakan fenomena kompleks yang melibatkan tiga hal utama,


yakni pemimpin, pengikut dan situasi.
Definis lain dari Merton (1969), yang menyatakan bahwa kepemimpinan
adalah hubungan interpersonal dimana orang-orang lain di dalamnya bersedia
mematuhi pemimpin mereka karena mereka menginginkannya, bukan karena
mereka diharuskan. Roach dan Behling (1984) menyatakan bahwa kepemimpinan
adalah suatu proses mempengaruhi kelompok yang terorganisasi dalam upaya
mencapai tujuan kelompok.
Locke et.al. (1991) mendefinisikan kepemimpinan dalam bentuk yang
lebih sederhana. Locke menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai proses
mengajak orang lain untuk berperilaku demi mencapai tujuan bersama. Ada dua
hal yang perlu diperhatikan dalam definisi Locke et.al. ini. Hal pertama yang perlu
diperhatikan adalah bahwa kepemimpinan merupakan suatu konsep relasional.
Kepemimpinan terbentuk karena ada relasi atau hubungan dengan orang lain
yang disebut pengikut. Secara implisit, Locke menyatakan dalam definisinya
bahwa pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana cara memberikan
insprasi dan membentuk relasi dengan para pengikutnya.
Kepemimpinan merupakan proses pengaruh yang memungkinkan meneger
membuat orang-orangnya bersedia menngerjakan apa yang harus dikerjakan,
mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.2
2

James J.Cribbin strategi mengefektifkan organisasi hlmn 12

10

Hasibuan

(2001)

merumuskan

pengertian

kepemimpinan

dalam

disertasinya sebagai berikut :


1. Kepemimpinan menekankan adanya hubungan dua pihak, yaitu
pemimpin dan yang dipimpin atau pengikut.
2. Terjadi pola interaksi diantara pemimpin dengan pengikut.
3. Dalam pola interaksi yang terjadi diantara pemimpin dengan pengikutt,
pemimpin mempengaruhi perilaku para pengikut.
4. Proses pemimpin mempengaruhi pengikutnya ini dilakukan agar
pengikut melakukan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan oleh pemimpin atau tujuan yang telah disepakati bersama
oleh pemimpin dan pengikutnya.
5. Tujuan yang ingin dicapai oleh pemimpin dan pengikutnya adalah
tujuan organisasi.
Berdasarkan

kelima

hal

diatas,

Hasibuan

(2001)

memfokuskan

kepemimpinan pada konteks organisasi pekerjaan atau kelompok dalam


pekerjaan. Beliau menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah pola interaksi
antara pemimpin formal dengan para pengikutnya atau bawahannya untuk
melakukan tindakan-tindakan dalam mencapai tujuan kelompok yang diinginkan
pemimpin atau yang disepakati bersama antara pemimpin dengan bawahannya.
Kesimpulan dari Hasibuan (2001) inilah yang peneliti gunakan sebagai salah satu
dasar untuk menentukan konsep kepemimpinan. 3
Berdasarkan

berbagai

definisi

diatas

dapat

disimpulkan

bahwa,

kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi


perilaku, pikiran, dan sikap dari sekelompok orang, baik secara langsung maupun
tidak langsung tanpa adanya paksaan dari pemimpin mereka tetapi karena mereka
sadar dan mau melakukannya dengan sukarela.

11

Burn (1978) dan Bass (1985) mengelompokkan berbagai konsep dan teori
kepemimpinan sebagai pandangan tradisional dari kepemimpinan. Burn (1978)
dan Bass (1985) menyebut pandangan tersebut perilaku atau gaya kepemimpinan
transaksional. Menurut mereka gaya kepemimpinan transaksional merupakan
suatu proses pertukaran antara pemimpin dan pengikut dimana pemimpin
memberikan imbalan kepada pengikut sebagai timbal balik dari upaya yang
dilakukan oleh pengikut untuk mencapai tingkat kinerja yang diharapkan atau
disepakati dengan pemimpinnya. Begitu pula sebaliknya, pengikut akan berupaya
sebatas imbalan yang diterimanya dari pemimpin. Menurut Bass (1990), proses
transaksi ini dikembangkan dan dipelihara sepanjang pemimpin dan pengikut
sama-sama memperoleh keuntungan.
Bass (1985) dalam hasibuan (2001) menyatakan bahwa kepemimpinan
transaksional dan kepemimpinan transformasional dapat ada pada satu orang
pemimpin karena dalam melaksanakan tindakan kepemimpinan ia dapat
menampilkan

variasi

dari

gaya

kepemimpinan

tranformasional

maupun

transaksional.
Kepemimpinan transformasional aksional dan transformasional tidak dapat
dilihat sebagai pendekatan yang berlawanan untuk meyelesaikan segala
sesuatunya.

Kepemimpinan

kepemimpinan transaksional.

transformasional

itu

dibangun

atas

dasar

Kepemimpinan transformasional menghasilkan

tingkat usaha dan kinerja bawahan yang melampaui apa yang akan terjadi dengan
kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional terbukti sangat
kuat hubungannya dengan angka turnover yang rendah, produktifitas yang tinggi,
dan kepuasan karyawan yang lebih tinggi (Pranaya, 2008).
Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan

transaksional

adalah

suatu

gaya

atau

perilaku

kepemimpinan dimana pemimpin yang membimbing dan memotivasi pengikutpengikut mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan dengan
cara menjelaskan persyaratan peran dan persayaratan tugas. Pemimpin yang
12

emnggunakan gaya kepemimpinan transaksioanal berorientasi pada penekanan


biaya (cost-benefit), dimana mereka lebih memusatkan pada pemberian imbalan
kinerja (reward) terhadap usaha yang dilakukan dan menjaga agar perilaku
tersebut selalu diharapkan. Sedangkan dalam prosesnya, Bass (1985) menyatakan
bahwa pemimpin transaksional lebih terfokus pada kompromi, intrik dan
pengendalia. Pemimpin transaksional juga dianggap lebih konserfatif.
Locke et.al (1991) mengungkapkan bahwa kepemimpinan transaksional
bukanlah lawan atau kpkan dalam gaya kepemimpinan transaksional. ebalikan
dari kepemimpinan transformasional. Lawan dari kedua jenis itu adalah
kepemimpinan statis atau status quo. Locke et.al juga mengungkapkan mengenai
konsep transaksi yang diterapkan dalam gaya kepemimpinan transaksional. Locke
et.al menyatakan bahwa imbalan yang diberikan terhadap pengikut bisa
merupakan imbalan jangka panjang maupun jangka pendek. Konsep ini serupa
dengan konsep transaksi yang dikemukakan oleh Kunhert dan Lewis (1987).
Mereka menyatakan bahwa terdapat dua tingkat transaksi antara pemimpin
dengan pengiutnya yakni transaksi tingkat tinggi dan transaksi tingkat rendah.
Kepemimpinan transaksional efektif bila diterapkan pada organisasi yang
tidak dihadapkan pada perubahan-perubahan baik dari dalam organisasi
(perubahan diri orang-orang yang bekerja dalam organisasi ) maupun dari luar
organisasi (persaingan bisnis semakin ketat). Kepemimpinan transaksioanl terdiri
dari empat dimensi yakni contingent reward, manajemen pengecualian,
manajemen pengecualian pasif dan laissez-faire.

Kepemimpinan Transformasional
Hasibuan (2001) menyatakan kepemimpinan transformasional adalah
suatu gaya atau perilaku pemimpin yang memberikan pertimbangan sendiri,
rangsangan intelektual, dan memiliki kharisma. Kepemimpinan transformasional
dianggap lebih revolusioner dan aktif.

13

Pemimpin transformasional berusaha meningkatkan dan memperluas


kebutuhan pengikut atau bawahan dan meningkatkan perubahan yang dramatis
dari

individu-individu,

kelompok-kelompok

dan

organisasi-organisasi.

Kepemimpinan transformasional adalah suatu proses dimana pemimpin dengan


pengikut atau bawahan secara bersama-sama sampai kepada moralitas dan
motivasi pada tingkat yang lebih tinggi (Burns, 1978).
Jadi kesimpulannya

adalah kepemimpinan transaksioanal maupun

transformasional tidak ada yang lebih bagus atau lebih jelek. Keduanya digunakan
berdasarkan kebutuhan pemimpin terhadap organisasi yang dipimpinnya.

Gaya kepemimpinan.
Konsep mengenai kepemimpinan yang diungkapkan oleh banyak ahli
kemudian melahirkan sejumlah teori tentang kepemimpinan. Ada teori
kepemimpinan yang menekankan pada pendekatan otokratik sebagai lawan
demokratik. Ada juga teori kepemimpinan yaang menekankan pada proses
pengambilan keputusan, apakah bersifat direktif atau partisipasif.
Sejumlah teori kepemimpinan ini dapat dikelompokkan berdasarkan
pendekatan yang digunakan seperti pendekatan dari sisi sifat (trait), perilaku
perorangan maupun situasional seperti yang diungkapkan oleh Gibson, Ivancevich
& Donnely (1982), maupun pendekatan yang diungkapkan oleh Yukl (1989)
sebagai pengaruh kekuatan (power influence), sifat dan keahlian, perilaku atau
situasional.
House (1977) mengidentifikasi empat gaya atau perilaku pemimpin dalam
menghadapi pengikutnya, yaitu :
1. Pemimpin direktif, yaitu pemimpin yang membiarkan pengikut
(followers) mereka mengetaui apa yang diharapkan dari diri mereka,
menjadwal pekerjaan yang harus dilakukan, dan memberi bimbingan
spesifik mengenai bagaimana caranya menyelesaikan tugas.
14

2. Pemimpin suportif, yaitu pemimpin yang bersahabat dan memberikan


perhatian kepada bawahan.
3. Pemimpin partisipasif, yaitu pemimpin yang selalu berunding dengan
bawahannya, mendengarkan saran-saran mereka sebelum mengambil
keputusan.
4. Pemimpin yang berorientasi prestasi, yaitu pemimpin yang selalu
mematok tujuan-tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan
untuk bekerja pada tingkat yang paling tinggi.
Kesimpulan dari berbagai macam gaya kepemimpinan diatas adalah setiap
pemimpin mempunyai gaya memimpin dan ke-khasan sendiri-sendiri. Ciri khas
tersebut menjadikan pemimpin dipandang oleh pengikutnya identik dan berbeda
dengan yang lain.
Burn (1978) dan Bass (1985) mengelompokkan berbagai konsep dan teori
kepemimpinan sebagai

1.3.2

Pola Relasi Sosial.


Pengertian Pola Relasi Sosial.
Relasi sosial juga disebut hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi

(rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Relasi sosial
merupakan hubungan timbal balik antar individu dan saling mempengaruhi.
Relasi sosial dikatakan sistematik karena terjadinya secara teratur dan berulang
kali dengan pola yang sama.Menurut Spradley dan McCurdy dalam Ramadhan,
relasi sosial atau hubungan sosial yang terjalin antara individu yang berlangsung
dalam waktu yang relatif lama akan membentuk suatu pola, pola hubungan ini
juga disebut sebagai pola relasi sosial. (Spradley dan McCurdy, 1975 dalam
Ramadhan, 2009 : 11).
Macam-macam relasi / interaksi sosial :
15

Hubungan sosial atau relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar
individu, saling mempengaruhi dan didasarkan pada kesadaran untuk saling
menolong. Relasi sosial merupakan proses mempengaruhi diantara dua orang atau
lebih. Relasi sosial dalam masyarakat menurut Gillin dan Gillin terdiri dari dua
macam bentuk yaitu sebagai berikut :
1. Relasi atau hubungan sosial asosiatif adalah proses yang terbentuk dari
kerjasama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi serta proses interaksi yang
cenderung menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota
kelompok
2. Relasi atau hubungan sosial disosiatif adalah proses yang berbentuk
oposisi. Misalnya persaingan, pertentangan, perselisihan dan lainnya. 4
Menurut Kimball Young interaksi sosial dibedakan menjadi 3 macam,
yaitu :
1. Oposisi (persaingan dan pertentangan).
2. Kerjasama yang menghasilkan akomodasi.
3. Diferensiasi (tiap individu mempunyai hak dan kewajiban atas dasar
perbedaan usia, seks dan pekerjaan).5
Bentuk interaksi sosial menurut Tomatsu Shibutani ada 4 macam, yaitu :
1. Akomodasi dalam situasi rutin.
2. Ekspresi pertemuan dan anjuran.
3. Interaksi strategis dalam pertentangan.
4. Pengembanangan perilaku massa. 6
4

Gillin dan Gillin, op. Cit., hlm. 501 dan seterusnya.

Kimball, Young dan Raymond W. Mack, dalam Soekanto Soerjono. Sosiologi


Suatu Pengantar PT Raja Grafindo persada.
6

Soekanto, Soerjono sosiologi suatu pengantar PT Raja Grafindo persada.

16

Jadi kesimpulannya relasi sosial atau yang biasa disebut dengan interaksi
sosial menurut macamnya yang banyak dikenal menurut Gillin dan Gillin ada 2
macam yaitu yang bersifat asosiatif dan disosiatif.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kronologis
Hasil wawancara dengan Bu Shinta mengungkapkan bahwa sesungguhnya
masalah yang dihadapi oleh seorang waria cukup pelik dan kompleks. Hampir
dari semua waria pasti telah mengalaminya. Mulai dari konflik batin dalam diri
seorang calon waria, perlakuan orang lain yang kurang mengenakkan kepada
waria seperti pelecehan, sindiran, marjinalisai, kriminalitas bahkan banyak
diantara waria yang mengalami pengusiran dari pihak keluarganya sendiri. Pihak
keluarga masih tidak bisa menerima bila ada anggota keluarganya yang memiliki
orientasi seks menyimpang.
Tetapi

dalam

penulisan

ini

membahas

lebih

khusus

mengenai

permasalahan waria di bidang agamanya. Status waria dalma agama manapun


memang belum diakui. Hal inilah yang membuat sebagian dari waria untuk tidak
memiliki agama karena statusnya tidak diakui oleh agama manapun. Walaupun
tidak sedikit juga warian yang tetap menjalankan ibadah agama mereka sesuai
dengan tata cara yang mereka mau. Mereka yakin tuhan pasti sayang kepada
umatnya, dengan demikian dengan metode atau cara apapun yang penting mereka
menyembah kepada tuhan dan tuhan pasti akan menyayangi mereka walaupun
dilakukan dengan cara yang agak menyimpang dari cara pada umumnya.
Untuk menjawab persoalan tersebut, yang menjadi salah satu faktor
terbentuknya Pondok pesantren Waria Al-Fattah ini. Bagi waria yang ingin
mengetahi lebih lanjut mengenai peribadatan mereke, bisa bergabung dengan
pondok pesantren waria ini. Meskipun status waria ada yang non-muslim tetapi

17

pihak pengelola tetap menerimanya dan menjadikan ponpes sebagai tempat


berkumpulnya, tapi dalam urusan agama pihak ponpes tidak bisa banyak
membantu karena sudah berbeda keyakinan.
Dalam menjalankan organisasi itu dipimpin oleh seorang waria yang
bernama Shinta Ratri.
Shinta Ratri merupakan penerus pendahulunya yang merupakan pendiri
pondok pesantren waria yang bernama Maryani. Bu Maryani sendiri telah
meninggal dunia pada
menggantikan

21 maret 2014. Oleh sebab itu Bu Shinta berperan yang

kepemimpinan

Bu

Maryani.

Dalam

menjalankan

kepemimpinannya Bu Shinta dibantu oleh ustads-ustads yang mempunyai tugas


untuk membimbing dan memberi pengetahuan tentang ilmu agama yang
sebelumnya tidak pernah mereka dapat. Selain itu para ustads juga mempunyai
tujuan untuk membentuk dan memunculkan mental optimistis dalam jiwa waria
yang sebelumnya runtuh karena tidak adanya pegangan dalam menjalani
kehidupan sebagai seorang waria.
Sebagai ketua Bu Shinta menentukan berbagai keputusan dalam pondok
pesantren waria ini. Misalnya beliau memutuskan akan mengadakan acara yang
seperti apa, mencari dana dari mana, mengundang ustads untuk mengisi
pengajian, dan peraturan-peraturan lainnya dalam pondok pesantren itu. Walaupun
beliau sebagai pemimpin di pondok pesantren tersebut, tetapi beliau tidak otoriter
dalam memimpin. Beliau juga menghormati kepada seluruh penghuni pondok
pesantren ini termasuk kepada santri-santrinya. Bu Shinta memandang santrisantrinya seperti anak sendiri yang sangat dikasihi. Pihak santrinay pun demikian
yaitu menganggap Bu Shinta sebagai ibu dari mereka. Tak heran jika para santri
menganggap demikian karena memang karakteristik dari personal Bu Shinta yang
baik dan senang untuk menolong kepada sesama. Walaupun para santri telah
menganggap Bu Shinta seperti ibu kandung mereka , tetapi mereka tetap saja
menghormati Bu Shinta sebagai pemimpin ponpes yang baik dan bisa mengayomi
kepada sesama. Tetapi Bu Shinta juga tidak gila hormat yang menyuruh para
santrinya untuk sangat menghormatinya. Beliau juga membangun relasi yang baik
kepada seluruh penghuni pondodk pesantren itu. Bahkan tak jarang, Bu Shinta
18

sebagai pihak yang meminjamkan atau memberikan sebagian uangnya kepada


para santrinya yang memang saedang sangat membutuhkan uang.

Dengan

demikian para santri sangat terbantu dan bahkan sangat mengandalkan bantuan
dari Bu Shinta, karena untuk mendapat bantuan dana tersebut jarang sekali ada
pihak yang mau membantu waria untuk mendapatkan pinjaman uang.
Dengan pola relasi yang demikian membuat Bu Shinta menjadi pem impin
yang dihormati pada organisasinya. Sedangakan apabila Bu Shinta tidak berada di
ponpes, maka yang menggantikan peran beliau adalah sekretaris ponpes itu.
Walaupun sebenarnya anak angkatnya juga merupakan pengurus ponpes itu tetapi
beliau tidak mempunyai hak sebagai pengganti ibunya. Karena memang sudah
peraturannya jika ketua sedang berhalangan hadir maka pihak yang mewakilkan
yaitu sekretaris.
Dalam menjalankan organisasinya Bu Shinta juga mengalami pasang surut
dan masalah. Salah satunya yaitu mengenai pasokan dana. Dana organisasi ini
sangat penting karena sebagai unsur yang bisa menjalankan ponpes itu. Dalam
perjalan mencari dana akhirnya beliau bisa menggandeng dengan pihak luar yaitu
dengan pihak UNISNU Jepara, PKBI, IWAYO, dll. Selain itu jika ada pihak yang
ingin mewawancarai beliau mengenai informasi-informasi dalam ponpes itu, Bu
Shinta menyediakan

sumbangan dana seikhlasnya yang bertujuan untuk

pembangunan ponpes itu kedepanya. Ini merupakan pengalaman penulis langsung


ketika berada di lapangan.
Kepemimpinan beliau ini merupakan hal yang unik dimana pada
umumnya di setiap pondok pesantren, seorang pemimpin identik dengan kharisma
yang sangat besar, dihormati oleh seluruh santrinya, memiliki keputusan dalam
menjalankan pondok pesantrennya. Semua itu bisa dikatakan pemimpin ponpes
berada diatas dari anggota-anggota ponpes yang ada di bawahnya. Tetapi kasus
yang ada di pondok pesantren waria ini berbeda. Bu Shinta sebagai seorang
pemimpin yang menjalankan organisasinya berperan dengan rendah hati yaitu
menganggap bahwa santri-santrinya dianggapya seperti anak sendiri. Sehingga
banyak diantara santri yang nyaman untuk tinggal di pondok pesantren waria ini.

19

Selain itu pola relasi yang berkembang di dalam pondok pesantren ini juga cukup
baik dan kondusif.

2.2 Analisis
Yogyakarta merupakan kota yang kaya akan keberagaman masyarakatnya.
Hal ini dikarenakan keberadaan Yogyakarta yang memiliki banyak sekali tempat
wisata dan menyimpan bergagai macam kekayaan budaya yang menarik untuk
dikunjungi. Selain itu Yogyakarta juga dikenal dengan sebutan kota pelajar karena
banyak terdapat institusi belajar mulai dari play group, TK, SD, SMP, SMA
danbanyak perguruan tinggi bertempat di Yogyakarta. Selain faktor itu faktor
kenyamanan dan keramahan penduduk Yogyakarta menjadikan tempat ini banyak

20

dikunjungi oleh berbagai anggota masyarakat di Indonesia entah itu yang


bertujuan untuk menetap atau yang hanya sekedar untuk liburan saja.
Berbagai macam komunitas dan LSM juga berkembang di kota ini. Mulai
dari LSM yang tujuannya untuk mencari keuntungan hingga LSM yang tujuannya
benar-benar mengabdi untuk kepentingan masyarakat.
Dari sekian banyak organisasi yang berkembang di yogyakarta salah
satunya yaitu Pondok pesantren Waria yang berada di kampung Notoyudan
Kotagede Yogyakarta. Keberadaan pondok pesantren ini sesuai dengan kebutuhan
dalam waria itu sendiri diman waria sebeanrnya membutuhkan kebutuhan rohani
sebagai upaya dalam menjalankan ibadah mereka. Karena status keberadaan
mereka tidak diakua dalam agama manapun di dunia ini. Pola pkepemimpinan Bu
Shinta sesuai dengan konsep kepemimpinan transformasional seperti yang
dikemukakan oleh Hasibuan (2001) yaitu pemimpin yang memiliki kharisma
dalam emmimpin dan tidak semata-mata karena faktor ekonomi semata melainkan
juga pemimpin yang bisa mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh
santrinya.
Kepemimpinan Bu Shinta juga bisa dikatakan pemimpin yang suportif dan
partisipasif sesuai konsep yang dikemukakan oleh House (1977). Ciri-ciri itu
nampak pada sikap beliau dalam memimpin organisasinya yang selalu
mendukung para santrinya untuk mengembangkan bakat yang telah dimilikinya.
Selain itu beliau juga setiap kali berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang beliau
adakan. Beliau menekankan tentang konsep kebersamaan dan kerukunan diantara
penghuni pondok pesantren waria itu bertujuan agar tercipta kondisi yang
harmonis.
Pola interaksi sosial yang terjadi di pondok pesantren waria yaitu pola
interaksi asosiatif dimana terjadi kerjasama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi
serta proses interaksi yang cenderung menjalin kesatuan dan meningkatkan
solidaritas anggota kelompok. Konsep ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Gillin dan gillin.

21

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan melihat analisis diatas dapat disimpulkan bahwa faktor
kepemimpinan Bu Shinta yang bisa mengayomi santri, suportif dan partisipasif
yang membuat para santri bisa nyaman untuk tinggal di pondok pesantren itu.
Selain itu pola interaksi yang terjadi di dalam pondo pesantren waria
tergolong cukup baik dimana satu sama lain menjaga hubungan agar tetap bisa
rukun dan bisa membantu kepentinagn bersama.
Keberadaan pondok pesantren waria ini juga perlu didukung karena
sebagai wadah para waria di Yogyakarta untuk menyalurkan bakatnya selain itu
bisa memperdalam ilmu agama yang kelak sangat berguna bagi kehidupannya.
Untuk itu diperlukan dukunagn dari semua pihak agar keberadaan pondok
pesantren ini bisa bertahan dan bisa berkembang karena waria juga manusaia dan
warga negara Indonesia juga.

22

DAFTAR PUSTAKA
Cribbin, James J. 1982. Kepemimpinan Strartegi Mengefektifkan Organisasi
Jakarta lembaga PPM
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta Raja Grafindo
Persada.
Agustina, Ria. 2009. Hubungan Antara Pemimpin dan Klien.Skripsi. Depok: FE
UI
WEBSITE
http://www.megawatiinstitute.org/megawati-institut/kegiatan/kegiatan/155diskusi-kekerasan-seksual-pada-kelompok-lgbt.html
WAWANCARA
Ibu Shinta Ratri, Ketua Pondok Pesantren Waria Al-Fattah.

23

Anda mungkin juga menyukai